YESUS KRISTUS PENYELAMAT UNIVERSAL
(Analisis Eksegetis Atas Teks
Markus 7:24-30)
Pontianus Tamba
Abstraction
The salvation of
human being is the free will of God. God freely offer his salvation to all the
human being and human being must repons the revelation og God’s salvation by
faith because faith is the real expression of human being in responding God’s
salvation. The Cureneness of the daughter of Siro Phoenician woman is one of
all the sign shich shows that Jesus Christ came to save human being. Jesus is
the fulfillment og God’s promises to Israel but Israel rejects Him. The
rejection of Israel made Jesus open the door of salvation that was closed by
Israel as the chosen people for all the nations. The action shows the
universality of Christ; Jesus has as big authority upon man and all the whole
world even the devils are afraid to Him, God shows His love to all man.
Key
Words : Yesus Kristus, Universalitas Keselamatan, Penyembuhan, Perempuan Siro
Fenisia.
Pengantar
Perjuangan untuk mempertahankan
iman dalam dunia dewasa ini bukan hal yang mudah untuk dijalankan. Berbagai
tantangan hadir sebagai penghalang yang dapat menciutkan nyali setiap orang
beriman. Tantangan itu hanya datang dari sesama manusia yang berbeda keyakinan
tetapi juga dari pertumbuhan dan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan
yang kian canggih. Atas nama iman banyak orang dengan mudah menghancurkan dan
membunuh sesamanya hanya untuk membuktikan bahwa iman yang mereka anut lebih
pantas dan lebih layak dipercaya. Akan tetapi penilaian tentang siapa yang
benar dan siapa yang salah sesungguhnya bukanlah tugas manusia. Jika kita
mengerti sungguh makna keberimanan kita maka kita tidak akan mudah menghakimi
sesama. Iman merupakan sesuatu yang amat pribadi. Suatu tanggapan positif dari
setiap individu terhadap tawaran keselamatan yang ditawarkan oleh Allah. Maka
penilaian tentang iman yang paling benar dan paling layak adalah hak prerogatif
Allah. Sebagai manusia kita hanya diminta untuk terus berjuang menata hidup
kita agar sesuai dengan jalan yang diajarkan dan dikehendaki Allah. Sebuah
jalan damai yang melaluinya kita temukan kebahagiaan sebagai mahkluk beragama
tanpa harus saling menyingkirkan satu sama lain.
Gambaran
Umum Tentang Universalitas Keselamatan Dalam Kitab Suci
Penyembuhan
Sebelum Perjanjian Baru
Kisah penyembuhan selalu
mengandaikan adanya penyakit atau penderitaan yang dialami oleh seseorang. Ada
banyak penyakit-penyakit yang terdapat dalam Alkitab Perjanjian Lama. Sebagian
dari penyakit itu sulit untuk diidentifikasi dengan nama-nama modern. Dalam
tradisi bangsa Israel penyakit dilihat sebagai suatu malapetaka atau kutukan
yang ditimpakan Allah kepada manusia (2 Sam 24). Orang-orang yang menderita
sakit dilihat sebagai pendosa. Dalam kitab Imamat khususnya pada bab 11-16
termuat banyak aturan mengenai pola hidup bangsa Israel. Di sana dibicarakan
khsusus mengenai haram dan halal, hal-hal yang menajiskan dan upacara-upacara
yang mentahirkan orang najis. Setelah upacara pentahiran selesai dilakukan baru
dipersembahkan upacara untuk ”hari
perdamaian”, yaitu upacara tahunan untuk mentahirkan seluruh umat.
