KONSEP
KEADILAN (IUSTITIA) PERSPEKTIF ST.
THOMAS AQUINAS DAN RELEVANSINYA BAGI PEMAKNAAN SILA V PANCASILA
Giovanni
Aditya Arum
ABSTRACT
In principle justice touches the human nature as social animal. The
discourse of justice has become an important theme in social and political
philosophy all the times. St. Thomas Aquinas is one of the philosophers who
pays much attention on this theme. In Summa Theologiae, he spent a lot
of pages to explain justice as one of the cardinal virtues. Inspired by
Aristotle, he defined justice as “a habit whereby a man renders to each one his
due by a constant and perpetual will.” This essay wants to explain the
discourse of justice according to St. Thomas Aquinas and to compare it with the
concept of justice in fifth principle of Pancasila. The writter uses the
relevancy study to get the convergency idea between two different ideas of
justice. This essay will explore both concept of justice by St. Thomas Aquinas
and Pancasila perspective. There
are at least some convergency ideas between those two. But, the pressure point
is the concept of bonum commune. Pancasila as the Philosophische
Grondslag of Indonesia as like as St. Thomas Aquinas’ idea of justice
emphasizes the common good (bonum commune) as the very end of Indonesia
nation. Reflecting on these convergency ideas, we can find some relevant
discourses concerning justice in socio-political life of Indonesian people,
i.e: law, politic, and religion. In the end of this essay, the writer gives a
critical thought to the tendency of the liberalism pathology in social life.
Kata-Kata
Kunci: Keadilan, Pancasila, Hak, Bonum Commune.
I.
INTRODUKSI
Keadilan merupakan sebuah ide yang senantiasa aktual dan relevan dalam
panorama perkembangan peradaban manusia. Hal ini secara khusus menyentuh kodrat
manusia sebagai animal sociale dan animal politicum. Defenisi klasik
keadilan sebagai “suum cuique tribuere; to give everybody his own,”
telah menunjukkan bahwa keadilan berhubungan dengan relasi antarmanusia. Dari
sekian banyak filsuf yang merefleksikan tema keadilan, salah satunya adalah St.
Thomas Aquinas. Ia memetakan keadilan dalam konstelasi relasi sosial
antarmanusia. Keadilan mengarahkan manusia dalam relasinya dengan sesama yang
lain (ad alterum).
Pancasila merupakan jantung seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara
masyarakat Indonesia. Sebagai dasar filsafat (Philosofische Grondslag) negara, Pancasila mengandung konsekuensi
setiap aspek penyelenggaraan negara dan semua sikap serta tingkah laku bangsa
Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada
nilai-nilai Pancasila. Internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang
sangat luhur, seperti: nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan
Keadilan dalam diri tiap masyarakat Indonesia merupakan tanggung jawab yang
sangat fundamental untuk diupayakan demi terwujudnya bonum commune.
Namun, factum non fictum, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagai cita-cita luhur bangsa belum mampu diwujudkan secara komprehensif.
Dalam hidup bermasyarakat, nilai luhur keadilan ini kerap kali dinodai dengan
kedok kepentingan individual yang egoistik. Cita-cita masyarakat yang sejahtera
dalam cermin bonum commune telah
banyak dihancurkan dengan konflik-konflik yang justru bermula dari titik
ketidakadilan.
Tulisan ini akan menelaah
konsep keadilan perspektif St. Thomas Aquinas dan irisannya dengan konsep
keadilan dalam Sila V Pancasila. Konvergensi pemikiran dari dua tradisi
pemikiran yang berbeda ini (khazanah pemikiran Barat dan Timur) akan mengantar
kita untuk menelaah dan memaknai dimensi kehidupan sosial bangsa Indonesia
dalam konstelasi nilai keadilan demi terwujudnya kesejahteraan umum sebagai
amanat konstitusi negara kita.
II.
KONSEP KEADILAN (IUSTITIA) PERSPEKTIF ST. THOMAS AQUINAS
2.1 Defenisi Keadilan (Iustitia)
St. Thomas Aquinas dalam Summa
Theologiae parsSecunda Secundae, Questiones 58 articulis 1 dengan tegas mendefenisikan keadilan (iustitia) sebagai berikut: “Iustitia est habitus secundum quem aliquis
constanti et perpetua voluntate ius suum unicuique tribuit.” Definisi ini
secara khusus merujuk pada defenisi Aristoteles yang mengatakan bahwa: “Justice is a habit whereby a man is said to
be capable of doing just actions in accordance with his choice.”
Keadilan (iustitia) sebagai suatu
kebajikan memiliki proria materia
yang terdiri atas pelbagai hal yang berkaitan dengan relasi manusia dengan
sesama yang lain (ad alterum).
Keterkaitan antara keadilan dengan objeknya terangkum dalam ungkapan: ius suum unicuique tribuens; memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Poin penting berikutnya yang terkandung dalam defenisi
keadilan adalah penyebutan term ius (hak).
Hak dalam pandangan St. Thomas Aquinas dipandang sebagai obiectum proprium dari keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan
atau pelaksanaan keadilan itu seharusnya didahului oleh tindakan lainnya yang
dengan tegas menunjukkan hak seseorang untuk melakukannya. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa hak dan keadilan itu mempunyai hubungan yang erat satu sama
lain. Hak yang dimiliki oleh setiap individu melekat pada kodrat manusia
sendiri. Jadi semata-mata bukan berasal dari luar diri manusia.
