Friday, November 8, 2019

"Pandangan Filsafat Cina tentang Tuhan, Manusia, Ekologi dan Kerja"

Pandangan Filsafat Cina tentang Tuhan, Manusia, Ekologi dan Alam adalah sebagai berikut:
1)         Tuhan
            Di dalam kitab tentang puisi, terdapat beberapa syair yang menunjukkan pemahaman mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Thien dan Shang Ti antara lain:

            “kekuasaan dan bimbingan dari Tuhan Yang Maha Esa sangat luas dan dalam, hal itu di luar  jangkauan suara, sentuhan dan penciuman”. “Oh betapa besarnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang memerintah dan membimbing umat manusia”, dilihat tidak sampai, didengar tidak terdengar namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia”.[1]

            Thien menciptakan umat manusia dan melengkapinya dengan sifat yang saleh dan luas, dengan fungsi-fungsi dari badan, kekuatan dan pikiran serta tugas-tugas mereka untuk dijalankan. Selain konsep Tuhan yang banyak dibicarakan dalam kitab mengenai puisi, pandangan theistik lainnya dapat dijumpai dalam kita Lun Yu. Ujaran-ujaran Konghucu yang berkaitan dengan konsep ke-Tuhan-an adalah; “dia yang telah berdosa kepada Thien, berdoapun tidak bermanfaat”, “aku tidak menggerutu kepada Thien, tidak pula menyesali manusia. Aku hanya belajar dari tempat terendah ini, terus maju menuju tempat yang tinggi, Thian-lah yang mengenal diriku.”
            Keberadaan Thien dapat dimengerti sebagai causa prima atas segala sesuatu yang ada. Tidak ada keberadaan barang-barang tanpa keberadaan Thien. Thien juga merupakan sumber kebijaksanaan sekaligus merupakan sumber pengetahuan manusia. Thien adalah ens absolutum, causa prima in causata artinya yang ada tanpa diadakan atau adanya tidak disebabkan oleh apapun dan siapapun. Segala sesuatu yang ada di dunia ini bergerak menurut hukum-hukumnya. Dalam pandangan Konfusius pengaturan hukum itu disebut Thian Li (kebenaran yang berasal dari Thiann atau Tuhan yang Maha Esa). Hal ini menegaskan bahwa landasan hukum alam semesta adalah kebenaran. Thian Li bukanlah nama lain dari Thian, tetapi lebih dekat dengan pengertian firman Thian atau hukum-hukum dan pengaturan yang bersumber dari Thian.[2]  Sumber hukum adalah Thian, dan kerena itu hukum-hukum yang ada itu bersifat absolut dan memiliki fungsi yang mengatur tata gerak alam semesta. Taat kepada hukum sama artinya dengan taat kepada Thian, sebaliknya melanggar hukum berarti tidak mentaati Thian.