Iman memiliki peran penting dalam
menentukan seseorang disebut najis atau tidak. Setiap orang yang menderita
suatu penyakit harus menunjukkan dirinya kepada imam. Imam bertugas memeriksa
penyakit yang diderita orang tersebut. Jika ia menderita penyakit kusta maka
akan dikatakan najis oleh sang imam, sedangkan jika hanya menderita panu biasa
hanya perlu dikurung selama 7 hari. Pada hari ketujuh imam memeriksa kembali
penyakitnya; jika panu itu hilang maka ia dibebaskan. Akan tetapi jika panu
tersebut belum hilang maka waktu kurungan ditambah tujuh hari lagi. Demikian
seterusnya sampai ia menjadi sembuh (Kel. 13). Sedangkan para penderita kusta
biasanya dikucilkan dari kehidupan bersama, dan setiap kali ia berjumpa dengan
orang ia harus meneriakkan kata “najis” agar
orang-orang yang lewat tidak mendekatinya sehingga mereka tidak tercemar. Imam
juga berwenang menyelenggarakan upacara pentahiran dan upacara pemulihan
sedangkan imam besar berperan semata untuk mengadakan upacara pentahiran dan
pemulihan bagi seluruh umat pada hari raya perdamaian. Oleh
karena itu setiap kali melakukan mukjizat penyembuhan Yesus meminta orang-orang
yang disembuhkannya itu terlebih dahulu menunjukkan dirinya kepada imam dan
mempersembahkan korban pentahiran.
Selama imam, nabi juga memiliki
peranan penting bagi kehidupan raligius bangsa Israel. Nabi adalah tangan kanan
Allah. Melalui para nabi Allah menyampaikann pesannya kepada umat Israel.
Kata-kata nabi adalah kata Allah. Dengan demikian penolakan terhadap para nabi
juga merupakan penolakan terhadap Allah.
Tugas para nabi adalah menyampaikan
pesan Allah kepada para raja (2 Sam. 7:2-17; 1 Taw 17:2-15), memperingatkan
para raja jika tindakan mereka menyimpang dari jalan Allah (2 Sam 12:1-15; 1
Raj. 17:17-24, 21:17-29; 2 Raj. 1:3-16), mengurapi raja atau nabi
menggantikannya (1Raj 28-45; 1Raj 19:16). Berkaitan dengan tugas menyembuhkan
orang-orang sakit, nabi bisa menjadi pengantara. Seorang nabi akan mendoakan
orang-orang yang datang kepadanya meminta penyembuhan. Dalam Perjanjian Lama
kita menyaksikan bagaimana peran nabi bagi proses penyembuhan orang sakit. Misalnya,
Namaan orang Syria yang disembuhkan setelah mendengar perintah Elisa untuk
mandi tujuh kali di sungai Yordan (2Raj. 5; 4:27), Elia yang menghidupkan anak
seorang janda (1 Raj 17:2-6).
Penyembuhan
dalam Perjanjian Baru
Dalam kitab
Perjanjian Baru kita menyaksikan banyaknya terjadi penyembuhan. Ada dua
kategori penyembuhan dalam Perjanjian Baru yakni penyembuhan fisik dan
penyembuhan rohaniah. Penyembuhan fisik adalah suatu keadaan di mana seseorang
dibebaskan dari sakit yang menyebabkan penderitaan baginya secara fisik
sehingga menyulitkan dia untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya secara normal.
Contoh konkret dari penyakit fisik adalah kusta, tuli, bisu dan lain-lain.
Sedangkan penyembuhan rohani adalah berkaitan dengan sakit-sakit yang tak kasat
mata. Dalam Perjanjian Baru penyembuhan ini dihubungkan dengan pembebasan dan
pengampunan bagi orang-orang berdosa. Seperti Maria Magdalena, Lewi, Zakheus,
dan perempuan Samaria yang dipulihkan dari keadaan mereka yang penuh dosa.
Jika
kita meneliti struktur Injil, kita akan menemukan bahwa setengah bagian dari
Injil merupakan sebuah kombinasi dari perbuatan-perbuatan ajaib Yesus yakni
mukjizat yang menunjukkan karya penyembuhan dan dominasinya atas alam (Mat.
8:16, 9:34, 10:1; Luk 17:17; Mat 12:15; 15:30; Mark 1:34; Mat 8:26; Mark 4:39;
Luk. 8:24) dan juga pengajaran-Nya. Bagian berikutnya berisikan konfrontasi
antara Yesus dan orang-orang Farisi. Dalam Markus 1:22 kita menemukan Yesus
yang mengajar dengan “exousia”, “kuasa”
atau “otoritas.”
