Saturday, May 4, 2019

Agama: Dagangang Lama Yang Masih Laris


AGAMA: DAGANGAN LAMA YANG MASIH LARIS

Oleh: Lukas Benevides
(Staf Pengajar Pra-Novisiat Claret, Kupang, Alumni Fakultas Filsafat Unwira Kupang)


Sejarah relasi intim agama dan politik boleh dikatakan setua peradaban manusia. Sejak era Mesir kuno, Babilonia, dan Yunani klasik, eksistensi dewa-dewi dan moralitas dikaitkan dengan pemerintah dan negara (Bdk. Russel, 1945). Kemunculan kaum Kristen dan Muslim semakin mempererat pelukan kedua instansi ini. Hingga sekarang kita masih menyaksikan kemesraan relasi agama dan negara. Meskipun demikian, intimitas agama (moralitas) dan negara (politik) bukan tanpa masalah. Sejarah bangsa Eropa menjadi saksi banyak korban dilahirkan oleh perselingkuhan licik agamadan negara (Bdk. 214-224). Anehnya, mengapa cumbuan agama dan politik dipelihara hingga saat ini?

Dagangan Agama masih laris
Di Barat, agama memang dipisahkan dari negara, tetapi tetap berperan penting karena agama “terus mempengaruhi proses politik melalui kemampuannya memainkan opini publik dan perilaku memilih di antara kaum beriman, khususnya terkait masalah-masalah religius” (Vieceli, 2013: 213). Ketika terjadi eksodus besar-besaran penduduk beberapa negara Timur Tengah ke Eropa, popularitas partai-partai berhaluan agama di Jerman, Austria, Perancis, dan beberapa negara Eropa menanjak drastis. Elektabilitas partai berkulit agama meningkat cepat karena mereka mendagangkan isu agama. Eropa sebagai benua Kristen menolak kehadiran imigran Muslim untuk mencegah bahaya ‘islamisasi’.
Di Amerika Serikat, sejak awal berkampanye, Donald Trump menggaungkan isu anti-Muslim. Orang Muslim dari negara lain dilarang berkunjung ke Amerika Serikat. Padahal negera adidaya ini memiliki banyak warga Muslim yang sudah menetap lama selama beberapa generasi.
Jualan agama malah lebih laris di Indonesia. Negeri yang sejak lahirnya menganut sistem demokrasi ini rupanya tergiur juga dengan jualan partai agamais. Kasus mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, merupakan salah satu fenomena eksplisit bahwa agama masih memiliki taring di arena politik. Ahok kalah dalam pertarungan PILGUB DKI dan dijebloskan ke dalam penjara karena propaganda politik bertopeng agama (Bdk. Mufrodi, 2017: 3-14).
Peristiwa lain yang tidak kalah membelalakan mata kita adalah terpilihnya Kiai Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Pak Jokowi untuk periode 2019-2024. Sebelumnya, Prof. Dr. Mahfud MD sudah dihubungi pihak Pak Jokowi sebagai CAWAPRES. Namun, di injury time Ma’ruf Amin yang dideklarasikan sebagai pendamping serasi Jokowi. Pak Jokowi terpaksa memilih Ma’ruf Amin untuk mengakomodir suara kaum agamawan dan untuk mencegah potensi kekalahan.
Pemandangan menarik serupa terjadi di NTT. PILGUB NTT sejak dahulu selalu dimainkan oleh para politisi dari dua mainstream umat: Katolik dan Protestan. Setiap pasangan CAGUB-CAWAGUB selalu diisi dengan politisi yang beridentitas Katolik dan atau Protestan. Padahal, tidak tercantum di dalam Peraturan Daerah NTT bahwa pasangan CAGUB-CAWAGUB NTTharus berasal dari Gereja Katolik dan atau Protestan.
Menariknya, walaupun sentimen agama yang dimainkan partai-partai agamais Eropa dan Indonesia, Trump, dan politisi ‘abalan’ tidak berbasis data-fakta, banyak orang tetap percaya. Padahal, masyarakat Eropa Barat dan Amerika Serikat dikenal sebagai warga toleran-rasional yang lahir dari rahim peradaban demokrasi. Indonesia menganut demokrasi Pancasila yang tercantum di dalam Konstitusi Dasar. NTT tidak memiliki legitimasi hukum perihal background agama politisi. Mengapa fact-checking dan penjelasan ilmiah tidak juga mampu menjernihkan pandangan dan keyakinan banyak orang untuk menolak percaya pada kampanye rasis-agamais?

