Mawar Yang Gugur di Musim Semi
Fajar telah merekah, sinar sang surya dengan perkasa
menembusi kaca jendela kamarku. Dalam sayup-sayup kumenunggu suara si jago,
namun tak sedikitpun gelombang suara yang memberi tanda bahwa itu adalah kokokannya.
Tetapi kebisingan yang ditimbulkan berbagai jenis kendaraan yang malah
membuatku terjaga dari tidur. Terlambat kusadari, ternyata suasana kampung telah
kutinggalkan demi mengejar setitik kebahagiaan yang kuyakini terselubung di
dalam dunia pendidikan. Dan kini kedua kakiku berpijak tegak di atas tanah
berlapis lantai. Suatu suasana dan tempat yang baru yang penuh dengan tanya.
Namun segala nasehat yang telah kudengar dari keluargaku terus bergema dalam
batinku, memotivasiku tuk terus berlangkah maju dengan gagah tanpa harus
membiarkan rasa takut membendung setiap derap langkahku. Di tempat yang baru ini
aku
kuliah sambil kerja. Hidup di Kota besar segala sesuatunya cukup rumit. Zaman
menuntut tuk hidup mewah meski kerja hanya untuk tutup lubang bahkan lebih
besar pasak dari pada
tiang. Namun kehidupan kota tak mengusik cara hidupku yang lama.
***
Hari-hari kulalui penuh perjuangan, hujan-panas
kuabaikan, kerinduan untuk berada bersama keluarga tak mampu kusingkirkan. Rasa
rindu seakan mencuat ke permukaan
tatkala dentangan lonceng natal bergema lantang. Bagiku keluargaku adalah
surgaku. Karena di sanalah aku menemukan cinta, kasih sayang dan kebahagiaan.
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Tibalah saatnya
bagiku bersama teman seangkatanku untuk menjalankan masa KKN (Kuliah Kerja
Nyata). Oleh pihak kampus aku dikirim ke sebuah komunitas penyandang
disabilitas yang letaknya cukup jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku
berangkat, segera setelah berpamitan dengan mama kosku. Mama Helena. Orangnya
sangat baik, penyayang, dan hemat kata. Parasnya menggambarkan wataknya yang
periang. Namun hatinya selalu mendung tak secerah parasnya. Mungkin karena teringat
akan pengalaman masa silam yang menyiksa. Pernah kucoba menanyakan apa gerangan
yang membuatnya seperti ini. Deraian air mata mengiringi kata demi kata yang
diucapkannya. Pertanyaanku seakan menggali liang duka di dalam hatinya.
“Hati-hati nak”, katanya melepas kepergianku.
***
Senyuman hangat tersungging, terukir pada setiap
bibir, memberi tanda cita rasa kekeluargaan tatkala aku tiba di komunitas
dimana aku akan menjalankan masa KKN. Suasana kekeluargaan sungguh menjiwai
komunitas ini. Anak-anak yang dirawat di sini terlihat gembira, tanpa
membebankan diri mereka dengan memikirkan keadaannya, meski jauh di dalam,
jiwanya tersayat. Mereka sungguh menyadari bahwa segala sesuatunya adalah
rahmat. Sejenak kumelepas lelah lalu beranjak menuju ke sebuah pendopo yang tak
jauh dari tempat anak-anak itu bermain. Aku memandang mereka, dalam dan semakin
dalam, merasakan luapan syukur yang merembes dari hati mereka. Mereka mensyukuri
keadaannya tanpa ada keluhan terlontar. “Mereka datang dari latar belakang yang
berbeda dengan cara dan alasan yang berbeda. Ada yang orang tuanya sengaja
menyerahkan anaknya ke sini untuk dirawat, ada yang diantar oleh orang-orang
yang mengaku menemukan mereka di depan rumahnya dan bahkan ada yang ditemukan
di pinggir jalan karena dibuang oleh orang tuanya.” Aku dikagetkan alunan suara yang teduh.
Ternyata seorang suster biarawati yang adalah pengasuh mereka. Sr. Marcella. Kebersamaan singkat di pendopo itu menjejakkan
rentetan kisah pengalaman hidupnya. Dari kisahnya
kutemukan sebuah nilai. Seluruh
praktek hidupnya sangat dijiwai semangat cinta kasih. Baginya orang lain adalah
dirinya yang lain. Penderitaan
orang lain adalah juga penderitaannya. Segemilang apapun
suatu pekerjaan bila dilaksanakan tanpa cinta, semuanya dangkal, sia-sia
belaka. Namun sekecil apapun suatu pekerjaan akan menyenangkan dan bernilai
luhur bila dilaksanakan dengan cinta kasih yang besar. Itulah yang dapat
kupelajari dari pengalaman hidup
Suster ini.
