Monday, November 18, 2019

"Mungkinkah Cinta Membenci Cinta?"



Mawar Yang Gugur di Musim Semi
Ch. Fosterman, OCD

Fajar telah merekah, sinar sang surya dengan perkasa menembusi kaca jendela kamarku. Dalam sayup-sayup kumenunggu suara si jago, namun tak sedikitpun gelombang suara yang memberi tanda bahwa itu adalah kokokannya. Tetapi kebisingan yang ditimbulkan berbagai jenis kendaraan yang malah membuatku terjaga dari tidur. Terlambat kusadari, ternyata suasana kampung telah kutinggalkan demi mengejar setitik kebahagiaan yang kuyakini terselubung di dalam dunia pendidikan. Dan kini kedua kakiku berpijak tegak di atas tanah berlapis lantai. Suatu suasana dan tempat yang baru yang penuh dengan tanya. Namun segala nasehat yang telah kudengar dari keluargaku terus bergema dalam batinku, memotivasiku tuk terus berlangkah maju dengan gagah tanpa harus membiarkan rasa takut membendung setiap derap langkahku. Di tempat yang baru ini aku kuliah sambil kerja. Hidup di Kota besar segala sesuatunya cukup rumit. Zaman menuntut tuk hidup mewah meski kerja hanya untuk tutup lubang bahkan lebih besar pasak dari pada tiang. Namun kehidupan kota tak mengusik cara hidupku yang lama.
***
Hari-hari kulalui penuh perjuangan, hujan-panas kuabaikan, kerinduan untuk berada bersama keluarga tak mampu kusingkirkan. Rasa rindu seakan mencuat ke permukaan tatkala dentangan lonceng natal bergema lantang. Bagiku keluargaku adalah surgaku. Karena di sanalah aku menemukan cinta, kasih sayang dan kebahagiaan.
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Tibalah saatnya bagiku bersama teman seangkatanku untuk menjalankan masa KKN (Kuliah Kerja Nyata). Oleh pihak kampus aku dikirim ke sebuah komunitas penyandang disabilitas yang letaknya cukup jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku berangkat, segera setelah berpamitan dengan mama kosku. Mama Helena. Orangnya sangat baik, penyayang, dan hemat kata. Parasnya menggambarkan wataknya yang periang. Namun hatinya selalu mendung tak secerah parasnya. Mungkin karena teringat akan pengalaman masa silam yang menyiksa. Pernah kucoba menanyakan apa gerangan yang membuatnya seperti ini. Deraian air mata mengiringi kata demi kata yang diucapkannya. Pertanyaanku seakan menggali liang duka di dalam hatinya. “Hati-hati nak”, katanya melepas kepergianku.
***
Senyuman hangat tersungging, terukir pada setiap bibir, memberi tanda cita rasa kekeluargaan tatkala aku tiba di komunitas dimana aku akan menjalankan masa KKN. Suasana kekeluargaan sungguh menjiwai komunitas ini. Anak-anak yang dirawat di sini terlihat gembira, tanpa membebankan diri mereka dengan memikirkan keadaannya, meski jauh di dalam, jiwanya tersayat. Mereka sungguh menyadari bahwa segala sesuatunya adalah rahmat. Sejenak kumelepas lelah lalu beranjak menuju ke sebuah pendopo yang tak jauh dari tempat anak-anak itu bermain. Aku memandang mereka, dalam dan semakin dalam, merasakan luapan syukur yang merembes dari hati mereka. Mereka mensyukuri keadaannya tanpa ada keluhan terlontar. “Mereka datang dari latar belakang yang berbeda dengan cara dan alasan yang berbeda. Ada yang orang tuanya sengaja menyerahkan anaknya ke sini untuk dirawat, ada yang diantar oleh orang-orang yang mengaku menemukan mereka di depan rumahnya dan bahkan ada yang ditemukan di pinggir jalan karena dibuang oleh orang tuanya.” Aku dikagetkan alunan suara yang teduh. Ternyata seorang suster biarawati yang adalah pengasuh mereka. Sr. Marcella. Kebersamaan singkat di pendopo itu menjejakkan rentetan kisah pengalaman hidupnya. Dari kisahnya kutemukan sebuah nilai. Seluruh praktek hidupnya sangat dijiwai semangat cinta kasih. Baginya orang lain adalah dirinya yang lain. Penderitaan orang lain adalah juga penderitaannya. Segemilang apapun suatu pekerjaan bila dilaksanakan tanpa cinta, semuanya dangkal, sia-sia belaka. Namun sekecil apapun suatu pekerjaan akan menyenangkan dan bernilai luhur bila dilaksanakan dengan cinta kasih yang besar. Itulah yang dapat kupelajari dari pengalaman hidup Suster ini.
