AGAMA: DAGANGAN LAMA
YANG MASIH LARIS
Oleh: Lukas
Benevides
(Staf
Pengajar Pra-Novisiat Claret, Kupang, Alumni Fakultas Filsafat Unwira Kupang)
Sejarah relasi
intim agama dan politik boleh dikatakan setua peradaban manusia. Sejak era
Mesir kuno, Babilonia, dan Yunani klasik, eksistensi dewa-dewi dan moralitas
dikaitkan dengan pemerintah dan negara (Bdk. Russel, 1945). Kemunculan kaum
Kristen dan Muslim semakin mempererat pelukan kedua instansi ini. Hingga sekarang
kita masih menyaksikan kemesraan relasi agama dan negara. Meskipun demikian,
intimitas agama (moralitas) dan negara (politik) bukan tanpa masalah. Sejarah
bangsa Eropa menjadi saksi banyak korban dilahirkan oleh perselingkuhan licik
agamadan negara (Bdk. 214-224). Anehnya, mengapa cumbuan agama dan politik
dipelihara hingga saat ini?
Dagangan
Agama masih laris
Di Barat, agama
memang dipisahkan dari negara, tetapi tetap berperan penting karena agama “terus
mempengaruhi proses politik melalui kemampuannya memainkan opini publik dan
perilaku memilih di antara kaum beriman, khususnya terkait masalah-masalah
religius” (Vieceli, 2013: 213). Ketika terjadi eksodus besar-besaran penduduk
beberapa negara Timur Tengah ke Eropa, popularitas partai-partai berhaluan agama
di Jerman, Austria, Perancis, dan beberapa negara Eropa menanjak drastis.
Elektabilitas partai berkulit agama meningkat cepat karena mereka mendagangkan
isu agama. Eropa sebagai benua Kristen menolak kehadiran imigran Muslim untuk
mencegah bahaya ‘islamisasi’.
Di Amerika
Serikat, sejak awal berkampanye, Donald Trump menggaungkan isu anti-Muslim.
Orang Muslim dari negara lain dilarang berkunjung ke Amerika Serikat. Padahal
negera adidaya ini memiliki banyak warga Muslim yang sudah menetap lama selama
beberapa generasi.
Jualan agama
malah lebih laris di Indonesia. Negeri yang sejak lahirnya menganut sistem
demokrasi ini rupanya tergiur juga dengan jualan partai agamais. Kasus mantan
Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, merupakan salah satu fenomena eksplisit
bahwa agama masih memiliki taring di arena politik. Ahok kalah dalam
pertarungan PILGUB DKI dan dijebloskan ke dalam penjara karena propaganda
politik bertopeng agama (Bdk. Mufrodi, 2017: 3-14).
Peristiwa lain
yang tidak kalah membelalakan mata kita adalah terpilihnya Kiai Ma’ruf Amin
sebagai Cawapres Pak Jokowi untuk periode 2019-2024. Sebelumnya, Prof. Dr.
Mahfud MD sudah dihubungi pihak Pak Jokowi sebagai CAWAPRES. Namun, di injury time Ma’ruf Amin yang
dideklarasikan sebagai pendamping serasi Jokowi. Pak Jokowi terpaksa memilih
Ma’ruf Amin untuk mengakomodir suara kaum agamawan dan untuk mencegah potensi
kekalahan.
Pemandangan
menarik serupa terjadi di NTT. PILGUB NTT sejak dahulu selalu dimainkan oleh
para politisi dari dua mainstream umat:
Katolik dan Protestan. Setiap pasangan CAGUB-CAWAGUB selalu diisi dengan
politisi yang beridentitas Katolik dan atau Protestan. Padahal, tidak tercantum
di dalam Peraturan Daerah NTT bahwa pasangan CAGUB-CAWAGUB NTTharus berasal
dari Gereja Katolik dan atau Protestan.
Menariknya, walaupun
sentimen agama yang dimainkan partai-partai agamais Eropa dan Indonesia, Trump,
dan politisi ‘abalan’ tidak berbasis data-fakta, banyak orang tetap percaya.
Padahal, masyarakat Eropa Barat dan Amerika Serikat dikenal sebagai warga
toleran-rasional yang lahir dari rahim peradaban demokrasi. Indonesia menganut
demokrasi Pancasila yang tercantum di dalam Konstitusi Dasar. NTT tidak
memiliki legitimasi hukum perihal background
agama politisi. Mengapa fact-checking
dan penjelasan ilmiah tidak juga mampu menjernihkan pandangan dan keyakinan
banyak orang untuk menolak percaya pada kampanye rasis-agamais?