2.2 Konsep Keadilan Umum (Iustitia Generalis)
Keadilan secara esensial mengarahkan manusia kepada kebaikan umum (bonum commune), karena merujuk pada
relasi sosial antar-individu. Segala kebajikan dapat menyinggung pada keadilan
sejauh ia terarah kepada bonum commune
sebagai tujuannya. Dalam konteks pemahaman inilah, keadilan disebut sebagai
sebuah kebajikan umum (virtus generalis).
Selain itu, hukum (lex) secara
hakiki terarah kepada kebaikan bersama (bonum
commune). Mengikuti pendapat Aristoteles tentang kebahagiaan sebagai telos atau tujuan ultim dari kehidupan
manusia, St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa demikian pula hukum hendaknya secara
prinsipil terarah kepada kebahagiaan. “Unde oportet quod lex maxime
respiciat ordinem qui est in beatitudinem.” Dan kebahagiaan sebagai kebaikan umum (bonum commune) merupakan tujuan
tertinggi dari penerapan hukum. “Et ideo omnis lex ad bonum commune ordinatur.”
Titik tuju bonum commune dari
keadilan umum (iustitia generalis)
maupun hukum (lex) yang identik
inilah yang kemudian oleh St. Thomas Aquinas disebut dengan istilah keadilan
hukum atau keadilan legal (iustitia
legalis). Keadilan legal menata seluruh aktivitas manusia kepada kebaikan
tertinggi seturut hukum;”la giuztitia
legale ordina tutte le attività umane al bene comune secondo le leggi.”
2.3 Konsep Keadilan Khusus (Iustitia Specialis)
2.3.1 Iustitia
Commutativa
Keadilan komutatif (iustitia
commutativa) didasarkan pada tatanan relasi dalam masyarakat, yakni pola
relasi antar-bagian atau antar-individu dalam masyarakat. St. Thomas Aquinas
menjelaskan tatanan hubungan yang mendasari keadilan komutatif sebagai berikut:
“Unus quidem partis ad partem; cui
similis est ordo unius privatae personae ad aliam. Et hunc ordinem dirigit
commutativa iustitia, quae consistit, in his quae mutou fiunt inter duas
personas ad invicem.”
Keadilan komutatif (iustitia
commutativa) disebut juga keadilan tukar. Jenis keadilan ini berkonsentrasi
pada relasi timbal balik antara dua individu, atau secara partikular nampak
dalam hal jual-beli atau dalam perdagangan. Dengan kata lain, bentuk keadilan
komutatif di sini pada dasarnya merupakan relasi primer antara individu manusia
yang satu dengan individu manusia yang lain. Transaksi ‘pertukaran’ (exchanges) merupakan term kunci dalam
bentuk keadilan komutatif ini.
2.3.2 Iustitia
Distributiva
Keadilan ini merupakan suatu bentuk keadilan yang menata hubungan antara
masyarakat secara keseluruhan atau negara dengan individu sebagai warga
masyarakat. Dalam hubungannya dengan sistem pemerintahan, maka keadilan ini
lebih mengacu kepada peran sistem pemerintahan atau pemerintah itu sendiri
dalam mendistribusikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban secara adil dan
proporsional bagi setiap anggota masyarakat sesuai dengan peran dan statusnya
dalam kesatuan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai
berikut: “Alius ordo attenditur totius ad partes, et huic ordini assimilatur ordo
eius quod est commune ad singulas personas. Quem quidem ordinem dirigit
iustitia distributiva, quae est distributiva communium secundum
proportionalitatem.”
Dalam keadilan
distributif, kebaikan-kebaikan umum didistribusikan seturut status dan perannya
dalam komunitas tertentu di mana pribadi manusia itu tinggal. Dalam negara
Aristokrasi status ini dinilai dari kebajikan, dalam negara Oligarki status ini
dinilai oleh kekayaan, dan dalam negara Demokrasi dinilai oleh kebebasan. Jadi,
dalam konteks keadilan distributif, keadilan bukan hanya dipandang sebagai
suatu kesamaan atau kesetaraan antara satu barang dengan barang yang lain,
tetapi dalam proporsi suatu hal atau barang tersebut di hadapan seorang
inidividu dalam status dan perannya dalam komunitas masyarakat.
2.4 Keadilan (Iustitia)
dan Cinta-Kasih (Caritas)
Cinta-kasih adalah sumber
utama yang menggerakkan tindakan manusia. Setiap tindakan manusia terarah dan
mencapai kepenuhannya pada cinta-kasih. “Unde manifestum
est quod omne agens, quodcumque sit, agit quamcumque actionem ex aliquo amore”. Dalam konteks ini, posisi keutamaan kasih
di hadapan keutamaan-keutamaan lainnya menjadi penting. Kasih menjadi “ibu” (mater) dan “akar” (radix) yang melandasi keutamaan-keutamaan lainnya.
Dalam pandangan St. Thomas Aquinas, tidak ada
pertentangan antara keadilan dan cinta-kasih.Ia mengatakan bahwa: “nothing contrary to the precepts of
justice and charity.” Caritasmenekankan relasi dengan Allah dan sesama. Kasih kepada
Allah (dilectio ad Deum) meluas pada
kasih terhadap sesama (dilectio ad
fratrem). Caritas tidak hanya
tertuju kepada Tuhan semata melainkan meluas sampai pada sesama manusia. St.