***
Waktu terus bergulir. Dari luapan hati anak-anak itu
banyak hal kutemukan. Tak sedikit
kisah
yang menuntut perjuangan dan mengharapkan belaskasihan. Banyak jiwa yang kutemukan
seakan terpojok oleh dan disudut dunia. Mereka ditindas oleh makhluk yang menganggap mereka adalah penguasa dunia, sementara mereka lupa hidupnya ada di dalam dunia.
Makhluk
yang tak menyadari bahwa mereka hanyalah bagian dari dunia. Makhluk yang
terlalu mendewakan kenikmatan dunia, sehingga mengabaikan perannya yang
semestinya seperti sebagaimana seharusnya ia berada menurut kodrat, tugas dan
kewajibannya. Beberapa bulan
yang
lalu, Catty,
seorang gadis yang menjadi korban ulah mereka menumpahkan semua isi hatinya kepadaku.
Catty
berusia dua
tahun lebih muda dari usiaku. Ia seorang gadis yang tenang, pendiam, dan
berparas cantik. Tahi lalat di dagu kirinya menambah semarak kecantikannya.
Senyumannya mengait pesona. Namun di balik senyuman yang manis itu tersembunyi
seonggok duka yang menyayat hatinya. Ketika itu ia sedang duduk sendiri,
menyepi, persis di bawah naungan sebuah pohon ketapang yang cukup rindang, di sebuah
taman. Kucoba tuk mendekatinya, sembari berpikir, merangkai kata tuk
menyapanya. “Hai Catt, sinyal hatimu memberitahuku tuk melangkah kemari,”
kataku mengganggunya. Ia
terlalu larut dalam khayal sehingga suaraku seakan tak mampu menembus gendang
pendengarannya. “Catt apa yang sedang engkau khayalkan?” Tanyaku
membuyarkan lamunannya. “pasti
tentang aku,” lanjutku. Ia terhentak kaget seakan takut kalau
apa yang dipikirkannya semakin menindih otak dan seluruh hidupnya. “Eh kak Ian,
tidak ada kak”, sahutnya. “Catt, katakanlah sejujurnya, aku bukan seorang
penjahat yang harus engkau takuti, aku bukan masa lalumu yang harus engkau
hindari dan aku hanya ingin engkau tersenyum bahagia. Aku tahu engkau pasti
sedang memikirkan sesuatu. Membagi duka adalah suatu cara menyembuhkan duka”.
Kataku lagi, mencoba tuk
membujuk Catty. Tampak kristal-kristal bening mengalir tanpa
henti, keluar dari kedua sudut bola matanya, membasahi kedua belah pipinya.
“Kak
apakah aku punya orang tua?”. Pertanyaan itu membuatku bingung. Sejenak aku
berpikir, “Adakah seseorang dilahirkan tanpa orang tua?”. “Kata suster, dulu
aku diantar ke komunitas ini oleh orang tak dikenal yang mengaku menemukanku di
got depan rumahnya,”
lanjutnya. Hatiku
seakan tersayat ketika mendengar ini. Orang tua sungguh tega membuang buah
hatinya. Pantaskah ia disebut orang tua, yang melahirkan anak? Setelah menarik
napas panjang ia melanjutkan, “Kak jika memang aku ada orang tua, dimanakah
mereka sekarang? Dan mengapa aku mereka buang? Apakah kehadiranku tidak
diinginkan? Jikalau ibuku tidak mengizinkan rahimnya bagiku untuk tinggal
selama 9 bulan, mengapa aku diadakan?”. Air matanya tak mampu dibendung lagi,
kemarahannya kian memuncak. Sedang aku tak mampu berkata, hanya terpaku
menyaksikan jeritan hati si gadis malang ini. Dukanya telah merong-rong
emosinya, mempengaruhi frekuensi suaranya. Ia ngotot dan terus ngotot seakan
menanti suatu kepastian, menanti suatu jawaban yang memuaskan dirinya akan
berbagai pertanyaan yang dilontarkannya. “Kalau memang kehadiranku hanya
menjadi beban bagi mereka, mengapa aku dilahirkan? Apakah hanya untuk dicampakkan?