Inilah yang membedakan pengajaran-Nya dengan para ahli taurat lainnya. Yesus
menggunakan otoritas pribadi. Karena formula yang digunakan Yesus sangat
berbeda dengan digunakan para nabi. Dalam setiap penyembuhan Yesus selalu
mengatakan “Aku berkata kepadamu”. Hal
ini menandai kuasa yang dimiliki-Nya sebagai Allah. Akan tetapi hal ini
menimbulkan permasalahan di antara para ahli taurat. Tindakan Yesus yang
demikian justru dinilai sebagai hujatan terhadap kemahakuasaan Allah, sehingga
mereka berusaha untuk mencari cara untuk membunuh Yesus. Akan tetapi mereka
kesulitan karena Yesus memiliki banyak pengikut, yang selalu menyertai-Nya ke
mana pun Ia pergi.
Oleh
penulis Perjanjian Baru kisah-kisah penyembuhan dihubungkan dengan karya
penyelamatan. Penyembuhan adalah salah satu bagian dari misi Kerajaan Allah
yang dibawa Yesus.
Hal ini sekaligus menggenapi apa yang telah diramalkan nabi Yesaya, mengenai
pembebasan bagi orang-orang buta dan tuli (Yes. 29:18). Kisah-kisah penyembuhan
juga menegaskan bahwa Kerajaan Allah sesungguhnya sudah ada di tengah-tengah
manusia dengan kedatangan Yesus dan Yesus adalah Kerajaan Allah itu sendiri.
Penerimaan akan Yesus mengandaikan terwujudnya Kerajaan Allah.
Perempuan
sebelum Perjanjian Baru
Dalam bahasa
Ibrani perempuan adalah “ishshah” yang
merupakan lawan dari kata ish yaitu
pria atau laki-laki. Perempuan dalam hal ini ditempatkan sebagai posisi atau
lawan dari laki. Kata “ishshah sendiri
digunakan untuk perempuan pada umumnya (a
woman), perempuan yang sudah menikah (a
woman married to man) dan juga untuk binatang yang berjenis kelamin betina
(famale).
Penciptaan perempuan bertujuan untuk membantu adam. Hal ini dilakukan Allah
pada hari keenam bersamaan dengan penempatan Adam di Surga. Adam adalah ciptaan
pertama dan kemudian Hawa (1 Tim 2:13), ia (Hawa) diciptakan dari laki-laki,
dan untuk laki-laki (1 Kor 11:8,9), semua bertujuan untuk kerendahan hati,
kesopanan, diam, dan tunduk agar istri
tunduk pada suami mereka sendiri. Laki-laki diciptakan sebagai yang terakhir
dari segala mahluk hidup lainnya sebagai gambaran kemuliaan Allah, sedangkan
Hawa yang diciptakan setelah Adam, bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan Allah
(laki-laki) (1Kor 11:7). Jika laki-laki adalah kepala, dia adalah mahkota,
mahkota suaminya. Jika pria itu debu halus, maka perempuan debu ganda halus.
Dalam
tradisi Yahudi, perempuan tidak hanya kuasa apa pun dan juga tidak dapat
membuat keputusan apa pun. Tugas perempuan adalah mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Perzinahan bagi seorang perempuan adalah suatu pelanggaran berat, yang akan
diancam dengan hukuman mati menurut hukum yang berlaku (Im. 20:10). Perempuan
tidak mempunyai hak milik. Pada waktu tertentu mereka ditetapkan sebagai najis,
misalnya pada waktu haid dan masa setelah melahirkan (panjang masa kenajisan
itu akan bertambah apabila yang dilahirkan anak perempuan).
Dalam
kehidupan perkawinan seorang istri yang
mandul harus mengizinkan suaminya untuk mengambil istri muda, agar bisa
mendapat ahli waris dan penerus keluarga. Istri pertama tetaplah menjadi istri
utama sedangkan istri yang lain hanya dianggap sebagai budak (Kej. 18:9-10;
10:1-7; Ul. 12:18, 15, 20, 16:14; 1Sam. 1:1-8; Hak 20:28). Berangkat dari
kenyataan ini kemudiaan lahir adat yang mengatur bahwa seorang laki-laki boleh
memperistri beberapa perempuan secara serentak. Tetapi hanya orang-orang
tertentu yang dapat melakukan ini karena seorang suami harus mampu membiayai
semua istri-istrinya. Sejak diperistri seorang perempuan menjadi anggota penuh
keluarga suaminya. Tugas seorang istri adalah memberi nama kepada anak-anaknya
dan juga mendidik anak-anaknya pada waktu kecil. Seluruh pendidikan anak
diserahkan kepada ibu. Sedangkan seorang ayah hanya mendidik anak laki-laki
yang sudah besar.