***
Waktu terus bergulir. Dari luapan hati anak-anak itu banyak hal kutemukan. Tak sedikit kisah yang menuntut perjuangan dan mengharapkan belaskasihan. Banyak jiwa yang kutemukan seakan terpojok oleh dan disudut dunia. Mereka ditindas oleh makhluk yang menganggap mereka adalah penguasa dunia, sementara mereka lupa hidupnya ada di dalam dunia. Makhluk yang tak menyadari bahwa mereka hanyalah bagian dari dunia. Makhluk yang terlalu mendewakan kenikmatan dunia, sehingga mengabaikan perannya yang semestinya seperti sebagaimana seharusnya ia berada menurut kodrat, tugas dan kewajibannya. Beberapa bulan yang lalu, Catty, seorang gadis yang menjadi korban ulah mereka menumpahkan semua isi hatinya kepadaku. Catty berusia dua tahun lebih muda dari usiaku. Ia seorang gadis yang tenang, pendiam, dan berparas cantik. Tahi lalat di dagu kirinya menambah semarak kecantikannya. Senyumannya mengait pesona. Namun di balik senyuman yang manis itu tersembunyi seonggok duka yang menyayat hatinya. Ketika itu ia sedang duduk sendiri, menyepi, persis di bawah naungan sebuah pohon ketapang yang cukup rindang, di sebuah taman. Kucoba tuk mendekatinya, sembari berpikir, merangkai kata tuk menyapanya. “Hai Catt, sinyal hatimu memberitahuku tuk melangkah kemari,” kataku mengganggunya. Ia terlalu larut dalam khayal sehingga suaraku seakan tak mampu menembus gendang pendengarannya. “Catt apa yang sedang engkau khayalkan?” Tanyaku membuyarkan lamunannya. “pasti tentang aku,” lanjutku. Ia terhentak kaget seakan takut kalau apa yang dipikirkannya semakin menindih otak dan seluruh hidupnya. “Eh kak Ian, tidak ada kak”, sahutnya. “Catt, katakanlah sejujurnya, aku bukan seorang penjahat yang harus engkau takuti, aku bukan masa lalumu yang harus engkau hindari dan aku hanya ingin engkau tersenyum bahagia. Aku tahu engkau pasti sedang memikirkan sesuatu. Membagi duka adalah suatu cara menyembuhkan duka”. Kataku lagi, mencoba tuk membujuk Catty. Tampak kristal-kristal bening mengalir tanpa henti, keluar dari kedua sudut bola matanya, membasahi kedua belah pipinya.
“Kak apakah aku punya orang tua?”. Pertanyaan itu membuatku bingung. Sejenak aku berpikir, “Adakah seseorang dilahirkan tanpa orang tua?”. “Kata suster, dulu aku diantar ke komunitas ini oleh orang tak dikenal yang mengaku menemukanku di got depan rumahnya,lanjutnya. Hatiku seakan tersayat ketika mendengar ini. Orang tua sungguh tega membuang buah hatinya. Pantaskah ia disebut orang tua, yang melahirkan anak? Setelah menarik napas panjang ia melanjutkan, “Kak jika memang aku ada orang tua, dimanakah mereka sekarang? Dan mengapa aku mereka buang? Apakah kehadiranku tidak diinginkan? Jikalau ibuku tidak mengizinkan rahimnya bagiku untuk tinggal selama 9 bulan, mengapa aku diadakan?”. Air matanya tak mampu dibendung lagi, kemarahannya kian memuncak. Sedang aku tak mampu berkata, hanya terpaku menyaksikan jeritan hati si gadis malang ini. Dukanya telah merong-rong emosinya, mempengaruhi frekuensi suaranya. Ia ngotot dan terus ngotot seakan menanti suatu kepastian, menanti suatu jawaban yang memuaskan dirinya akan berbagai pertanyaan yang dilontarkannya. “Kalau memang kehadiranku hanya menjadi beban bagi mereka, mengapa aku dilahirkan? Apakah hanya untuk dicampakkan? Dimanakah kasih seorang ibu, kasih seorang ayah? Kak aku rindu akan belaian seorang ibu, akan kasih sayang seorang ayah.” Ia menangis dan terus menangis meratapi dirinya yang tak berayah dan tak beribu. Sungguh