Lukas Benevides, CMF
(Staf Pengajar
Pra-Novisiat Claret Kupang)
Di dalam bahasa
Inggris, istilah democracy sering
dipelesetkan menjadi “Democraczy”. Terminologi democraczy bukan permainan kata nirmakna. Neologi ini secara sederhana
menyingkapkan sisi gila demokrasi. Indonesia memiliki banyak sampel kegilaan
demokrasi, misalnya kasus tragedi politik Basuki Tcahaya Purnama, aneka black campaign yang menyerang Pemerintah,
beberapa kasus persekusi atas kelompok LGBT, GAFATAR, dan fenomena intoleransi
keagamaan.
Masyarakat Indonesia
pada tahun ini akan menyelenggarakan Pemilihan Presiden, anggota DPR RI, DPRD,
dan DPD. Tahun politik lazimnya bersuhu panas. Kita seolah mengalami gangguan
psikis-neurologis dan tensi tinggi. Tahun politik bukan momentum berpesta,
melainkan ajang adu jotos. Anggapan ini mungkin mengeneralisasi, tetapi kita
tidak bisa menutup mata terhadap fakta di beberapa daerah, bahkan di ibu kota
negara.
Heterofobia dan
ketakutan untuk berbeda seperti di atas akan tetap langgeng selama paradigma
demokrasi kita malah menyempit, terjebak dalam elektoralisme, dan berjiwa
otoriter. Saya kira kita perlu melukis ulang wajah demokrasi. Bila demikian,
apa konstruksi demokrasi yang komprehensif-kontekstual untuk mencegah terulangnya konflik masa lalu?
Pasang-surut
demokrasi
Dalam 20 tahun
terakhir, pasca kejatuhan komunisme, terjadi 'global resurgence of democracy'
(Weale, 1999:1). Sejak komunisme runtuh, demokrasi mendapat angin segar untuk
mengepakkan sayap ke berbagai sudut dunia. Bagi Jean Baechler, alasan demokrasi
bertumbuh subur ialah demokasi modern selalu efisien dan cinta damai (Baechler,
2001: 271-272). Kecuali demokrasi, sistem pemerintahan lain cenderung menjadi
despotik (Quinton, 1967:130).
Terdapat korelasi
antara negara-negara dengan tingkat ekonomi tinggi dan demokrasi. Negara-negara
yang menganut demokrasi biasanya maju secara ekonomi. Fukuyama memandang
pertumbuhan ekonomi dapat mendorong demokrasi melalui mobilisasi sosial. Ia
yakin bahwa proses demokrasi menyebar luas dan akan semakin luas di masa depan
(Fukuyama, 2014: Bab 27).
Meskipun
tersebar luas, sistem demokrasi ditengarai krisis dalam beberapa tahun terakhir
(Kompas, 17/12/2018). Kebangkitan Cina sebagai negara sejahtera dengan ekonomi
raksasa kedua dunia setelah AS menyediakan alternatif sistem politik dan
tandingan bagi demokrasi (Bell, 2015). Eric X Li menolak tesis Fukuyama bahwa
demokrasi akan menjadi corak tunggal sistem politik semua negara (Li, 2013;
Kompas, 17/12/2018). Sistem demokrasi tidak lagi berada pada status aman.
Mengapa demokrasi liberal mengalami krisis dalam satu dekade terakhir?
Membangun
paradigma baru demokrasi
Cantal
Mouffe dan Ernesto Laclau mengusulkan proyek demokrasi pluralistik radikal
untuk menanggulangi krisis demokrasi. Bagi mereka, demokrasi liberal dan
sosialisme sama-sama mengalami krisis (Laclau-Mouffe, 1985:xiv). Artinya, kita
tidak bisa meninggalkan demokrasi liberal dan berbalik ke demokrasi sosial atau
sebaliknya. Cantal-Laclau mengambil jalur tengah, bukan untuk mensinkronkan,
melainkan memperluas perspektif keduanya (1985:xv), yakni dengan meradikalisasi
demokrasi. Demokrasi radikal bukan liberal juga bukan komuniter. Nilai-nilai
komunitas pra-modern diwariskan, tetapi direfomulasikan secara berbeda untuk
mengakomodasi pengakuan akan konflik, antagonisme, dan divisi (Mouffe,
1992:12). Konfrontasi demokrasi liberal dan sosialisme bukan dengan negosiasi,
melainkan kontaminasi. Ketika saling berkontaminasi, keduanya menjadi lebih
kaya, menjadi ‘gestaltic' yang lebih dari jumlah total bagian-bagiannya
(Mouffe, 2000:10).
Masalah utama
krisis demokrasi modern adalah terdapat inkompatibilitas di antara klaim
kebebasan dan kesetaran. Namun bagi, Laclau-Cantal, “tensi ini bukanlah
fatalitas melainkan sumber vital bagi demokrasi radikal” (Smith, 1998:8-9).
Dalam mengatasi krisis demokrasi (liberal) modern, Cantal-Laclau mengadopsi
tradisi liberalisme dan sosialisme sekaligus (Mouffe, 1992:2). Menerima tensi
liberalisme dan demokrasi sebagai paradoks membuka banyak kemungkinan menarik.