Akan
tetapi dibandingkan dengan perempuan bangsa Timur lainnya perempuan Yahudi
diperlakukan sedikit lebih baik. Mereka tidak dikucilkan dari upacara-upacara
peribadatan (Ul. 16:13-14). Perempuan harus dihargai sebagai orang tua, sama
seperti laki-laki (Kel. 20:12). Mereka bahkan bisa tampil di hadapan publik
tanpa harus menggunakan cadar seperti perempuan-perempuan Timur Tengah pada
umumnya. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kita dapat menyaksikan ada
perempuan-perempuan yang tangguh yang memiliki peran begitu besar dalam
kehidupan bermasyarakat. Misalnya: Miryam dan Debora merupakan
perempuan-perempuan bijaksana yang turut mengambil bagian dalam perang bahkan
menjadi pemimpin (2Sam 20:16-22), ratu Izabel yang menggunakan kuasanya (1Raj.
21:7), Hulda yang menjadi penerjemah kitab Ulangan bagi raja Yosia (2Raj.
22:14-20), ada juga Yudith seorang janda yang berhasil membebaskan Israel dari
serangan bangsa Asyur dengan memenggal kepala Holofernes (Ydt. 13:1-20) serta
Ester yang dengan kecantikannya berhasil meluluhkan hati raja Ahasyweros (Est.
2:1-18).
Perempuan
dalam Perjanjian Baru
Kata
perempuan dalam terjemahan LXX adalah gunh,
gune (gynѐ) berarti “perempuan.”
Pengertian dari kata ini merujuk pada perempuan pada umumnya, baik yang
perasan, yang sudah menikah atau untuk para janda serta perempuan yang sudah
bertunangan. Dalam teks asli Yesus memanggil ibunya dengan sebutan “ “perempuan.
Terjemahan Inggris menggunakan kata “Woman” yang berarti perempuan, merujuk pada
jenis kelamin sebagai perempuan. Akan tetapi dalam Kitab Suci terjemahan bahasa
kata “Perempuan” sendiri mendapat
penghalusan karena dinilai kasar dan tidak sopan. Sesungguhnya penggilan ini
tidak berarti bahwa Yesus merendahkan martabat perempuan. Tetapi Yesus mau
menegaskan identitas mereka yang terkungkung oleh diskriminasi sosial dalam
masyarakat. Panggilan ini merupakan kata yang lazim digunakan dalam tradisi
Yahudi.
Dalam
kitab-kitab Injil tidak ada petunjuk bahwa Yesus dalam pengajaran dan
perbuatan-perbuatan-Nya bertindak diskriminatif terhadap perempuan. Ia tidak
menunjukkan sikap laki-laki yang berprasangka terhadap perempuan. Sebutan Anak
Allah untuk Yesus merupakan suatu pengakuan teologis akan statusnya dihadapan
Allah dari pada pengakuan kelelakian-Nya. Kelahiran Yesus justru memberi peran
penting kepada Maria.
Bahkan
dalam karya-Nya, Ia banyak melibatkan perempuan dan banyak tindakannya yang
dilakukan-Nya berhubungan dengan perempuan. Hal itu dapat dilihat dalam
tindakan-Nya membangkitkan putra seorang janda di Nain (Luk. 7:11-17), Yesus
diurapi perempuan berdosa (Lukas 7:36-50), menyembuhkan seoran perempuan yang
sakit pendarahan (Mrk. 5:25-34), berbicara dengan perempuan Samaria (Yoh.
4:1-42). Apa yang dilakukan Yesus ini selalu menjadi hal yang tidak lazim dalam
masyarakat Yahudi. Ia bergerak mendobrak tradisi yang terlalu mendewakan hukum
sehingga lupa terhadap keselamatan manusia. Bagi Yesus kemanusiaan itu lebih
penting dari pada hukum.
