Wednesday, February 19, 2020

ANALITIKA BAHASA ALFRED JULES AYER


ANALITIKA BAHASA ALFRED JULES AYER
TENTANG PRINSIP VERIVIKASI

Oleh
Marianus Ans Lede


    I.               Pengantar     
Ayer yang terlibat dalam diskusi Lingkungan Wina berkenalan dengan salah seorang dari tokoh Der Wiener Kreis (Lingkungan Wina) itu antara Moritz Schlick dan Rudolf Carnap. Dalam pengantar bukunya Language, Truth and Logic Ayer mengakui pengaruh pemikiran kedua tokoh Lingkungan Wina itu dalam karyanya itu. Selain itu Ayer juga mengakui bahwa gagasan yang dituangkan dalam bukunya itu merupakan penjabaran dari ajaran Russel dan Wittgenstein, sedangkan corak logika dari kedua tokoh atomisme logil itu sendiri dipengaruhi oleh Berkeley dan David Hume. Di samping pengaruh pemikiran tokoh Lingkungan Wina dan Atomisme logik, Ayer juga mempelajari sejumlah besar gagasan Moore. Oleh karena itu, kendati Positivisme Logik telah bubar pada 1936, sejak kematian Moritz Schlick, namun gagasan mereka masih terdengar gaungnya, terutama dalam karya Ayer Language, Truth and Logic tersebut.
Ayer adalah seorang filsuf Oxford Inggris yang mengembangkan konsep filosofis positivisme logis secara lebih radikal. Positivisme Ayer bertujuan menghilangkan metafisika dan menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah. Ayer merumuskan prinsip dasar positivisme dalam suatu ungkapan terkenal: “Filsafat merupakan kegiatan mengungkapkan dan menentukan makna suatu pernyataan”. Yang dimaksudkan dengan filsafat di sini adalah positivisme. Filsafat harus berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya yang utama membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris. Filsafat sebagai  analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah, kebanyakan filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa.
Logika positivisme adalah salah satu gerakan filsafat yang terbesar sepanjang abad dua puluh. Logika positivisme secara umum, berakar pada sebuah tesis tentang kriteria dari pemaknaansesuatu hal. Makna dari sebuah pernyataan, menurut pandangan ini, dapat diberikan dengan menetapkan langkah-langkah yang dapat diambil untuk membuktikan apakah kalimat itu benar atau salah. Yang paling penting dari logika positivisme adalah bukan tentang benar salahnya sebuah pernyataan – dimana hal ini merupakan tugas dari ilmu pengetahuan alam – melainkan makna dari pernyataan tersebut.
Dalam verifikasi Ayer, dibedakan atas dua jenis verifikasi yaitu verifikasi Ketat (strong) dan verifikasi lemah (weak). Verifikasi dalam arti ketat menunjukan kebenaran suatu proposisi didukung oleh pengalaman secara meyakinkan. Sebuah pernyataan benar jika dan hanya jika disimpulkan oleh adanya penelitian. Sedangkan verifikasi lemah, suatu proposisi dikatakan dapat ditasdikan atau dibuktikan, dalam arti lemah jika pernyataan itu mengandung suatu kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan. Dibandingkan dengan verifikasi dalam arti ketat, verifikasi lemah / longgar membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa depan) sebagai pernyataan yang mengandung makna. Anda akan mendapat lebih sedikit persoalan jika anda memilih untuk menggunakan verifikasi yang lemah dan mempertahankan bahwa penelitian tidak dibutuhkan untuk menyatakan bahwa sesuatu itu benar atau salah dalam sebuah  proposisi. Inilah yang dilakukan oleh Ayer.
II.               Isi
Ayer bersama para tokoh analitika bahasa yang lain menerapkan teknik analisis bahasa yang berbeda satu sama lain, serta menentukan kriteria yang berlainan tentang istilah atau ungkapan yang bermakna. Oleh karena itu kebanyakan ahli filsafat menganggap kehadiran metode analisis bahasa ini dalam kancah filsafat, tidak saja merupakan reaksi terhadap metode filsafat sebelumnya, akan tetapi juga menandai kelahiran atau munculnya suatu metode berfilsafat yang baru, yang bercorak “logosentrisme, artinya pandangan yang menganggap bahasa sebagai objek terpenting dalam pemikiran mereka.”
