Yohanes
Halek Manek
Terdapat
empat pilar kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan
UUD 1945. Sebagai pilar bangsa, keempat elemen ini memiliki peran vital dalam
penyelenggaraan negara Indonesia. Ibarat pilar-pilar penyangga sebuah bangunan,
keempat pilar ini juga menjadi penyangga yang sangat penting dalam
keberlangsungan negara ini. Akan tetapi sebaliknya bila pilar-pilar ini goyah
atau runtuh maka negara ini pun akan berpotensi mengalami kehancuran.
Bila
dianalisis secara saksama akhir-akhir ini keempat pilar kebangsaan ini sedang
diuji ketahanannya. Diawali dari gerakan subversif dalam aksi radikalisme
agama, populisme, politik identitas, rasisme yang berimplikasi pada munculnya
gerakan separatis dan kontraversi RUU KHUP dan UU KPK. Fenomena ini semakin
memanas ketika kekacuan-kekacuan ini dihubungkan dengan “penumpang gelap” yang
mencoba memperkeruh keadaan untuk tujuan tertentu. Mereka memanfaatkan kekuatan
media yang ada untuk menyebarkan kebohongan (hoax) dan ujaran kebencian.
Terlepas
dari semuanya itu satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah kekacuan yang
terjadi ini merupakan implikasi dari paradoks politik yang sedang terjadi di
negeri ini. Paradoks politik ini terjadi ketika politik yang sebetulnya
dibangun untuk tujuan luhur yaitu kesejahteraan umum justru cenderung tidak
adil dan menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan jalan yang tidak sehat,
bahkan mengorbankan kepentingan banyak orang. Lebih parahnya lagi untuk merebut
kekuasaan tersebut para politisi tidak segan-segan menggunakan isu agama, suku
dan ras untuk mendapatkan dukungan. Imbas dari semuanya itu pada keempat pilar
kebangsaan, khususnya kesatuan dalam keberagaman menjadi terganggu. “Bhineka
Tunggal Ika” direduksi menjadi slogan yang tidak lagi bermakna persatuan oleh
praktek politik kotor yang dilakukan oleh para politisi. Tidak heran ketika
banyak orang mulai “alergi” dengan politik dan cenderung menganggap politik
sebagai hal yang kotor. Anehnya mahasiswa sebagai kaum intelektual yang
harusnya tahu pentingnya politik dalam menyelenggarakan sebuah negara pun turut
berpikir seperti itu. Oleh karena itu sebaiknya perlu dipahami dengan
sungguh-sungguh apa itu politik sebelum melanjutkan gagasan saya ini.
Secara
etimilogis politik berasal dari bahasa Yunani: polis (warga kota). Di zaman Yunani kuno, negara adalah kota
(citystate). Kata polis berarti masyarakat yang ditata secara politis. Politik sebetulnya
memiliki tiga arti yang berbeda. Dalam bahasa inggris pembagian makna arti ini
nampak lebih jelas dalam tiga kata yang berbeda.
Yang
pertama ialah policy (kebijakan). Politik
adalah kebijakan. Inilah arti yang lebih luas (in sensu lato) dari kata politik
itu. Politik dalam pengertian ini adalah tindakan publik di segala bidang yang
mencakup arah, sasaran, isi dan program politik. Yang menjadi palakunya ialah
para politisi, birokrat, warga dari civil
society.
Yang
kedua ialah politics yang merupakan
arti yang lebih sempit (in sensu stricto) dari kata politik. Pengertian ini lebih
merujuk pada tindakan publik para pelaku politik, seperti politisi, parpol dan
aparat negara. Pengertian ini juga berkaitan dengan cara meraih kekuasaan
politik yang dilakukan oleh parpol atau politis.
Yang
ketiga ialah polity. Polity ini
merujuk pada subsistem politik, seperti bidang kenegaraan dan tata susunan
politik berikut birokrasi pemerintahan dengan segala struktur dan mekanismenya.
Bila
sudah mengetahui pengertian dari politik maka selanjutnya mahasiswa sebagai
kaum intelektual harus diarahkan untuk berpikir kritis. Berpikir kritis berarti
merespon segala fenemena yang ada dengan kemampuan mengidentifikasi, mengevaluasi
dan menyimpulkan secara sistematis fenomena-fenomena yang ada ini.
Kekhasan
era milenial adalah kemajuan tehnologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Arus
komunikasi dan informasi mengalir sangat cepat. Masalah muncul ketika kemajuan
dalam tehnologi komunikasi dan informasi ini malah digunakan oleh “pihak-pihak
tertentu untuk menghancurkan persatuan. Senjata baru itu ialah hoax dan ujaran
kebencian yang disebarluaskan. Pada masa Kolonialisme dulu, penjajah sangat
mudah menjajah Indonesia karena memainkan politik adu domba (divide et impera). Strategi itu berjalan
dengan baik karena masyarakat Indonesia pada waktu itu mudah percaya pada
hasutan dan mudah dipancing kemarahannya. Pada masa ini politik adu domba
kembali dengan kemasan yang lebih menarik. Media bukan hanya menjadi tempat
penyaluran informasi yang berguna melainkan juga menjadi wadah bagi hoax dan
ujaran kebencian yang memainkan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan)
serta isu lainnya yang memecah belah bangsa. Oleh karena itu dibutuhkan sikap
kritis dalam menggunakan media yang ada. Sebagai kaum intelektual mahasiswa
dituntut untuk menjadi agen pencerahan di tengah maraknya pembodohan masyarakat
melalui hoax dan ujaran kebencian.
Dalam
konteks situasi politik yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, hal yang
harus dihindari ialah cara berpolitik kotor yang dilakukan oleh politisi dan
bukan politik secara keseluruhan. “Alergi” terhadap politik bukanlah sebuah tindakan
yang dihasilkan dari usaha berpikir kritis. Bila mahasiswa sebagai kaum
terpelajar melabeli politik dengan predikat “kotor” dan menghindari politik itu,
maka cara berpikir ini bisa saja diikuti oleh masyarakat umum. Akibatnya orang-orang
yang akan terlibat dalam urusan politik akan berpikir bahwa semua jalan yang
dilakukan untuk memperoleh kekuasaan termasuk yang akan merugikan orang banyak
adalah benar dilakukan.
No comments:
Post a Comment