Yesus
juga mempunyai kelompok murid-murid perempan di sekitar-Nya. Para perempuan ini
telah mengikuti dan melayani-Nya sejak dari Galilea. Mereka bahkan boleh
dikatakan murid yang paling setia. Mereka mengikuti perjalanan Yesus hingga
sengsara dan kematian-Nya di salib (bdk. Mrk 15:40, 41, 47). Melalui mereka
Yesus memberikan kabar pengurtusan untuk diteruskan kepada para murid lainnya
(16:1-8).
Perempuan
Siro Fenisia
Perikop Markus
7:24-30, menceritakan tentang perjalanan Yesus ke wilayah non Yahudi. Yesus
pergi ke wilayah Tirus dan Sidon. Tempat berjarak sekitar 40 mil dari Nazareth
di pantai laut Mediterania di provinsi Fenisia yang merupakan bagian dari
Syria.
Fenisia terletak di pesisir pantai, merentang ke utara dan Karmel.
Sesungguhnya, seperti dikatakan Yosefus, Fenisia mengitari Galilea. Tirus
berjarak sekitar 40 mil di barat laut Kapernaun. Nama Tirus sendir berarti
“batu karang”. Asal usul nama ini adalah karena wilayah ini terdapat dua batu
karang besar yang disatukan oleh sebuah bukit sepanjang tiga ribu kaki. Pada
zaman itu Tirus merupakan salah satu pelabuhan alam yang besar di dunia. Selain
itu batu karang ini juga berfungsi sebagai benteng pertahanan.
Yesus
berusaha agar kedatangan-Nya ke wilayah ini tidak diketahui orang. Ia datang
secara diam-diam. Akan tetapi seorang perempuang yang anaknya kerasukan roh
jahat mengetahui kedatangan-Nya. Perempuan itu tersungkur di kaki Yesus. Oleh
pengInjil Markus perempuan ini diidentifikasi sebagai seorang Yunani, bangsa
Siro Fenisia (Mrk. 7:27). Sedangkan Matius mengidentifikasinya sebagai
perempuan Kanaan (Mat. 15). Dalam Perjanjian Lama wilayah ini merupakan bagian
dari tanah terjanji dan yang mendiami wilayah ini adalah suku Asyer. Tidak
dijelaskan mengapa kemudian wilayah ini menjadi tempat orang-orang non Yahudi.
Sebagaimana
bangsa Israel, orang-orang Yunani pun menganggap kaum perempuan sebagai
masyarakat kelas dua. Mereka tidak diberi tempat yang layak dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Akan tetapi Yesus memberi tanggapan yang berbeda. Meskipun
Yesus sempat membandingkan perempuan ini dengan “anjing”, akan tetapi pada akhirnya ia pun mengabulkan permohonan
sang perempuan. Sikap Yesus yang terkesan mendiskriminasi ini merupakan suatu
ujian atau cobaan bagi iman sang perempuan.
Perjalanan
Yesus ke wilayah ini merupakan sebuah kesaksian bahwa ia datang untuk semua
orang. Yahudi dan non-Yahudi.
Dengan ini ia menunjukkan sesungguhnya keselamatan Allah tidak lagi bersifat
ekslusif. Penerimaan akan diri-Nya sebagai Allah adalah suatu keterbukaan
manusia untuk keselamatan yang dibawa-Nya. Injil mengisahkan bahwa orang-orang
yang menerima Yesus dengan tangan terbuka adalah orang-orang berdosa dan juga
orang non-Yahudi.
Bahkan pengakuan Petrus tentang keMesiasan Yesus pun terjadi di luar wilayah
Yahudi (16:16; Mrk. 8:29; Luk. 9:20; Yoh. 11:27)
Pemahaman
Tentang Keselamatan Sebelum Perjanjian Baru
Dalam pengertian
Yunani, gagasan tentang keselamatan (sõzo)
juga sering dipakai oleh orang Yahudi sebagai sumber yang merupakan suatu
bentuk pengalaman mendasar bahwa pengalaman keselamatan itu sendiri di artikan
sebagai suatu situasi di mana seseorang dibebaskan dari bahaya. Secara alamiah
kegiatan menyelamatkan memuat dalam dirinya perlindungan, pembebasan,
penebusan, menyembuhkan dan menyehatkan, kemenangan, dan hidup dalam damai.