Thomas Aquinas mengungkapkan bahwa:
Ratio autem diligendi proximum Deus est: hoc enim debemus in proximo
diligere, ut in Deo sit. Unde manifestum est quod idem spacie actus est quo
diligitur Deus, et quo diligitur proximus. Et propter hoc habitus caritatis non
solum se extendit ad dilectionem Dei, sed etiam ad dilectionem proximi.
Terdapat relasi yang erat antara keadilan dan cinta-kasih. Apa yang
dituntut dari keadilan akan dituntut juga dari cinta-kasih, namun tidak
sebaliknya. Itu berarti, cinta-kasih adalahkebajikan yang menyeluruh dan
mencakup keadilan, dan tuntutan keadilan merupakan tuntutan minimal
cinta-kasih. Hubungan mendasar antara keadilan dan cinta-kasih terletak di
dalam kenyataan bahwa setiap kewajiban keadilan merupakan kewajiban
cinta-kasih, meskipun tidak setiap kebajikan cinta-kasih merupakan kebajikan
keadilan, karena cinta melampaui keadilan. Jadi, keadilan merupakan kebajikan
moral yang tidak pernah dapat berseberangan dengan cinta-kasih.
III
KONVERGENSI
KONSEP KEADILAN THOMIS
DAN KONSEP KEADILAN DALAM SILA V PANCASILA
3.1
Konsep Keadilan Dalam Sila V Pancasila
3.1.1
Hubungan Keadilan Yang
Bersifat Segitiga
Inti yang terkandung dalam sila kelima adalah keadilan, yang berarti
mengandung pengertian kesesuaian dengan hakikat adil. Konsekuensinya, dalam
setiap aspek penyelenggaraan negara harus senantiasa berdasarkan pada
nilai-nilai keadilan. Maka dalam realisasinya dalam hidup bersama (masyarakat),
bangsa dan negara terdapat tiga macam hubungan keadilan atau disebut juga
hubungan keadilan yang bersifat segitiga. Hal ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
Segi pertama yaitu masyarakat bangsa dan negara sebagai pihak yang wajib memenuhi
keadilan terhadap warganya. Hubungan keadilan segi pertama ini disebut keadilan
membagikan (keadilan distributif), yaitu masyarakat bangsa dan negara wajib
memberikan atau membagikan kepada warganya apa yang menjadi haknya, menurut
syarat-syarat, wajib dan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, bangsa dan negara
tersebut yang harus dipenuhi dalam segala hal.
Segi kedua
yaitu warga masyarakat atau warga negara sebagai pihak yang wajib memenuhi
keadilan terhadap masyarakat, bangsa atau negaranya. Hubungan keadilan segi
kedua ini disebut keadilan untuk bertaat (keadilan legal). Hal ini dapat
dipahami karena pada hakikat terwujudnya suatu masyarakat adalah sebagai akibat
kehendak bersama dari para warganya. Karena ada kesempatan kehendak bersama
maka untuk terwujudnya suatu masyarakat, bangsa dan negara harus ada suatu
peraturan yang harus ditaati bersama oleh para warganya. Oleh karena itu, wajib
ketaatan dari para warga masyarakat dan warga terhadap masyarakat, bangsa dan
negaranya adalah merupakan hak dari setiap masyarakat, bangsa dan negara.
Segi ketiga yaitu berupa hubungan keadilan yang terwujud di antara sesama warga dari
masyarakat, bangsa dan negara, dalam artian terdapat wajib timbal-balik untuk
saling memenuhi keadilan di antara sesama warga. Hubungan keadilan ini disebut
keadilan komutatif. Di dalam kehidupan bersama harus senantiasa terwujud
keadilan komutatif yaitu memberikan kepada sesama warga masyarakat, bangsa dan
negara segala sesuatu yang telah menjadi hak masing-masing, menurut kesadaran
nilai antara hal-hal atau barang-barang yang wajib diberikan dan hal-hal atau
barang-barang yang wajib diterima sebagai haknya.
3.1.2
Unsur-Unsur Keadilan Sosial
Agar dapat memahami makna unsur-unsur keadilan sosial, maka dipandang
sangat perlu untuk memahami makna hak dan wajib. Hak adalah kuasa untuk
menerima atau melakukan sesuatu yang seharusnya diterima atau dilakukan, yang
pada prinsipnya hanya dilakukan oleh pihak atau individu tertentu dan tidak
dapat dilakukan oleh pihak lain siapapun juga yang dalam prinsipnya dapat
dituntut dengan paksaaan olehnya. Sedangkan wajib adalah beban untuk memberikan
atau membiarkan barang sesuatu yang semestinya diberikan atau dibiarkan, yang
hanya dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh siapapun
juga, dan yang pada prinsipnya dapat dituntut dengan paksaan dari padanya.
Hak dan wajib merupakan unsur esensial dalam terwujudnya keadilan. Dalam
realitas hidup sosial, kedua unsur ini memainkan peran yang vital dalam
menjamin kesejahteraan umum. Tanpa penghargaan terhadap hak, maka akan timbul
pelbagai masalah dan konflik, seperti: pemerasan, penindasan, pemaksaan dan
tindak kejahatan lainnya. Selain itu, tanpa penegasan akan kewajiban, maka
masyarakat akan bertindak semena-mena dan bersikap egois bahkan sampai pada
titik meniadakan sesamanya. Oleh karena itu, dengan menjunjung tinggi hak dan
kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia,
maka tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud.