2)            Manusia
Konsep kemanusiaan atau “Jen” berarti hubungan antara manusia dengan manusia berdasarkan kemanusiaan yang sama. Jen biasa diterjemahkan dengan kemanusiaan yang sempurna, kemurahan hati yang benar, kehendak baik, manusia yang mempunyai hati, empati, dan hubungan antar manusia. Semua kata ini coba mengungkapkan kemanusiaan dalam kepenuhan dan keagungannya. Beberapa arti konkret dari konsep kemanusiaan atau “Jen” diberikan oleh Konfusius kepada murid-muridnya; Tse Kong bertanya: Apakah ada peraturan yang dapat membimbing tindakan manusia selama ia masih hidup? Konfusius menjawab: Peraturan yang dapat membimbing tindakan manusia selama hidupnya adalah cinta. Kemudian Konfusius melanjutkan: Jangan berbuat kepada orang lain apa yang tidak suka orang lain berbuat terhadap dirinya.[3] Sang guru berkata kepada Tse Chang muridnya yang lain; Jen adalah kesanggupan untuk mencapai lima hal di dunia, yaitu: harga diri, rendah hati, taat, tekun, dan baik hati. Jen Huei, murid yang paling dicintai oleh Konfusius bertanya tentang konsep kemanusiaan yang benar dan Konfusius berkata: kemanusiaan yang benar terletak dalam mewujudkan dirimu secara benar dan membaharui perlakuan moral. Jika seseorang walau hanya dalam sehari dapat merealisasikan diri dan membaharui disiplin moral secara lengkap, dunia akan mengikuti dia. Menjadi manusia tergantung dari dirimu sendiri.[4]
Kemudian konsep manusia dibicarakan juga oleh Taoisme. Menurut paham ini manusia pada hakekatnya dilahirkan dalam keadaan suci dan baik. Jalan yang ditempuh untuk memelihara keadaan baik ini adalah manusia harus hidup sesuai dengan jalan Taoisme. Jalan Taoisme adalah suatu cara untuk menuju suatu perbuatan budi yang baik: berkelakuan ramah-tamah, sopan-santun, harus cerdas, harus jujur dan harus adil. Apa yang dianjurkan Taoisme juga ada pada ajaran Kristen. Kajadian 1, Allah menciptakan manusia segambar dengan rupa Allah, dan apa yang diciptakan adalah sangat baik, tidak ada cacat sedikitpun. Dan Allah juga menuntut manusia hidup dalam kekudusan Allah karena Allah itu kudus. [5]
 Menurut Chuang Chu manusia itu “eksternal”. Maksudnya digambarkan secara parabol, sebagai berikut: seekor kuda itu harus memiliki empat kaki. Itu adalah internal (kodrat). Seutas tali yang dipasang pada leher kuda adalah “eksternal”. Maksudnya adalah unsur kedagingan manusia. Manusia dibagi dalam dua bagian yakni “manusia” dan kodrat. Manusia berhubungan dengan kedagingan dan kelemahan manusia. Sebagaimana dikomentari Chuang Chu, mengikuti kodrat, memilihara sumber semua kebaikan dan kebahagiaan, sementara mengikuti manusia adalah sumber semua kesakitan dan kejahatan.[6]
Ada empat hal yang tidak mengijinkan manusia untuk memperoleh kedamaian. Pertama adalah umur panjang. Kedua adalah reputasi. Ketiga adalah pangkat dan keempat adalah kekayaan. Mereka yang memiliki keempat hal ini takut akan setan, manusia, kekuasaan dan hukuman. Hidup mereka dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya eksternal. Namun sebaliknya mereka yang mengiktui martabat manusia, tidak akan mengharapkan umur panjang. Mereka yang tidak menemukan kehormatan, tidak akan mengharapkan reputasi. Mereka yang tidak mengingingkan kekuasaan, tidak akan mengharapkan pangkat. Sistem regulasi hak-hak eksternal akan bertahan secara sementara, tetapi itu tidak serasi dengan hati manusia.[7]
Lalu, manusia ideal dalam bahasa Cina disebut sebagai Chun Tzu. Chun Tzu ini diterjemahkan dengan kemanusiaan yang benar “manusia sempurna” dan “kemanusiaan yang terbaik”. Chun Tzu dalam etika, benar-benar menunjukkan perilaku yang keluar dari hati sanubarinya yang terdalam dan jujur.[8] Dan bila telah sampai pada tingkat di mana ia merasa menyatu dengan alam semesta dan lingkungannya, maka Chun Tzu pada umumnya menghayati sikap sebagai tuan rumah yang ideal. Bukan apa yang diperoleh dari orang yang datang, melainkan apa yang dapat diperbuat untuk orang tersebut.
Orang Cina yang ideal adalah orang yang menikmati hidup. Ia menikmati hidup karena ia menerima kodrat atau sifat dasarnya dan keadaannya sekarang sebagai yang baik, tanpa menghendaki ia berbeda dari apa adanya. Seseorang akan membatasi aktivitasnya terhadap apa itu kebutuhan dan natura: kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu dan tak pernah dilakukan. Secara natura berarti mengikuti te, bukan usaha kesewenang-wenangan.  Inilah jalan untuk mencapai prinsip hidup yang otentik.
Lao Tzu berkata, cara berbuat adalah berada. Ternyata apa yang dimaksukannya adalah bahwa setiap orang harus menjadi dirinya sendiri, bertindak sesuai kodratnya sendiri.[9]
Syarat pertama untuk mencapai kebahagiaan adalah pengembangan bebas kodrat kita. Kita harus melaksanakan kemampuan kodrat kita secara bebas dan penuh. Kemampuan kita adalah te kita yang datang secara langsung dari Tao.[10]
Lao Tzu mengagumi kepolosan dan kesederhanaan anak-anak kecil dan kelompok para petani. Para petani merupakan lambang orang-orang sederhana yang mudah diatur, tidak membangkang, punya tanggung jawab yang tinggi, tidak korup, dan tidak kikir. Cara hidup para petani ini merupakan jalan yang dapat menghantar manusia pada kedamaian dan harmoni.
3)           3)            Ekologi
Alam merupakan tempat kediaman manusia. Antara alam dan manusia terjalin relasi yang tak terelakan. Manusia dan alam saling membutuhkan dan berintegrasi menciptakan harmoni yang nyata. Alam adalah makrokosmos. Sedangkan manusia adalah mikrokosmos. Kesadaran akan interese makrokosmos dan mikrokosmos diproyeksikan dalam realitas keseimbangan ekologi. Term “ekologi” merupakan kombinasi dua kata Yunani yaitu “Oikos” dan “Logos”. Oikos berarti “rumah” atau “tempat tinggal”. Logos berarti “ilmu”. Dengan demikian ekologi berarti ilmu tentang relasi antara organisme-organisme dengan lingkungannya. Secara literer ekologi berarti studi tentang hidup organisme-organisme.[11]
            Alam bagi orang Cina merupakan sumber inspirasi bagi kaum Taois. Sikap selaras dengan alam berarti selaras dengan Tao sumber segala sesuatu. Selaras dengan Tao berarti menciptakan harmoni dengan diri sendiri dan segala sesuatu.[12] Konsekuensi sikap mengunggulkan agresi digambarkan Lao Tzu, sebagai berikut:

Mereka yang merebut dunia
Dan yang membentuknya menurut keinginan sendiri
Tak pernah menurut pengamatan saya berhasil
Dunia ini ibarat jambangan yang demikian sucinya
Sehingga hanya dengan didekati saja oleh mereka yang tidak suci
Jambangan itu jadi tercemar
Dan di saat mereka mengulurkan tangannya ia lenyap. [13]

Kesatuan dengan lingkungan alam terealisasi, bila manusia memandang alam sebagai sahabatnya. Ketika puncak Everest berhasil didaki, orang barat mengekspresikan keberhasilan ini dengan mengatakan “Everest ditaklukkan!” sedangkan orang Timur yang menganut Taoisme akan berujar “Everest adalah sahabat kami”. Di sini para para penganut Taoisme memperlihatkan keselarasan mereka dengan alam.[14] Kesan ini semakin dipertajam oleh W.E Hocking dalam bukunya “The Coming World Civilization”. Dalam buku ini, ia menceritakan tentang pengalaman pertemuannya dengan seorang tukang kebun tua di sebelah kuil Taois, sebelah utara Hangchow. Dari pertemuan itu, ia menemukan satu ekspresi konkret hubungan mistik dengan alam. Ia melukiskan keindahan pengalamannya itu demikian:

“mata dan tangan tukang kebun itu memancarkan cinta akan tumbuhannya. Bagi tukang kebun itu tanamannya merupakan manifestasi Tao, mengandung prinsip Yin Yang, yang terserap dalam segala sesuatu yang hidup. Kalau ia berbicara tentang tumbuhannya, saya jarang melihat wajah yang begitu ramah manusiawi, memancar rasa persaudaraan dengan sumber hidup yang sedang dipeliharannya. Dengan memelihara dan merawat kebunnya, ia sedang menghayati apa yang disebut Lao Tzu kembali ke akar”.[15]