Dimanakah kasih seorang ibu, kasih seorang ayah? Kak aku rindu akan belaian
seorang ibu, akan kasih sayang seorang ayah.” Ia menangis dan terus menangis meratapi dirinya yang
tak berayah dan tak beribu. Sungguh sakit kurasakan, setiap
tulangku seakan terpisah dari dagingnya tatkala aku mencoba memaknai setiap
kata yang diucapkannya. Memacuku tuk merenung dan bertanya-tanya dalam tanya.
Bukankah seseorang diadakan dan dilahirkan karena cinta? Bukankah cinta yang
menjadi dasar hidup berkeluarga, bukankah suatu keluarga terbentuk karena cinta?
Tapi kenapa Catty
dibuang oleh orang tuanya? Bukankah kelahiran seorang anak adalah buah cinta?
Mungkinkah cinta membenci cinta?
Mungkinkah cinta dan benci adalah satu tim solid?
Tidak.
Cinta dan benci tidak dapat bersanding. Cinta akan membunuh benci dan benci
akan membunuh cinta. Tetapi cinta seperti apakah yang mendorong dua insan untuk
bersatu dan melahirkan buah cinta, lalu dengan sengaja membuang bahkan
melenyapkan nyawa si buah cinta yang sedang mekar dalam ketidakberdayaan. Pertanyaan-pertanyaan
itu menari-nari liar di dalam benakku.
Catty merebahkan dirinya pada bahuku
setelah lelah menggugat mereka yang
menyebabkan dukanya. Suasana
menjadi hening, yang terdengar hanya detakan jantung kedua insan yang sedang berkalut
sedih.
Dalam
hening aku teringat akan kisah hidup mama Helena. Suatu kisah tentang jalinan
kasih yang terkoyak karena tidak direstui. Kisah, dimana adat manjadi tembok
pemisah. Adat yang terlalu menekankan aturan serta gengsi dari pada nilai
kehidupan, yang menyebabkan kebebasan terkungkung dalam ketidakadilan. Karena
adat, mama Helena berpisah dengan kekasihnya dan meninggalkan benih kasih yang sebentar lagi akan melihat
terang dunia. Sebulan setelah melahirkan, keluarga mama Helena mengambil bayi mungil yang tak berdaya itu dan
membawanya ke suatu tempat tanpa sepengetahuannya. Peristiwa ini yang
menjadikan dia wanita traumatis. Apakah adat membenarkan tindakan amoral?
Sebelum
mengakhiri ceritanya, mama Helena mengatakan bahwa, bayi itu membawa serta
sebuah tanda, sebuah kalung bertuliskan sebuah nama “C-A-T-A-L-Y-A.” Itulah
yang menjadi nama bayi tersebut.
***
Tibalah
waktunya bagiku tuk kembali, karena masa KKN telah usai. Air mata membanjiri perpisahan ini. Mataku
mengedar pandang,
namun sosok yang kunanti tak kunjung tiba. “Kak Iannn.” Terdengar suara yang tak asing memanggil namaku.
Dalam samar-samar di
kejauhan sosok dia yang kunanti berlari mendekat. Catty. Suaranya serentak menghentakku. Kemeja biru yang kukenakan dialiri air mata saat ia
memeluk erat tubuhku. Dalam nada permohonan
ia berkata “Kak
jangan pergi, hanya engkaulah yang mampu menghapus duka ini. Kepada siapa lagi
aku harus mengaduh?” Hatiku
menjerit, ingin kukatakan bahwa hatiku enggan tuk berpisah dengannya. Namun
kupendam, biarlah rasa ini berlalu meski hati tertikam sembilu. Karena tujuanku
adalah Pendidikan bukan Catty. “Catt, jika Tuhan mengizinkan, kita
pasti akan bertemu kembali.” Aku mencoba menenangkannya. “Pergilah kak,
cita-citamu lebih penting, hanya doa dan air mata yang mengiringi kepergianmu. Jangan pedulikan aku,” katanya terbata-bata. Kini mobil yang kutumpangi melaju jauh
dan semakin menjauh, membuat mataku tak lagi mampu menangkap bayangan Catty yang dari tadi memperhatikan aku menjauh darinya.
***
Dua tahun kemudian…
Nana*, ini ada surat untuk ite*. Tadi ada seseorang yang mengantarnya kemari. Mama
menyerahkan surat itu kepadaku segera setelah aku melepaskan pakaian kerjaku.
“Dari siapa ma?” tanayaku. “Tidak tertera nama pengirimnya, nana”, sahut mama yang berlalu pergi
menuju ke dapur. Penasaran datang mengusik rasa. Perlahan amplop itu kubuka.