3.2
Konvergensi Pemikiran Keadilan St. Thomas Aquinas dan
Sila V Pancasila
3.2.1
Keadilan Yang
Berketuhanan
Dalam pemikiran St. Thomas Aquinas, traktat moral (tractatusmoralis) tidak pernah terpisah dari diskursus traktat teologi
(tractatus theologicus). Demikian
pula dengan keadilan. Keadilan manusiawi (iustitia
humana) sebagai suatu bentuk kebajikan utama (virtus cardinalis) tidak pernah terlepas dari keadilan ilahi (iustitia divina). Merujuk pada St.
Agustinus yang mendefenisikan keadilan yang bersifat Teosentris demikian:“justice is love
serving God his authority over the things that are subject to him”, St.
Thomas Aquinas memperluas horizon pemikiran ini dengan kritis sebagai berikut:
“quod sicut in dilectione Dei includitur dilectio proximi, ut supra dictum
est; ita etiam in hoc quod homo servit Deo includitur quod unicuique reddat
quod debet.” Mencintai Allah dengan
sendirinya meluas pada cinta terhadap sesama. Dengan demikian, defenisi keadilan sebagai habitus dimana
seseorang dengan kehendak yang tetap dan konstan memberikan kepada orang lain
apa yang menjadi haknya, termasuk bentuk pengabdian kepada Tuhan. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa
keadilan bersifat Ketuhanan.
Dalam Pancasila, diskursus keadilan tidak bisa dipisahkan dari
diskursus Ketuhanan. Sebagaimana Pancasila merupakan
suatu kesatuan sistemik, maka sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia adalah sila keadilan yang berKetuhanan yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan. Jadi, dalam hubungan dengan sila I, keadilan dalam Pancasila adalah
keadilan yang berKetuhanan.
Dengan
demikian, keadilan yang berKetuhanan menjadi salah satu titik konvergensi
pemikiran keadilan dalam konsep St. Thomas Aquinas dan dalam konsep Pancasila.
Negara Indonesia bukanlah negara sekuler, melainkan negara yang mengakui adanya
Tuhan sebagai Causa Prima. Dalam
konstitusi negara Indonesia dengan jelas disebutkan “Atas berkat rahmat Allah
yang Maha Kuasa...” (alinea III) dan “... dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa...” (alinea IV).
3.2.2
Keadilan Yang
Bersifat Segitiga
Diskursus keadilan dalam Pancasila dijabarkan dalam tiga macam hubungan
keadilan atau disebut juga hubungan keadilan yang bersifat segitiga, yakni: Segi pertama, adalah
hubungan keadilan yang disebut dengan keadilan distributif, yaitu masyarakat
bangsa dan negara wajib memberikan atau membagikan kepada warganya apa yang
menjadi haknya, menurut syarat-syarat, wajib dan kekuasaan yang ada dalam
masyarakat, bangsa dan negara tersebut yang harus dipenuhi dalam segala hal.
Segi pertama keadilan ini bersesuaian dengan konsep iustitia distributiva St. Thomas Aquinas.
Segi kedua,
adalah hubungan keadilan yang
disebut dengan keadilan legal. Setiap warga Indonesia wajib memperjuangkan
kebaikan bersama (bonum commune)
sebagai cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia. Segi kedua ini berhubungan dengan konsep iustitia generalis St. Thomas Aquinas.
Segi ketiga adalah hubungan keadilan yang disebut dengan keadilan
komutatif. Di dalam kehidupan bersama harus senantiasa terwujud keadilan
komutatif, yaitu memberikan kepada sesama warga masyarakat, bangsa dan negara
segala sesuatu yang telah menjadi hak masing-masing, menurut kesadaran nilai
antara hal-hal atau barang-barang yang wajib diberikan dan hal-hal atau
barang-barang yang wajib diterima sebagai haknya. Segi ketiga ini bersesuaian
dengan konsep iustitia commutativa
St. Thomas Aquinas yang mengkaji keadilan dalam relasi khusus antar-individu
dalam masyarakat.
3.2.3
Keadilan Yang
Bersifat Cinta Kasih
Cinta-kasih (caritas) dalam
pandangan St. Thomas Aquinas, tidak bertentangan dengan keadilan. Ia mengatakan
bahwa: “nothing contrary to the precepts of
justice and charity.” Caritas menekankan relasi dengan Allah dan sesama. Kasih kepada
Allah (dilectio ad Deum) meluas pada
kasih terhadap sesama (dilectio ad
fratrem). Caritas tidak hanya
tertuju kepada Tuhan semata melainkan meluas sampai pada sesama manusia.
Keadilan merupakan bentuk cinta-kasih yang berkonsentrasi
pada aktus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Cinta-kasih
(caritas) melampaui dan melengkapi
keadilan (iustitia) sebagai salah
satu kebajikan moral. Hal ini karena cinta-kasih (caritas) merupakan forma dari segala bentuk kebajikan.