Inilah pendekatan fundamental dari kaum Taois terhadap alam yang bernuansa ekologis. Pendekatan ini mendorong Joseph Needham berani berkata: “Walaupun Cina terbelakang dalam teori ilmiah, negeri ini sudah lama mengembangkan “suatu filsafat alam yang organis, yang amat dekat dengan apa yang diterima oleh ilmu pengetahuan modern melalui materialisme mekanis selama tiga abad”.[16]
Pendekatan kaum Taois yang bersifat ekologis diwujudnyatakan dalam design kuil-kuil yang tidak mencolok dibandingkan dengan alam sekitarnya. Kuil Taois terletak di bukit-bukit dan dinaungi aneka pepohonan. Inilah suatu pemandangan yang serasi dan membaur dengan lingkungan. Alangkah baiknya bila manusia juga membaur dan bersahaja dengan alam. Realitas ini telah dihayati dengan ini telah dihayati oleh Chuang Tzu, seorang murid Lao Tzu. Sebelum ia meninggal dunia, para pengikutnya meminta izin kepadanya untuk mengadakan upacara pemakaman secara besar-besaran. Tetapi Chuang Tzu menjawab: “Langit dan bumi adalah peti mati saya bagian dalam dan bagian luar. Matahari, bulan dan bintang-bintang adalah kain kafan saya dan seluruh makhluk adalah iringan pengantar jenazah saya”.[17]
Pendekatan Taoisme terhadap alam berbekas pada kesenian Cina. Zaman kebesaran Cina pada abad XVII berlangsung bersamaan dengan pengaruh Tao terhadap perasaan dan saya khayal di Cina. Dalam seni lukis, subyek yang paling diminati adalah alam. Sebelum memegang kuas dan sutera, seorang pelukis akan pergi ke tengah alam, membaurkan diri di dalamnya dan bersatu dengan alam. Kegiatan ini dilaksanakan selama setengah hari atau empat belas tahun sebelum membuat sebuah coretan. Kata Cina untuk melukiskan pemandangan tersebut tersusun dari dua akar kata yaitu gunung dan air. Yang pertama memberi kesan keluasan, kesunyian dan stabilitas. Yang kedua menggambarkan keluwesan, kesabaran dan gerak yang berkesinambungan.[18]
Dimanakah posisi manusia? Posisi manusia dalam keluasan pemandangan, kecil sekali. Karena itu, manusia harus melihat secara cermat dalam satu lukisan kalau ia mau menjumpainnya. Biasannya ia digambarkan sedang mendaki sebuah bukit sambil membawa beban, menunggang seekor kerbau atau mendayung sampan. Manusia kelihatan sedang berjalan, membawa sesuatu, mendaki bukit sekilas tampak indah lewat kabut yang sedang berlalu. Ia tidak perkasa seperti gunung, ia tidak hidup lama seperti pohon cemara. Ia termasuk dalam keseluruhan skema alam sama seperti burung-burung dan awam gemawan. Melalui manusia dan juga segala yang lain mengalirlah Tao dalam geraknya yang ritmis.[19]
Keindahan alam yang natural memotivasi manusia untuk bersikap sederhana dan harmonis dalam batinnya. Jiwa yang dilanda kecemasan merupakan nada-nada fals dalam simponi universal.  Para penganut Taoisme mengarahkan hidup batinnya sedemikian rupa sehingga bersatu dalam nada yang sama dengan musik alam semesta. Inilah maksudnya menjadi senada dengan Tao. [20]
Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terasa begitu pesat. Tidak berlebihan bila para pakar dari berbagai bidang ilmu menyebut abad ini sebagai abad klimaks. Manusia telah mencapai kemajuan dalam daya kreasi dan pola pikirnya untuk menaklukkan alam. Ini merupakan kemajuan yang melampui masa-masa sebelumnnya dan mempertinggi prestise manusia sebagai makhluk yang jaya. Namun ketika manusia mencapai puncak kejayaannya, serentak ia mengalami suatu tilik balik yaitu ketergantungannya yang mutlak pada alam. Malahan ia dituntut untuk menata hidupnya sedemikian rupa, sehingga terjalin keselarasan baru dengan alam sebagai rumah tangganya.
Bila kita merefleksikan secara mendalam, dunia ini sebetulnya sedang dihadapkan pada kenyataan-kenyataan yang mencemaskan. Manusia sebetulnya sedang menghadapi masalah-masalah besar yang tak terelakkan, seperti polusi (polusi udara, tanah, air dan bunyi), limbah industri, pencemaran kawasan pantai dan pengendalian jumlah penduduk. Di samping itu ada pula permasalahan lain yang dihadapi manusia seperti percobaan senjata nuklir dan kimia, penyebaran gas-gas beracun, berkembang biaknya berbagai penyakit, punahnya berbagai jenis satwa langka, gangguan kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara dan perluasan kawasan industri.
Tantangan besar lain yang harus diwaspadai oleh manusia adalah penebangan hutan secara liar. Tindakan ini mengakibatkan hutan kehilangan fungsinya sebagai ekosistem, sumber pendapatan dan makanan bagi manusia, sumber obat-obatan tradisional, sumber air, pengendali erosi dan karbidioksida sebagai bahan pemanas. Alam merupakan bagian integral dan ibu yang memberikan kehidupan bagi manusia. Bila alam dimusnakan, maka manusia turut merusak hidupnya sendiri. Akhir-akhir ini muncul gejala yang memperlihatkan kerinduan manusia untuk bersatu dengan alam. Gejala ini diwujudkan dalam gerakan “back to nature”. Gerakan ini semakin populer dan merupakan koreksi umat manusia atas kesalahannya. Misalnya, dalam dunia medis mulai dikembangkan sistem pengobatan yang menggunakan sumber air panas alami dan obat-obatan tradisional. Selain itu para aktivis lingkungan hidup terus menyuarakan upaya mereformasi lingkungan hidup. Ini membuktikan bahwa manusia masih dan tetap bergantung pada alam. Alam yang bersahabat dengan manusia melapangkan jalan sekaligus mengantisipasi tercitanya harmoni dengan Surga (langit).