Dalam
Perjanjian Lama konsep keselamatan selalu dihubungkan sebagai sebuah pengalaman
religius di mana pengalaman diselamatkan selalu datang dan berasal dari Allah.
Ada dua hal mendasar yang menghubungkan konsep keselamatan dalam Perjanjian
Lama yaitu pengalaman sejarah dan perjanjian eskatologis.
Dalam pengalaman sejarah, pengalaman bangsa Israel yang dibebaskan dari
pembuangan dan penindasan menjadi salah satu bukti nyata bahwa Allah-lah yang
berkarya untuk menyelamatkan umat-Nya. Hal ini nyata terjadi ketika Allah
mengutus seorang pemimpin ke tengah-tengah mereka untuk meraih kemerdekaan
secara penuh.
Dalam
Perjanjian Lama konsep keselamatan juga merupakan dasar iman dan teologi. Sama
halnya dengan term-term teologi lainnya, keselamatan (salvation) memiliki arti yang sekular tetapi Perjanjian Lama lebih
sering menggunakannya dalam arti yang lebih sakral atau religius.
Konsep lain yang juga digunakan dalam Perjanjian Lama untuk menjelaskan kata
keselamatan ialah penebusan (redemption).
Kata penebusan ini berasal dari kata bahasa Latin yakni “redemptio” yang sepadan dengan kata Yunani ”apolytrosis” dari kata “lytron” yang artinya “sarana pembebasan
atau tebuasan”. Penebusan dalam pengertian ini mengacu pada pemahaman teologi
kristiani yang menyata dalam diri Yesus Kristus sebagai Sang Penebus dan Penyelamat.
Secara
garis besar konsep keselamatan dalam Perjanjian Lama dibagi dalam dua bagian
besar yaitu: Pertama, keselamatan
Allah dalam sejarah, dan janji akan hidup eskatologis. Kedua, keselamatan Allah dalam doa bangsa Israel; di mana pada
bagian ini paham keselamatan masih dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah dan
ramalan nabi, doa bangsa Israel memberi perhatian yang tinggi terhadap tema
keselamatan. Doa bangsa Israel ini umumnya berisi: kepastian iman, yang mana bangsa Israel
mengakui bahwa keselamatan merupakan pemberian diri Allah, keselamatan itu
hanya datang dari Yahweh (bdk. Mzm 37:39), Allah sendiri adalah keselamatan
(Mzm. 27:1. 35:3. 62:7). Pernyatan ini tentunya muncul karena berbagai bentuk
pengalaman iman diselamatkan ketika berseru kepada Allah (Mzm. 107:13; 19:28.
18:20). Permohonan kepada Allah
penyelamat; pemohon meminta kepada Allah sebagai penyelamat (Sir. 51:1),
penyelamat bagi orang yang hilang harapan (Ydt. 9:11), atau Allah Penyelamat
(Mzm. 51:16; 79:9). Isi doa bangsa Israel terdapat dalam kalimat “Yahwe
Penyelamat” (Mzm 118:25); selamatkanlah aku dan aku akan diselamatkan (Yer.
17:14). Tak dapat disangkal, pada bagian ini umat Israel juga meyakini bahwa
Yahwe menjawab doa mereka yang dimanifestasikan dalam ramalan keselamatan oleh
para nabi (bdk. Mzm 12:2,6), selain permohonan pribadi, yang berharap akan
keselamatan eskatologis yang dijanjikan (Mzm. 14:7, 18:3. 78:20). Konkretnya
terdapat dalam Mazmur 106:47 “Selamatkanlah kami ya Tuhan dan hantarkanlah kami
ke tengah-tengah para bangsa.”
Pemahaman
tentang Keselamatan dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian
Baru penggunaan konsep keselamatan terdapat dalam beberapa varian arti kata.