Misalnya, mencegah perkembangan logika kedua tradisi menjadi total tertutup
atau diseminasi sehingga tersingkap kemungkinan bentuk pluralis eksistensi
manusia. Dengan demikian, hak, kebebasan, dan kesetaraan dapat berkoeksistensi
dan dipraktekkan (Mouffe, 2000:10-11).
Di dalam masyarakat
demokratik radikal, akan ada akses terhadap sumber-sumber material yang niscaya
bagi perkembangan diri, partisipasi yang penuh makna dalam pembuatan keputusan
secara sosial, budaya, politik, dan ekonomi (Smith, 1998:30-31). Demokrasi
pluralistik radikal mensyaratkan redistribusi kekuasaan yang intens dan
pembongkaran lengkap atas struktur-strukur yang menginstitusionalisasi
ketidaksetaraan, termasuk eksploitasi kapitalis, seksisme, homofobia, dan
rasisme (Laclau-Mouffe, 1985:xviii). Demokrasi radikal meniscayakan
transformasi ekonomi dan bentuk-bentuk solidaritas politik yang progresif pada
level transnasional. Ia menghidupkan kembali aspek paling progresif dari
tradisi demokrasi liberal dan sosialis sambil bergerak mengatasi keterbatasan
mereka, memfusikan kedua tradisi tersebut sesuai kondisi politik kontemporer
(Smith, 1998:11,31; Mouffe, 1990:132, 229–230).
Laclau-Mouffe
mencari suatu strategi politik yang dapat mencapai unitas sekaligus
mempertahankan otonomi. Hanya dengan mengkonseptualisasi unitas artikulasi
hegemonik (Marchart, 2007:45), tujuan menyatukan gerakan-gerakan berbeda
menjadi kompatibel dengan tujuan mempreservasi otonomi (Laclau-Mouffe,
1985:166–7, 178, 181–183, 191). Laclau-Mouffe membangun teori yang memungkinkan
gerakan-gerakan demokrasi yang berbeda tanpa bayaran tokenisme, kooptasi, dan
asimilasi. Semua gerakan boleh bermunculan, tidak ada satu yang mendominasi dan
memaksakan agendanya. Namun, boleh ada suatu kelompok yang memimpin, nodal point dalam blok hegemoni
demokrasi radikal, melalui ‘bernegosiasi’ dengan semua kelompok progresif
(Smith, 1998:32).
Setiap kelompok
dibolehkan merekonstruksi identitas mereka lewat proses demokratik yang koedukatif.
Bukan untuk berkoalisi, melainkan negosiasi yang memungkinkan bangkitnya identitas
hibrid baru dan blok temporer. Perbedaan harus dirayakan sebagai hal yang baik,
sejauh perbedaan tidak mempromosikan dominasi dan ketidaksetaraan (Mouffe,
1992:13). Demokrasi radikal mempromosikan gerakan-gerakan sosial baru seperti,
“urban, ekologis, antiotoritarian, anti-institutional, feminis, anti-rasis,
etnik, minoritas regional dan seksual” (Laclau-Mouffe, 1985:159). Tugas
pluralisme demokratik radikal adalah berjuang melawan kekuasaan otokratik dalam
semua bentuknya supaya menginfilterasi berbagai ruang yang masih diliputi
pusat-pusat kekuasaan nondemokratik (Mouffe, 1993:94).
Demokrasi
pluralistik radikal hanya dapat berdiri dalam pengakuan atas multiplisitas
logika sosial dan keharusan artikulasinya. Namun, artikulasi ini harus selalu
diciptakan kembali dan direnegosiasikan. Karena itu, demokrasi radikal disebut
juga ketidakmungkinan radikal demokrasi yang dicapai secara penuh (Mouffe,
1992:14). Teori demokrasi radikal menolak teleologi, prediksi saintifik, dan
ramalan kenabian eskatologis (Smith, 1998:24). Demokrasi pluralistik radikal adalah
demokrasi agonistik yang menuntut menerima konflik dan divisi inheren dengan
politik dan tidak ada tempat di mana rekonsiliasi dapat dicapai secara
definitif sebagai aktualisasi penuh dari unitas masyarakat (Mouffe,
2000:15-16). Demokrasi pluralis dapat diinstansiasikan dengan sempurna bila ia
ditransformasikan menjadi ideal yang menolak dirinya sendiri karena kondisi
kemungkinannya pada saat yang sama adalah sekaligus ketidakmungkinan
implementasinya yang sempurna.
Demokrasi
Indonesia
Paradigma
demokrasi yang ditawarkan Cantal-Laclau di atas sangat urgen dan krusial untuk
Indonesia. Masyarakat Indonesia, di wilayah manapun, sangat heterogen. Karena
itu, gesekan fisik mudah terjadi. Padahal senggol-senggolan pendapat lumrah
bagi demokrasi. Demokrasi bukan perang, tetapi game politik. Game ini memiliki trajektori, tetapi membiarkan semua
bentuk keunikan dan perbedaan mencuat ke atas panggung politik. Panggung
demokrasi adalah milik semua orang. Saling menggangu, berbeda, adalah bagian
dari berdemokrasi. Justru menolak berbeda, kita malah
menjadi otoritarian, menolak demokrasi.