Jika dianalisis, maka sila-sila pada Pancasila dapat dipetakan dalam dua
relasi, yakni: relasi vertikal yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan (Sila I), dan relasi horizontal yang mengatur hubungan antara manusia
dengan sesamanya (Sila II- V). Driyarkara menempatkan dua bentuk relasi ini dalam
konteks filsafat Pancasila dengan bertumpu pada kodrat manusia sebagai
kecintaan. Cinta kasih inilah yang dipandang oleh Driyarkara sebagai landasan
pemersatu sila-sila Pancasila. Dalam Pancasila, termuat relasi cinta antara
manusia dan Tuhan (Sila I) dan antar sesama manusia (Sila II-V). Secara umum,
pandangan ini sangat bersinggungan dengan pendapat St. Thomas Aquinas tentang
cinta-kasih (caritas) sebagai
kebajikan teologal terbesar. Caritas
tidak hanya tertuju kepada Tuhan semata melainkan meluas sampai pada sesama
manusia. Dengan demikian, keadilan dalam sila V Pancasila merupakan bentuk
penjabaran cinta-kasih terhadap sesama.
3.2.4
Keadilan Yang
Menghormati Hak Manusia
St. Thomas Aquinas dengan tegas mendefenisikan keadilan sebagai berikut: “Iustitia est habitus secundum quem aliquis
constanti et perpetua voluntate ius suum unicuique tribuit.” Hak dalam
pengertian hukum (ius), perspektif
St. Thomas Aquinas dipandang sebagai obiectum
proprium dari keadilan. Defenisi yang menekankan pada hak manusia ini
mengungkapkan bahwa keadilan sebagai sebuah kebajikan senantiasa menghormati
martabat manusia qua manusia. Dalam
konteks pemahaman antropologi St. Thomas Aquinas, martabat manusia melekat pada
hakekat dirinya sebagai imago Dei
(citra Allah). Dengan demikian, pemenuhan hak seseorang dalam bentuk keadilan
merupakan bentuk penghormatan terhadap keluhuran martabat manusia.
Keadilan dalam Pancasila juga menekankan respek terhadap hak manusia. Hak
dan kewajiban dipandang sebagai unsur-unsur esensial dalam keadilan sosial.
Dengan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, keadilan dalam
Pancasila menegaskan keluhuran martabat manusia Indonesia yang dipandang
sebagai kesatuan yang bersifat dwi-tunggal, yakni baik sebagai makhluk otonom
maupun sebagai makhluk Tuhan.
Notonagoro mengelaborasi konsep keadilan dalam Pancasila dan mengangkat
tema mengenai watak manusia Indonesia. Ia mengatakan bahwa: “Pada manusia harus selalu ada kemampuan
untuk memberikan kepada diri sendiri dan kepada orang lain apa semestinya, apa
yang telah menjadi haknya.” Aktus menghargai dan menghormati hak sesama merupakan
watak khas bangsa Indonesia. Watak mencerminkan bahwa keadilan menjadi
identitas masyarakat Indonesia. Konsep ini sejalan dengan konsep keadilan dalam
pemikiran St. Thomas Aquinas yang disebutnya sebagai habitus. Keadilan hendaknya menjadi aktus habitual dan bukannya
aktus aksidental. Dalam konteks Pancasila, menghormati hak sesama haruslah
senantiasa menjadi watak seluruh masyarakat Indonesia.
3.3 Bonum Commune Sebagai Titik Konvergensi Pemikiran
St. Thomas Aquinas dengan sangat tegas menempatkan bonum commune sebagai titik tuju dari keadilan (iustitia). Keadilan umum mendapatkan
ciri khasnya justeru dalam prospek terhadap bonum
commune. Dalam pemahaman St. Thomas Aquinas, kata “keadilan” dimulai dengan suatu
obeservasi bahwa seseorang yang melayani suatu komunitas tertentu berarti juga
melayani tiap orang (omnibus hominibus)
yang tergabung di dalamnya. Bentuk relasi seseorang terhadap komunitasnya ini dipandang sebagai suatu
bentuk relasi antara bagian (pars)
terhadap keseluruhan (totus). Dan
sebagaimana “bagian” (pars) merupakan
bagian dari keseluruhan (totus), maka
kebaikan pribadi (bonum privatum)
hanya mungkin lahir dari kebaikan umum (bonum
commune). Dengan kata lain, keadilan justeru mendapatkan maknanya yang tegas dalam
keterarahan pada bonum commune.
Penegasan bonum commune yang
mewarnai pemikiran tentang keadilan (iustitia),
diungkapkan St. Thomas Aquinas ketika ia berbicara tentang seorang pemimpin
yang adil. Dengan jelas ia mengatakan tentang pemimpin yang tidak adil
demikian: “Si vero non ad bonum commune multitudinis, sed ad bonum privatum regentis
regimen ordinetur, erit regimen iniustum atque perversum.” Pemerintah yang hanya mencari interese pribadi dan mengabaikan
kepentingan umum (bonum commune) maka
pemerintah itu sendiri tidaklah adil. Prospek terhadap bonum communelah
yang menjadikan seorang pemimpin dapat dipandang sebagai pemimpin yang adil.
Dalam konteks keadilan Sila V Pancasila, Notonagoro menjelaskan bahwa
bonum commune atau
kesejahteraan bersama jauh melampaui bonum
privatum atau kesejateraan perseorangan. Ia mengatakan: “Adapun asas kekeluargaan mengajarkan (antara
lain) bahwa kepentingan dan kesejahteraan bersamalah yang harus diutamakan, dan
bukan kepentingan atau kesejahteraan orang-seorang.” Dengan demikian, asas
kekeluargaan sebagai identitas bangsa Indonesia memiliki respek yang sangat
besar terhadap kesejahteraan umum (bonum
commune). Hal ini juga membuktikan bahwa liberalisme-individualis yang
sangat menekankan kebebasan dan kepentingan pribadi tidak sesuai dengan prinsip
kekeluargaan dan gotong-royong yang menjadi kekhasan identitas bangsa
Indonesia.