Religious Rivival
Memasuki era modern bangsa-bangsa Eropa membunyikan gendang perang atas agama. Agama dipaksa untuk menjadi urusan privat. Meskipun  demikian, benteng agama masih bertahan ketika badai sekularisme berlalu. Banyak ahli menyebutnya “Religious Rivival” (Bdk. Taylor, 2007). Bukannya bersembunyi di balik kamar pribadi, agama sebaliknya semakin bergairah memamerkan wajahnya di arena publik. Agama tidak kehilangan fungsinya untuk mengorganisir hidup bersama. Seruan-seruan profetis kaum agamawan masih dipandang memiliki legitimasi moralitas dan politik.
Memasuki era pascamodern, ketika semua ideologi, termasuk agama, yang mendaku grand-narasi ditelanjangi dan dipaksa menjadi narasi-narasi kecil (Bdk. Lyotard, 1948), agama juga tidak tergerus. Pengaruh agama di ruang publik tidak terkikis sedikit pun. Suara-suara dan teladan hidup agamawan masih menjadi referensi. Kita sebut saja Paus Fransiskus yang pernah dinobatkan sebagai Person of the Year versi majalah kelas dunia, Time, pada 2013.

Agama sebagai Bonding dan Bridging
Istilah bonding dan bridging dipopulerkan oleh Robert Putman dalam bukunya Making Democracy Works (2004). Secara singkat, konsep bonding dan bridging berkaitan dengan soal membangun jembatan relasi dengan orang atau kelompok lain. Putman memaksudkan bonding sebagai membangun jaringan sosial di antara kelompok homogen, memperkuat kapasitas kelompok marginal, dan menjaga kepentingan kelompok dari invasi kelompok lain. Sementara itu, istilah bridging memungkinkan jejaring antar kelompok sosial heterogen. Bridging memampukan berbagai kelompok berbeda untuk berbagi wawasan dan pengalaman.
Keberadaan agama tidak selalu menjadi biang masalah dalam hidup bersama. Bagaimanapun orang Eropa tidak bisa menyangkal fakta bahwa Gereja Katolik memainkan peran besar dalam meletakkan dan membentuk peradaban Barat. Agama memiliki banyak kontribusi positif di dalam hidup bersama. Salah satunya, agama dapat menjadi instrumen bonding dan bridging. Agama dapat memainkan peran sebagai jembatan yang menghubungkan keberbedaan di dalam interaksi sosial. Dengan demikian, agama memiliki kapasitas untuk menetralisir tingginya tensi gesekan konfliktual horizon dan vertikal.

Dagangan Agama:Frame Ideologis
            Kita tidak bisa memelak dan menghindari fakta bahwa agama tetap merupakan ikon penting di dalam hidup berbangsa dan bernegara. Namun, ada bahaya ketika agama terlalu mendominasi ruang hidup masyarakat. Spiritualitas puritanisme berasal dari agama. Spiritualitas ini kental sekali di dalam panorama hidup masyarakat Indonesia. Spiritualitas puritanismemelahirkan radikalisme agama. Kurang lebih ada tiga alasan peran agama yang rentan kekerasan, yakni  sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologi), faktor identitas, dan legitimasi hubungan sosial (Haryatmoko, 2010: 84-85; 2014:71-73).
Pertama, sebagai ideologi agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Kedua, agama berperan sebagai faktor identitas: kepemilikan atas kelompok sosial tertentu memberi stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos, dan identitas etnis (Aceh Muslim, Flores Katolik, Manado Protestan, dll). Ketiga, sebagai legitimasi etis hubungan sosial, suatu tatanan sosial mendapatkan dukungan etis dari agama bila sesuai ajaran agama.
Minusnya ketika agama menjadi dagangan yang laris ialah agama menentukan frame ideologis seseorang sehingga konstituen cenderung memilih orang yang seagama. Sebagai frame dalam membaca realitas, agama dapat memotong dan membingkai realitas sesuai preferensi sehingga konstituen menutup mata terhadap kompetensi calon. Calon pejabat publik yang tidak kompeten pun bisa dipilih, yang penting seagama. Bahaya lain, munculnya moralisme politik yang dimainkan oleh para politisi. Padahal politisi seharusnya etikawan, bukan moralis. Politisi ketika menjadi pejabat publik, ia tidak boleh terikat dengan moralitas partikular agamanya. Kita memilih pemimpin pemerintahan, bukan pemimpin agama.