“Hai,
kak Ian apa kabar? Sudah lama tak bersua.
Sebelumnya
aku minta maaf, mungkin kedatangan surat ini mengganggu kak Ian. Aku rela
dimarah asalkan surat ini sampai ke tangan kak Ian. Oh ya kak Ian, terimakasih untuk segala
pengorbananmu. Kalau bukan karena dirimu, aku pasti akan terus terkungkung
dalam dunia yang dibanjiri kebencian. Kehadiranmu dalam hidupku memberikan
sebuah pengharapan akan kehidupan yang sama sekali baru. Aku telah tampil
sebagai pemenang. Kak, kehadiranmu pula membuatku jatuh. Aku terjatuh dalam dekapan
cinta. Aku jatuh
cinta sama kaka. Rasa ini memacuku tuk mengirim sepucuk surat ini
kepada kaka.
Jiwaku menjerit tatkala
aku memikirkan untuk berpikir tidak memikirkanmu. Kehadiranmu menghadirkan
ketenangan tersendiri dalam jiwaku. Keping-keping wajahmu masih
jelas membekas dalam ingatanku. Semua kenanganku saat bersamamu telah
terbingkai indah dalam jiwa ini. Jiwaku
tenteram bersamamu. Maafkan perempuan ini yang terlalu polos
mengungkapkan semuanya ini.
Kusadari aku tak pantas
untukmu. Aku hanyalah anak ayam yang ditinggalkan induknya. Sudahlah, abaikan
gadis gila ini, yang tergila-gila karena dirimu. Aku hanya ingin kaka
mengetahui yang sebenarnya tentang perasaanku. Meski rasa ini tak sampai. Oh ya kak, kalung itu adalah
identitas diriku, kalung itu melingkar di leherku saat aku masih bayi. Aku memberikannya kepada kaka
karena aku yakin dalam kaka aku akan menemukan lebih banyak pengharapan dan
lebih dari itu engkaulah identitasku. Maaf kak, aku telah menggangumu.”
Yang mencintaimu,
Catty
Kedatangan surat ini mencungkil pilu di hatiku.
Aku menyadari hatiku masih tertinggal di
sana,
di dalam diri Catty. Kebersamaan disaat itu menumbuhkan benih cinta dalam
diriku. Benih cinta itu tumbuh bukan karena biasa bersama, tetapi karena ada
sesuatu dalam dirinya yang mengait sesuatu dalam diriku. ‘C-A-T-A-L-Y-A’. Aku terkejut ketika melihat tulisan yang terukir pada
kalung itu. Sama seperti kalung pada bayi mama Helena yang hilang
20 tahun yang silam.
Karena kalung itu,
mimpi
yang didamba kedua insan
yang berbalut rindu kini telah menjadi nyata. Luapan syukur
terungkap lewat air mata tatkala mulut tak lagi mampu berkata. Misteri yang
terselubung dalam peristiawa masa silam, kini terungkap dan indah pada
waktunya. Cinta telah mempertemukan mama Helena dan Catty. Setinggi apapun tembok pemisah,
cinta akan mampu melampauinya. Karena cinta melampaui segalanya. Hal ini tidak terdaftar dalam rencanaku. Tujuanku hanyalah mengejar
cita-cita. Tak kusangka Catty
pun menjadi bagian dari prioritas. Inilah sebuah perjalanan tanpa skenario.
***
“Yah, kenapa ayah selalu bersedih ketika melihat foto
perempuan itu?” Tiba-tiba aku dikagetkan oleh Catryn putri tunggalku. “Tidak,
ayah tidak bersedih,” sahutku mengelak. “Ayo! ayah antar Catryn ke sekolah, nanti di mobil baru
ayah cerita tentang perempuan di foto itu.” Lanjutku. “Perempuan itu siapa
yah?” “Nama perempuan itu Catalya. Dia meninggal ketika melahirkanmu.” Kataku
dengan suara berat menahan tangis. Sedang Catryn hanya diam membisu tanpa kata.
Sementara kedua pipinya mengkilap tersapu air mata. “Ibumu bagaikan mawar yang
gugur di musim semi. Karena ia pergi ketika sebuah keluarga baru mulai bersemi.”
*Nana:panggilan kepada
anak laki-laki dalam bahasa Manggarai.
*Ite:sapaan sopan yang artinya
‘engkau’ dalam bahasa Manggarai.