Dalam bahasa Yunani sendiri untuk menerangkan kata keselamatan digunakan
beberapa kata yakni Sozein (save), Soter (savior), Soteria (salvation).
Dalam penggunannya Soter (savior)
biasanya dipakai untuk penyebutan nama dewa atau dewi (seperti: Zeus, Heracles,
Serapis, dan Isis) dalam kultus dan upacara pemujaan, dan secara khusus kepada
dewa Asklepios sebagai “penyembuh”. Dalam pengertian Yunani Soter dipakai untuk membedakan seseorang
yang mengabdikan dirinya dalam suatu pelayanan publik. Pelayanan inilah yang
akhirnya diidentikkan dengan tugas dan pengabdian yang diemban oleh seorang
raja.
Namun
di dalam Perjanjian Baru (Sinoptik, Yohanes, Surat-Surat Paulus), kata “soter” jarang ditemukan. Vinsen Taylor
mengatakan bahwa penghilangan ini disengaja karena penggunaan kata-kata dalam
bahasa Yunani yang berkaitan dengan kegiatan kultus kerajaan dan misteri
seringkali dibatasi penggunaannya. Sementara kata “sozein” dan “soteria”
banyak digunakan dalam Perjanjian Baru konkretnya dalam praktek kekristenan.
Namun, setelah abab pertama kata “soter”
mulai digunakan lagi dalam agama kristen yang mana “soter” ini maka praktis dikatakan bahwa umat kristen menyadari
bahwa Yesus adalah satu-satunya Sang Penyelamat yang benar dan tak ada yang
lain.
Dalam
Injil Sinoptik kata ”save”
mengartikan bahwa kesembuhan disempurnakan dalam diri Yesus (Mat 9:21; Mrk. 3:4.
5:23, 6:56; Luk. 6:9, 8:36.50; 17:19). Keselamatan pada tempat ini selalu
dihubungkan dengan iman pribadi atau orang yang disembuhkan (Mat 9:22; Mrk
5:34, 10:25; Luk. 8:48, 17:19, 18:24). Keselamatan dari Allah (Bapa) merupakan
dasar iman dalam Perjanjian Baru (Luk 1:47; 1 Tim. 1:1, 2:3, 4:10; Titus 2:10,
3:4; Yudas 1:25) keselamatan adalah pilihan dan inisiatif Ilahi (1 Tes 5:9;
2Tes. 2:13; 2Tim 1:9; Ibr 1:4), keselamatan merupakan anugerah rahmat yang
berasal dari Allah dan bukan semata-mata usaha manusia sendiri (bdk Titus.
3:5), karya rahmatNya (Ef. 2:3; Titus 2:11), dan belaskasihanNya (2 Ptr. 3:15).
Lebih dari pada itu, ditegaskan bahwa keselamatan itu berasal dari Yesus
Kristus.
Dia adalah sumber dan keselamatan itu sendiri (Luk 2:11; Yoh 10:9; Kis 13:23;
Roma 15:11; 16:30: Titus 1:3; 2Ptr 1:1. 11; 3:2. 18:1; 1Yoh 4:14). Yesus adalah
penyelamat juga bagi Gereja sebagai tubuhNya (Ef 5:23). Arti keselamatan “save”
secara eskplisit ditemukan dalam Efesus 5:26. Keselamatan hanya ada dalam Yesus
sendiri (Kis. 4:12; 2:21; Roma 10:13). Yesus adalah perintis dan sumber
keselamatan (Ibr. 2:10; 5;9).
Keselamatan
Yesus adalah keselamatan dari dosa. Dialah yang memberi pertobatan dan
pengampunan dosa (Kis. 5:31). Orang berdosa diartikan dengan “yang hilang”
sehingga Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkannya (Luk. 19:10).
Universalitas
Keselamatan
Pada zaman
Perjanjian Lama sesungguhnya terdapat kisah-kisah penyembuhan yang dilakukan
Allah terhadap orang-orang non Yahudi. Misalnya, Eliaa yang diutus kepada janda
di Sarfat, (1Raj 17:9-10; Luk 4:26). Namaan panglima Aram yang disembuhkan
setelah mengikuti petunjuk Elisa untuk mencelupkan dirinya sebanyak 7 kali di
sungai Yordan (2 Raj. 5; Luk. 4:27). Hal ini menunjukkan keselamatan Allah
sesungguhnya bersifat luas dan terbuka terhadap semua orang.