Konsep negara kekeluargaan menempatkan kesejahteraan umum (bonum commune) di atas interese pribadi. Hal ini sesuai dengan pandangan
St.Thomas Aquinas mengenai negara sebagai suatu bentuk societas perfecta di dunia yang mendapatkan legitimasi etisnya
justeru pada keadilan yang terarah kepada bonum
commune. Selain itu, bunyi sila V: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
dengan jelas mengandung makna bahwa keadilan di Indonesia diupayakan bagi
kepentingan seluruh rakyat Indonesia (bonum
commune), bukan hanya kepentingan orang-perorangan ataupun
golongan-golongan tertentu. Dengan demikian, bonum commune
merupakan titik konvergensi
pemikiran keadilan dalam konsep St. Thomas Aquinas dan dalam Pancasila.
IV
PEMAKNAAN KEADILAN DALAM PELBAGAI DISKURSUS KEHIDUPAN
4.1 Keadilan
Dan
Hukum
Ius quia iustum. Adil adalah unsur konstitutif dari hukum; tanpa ada adil di dalamnya maka
tidak ada hukum, atau, kalaupun dia ada sebagai hukum namun sebenarnya tidak
lagi memiliki sifat mewajibkan sebagai hukum. Adalah suatu contradictio in terminis (kontradiksi dalam pengertian itu sendiri)
kalau hukum itu tidak adil, karena isi pengertian hukum itu sendiri adalah
tentang yang adil. Konsekuensi pandangan hukum sebagai ius adalah bahwa hukum melebihi negara sebab hukum berkaitan
langsung dengan manusia sebagai manusia. Memang hukum terdapat dalam negara dan
ditetapkan oleh negara, tetapi negara bukan hanya tidak boleh melainkan juga
tidak berwenang untuk membentuk suatu tatanan hukum yang tidak adil.
Mengenai diskursus hukum, St. Thomas Aquinas menjelaskan tentang eksistensi
hukum kodrat (lex naturalis). Hukum
kodrat merupakan sistem kewajiban moral yang menandakan bahwa ada tuntutan
fundamental dalam hidup manusia qua manusia
yang sebagai makhluk yang memiliki dua facultas
yakni intelek (intellectus) dan
kehendak (voluntas). Bagi St. Thomas
Aquinas, hidup menurut kodrat tidak lain merupakan hidup menurut kehendak
Tuhan, karena per naturam kodat
manusia itu diciptakan oleh Tuhan sendiri. Hukum kodrat (lex naturalis) juga berderivasi pada hukum positif atau hukum
manusia (lex humana). Namun, asasnya
adalah hukum manusia (lex humana)
tidak boleh bertentangan dengan hukum kodrat (lex naturalis).
Dalam penjelasan UUD 1945 ditegaskan: Indonesia ialah negara yang berdasar
atas hukum (rechtsstaat). Dalam
hubungan dengan diskursus Pancasila sebagai dasar hukum Indonesia, maka acuan
penerapan hukum di Indonesia sejatinya bersumber pada nilai-nilai Pancasila.
Salah satu nilai Pancasila adalah keadilan (sila V). Oleh sebab itu, diskursus
komprehensif tentang hukum di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan diskursus
keadilan. Hukum dalam dirinya sendiri haruslah adil sehingga mampu membawa
seluruh rakyat Indonesia menuju bonum
commune.
Fakta penerapan hukum di Indonesia kerap kali tidak dapat terhindar dari
polemik tentang keadilan. Resiko mereduksi hukum dalam undang-undang atau
gejala legalisme hukum yang kian mengemuka perlu dikritisi dengan diskursus
mengenai keadilan. Banyak kasus pelanggaran hukum dalam kehidupan masyarakat
dijerat dengan hukuman, yang di satu sisi mampu menjawabi tuntutan hukum
tertulis (undang-undang) namun, adakalanya di sisi yang lain justeru
mengingkari nilai keadilan. Padahal, hukum yang sejati haruslah benar-benar
adil.
Mengenai dialektika hukum dan keadilan, maka diskursus epikeia yang dibicarakan oleh St. Thomas Aquinas mendapat relevansi
pemaknaannya. Bahwasanya, berhadapan dengan situasi-situasi khusus, aspek
kewajaran hukum (epikeia) tidak boleh
dipinggirkan. Itulah sebabnya, Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa “masih ada
logika lain yang perlu dimasukkan manakala diinginkan untuk membaca suatu
peraturan dengan lebih baik. Logika
peraturan adalah salah satu saja, kerena masih ada logika peraturan sosial (social
reasonableness). Pada saat ini kita mempertimbangkan, apakah yang ingin
dilakukan sudah sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat, kita memasuki logika
kepatutan itu.” Epikeia adalah bagian
dari keadilan yang dinyatakan secara umum sedemikian rupa sehingga keadilan
bagaimana pun tetap bagian tak terpisahkan dari hukum. Itu berarti, epikeia adalah bagian dari keadilan.
4.2
Keadilan Dan
Politik
Wacana keadilan tidak pernah dapat dipisahkan dari kehidupan politik, sebab
tujuan politik yang sejati yakni bonum
commune hanya dapat dicapai dengan keadilan. Dengan kata lain, berbicara
tentang eksistensi politik tidak pernah dapat memarginalkan diskursus keadilan.
