Friday, March 13, 2020

"Ekaristi Sumber Hidup Umat Kristiani"


EKARISTI SEBAGAI SUMBER DAN PUNCAK SPIRITUALITAS HIDUP KRISTIANI DALAM TERANG LUMEN GENTIUM ARTIKEL 11
(SEBUAH TINJAUAN TEOLOGIS-SPIRITUAL)

Oleh

ROBERTUS DARVINO KARNO 

Ekaristi yang merayakan wafat serta kebangkitan Tuhan menyatakan terwujudnya karya keselamatan Allah. Dengan merayakannya umat beriman diajak untuk ikut serta dalam wafat dan kebangkitan Kristus, sehingga mendapatkan keselamatan. Ekaristi dengan demikian adalah sebuah undangan dari Allah bagi manusia untuk ambil bagian dalam rencana keselamatan Allah. Ekaristi itu dirayakan di atas altar dunia oleh Gereja.
Dalam refleksi Lumen Gentium artikel 11 Ekaristi merupakan sumber dan puncak spiritualitas hidup kristiani. Refleksi ini memang sebuah refleski klasik yang mulai berkembang sejak Konsili Vatikan II. Tetapi sesungguhnya selalu ada usaha dari Gereja untuk menjadikan Ekaristi tetap relevan dengan kehidupan dunia modern dewasa ini. Gereja tentunya menyadari perkembangan dunia di era globalisasi ini yang telah menimbulkan berbagai macam perubahan secara drastis bagi kehidupan manusia. Perubahan-perubahan itu sangat mempengaruhi kehidupan manusia secara langsung dan Gereja mesti menjadi nabi yang menyerukan kepada manusia akan bahaya-bahaya yang dapat meghancurkan nilai luhur kehidupan. Penulis prihatin dengan degradasi spiritual dan moral kaum kristiani dewasa ini yang disebabkan oleh oleh arus perkembangan zaman. Dalam refleksi penulis, kondisi ini di satu sisi disebabkan penghayatan Ekaristi yang bersifat artifisial belaka sehingga umat kristiani begitu mudah terjerumus dalam tawaran-tawaran duniawi yang menggiurkan.
Di tengah realitas tersebut penulis ingin menggemakan kembali ajaran Konsili Vatkan II tentang Ekaristi sebagai sumber dan puncak spiritualitas hidup kristiani. Sumber adalah tempat awal keluar dan mengalirnya kekayaan rohani Ekaristi untuk menyiram dan menyuburkan hidup kristiani. Sedangkan puncak adalah tempat tertinggi yang menjadi pokok sekaligus bagian terpenting dari kehidupan kristiani itu sendiri. Maka, Ekaristi adalah perayaan iman yang mengalirkan nilai-nilai spiritual untuk keberlangsungan hidup umat kristiani. Di dalamnya, manusia berjumpa dengan Allah yang dirindukannya melalui pribadi Yesus Kristus yang telah wafat dan bangkit untuk menebus dosa manusia dan dkenangkan kembali dalam Ekaristi suci. Ekaristi sebagai sumber dan puncak spiritualitas hidup kristiani menandaskan bahwa Ekaristi tidak pernah dapat dipisahkan dari seluruh bidang kehidupan kristiani. Hidup sehari-hari memperoleh kekuatann dan dasarnya dari Ekaristi sebagai sumber. Maka pernyataan Ekaristi sebagai sumber dan puncak spiritualitas hidup kristiani juga menunjukkan bahwa Vatikan II ingin menghubungkan Ekaristi dengan seluruh spiritualitas hidup Gereja.
Demikian pun sebaliknya bahwa, spiritualitas hidup kristiani menemukan sumber dan puncaknya pada Ekaristi. Pertama-tama hidup itu adalah penerimaan pribadi Yesus Kristus secara personal. Penerimaan pribadi itu secara intim hanya dapat terjadi di dalam Ekaristi dengan menyambut Tubuh dan Darah Kristus sebagai puncak dari perayaan kita dengan Kristus di dalam Ekaristi. Spitiualitas hidup kristiani adalah partisipasi dari rahmat interiror yang ditampakkan lewat iman, cinta kasih dan harapan serta kebajikan kristiani yang lain. Misteri Kristus itu adalah sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya yang kita kenangkan kembali di dalam Ekaristi.
St. Ignasius dari Antiokhia mengatakan bahwa penghayatan hidup orang-orang kristiani semestinya berpusat dan berpuncak pada persatuan dengan kristus. Baginya kekhasan hidup orang kristen ditandai dengan cara hidup yang mengahayati hari Tuhan, yaitu dengan merayakan dan menghidupi perayaan Ekaristi. Maka, spiritualitas kristiani mana pun berpusat pada iman kepada Kristus dan iman akan Allah Bapa dalam Yesus Kristus oleh Roh Kudus. Dan oleh karena Allah Bapa dalam Yesus Kristus oleh Roh Kudus sendiri hadir secara nyata dalam Ekaristi, maka itu berarti bahwa spiritualitas hidup kristiani adalah spiritualitas yang berpusat pada Ekaristi dan sekaligus dari Ekaristi. Dasar utama penetapan Ekaristi pada Perjanjian Baru terletak pada kata-kata institusi Yesus, “ lakukanlah ini untuk mengenangkan daku”. Dengan demikian dipahami bahwa Ekaristi itu ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Dengan kata lain, kata-kata Yesus dalam Perjamuan malam terakhir memberi legitimasi bagi perayaan Ekaristi yang dirayakan oleh Gereja saat ini.