Yesus
dalam Perjanjian Baru memberi penegasan mengenai hal ini. Dalam pengajarannya
Yesus juga sering menyinggung hal ini. Misalnya perumpamaan-Nya tentang
penggarap kebun anggur (Mat. 22:33; Mrk. 12:1; Luk 20:9). Para penggarap adalah
gambaran orang-orang Yahudi yang mendapat rahmat khusus yakni menjadi benih
tempat persemian Kerajaan Allah. Tindakan Israel membunuh anak dan
melemparkannya keluar tembok merupakan tindakan di mana Israel menolak
keselamatan Allah. Tindakan Israel menutup pintu untuk karya keselamatan; Allah
pada saat bersamaan telah membuka pintu keselamatan bagi bangsa-bangsa lain di
luar Yahudi.
Perikop
Markus 7:24-30 merupakan salah satu dari beberapa mukjizat yang dilakukan Yesus
terhadap orang non Yahudi. Yang menarik dari penyembuhan ini adalah bahwa penyembuhan
ini terjadi di luar wilayah Yahudi. Tentunya ini bukan merupakan suatu
kebetulan. Perjalanan ke Tirus dimulai setelah Yesus mengalami penolakan di
Nazareth, kampung halamannya. Jadi konsep universalitas keselamatan berarti
satu keadaan damai dan sejahtera yang mencakup dan menjangkau seluruh semesta.
Penutup
Karya
keselamatan Allah kepada manusia yang terjadi melalui pengantaraan Yesus
Kristus merupakan suatu kemurahan hati Allah kepada manusia. Akan tetapi kita
tidak bisa memungkiri bahwa karya keselamatan yang dibawa oleh Yesus
pertama-tama tidak dtunjukkan kepada seluruh bangsa manusia. Tujuan kedatangan
Yesus yang pertama adalah untuk membawa kembali Israel yang telah menyimpang
kembali kepada Allah. Akan tetapi Israek menolak kehadiran Yesus sebagai Mesias
utusan Allah.
Penolakan
Israel terhadap Yesus pada saat yang sama telah membuka pintu keselamatan bagi
bangsa-bangsa non Yahudi. Meskipun demikian kita tidak bisa menyimpulkan bahwa
jika Israel menerima Yesus maka bangsa-bangsa lain selain Israel tidak dapat
diselamatkan. Yesus adalah figur yang membawa keselamatan universal bagi
seluruh umat manusia. Hal ini ditandai dengan banyak peristiwa yang menyertai
kelahiran-Nya. Kelahiran Yesus di antara gembala-gembala miskin Betlehem dan
disambut dengan hangat oleh raja-raja Zoroastrian dari Timur membuktikan bahwa
Yesus datang untuk semua bangsa. Ia datang untuk setiap orang yang mau membuka
hati terhadap keselamatan yang dibawa-Nya. Penerimaan akan Yesus dengan
sendirinya mendatangkan keselamatan bagi orang-orang yang menyambut-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Browning, W.R.F, Kamus
Alkitab, dalam Liem Khiem
Yang dan Bambang Subandrijo, Jakarta:
Gunung Mulia, 2009.
Bible Works 7
Groenen, C, Pengantar
ke dalam Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Libronix Digital
Library System
Marsunu,Y.M. Seto, Markus
Injil Yesus Kristus-Anak Allah, Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Mckenzie, J.L., Dictionary
Of The Bible., London: Geofrrey Chapman, 1996.
Mehan, Bridget Mary
SSFC, Kuasa Penyembuhan Doa, Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
Perkins, Pheme, New
Testament Introduction, Mumbai: St. Pauls, 1997.
Xavier Leon-Dufour, Dictionary
of Biblical Theology
William Baclay, The
Daily Study, The Gospel of Mark,
(Bangalore: Theologi Publication).
Zanchettin, Leo (ed), Mark.
A devotional Commentary, Meditations on the Gospel According to St. Mark, Mumbai: St Pauls, 2000.