sakit kurasakan, setiap tulangku seakan terpisah dari dagingnya tatkala aku mencoba memaknai setiap kata yang diucapkannya. Memacuku tuk merenung dan bertanya-tanya dalam tanya. Bukankah seseorang diadakan dan dilahirkan karena cinta? Bukankah cinta yang menjadi dasar hidup berkeluarga, bukankah suatu keluarga terbentuk karena cinta? Tapi kenapa Catty dibuang oleh orang tuanya? Bukankah kelahiran seorang anak adalah buah cinta? Mungkinkah cinta membenci cinta? Mungkinkah cinta dan benci adalah satu tim solid? Tidak. Cinta dan benci tidak dapat bersanding. Cinta akan membunuh benci dan benci akan membunuh cinta. Tetapi cinta seperti apakah yang mendorong dua insan untuk bersatu dan melahirkan buah cinta, lalu dengan sengaja membuang bahkan melenyapkan nyawa si buah cinta yang sedang mekar dalam ketidakberdayaan. Pertanyaan-pertanyaan itu menari-nari liar di dalam benakku. Catty merebahkan dirinya pada bahuku setelah lelah menggugat mereka yang menyebabkan dukanya. Suasana menjadi hening, yang terdengar hanya detakan jantung kedua insan yang sedang berkalut sedih.
Dalam hening aku teringat akan kisah hidup mama Helena. Suatu kisah tentang jalinan kasih yang terkoyak karena tidak direstui. Kisah, dimana adat manjadi tembok pemisah. Adat yang terlalu menekankan aturan serta gengsi dari pada nilai kehidupan, yang menyebabkan kebebasan terkungkung dalam ketidakadilan. Karena adat, mama Helena berpisah dengan kekasihnya dan meninggalkan benih kasih yang sebentar lagi akan melihat terang dunia. Sebulan setelah melahirkan, keluarga mama Helena mengambil bayi mungil yang tak berdaya itu dan membawanya ke suatu tempat tanpa sepengetahuannya. Peristiwa ini yang menjadikan dia wanita traumatis. Apakah adat membenarkan tindakan amoral?
Sebelum mengakhiri ceritanya, mama Helena mengatakan bahwa, bayi itu membawa serta sebuah tanda, sebuah kalung bertuliskan sebuah nama “C-A-T-A-L-Y-A.” Itulah yang menjadi nama bayi tersebut.
***
Tibalah waktunya bagiku tuk kembali, karena masa KKN telah usai. Air mata membanjiri perpisahan ini. Mataku mengedar pandang, namun sosok yang kunanti tak kunjung tiba. “Kak Iannn. Terdengar suara yang tak asing memanggil namaku. Dalam samar-samar di kejauhan sosok dia yang kunanti berlari mendekat. Catty. Suaranya serentak menghentakku. Kemeja biru yang kukenakan dialiri air mata saat ia memeluk erat tubuhku. Dalam nada permohonan ia berkata “Kak jangan pergi, hanya engkaulah yang mampu menghapus duka ini. Kepada siapa lagi aku harus mengaduh?” Hatiku menjerit, ingin kukatakan bahwa hatiku enggan tuk berpisah dengannya. Namun kupendam, biarlah rasa ini berlalu meski hati tertikam sembilu. Karena tujuanku adalah Pendidikan bukan Catty. “Catt, jika Tuhan mengizinkan, kita pasti akan bertemu kembali.” Aku mencoba menenangkannya. “Pergilah kak, cita-citamu lebih penting, hanya doa dan air mata yang mengiringi kepergianmu. Jangan pedulikan aku,” katanya terbata-bata. Kini mobil yang kutumpangi melaju jauh dan semakin menjauh, membuat mataku tak lagi mampu menangkap bayangan Catty yang dari tadi memperhatikan aku menjauh darinya.

***
Dua tahun kemudian…
Nana*, ini ada surat untuk ite*. Tadi ada seseorang yang mengantarnya kemari. Mama menyerahkan surat itu kepadaku segera setelah aku melepaskan pakaian kerjaku. “Dari siapa ma?” tanayaku. “Tidak tertera nama pengirimnya, nana”, sahut mama yang berlalu pergi menuju ke dapur. Penasaran datang mengusik rasa. Perlahan amplop itu kubuka.