Berbicara tentang Ekaristi sebagai sumber spiritualitas hidup kristiani dapat dipahami dalam dua hal yaitu, Ekaristi sebagai sumber rahmat dan Ekaristi sebagai sumber pertumbuhan dalam iman harapn dan kasih. Melalui Ekaristi Kristus mengalirkan rahmat keselamatan kepada umat-Nya yaitu Gereja. SC 47 mengatakan bahwa dalam Ekaristi, Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikarunia jaminan kemuliaan yang akan datang”. Dalam hal ini nampak bahwa Ekaristi menganugerahkan rahmat yang berlimpah bagi umat Allah.
Ekaristi juga adalah sumber iman, sebab pertama-tama Ekaristi adalah sebuah perayaan iman dengan mengenangkan karya keselamatan Allah yang terlaksana di dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus yang saat ini dikenangkan dan dirayakan kembali di dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan santapan mulia bagi iman. Dengan demikian iman Greja pada hakekatnya adalah iman yang Ekaristis dan secara istimewa dipupuk pada meja Ekaristi. Sebagai sumber harapan Ekaristi memberi kita harapan dalam Allah akan rahmat untuk hidup dalam persahabatan dengan-Nya di dunia ini dan untuk mewarisi hidup kekal surgawi. Ekaristi memelihara harapan kita dengan mengingatkan kita akan karya-karya agung Allah, khsusnya wafat dan kebangkitan Kristus yang menyediakan dasar yang kokoh pada apa yang kita harapkan, kedatangan kerajaan Allah dan hidup kekal dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal. Ekaristi juga adalah sakramen cinta kasih sebab Ekaristi menunjukkan hakikat kasih Allah yang paling dalam yaitu pemberian diri Allah melalui salib Kristus dan yang kini senantiasa dihadirkan dan dilaksanakan dalam peredaran waktu oleh Roh Kudus.
Sebagai puncak spiritualitas hidup kristiani Ekaristi dapat dimengerti dalam arti bahwa aspek-aspek kehidupan kristiani yang lain, termasuk sakramen-sakramen yang lain mengarah pada Ekaristi-persembahan diri Kristus kepada Bapa dalam Roh Kudus demi keselamatan manusia. Dengan kata lain, jaminan sakramental yang erat antara Ekaristi dan kurban salib menjadikan Ekaristi sebagai sumber spiritualitas dan juga menjadikannya sebagai puncak spiritualitas hidup kristiani.
Dengan demikian spiritualitas hidup kristiani sebenarnya memilki dasar dan sumbernya dalam Ekaristi. Spiritualitas hidup kristiani sesungguhnya tidak akan mencapai kesempurnaannya jika tidak mencari dan menemukan dasar-dasarnya dalam Ekaristi suci. Paus Benediktus XVI dalam sambutannya saat konggres Ekaristi di Italia tahun 2011 mengingatkan bahwa spiritualitas Ekaristi sunngguh adalah perlawanan terhadap sikap egoisme dan keberpusatan pada diri sendiri, sesuatu yang sering disebutnya lebih mewarnai dan menjadi ciri hidup masyarakat dewasa ini. Spiritualitas tersebut merupakan jantung kehidupan komunitas Gerejani. Spiritualitas Ekaristi tersbut karenanya merupakan jalan yang perlu ditapaki untuk memulihkan martabat pribadi manusia.
Ekaristi akhirnya membangun spiritualitas hidup kristiani. Sebab dari dan melalui Ekaristi, Gereja menimba kekuatan yang menyelamatkan dan kepadanya semua kegiatan Gereja terarah. Ekaristi dalam konteks ini dapat dimaknai dalam dua hal yakni, spiritualitas kristiani mengalir dari Ekaristi sebagai sumbernya dan bahwa spiritualitas hidup kristiani tertuju dan terwujud secara penuh dalam Ekaristi sebagai puncaknya, kepada mana seluruh aktivitas kita semestinya diarahkan. Maka, spiritualitas kristiani senyatanya adalah jalan dengan dua arah, yakni bahwa ziarah hidup kita dimulai dari Ekaristi sebagai titik awal kita masuk dalam dunia kehidupan sehari-hari dan sekaligus membawa kita pada Ekaristi setelah perjuangan di dunia ini.