Demikian pula dengan gagasan keadilan perspektif St. Thomas Aquinas yang
memiliki relevansi besar bagi kehidupan politik seluruh bangsa manusia,
khususnya dalam konteks negara Indonesia. Baik keadilan komutatif yang menjamin
relasi yang adil antarwarga negara, keadilan distributif yang menjamin relasi
antara Negara (pemerintah) dan warga negara, maupun keadilan legal yang
menjamin relasi antara warga negara dengan Negara, sejatinya perlu
diimplementasikan dalam tiap sendi kehidupan politik di negara Indonesia demi
terwujudnya kesejahteraan umum sebagai cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia.
Permasalahan yang urgen mengenai keadilan dalam kehidupan politik suatu
negara adalah diskursus mengenai keadilan distributif. Negara wajib
mendistribusikan kebijakan publik yang seadil-adilnya bagi para warga negara
demi menjamin kesejahteraan umum. Bila dihubungkan dengan cita-cita bangsa dan
negara untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, keadilan distributif itu
tidak lain justeru merupakan bentuk penghormatan terhadap person (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas). Tentang penghormatan terhadap
person, St. Thomas Aqunias menyatakan bahwa penghormatan itu terwujud bilamana
ada sesuatu diberikan/ dibagikan kepada seseorang sebanding dengan yang
seharusnya ia terima.
Selain itu, perlu juga ditekankan mengenai pribadi pemerintah yang adil.
Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme selama ini telah menjadi titik kelam yang
mengaburkan cita-cita kesejahteraan umum. St. Thomas Aquinas sendiri
menguraikan bahwa jika pemerintah tidak berupaya mencapai kesejahteraan umum
sebagai tujuan tertinggi dan berorientasi pada kepentingan privat yang egoistik
maka tidak tercapai keadilan. Oleh karena itu, pemerintah sebagai wakil rakyat
dan struktur negara perlu menghayati dan mengimplementasikan nilai keadilan
dalam hidup dan dalam penerapan kebijakan publik yang mampu membawa
kesejahteraan umum bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
4.3
Keadilan Dan
Agama
Wacana kebajikan moral tidak pernah terlepas dari persoalan teologis. Tuhan
sebagai Causa Prima sekaligus Ultissima Finem dari seluruh kebajikan
manusia karena kebajikan mendapat penegasan artinya sejauh terarah kepada
kebaikan (bonum). Dan Kebaikan
Tertinggi (Summum Bonum) adalah Tuhan
sendiri. Iustitia humana (keadilan
manusiawi) berakar pada iustitia divina (keadilan
ilahi).
Pancasila memiliki kesatuan sistem filsafat. Sila yang satu terkait erat
dengan sila yang lain. Oleh karena itu, hakikat filosofis sila keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan sosial yang ber-Ketuhanan yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan. Tuhan dipandang sebagai Causa Prima dan dasar tertinggi dari hakikat sila lainnya yakni
manusia, satu, rakyat dan juga adil. Dengan demikian, rakyat Indonesia harus
juga memenuhi kewajiban adil terhadap Tuhan.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mengungkapkan komitmen bangsa Indonesia
untuk menata kehidupan politik-publik atau dasar nilai-nilai moral universal
agama-agama serta budi pekerti yang luhur. Krisis moral yang dihadapi
masyarakat modern serta fenomena kebangkitan agama-agama dalam masyarakat
sekuler membuat paradigma Ketuhanan dalam kerangka Pancasila menjadi penting
dan semakin relevan.
4.4
Kritik Bagi Patologi Liberalisme
Pemaknaan keadilan Pancasilais dalam terang pemikiran St. Thomas Aquinas
kiranya dapat dipandang sebagai sebuah catatan kritis atas patologi masyarakat
liberal dan memunculkan beberapa rujukan positif untuk sebuah kehidupan
bersama. Dalam konteks diskursus teori keadilan modern, upaya untuk
merekonstruksi relevansi pemaknaan konsep keadilan (iustitia) bagi Sila V Pancasila berada dalam lajur diskursus teori
keadilan komunitarisme yang secara konseptual mengkritik dominasi teori
keadilan liberalisme.
Keadilan dalam pemikiran St. Thomas Aquinas selalu berhubungan secara
primer dengan relasi sosial manusia. Teori keadilan komunitarisme juga memberikan aksentuasi
pada sosialitas manusia. Dan, seperti antropologi komunitarian, Pancasila juga
memberikan penekanan pada dimensi sosial hidup manusia.
Menurut komunitarisme, liberalisme memandang manusia sebagai individu yang
terisolasi dalam satu ruang kecil yang terlindungi, mengejar kebaikannya
sendiri melalui caranya sendiri-sendiri. Kecenderungan untuk menekankan hak individu jika
mengabaikan tuntutan-tuntutan sosial dalam bingkai hidup yang baik demi prospek
bonum commune akan berdampak pada
individualisme dalam kehidupan sosial yang justeru mengancam kebersamaan. St.
Thomas Aquinas sendiri menekankan bahwa kebaikan pribadi harus diletakkan di
bawah kepentingan umum. Baginya, keadilan selalu terarah pada bonum commune.