“Hai, kak Ian apa kabar? Sudah lama tak bersua.
Sebelumnya aku minta maaf, mungkin kedatangan surat ini mengganggu kak Ian. Aku rela dimarah asalkan surat ini sampai ke tangan kak Ian. Oh ya kak Ian, terimakasih untuk segala pengorbananmu. Kalau bukan karena dirimu, aku pasti akan terus terkungkung dalam dunia yang dibanjiri kebencian. Kehadiranmu dalam hidupku memberikan sebuah pengharapan akan kehidupan yang sama sekali baru. Aku telah tampil sebagai pemenang. Kak, kehadiranmu pula membuatku jatuh. Aku terjatuh dalam dekapan cinta. Aku jatuh cinta sama kaka. Rasa ini memacuku tuk mengirim sepucuk surat ini kepada kaka. Jiwaku menjerit tatkala aku memikirkan untuk berpikir tidak memikirkanmu. Kehadiranmu menghadirkan ketenangan tersendiri dalam jiwaku. Keping-keping wajahmu masih jelas membekas dalam ingatanku. Semua kenanganku saat bersamamu telah terbingkai indah dalam jiwa ini. Jiwaku tenteram bersamamu. Maafkan perempuan ini yang terlalu polos mengungkapkan semuanya ini. Kusadari aku tak pantas untukmu. Aku hanyalah anak ayam yang ditinggalkan induknya. Sudahlah, abaikan gadis gila ini, yang tergila-gila karena dirimu. Aku hanya ingin kaka mengetahui yang sebenarnya tentang perasaanku. Meski rasa ini tak sampai. Oh ya kak, kalung itu adalah identitas diriku, kalung itu melingkar di leherku saat aku masih bayi. Aku memberikannya kepada kaka karena aku yakin dalam kaka aku akan menemukan lebih banyak pengharapan dan lebih dari itu engkaulah identitasku. Maaf kak, aku telah menggangumu.”

                                                    Yang mencintaimu,
                                                    Catty

Kedatangan surat ini mencungkil pilu di hatiku. Aku menyadari hatiku masih tertinggal di sana, di dalam diri Catty. Kebersamaan disaat itu menumbuhkan benih cinta dalam diriku. Benih cinta itu tumbuh bukan karena biasa bersama, tetapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang mengait sesuatu dalam diriku. ‘C-A-T-A-L-Y-A. Aku terkejut ketika melihat tulisan yang terukir pada kalung itu. Sama seperti kalung pada bayi mama Helena yang hilang 20 tahun yang silam.
Karena kalung itu, mimpi yang didamba kedua insan yang berbalut rindu kini telah menjadi nyata. Luapan syukur terungkap lewat air mata tatkala mulut tak lagi mampu berkata. Misteri yang terselubung dalam peristiawa masa silam, kini terungkap dan indah pada waktunya. Cinta telah mempertemukan mama Helena dan Catty. Setinggi apapun tembok pemisah, cinta akan mampu melampauinya. Karena cinta melampaui segalanya. Hal ini tidak terdaftar dalam rencanaku. Tujuanku hanyalah mengejar cita-cita. Tak kusangka Catty pun menjadi bagian dari prioritas. Inilah sebuah perjalanan tanpa skenario.
***
“Yah, kenapa ayah selalu bersedih ketika melihat foto perempuan itu?” Tiba-tiba aku dikagetkan oleh Catryn putri tunggalku. “Tidak, ayah tidak bersedih,” sahutku mengelak. “Ayo! ayah antar Catryn ke sekolah, nanti di mobil baru ayah cerita tentang perempuan di foto itu.” Lanjutku. “Perempuan itu siapa yah?” “Nama perempuan itu Catalya. Dia meninggal ketika melahirkanmu.” Kataku dengan suara berat menahan tangis. Sedang Catryn hanya diam membisu tanpa kata. Sementara kedua pipinya mengkilap tersapu air mata. “Ibumu bagaikan mawar yang gugur di musim semi. Karena ia pergi ketika sebuah keluarga baru mulai bersemi.”
*Nana:panggilan kepada anak laki-laki dalam bahasa Manggarai.
*Ite:sapaan sopan yang artinya ‘engkau’ dalam bahasa Manggarai.