4)            Kerja
Ciri yang paling menentukan dari sikap bangsa Tionghoa terhadap dunia sekitarnya adalah komintmen total mereka terhadap kehidupan sebagaimana adanya. Jika perlu maka dengan komitmen esktra, mereka akan berharap dapat menciptakan keadaan dimana anak-anak atau keturunannya dapat memiliki hal-hal baik yang tidak mereka miliki. Peradaban modern mereka didasarkan pada tata nilai yang paling kentara paling kentara materialistis dalam sejarah umat manusia. Kalau mereka melihat kue di langit, mereka segera mulai memperhitungkan bagaimana menurukannya ke meja makan. Sikap terhadap kehidupan ini membuat orang Tionghoa sadar akan fungsi benda-benda. Suasana kebendaan mereka dan kerajinan dan keterampilan mereka sendiri merupakan sumber dan alat kesejahteraan; siasatnya adalah menemukan hubungan kerja di dalam benda-benda dan memanipulasikannya untuk membuat kehidupan lebih baik bagi diri sendiri dan bagi keluarga atau golongan sosial seseorang. [21]
Dengan begitu, dapat kita pahami filosofi orang Cina yang mengatakan bahwa jika kita ingin hebat maka kita harus bekerja. Orang yang sukses adalah orang yang tidak pernah kenal kemalasan. Karena bila kemalasan telah menjadi suatu aktivitas hidup maka orang tidak akan pernah mengenal yang namanya kesuksesan. Maka dari itu kerja adalah salah satu hal penting dalam masyarakat Cina. Sekurang-kurangnya kita dapat melihat bahwa dengan kerja orang Cina dapat menguasai perekonomian dunia.




                [1] Sutradharma T.J Sudarman, Mengalami kehidupan Buddhisme, Konfusiusme Dan Taoisme, (Jakarta: Sunyata, 1998), hlm. 120.

                [2] Dr. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu Di Indonesia, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), hlm. 48. 

                [3] Basis., November XXX-14, 1981, hlm. 424-427.

                [4] Ibid., hlm. 425.

                [5] Hali Daniel Lie., Ying Yang, Hongsui dan Alkitab, (Bandung: Agiamedia, 2001), hlm. 93.

                [6] Fung Yu Lan., A Short History Of Chinese Pholosophy, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), hlm. 105.

                [7]Ibid., hlm. 232. 

                [8] Hali Daniel, Yin Yang, Hongsui dan Alkitab, Op. Cit, hlm. 82.

                [9] Ibid., hlm. 88.

                [10] Ibid., hlm. 150.

                [11] M.Bertille, Religious Life Today : Wasted or Worsted? An Ecological Perspective,(Bangalore: Asian Trading Coporation, 1996), hlm. 1-2.

                [12] Theo Huijbers., Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 101.

                [13] Lao Tzu, Tao Te Ching, (London: Pinguin Classics, 1963), hlm. 87.

                [14] Huston Smith., Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Obor, 1985), hlm. 244.

                [15]  To Thi Ahn, Eastern And Western Cultural Values, Conflict or Harmony, (Manila: East Asian Pastoral Instituation, 1975), hlm. 74

                [16] Huston Smith., Op.Cit., hlm.245

                [17] Ibid.,

                [18] Ibid.,

                [19] To Thi Ahn., Op.Cit., hlm. 102

                [20] Ibid.,


                [21] David Bonavia, Cina dan Masyarakatnya, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987), hlm. 35.