"Mengenal Ritual Adat Kema Keda Di Kampung Nueganda"



NILAI MORAL MENURUT RITUAL ADAT KEMA KEDA 
DI KAMPUNG NUANGENDA 
KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE
Oleh
Mariana Guida

(Konstruksi Rangkap Atap Sao Keda)
Kebudayaan sebuah masyarakat tanpak dalam berbagai warisan yang sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat tersebut. kebudayaan itu mencakup nilai-nilai tradisi, adat istiadat dan berbagai unsur religiositas serta penggunaan simbol-simbol. Salah satu unsur dan warisan budaya sebuah masyarakat adalah ritus. Sebagai bagaian dari kebudayaan, ritus ini dapat dilihat sebagai sarana untuk mengekspresikan diri dan sarana identifikasi suatu masyarakat. Sebagai sarana untuk mengekspresikan diri dan identifikasi suatu masyarakat, dalam ritus tersebut masih ada kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan berbagai praktek yang didalamnya terkandung unsur-unsur nilai moral dan makna tertentu. Nilai, makna, unsur-unsur, dan simbol yang terkandung dalam suatu ritus inilah yang merupakan aspek imanen terdalam dari kebudayaan. Oleh karena itu, kebudayaan adalah nilai hidup yang diwariskan dan dihidupi oleh suatu masyarakat yang menentukan eksistensinya di dunia.
Berkaitan dengan hal ini, salah satu ritus yang merupakan warisan budaya masyarakat Nuangenda yang masih terus bertahan dan dihidupi hingga kini adalah ritus Kema Kema. Kema dalam bahasa Lio berarti Kerja sedangkan Keda merupakan kuil tempat tinggal roh-roh. Jadi, Kema Keda berarti pengerjaan kuil tempat tinggal roh-roh. Keda dibuat untuk menunjukan bahwa kampung itu adalah Nua Pu’u (kampung asal atau induk), atau sebagai bukti adanya peninggalan yang mempertahankan keturunan asli Weta-Nara (saudara-saudari) yang berasal dari daerah pegunungan. Ritus Kema Keda ini mengungkapkan banyak aspek berharga bagi pembinaan dan penghayatan akan nilai-nilai moral. Disamping itu pula, dalam ritus Kema Keda terkandung nilai-nilai tertentu diantaranya nilai tanggung jawab, disiplin diri atau ketaatan, serta nilai kebersamaan. Unsur nilai dan makna yang disebutkan ini memberikan gambaran positif terhadap upaya kontekstualisasi ajaran tentang nilai-nilai moral.
Nilai moral yang muncul dalam tahapan-tahapan ritual Kema Keda pada dasarnya adalah juga merupakan sebuah norma tingkahlaku yang  hidup dalam masyarakat adat Nuangenda. Dikatakan sebagai norma hidup karena sifatnya yang wajib dalam ritual Kema Keda dan karena itu menjadi suatu tuntutan tingkahlaku masyarakat berkaitan dengan upacara Kema Keda. Sesuatu yang sifatnya wajib, nilai moral tentu mempunyai tempat yang penting baik dalam hubungannya dengan ritual Kema Keda maupun dengan bangunan Keda itu sendiri.
Nilai-nilai moral yang terdapat dalam ritual Kema Keda ialah yang pertama nilai moral Kebersamaan, dimana masyarakat disadarkan kembali akan nilai-nilai kebersamaan bahwa mereka adalah sebuah kelompok yang selalu hidup berdampingan dan saling membutuhkan satu sama lain dalam bekerja sama. Selain ini juga, dalam upacara Kema Keda terdapat macam- macam nilai moral kebersamaan yaitu semangat persatuan dan kesatuan, tidak membeda-bedakan satu sama lain, menjunjung tinggi hak asasi manusia, memberi kesempatan bagi orang lain untuk mengemukakan pendapat, tidak memaksa kehendak kepada orang lain, menghargai agama dan kepercayaan yang berbeda, menghargai dan menggunakan produk dalam masyarakat, tidak menghina simbol-simbol yang ada dalam Kema Keda  dan yang terakhir  mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Kedua nilai moral tanggung jawab, nilai ini terkait dengan sikap seseorang yang bertanggung jawab. Suatu nilai moral hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersangkutan. Itu berarti bahwa perbuatan itu berasal dari inisiatif bebas seseorang atau individu itu sendiri. Hal ini juga tak terlepas dari nilai-nilai lain yang juga mengandaikan peranan manusia sebagai pribadi yang bebas.