Setelah era reformasi, Indonesia mulai terbuka terhadap pandangan liberal
yang melihat perkara hak asasi manusia dan kebebasan sebagai unsur-unsur
penting dalam membangun kesejahteraan bersama. Namun, arus liberalisme yang
cenderung bersifat individualis, bertentangan dengan semangat hidup bangsa
Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Adanya fenomena individualisme mulai
menggerogoti masyarakat Indonesia. Penekanan pada aspek hak akhirnya juga
mengikis rasa solidaritas dan nasionalisme. Kebebasan lebih mengarah pada
anarkisme yang berujung pada kekerasan.
Patologi liberalisme yang dewasa kini menggerogoti masyarakat Indonesia
juga telah merongrong kesadaran kolektif akan Pancasila sebagai identitas
kolektif seluruh rakyat Indonesia. Lemahnya kesadaran akan tuntutan etis untuk
menghidupi kebaikan bersama menunjukkan lemahnya solidaritas sosial. Belajar
pada pemikiran St. Thomas Aquinas tentang keadilan yang mengarah pada bonum commune dan spiritualitas
Pancasila dengan penekanan pada asas kekeluargaan, kiranya dapat membantu
masyarakat Indonesia modern untuk mengkritisi bahaya individualisme dari
masyarakat liberal.
III.
PENUTUP
Memperhadapkan konsep keadilan (iustitia)
St. Thomas Aquinas dengan konsep keadilan dalam Pancasila merupakan sebuah
gagasan untuk menghidupi dan memaknai Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Pergulatan intelektual untuk menemukan titik temu relevansi pemikiran menjadi
upaya untuk mengangkat kembali nilai-nilai luhur Pancasila dalam diskursus
intelektual. Relevansi pemaknaan nilai keadilan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan di Indonesia, seperti diskurus keadilan dan hukum, kedilan dan
politik, keadilan dan agama, serta relevansi kritis atas patologi liberalisme
merupakan butir-butir relevansi pemikiran yang dapat dijadikan medan refleksi
bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia demi terwujudnya
bonum commune.
Pemaknaan nilai-nilai Pancasila sebagai identitas bangsa dan negara
Indonesia merupakan ihwal yang sangat urgen, khususnya dalam fenomena
mengikisnya kesadaranakan identitias kolektifnya sendiri. Chantal Mauffe ingin
memberikan awasan kritis bahwa tak pernah ada identitas yang sudah selesai.
Yang ada adalah proses konstruksi identitas kolektif yang tak pernah berakhir.
“Niemals Identität, immer
Identifizierungen; Tak penah ada identitas, tapi proses identifikasi.”
Upaya untuk menggali relevansi konsep keadilan (iustitia) St. Thomas Aquinas terhadap pemaknaan sila V Pancasila
ini dapat dibaca sebagai sebuah konstruksi terhadap identitas bangsa Indonesia,
yang perlu terus-menerus dihidupi dan dimaknai sebagai sebuah proses
identifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
De Aquino, Sancti Thomae,Summa Theologiae IIaIIae,
cum textu ex Recensione Leonina, Italy: Marietti Editori Ltd, 1962.
______________________, Summa Theologica (Vol.
II-III), translated by the Fahters of the English Dominican Province, New
York: Benziger Brothers, 1948.
______________________, Summa Contra Gentiles, Textum
Leonium emandatum ex plagulis de prelo Taurini 1961.
______________________, Commentary on Aristotle’s Politics, Translated
by Richard J. Regan, Hackett Publishing Company, Inc.,: Indianapolis/Cambridge,
2007.
Agustinus, De Moribus Ecclesiae Catholicae, trans.
by Rev. Richard Stothert, M.A, The Morals of Catholic Church, in
Philip Schaft, Nicene and Post-Nicene Fathers Series I Volume 4, Grand Rapids,
MI: Christian Classic Ethereal Library yang diakses dari www.ccel.org/ccel/shaft/npnf.1024.html as we found it on
24 Juli 2015 12:08:51.
Arsitotle, Nichomacean Ethics, New York: Oxford
University Press, 1998.
Bigongiari, Dino (ed.), The Political Ideas of St. Thomas
Aquinas, New York: Hafner Publishing Company, Inc, 1953.
Dyson, R.W, Aquinas Political Writings, New
York: Cambridge University Press, 2002.
Jegalus, Norbertus, Hukum Kata Kerja; Diskursus Filsafat tentang
Hukum Progresif, Jakarta: Obor, 2011.
Kaelan, H.,Negara Kebangsaan Pancasila; Kultural,
Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya,Yogyakarta: Paradigma,
2013.
Madung, Otto Gusti,Filsafat Politik; Negara dalam Bentangan
Diskursus Filosofis, Maumere: Ledalero, 2013.
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta:
Pantjuran Tujuh, 1975.
Peschke, Karl-Heinz,Etika Kristiani; Jilid III Kewajiban Moral
dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003.
Schmandt, J. Hendry,
Filsafat Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Spiazzi, Raimondo, Principi Di Etica Sociale, Bologna-Italia:
PDUL Edizioni Studio Domenicano, 1989.
Sumaryo, E, Etika Profesi Hukum, Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Weithman, J. Paul, “Complementarity and Equality in The
Political Thought of Thomas Aquinas,” dalam Michael A. Fahey, SJ, et. al., (eds.), Theological Studies, Vol.
59, No. 2, Juni 1998.
Wolff, Jonathan, An Introduction to Political Philosophy, diterj.
oleh: M. Nur Prabowo Setyabudi dalam Pengantar Filsafat Politik, Bandung:
CV Nusa Media, 2013.
No comments:
Post a Comment