Religious Rivival
Memasuki era
modern bangsa-bangsa Eropa membunyikan gendang perang atas agama. Agama dipaksa
untuk menjadi urusan privat. Meskipun
demikian, benteng agama masih bertahan ketika badai sekularisme berlalu.
Banyak ahli menyebutnya “Religious Rivival” (Bdk. Taylor, 2007). Bukannya
bersembunyi di balik kamar pribadi, agama sebaliknya semakin bergairah
memamerkan wajahnya di arena publik. Agama tidak kehilangan fungsinya untuk
mengorganisir hidup bersama. Seruan-seruan profetis kaum agamawan masih
dipandang memiliki legitimasi moralitas dan politik.
Memasuki era pascamodern,
ketika semua ideologi, termasuk agama, yang mendaku grand-narasi ditelanjangi dan dipaksa menjadi narasi-narasi kecil
(Bdk. Lyotard, 1948), agama juga tidak tergerus. Pengaruh agama di ruang publik
tidak terkikis sedikit pun. Suara-suara dan teladan hidup agamawan masih
menjadi referensi. Kita sebut saja Paus Fransiskus yang pernah dinobatkan
sebagai Person of the Year versi
majalah kelas dunia, Time, pada 2013.
Agama
sebagai Bonding dan
Bridging
Istilah bonding dan
bridging dipopulerkan oleh Robert
Putman dalam bukunya Making Democracy
Works (2004). Secara singkat, konsep bonding
dan bridging berkaitan dengan
soal membangun jembatan relasi dengan orang atau kelompok lain. Putman
memaksudkan bonding sebagai membangun
jaringan sosial di antara kelompok homogen, memperkuat kapasitas kelompok
marginal, dan menjaga kepentingan kelompok dari invasi kelompok lain. Sementara
itu, istilah bridging memungkinkan
jejaring antar kelompok sosial heterogen. Bridging
memampukan berbagai kelompok berbeda untuk berbagi wawasan dan pengalaman.
Keberadaan agama tidak selalu menjadi biang masalah
dalam hidup bersama. Bagaimanapun orang Eropa tidak bisa menyangkal fakta bahwa
Gereja Katolik memainkan peran besar dalam meletakkan dan membentuk peradaban
Barat. Agama memiliki banyak kontribusi positif di dalam hidup bersama. Salah
satunya, agama dapat menjadi instrumen bonding
dan bridging. Agama dapat
memainkan peran sebagai jembatan yang menghubungkan keberbedaan di dalam
interaksi sosial. Dengan demikian, agama memiliki kapasitas untuk menetralisir
tingginya tensi gesekan konfliktual horizon dan vertikal.
Dagangan
Agama:Frame Ideologis
Kita
tidak bisa memelak dan menghindari fakta bahwa agama tetap merupakan ikon
penting di dalam hidup berbangsa dan bernegara. Namun, ada bahaya ketika agama
terlalu mendominasi ruang hidup masyarakat. Spiritualitas puritanisme berasal
dari agama. Spiritualitas ini kental sekali di dalam panorama hidup masyarakat
Indonesia. Spiritualitas
puritanismemelahirkan radikalisme agama. Kurang lebih ada tiga alasan peran
agama yang rentan kekerasan, yakni
sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi
ideologi), faktor identitas, dan
legitimasi hubungan
sosial (Haryatmoko, 2010:
84-85; 2014:71-73).
Pertama, sebagai ideologi agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka
penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan
sosial.
Kedua, agama
berperan sebagai faktor identitas: kepemilikan atas kelompok sosial tertentu
memberi
stabilitas sosial,
status, pandangan
hidup,
cara berpikir,
etos, dan
identitas etnis (Aceh Muslim, Flores Katolik, Manado Protestan, dll).
Ketiga, sebagai
legitimasi etis hubungan sosial, suatu tatanan sosial mendapatkan dukungan etis
dari agama bila sesuai ajaran agama.
Minusnya ketika
agama menjadi dagangan yang laris ialah agama menentukan frame ideologis seseorang sehingga konstituen cenderung memilih
orang yang seagama. Sebagai frame
dalam membaca realitas, agama dapat memotong dan membingkai realitas sesuai
preferensi sehingga konstituen menutup mata terhadap kompetensi calon. Calon
pejabat publik yang tidak kompeten pun bisa dipilih, yang penting seagama.
Bahaya lain, munculnya moralisme politik yang dimainkan oleh para politisi.
Padahal politisi seharusnya etikawan, bukan moralis. Politisi ketika menjadi pejabat
publik, ia tidak boleh terikat dengan moralitas partikular
agamanya. Kita memilih pemimpin pemerintahan, bukan pemimpin agama.