Ketiga nilai moral disiplin tercermin dalam sikap masyarakat yang senantiasa taat dan patuh terhadap tuturan-tuturan adat yang disampaikan oleh Mosalaki. Tuturan-tuturan adat ini lebih bermakna peringatan agar seluruh masyarakat untuk sungguh-sungguh mendisiplinkan diri. Jika tidak disiplin dan melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan bersama, maka hidupnya akan mengalami kemalangan, penderitaan bahkan bisa berujung pada kematian. Selain itu disiplin juga sebenarnya mau menonjolkan peranan hati nurani. Dalam arti bahwa hati nurani merupakan “kunci”, kerena dalam tindakan, manusia melihat apa yang dibuatnya. Jadi setiap tindakan manusia ada suatu tuntutan yang mendesak yakni nilai moral, yang timbul dalam hati nurani manusia. Hati nurani atau suara hati merupakan suatu kesadaran yang ada dalam setiap hati manusia sehingga mampu mengenal dirinya. Tanpa disadari sebenarnya hati nurani merupakan suatu pengetahuan yang terbentuk dari pengalaman empiris atas nilai moral.

Selain ketiga nilai moral ini, ada pula nilai-nilai lain yang secara tidak langsung terkandung dalam ritual Keda Keda yaiu nilai Anteroposentris dan nilai Ekosentris. Moral Antroposentris berpandangan bahwa manusia  adalah  fakta  sentral  dari  eksistensi   dan  bahwa semua hal yang berhubungan  dengan  etika  harus  diukur  dengan  bagaimana etika itu berpengaruh kepada kepentingan manusia. Teori ini memandang bahwa manusia  merupakan  pusat  dari sistem  alam  semesta.  Manusia  dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan  dalam  kebijakan  yang  diambil  dalam  kaitan  dengan  alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bukan berarti bahwa dalam ritual Kema Keda masyarakat Nuangenda menganggap bahwa mereka sepenuhnya menguasai alam dengan bertindak semena-mena, melainkan yang mau ditonjolkan di sini adalah sisi baik dari manusia itu sendiri. Dimana manusia menghargai dan menghormati alam sebagai bagian dari dirinya.
Sedangkan nilai Ekosentris berpusat pada alam, sebagai oposisi kepada yang berpusat pada manusia, sebagai sistem nilai. Ekosentrisme fokus pada komunitas biotik sebagai suatu keseluruhan dan bekerja untuk menjaga komposisi ekosistem dan proses  ekologis.  Menurut pandangan  ini, bumi memiliki nilai hakiki (intrinsic value) yang harus dihormati oleh manusia. Pentingnya nilai moral ini membuat ia pantas memperoleh perhatian baik dari anggota masyarakat sendiri maupun dari orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap kebudayaan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Perhatian yang diberikan sebagai apresiasi terhadap suatu nilai budaya juga bertujuan agar nilai-nilai itu dihidupi dengan sadar. Karena tanpa pengetahuan yang benar tentang nilai yang terkandung dalam suatu norma hidup, pola perilaku atau tata hidup, masyarakat pendukung suatu kebudayaan mungkin menjalankannya tanpa sadar bahwa mereka menghidupi nilai-nilai yang tentu bermakna bagi hidup mereka. Jika hal ini tidak disadari, maka masyarakat akan mudah meninggalkan kebudayaannya sendiri dan cenderung untuk mengikuti kebudayaan lain. Atas dasar inilah maka ritual Kema Keda harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai aset budaya sekaligus sebagai tonggak dasar dan pengontrol pola hidup, nilai moral dalam lingkup adat Nuangenda.

(Sao Keda Suku Ende)

(Tampak Depan Suku Keda)

Wednesday, March 11, 2020

"MAKNA FILOSOFIS TENUN IKAT"




MAKNA FILOSOFIS TENUN IKAT (FUTUS) KAMPUNG BANAIN, KECAMATAN BIKOMI UTARA, KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
Oleh

Yohanes Hendrik Fallo

(Motif Tenun)


            Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya. Beragam budaya yang terdapat di Indonesia mencerminkan ciri khas bangsa sebagai bangsa yang berbudaya. Salah satu warisan yang terpelihara adalah kain tenun ikat tradisional. Beragam kain tradionanal di Indonesia yang memiliki berbagai corak dan motif yang menunjukan kekhasan dari setiap daerah.

            Kain tenun ikat adalah salah satu kain tenun tradional Indonesia yang kini menjadi perhatian bangsa karena memiliki keunikan corak dan motif yang mengandung nilai-nilai folosofis. Makna filosofis tersebut terlihat dari motif kain yang digunakan. Contohnya motif kain tradisional Sumba, Nusa Tenggara Timur yang menggambarkan kepahlawanan, keagungan, dan kebangsawanan karena kuda adalah simbol harga diri bagi masyarakat Sumba.

            Di tanah Timor, tenun ikat dikenal dengan tenun futus. Futus dalam bahasa dawan adalah ikat. Tenun futus menggunakan satu warna dengan mengikat bagian-bagian tertentu pada benang sehingga bagian tersebut tidak berwarna saat benang tersebut dicelup ke dalam zat pewarna. Selain itu, kain tenun futus juga ditemukan pada masyarakat Banain. Masyarakat Banain pada umumnya memproduksi kain tenun futus sebagai kebutuhan hidup baik sebagai kebutuhan sandang maupun sebagai penunjang kesejahteraan hidup. Adapun makna filosofis yang terdapat dalam kain tenun ikat futus meliputi makna sosial religius dan sosial-ekonomi. Makna sosial-religius berkaitan dengan adat istiadat atau kepercayaan masyarakat Banain, dimana kain tenun ini merupakan wujud penghargaan terhadap Tuhan dan alam sebagai pemberi hidup. Makna sosial-ekonomi mengarah pada kebutuhan ekonomi masyarakat sebab kain tenun ini memiliki nilai jual yang tinggi.

            Kain tenun merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Dimana pada zaman prasejarah, pakaian penutup badan ini terbuat dari rumput-rumput yang dianyam dan kulit kayu. Seiring perkembangan zaman, kain tenun tidak hanya sekedar melindungi tubuh. Pakaian ini malah digunakan untuk menampilkan sebuah nilai keindahan. Maka tak heran jika setiap model pakaian berubah-ubah, baik dari segi warna, desain dan sebagainya yang disesuaikan dengan selera pasar. Namun kain tenun hanya dimaknai sebagai suatu tujuan finansial yang berusaha ditampilkan sebagai suatu warisan budaya yang tidak punah tetapi kehilangan nilai-nilai budayanya. Oleh sebabnya pemaknaan terhadap kain tenun tradisional hanyalah bersifat finanscape, sedangkan aspek ethonscape yang memuat nilai dan makna dari tenun ikat futus itu sendiri belum dihayati sebagai suatu warisan budaya.