Filsafat berkaitan dengan masing-masing ilmu dan dengan cara yang akan kami tunjukan, kami bermaksud untuk mengesampingkan anggapan bahwa filsafat dapat berkisar di samping ilmu-ilmu yang ada, sebagai departemen khusus pengetahuan spekulatif. Mereka yang membuat anggapan ini sangat menghargai keyakinan bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang mungkin merupakan objek dari pengetahuan spekulatif dan masih berada di luar lingkup sains empiris. Tetapi keyakinan ini adalah khayalan. Tidak ada bidang pengalaman yang pada prinsipnya tidak dapat di bawah ke dalam beberapa bentuk hukum ilmiah. Dan tidak ada jenis pengetahuan spekulatif tentang dunia yang pada prinsipnya berada di luar kekuatan sains. Kami mengusahakan beberapa cara untuk mendukung proposisi ini dengan menghancurkan metafisika. Kita sekarang berada dalam posisi untuk melihat bahwa fungsi filsafat sepenuhnya adalah kritik. Fungsi filsafat, ia menyatakan ‘sepenuhnya kritis’; 'Ini adalah kegiatan analisis'; dan gagasan bahwa filsafat adalah 'pencarian prinsip-prinsip pertama' adalah takhayul yang darinya kita dibebaskan untuk mengabaikan metafisika.
Kemudian, yang dimaksudkan verifikasi oleh Ayer adalah bukan menentukan kebenaran suatu ucapan, tetapi menentukan maknanya. Artinya, suatu ucapan (proposisi, kalimat) yang bermakna bisa benar atau salah. Menurut Ayer hanya bermakna suatu ucapan yang merupakan observation-statement atau pernyataan yang menyangkut realitas indrawi, atau juga bisa disebut suatu ucapan yang dilakukan berdasarkan observasi. Orang harus tahu observasi-observasi mana akan membuat dia, dengan syarat-syarat tertentu, menerima proposisi sebagai benar atau menolaknya sebagai salah.
Ayer lalu memilih verifikasi lemah untuk mempertahankan proposisi-proposisi agar tetap ilmiah. Alasannya untuk melakukan hal tersebut adalah, bahwa keilmiahan kadang-kadang dihasilkan dengan memperlihatkan bahwa sebuah pernyataan tentang suatu penelitian dapat dapat disimpulkan dari sebuah proposisi ilmiah yang dirangkai dengan yang lain, yaitu proposisi tambahan. Namun ada kesulitan lain. Setelah memperkenalkan persyaratan verifikasi 'lemah', Ayer berkomentar bahwa 'tampaknya cukup bebas’ untuk mengakomodasi hukum alam; dan dalam pengantar barunya dia harus mengakui bahwa 'sebenarnya ini terlalu bebas, karena memungkinkan makna untuk pernyataan apapun'.
Prinsip verifikasi empiris mempunyai implikasi radikal bahwa kalimat-kalimat metafisika dan etika harus dianggap tidak bermakna dan karena itu sah. Mengapa demikian? Pernyataan metafisika, justru karena bersifat meta-fisika, melampaui alam inderawi dan karena itu memang tidak pernah dapat dipastikan secara empiris. Istilah seperti “substansi”, “hakikat”, “sebab-akibat”, “roh”, “akal budi”, tetapi juga “Tuhan”, memang tidak menunjuk pada alam indrawi, maka tidak dapat diverifikasi secara empiris dan oleh karena itu oleh Positivisme Logis dianggap tidak bermakna atau kosong. Bukannya seakan-akan Positivisme Logis menyatakan kalimat seperti “Allah ada” salah, melainkan kalimat itu dianggap kosong, tanpa arti. Kalimat ini tidak salah dan juga tidak benar, melainkan tanpa makna. Begitu pula kalimat “Allah tidak ada” sama saja tidak terbuka pada verifikasi dan karena itu tidak bermakna.
Hal yang sama berlaku bagi semua pernyataan etika normatif. Apakah sebuah perbuatan “baik atau buruk”, “dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan”, “secara moral wajib atau terlarang “ tidak dapat diverifikasi secara empiris dan karena itu tidak merupakan pernyataan bermakna. “Positivisme Logis bukannya mengajukan pertanyaan moral dan tidak berhasil menjawabnya. Melainkan mereka ‘menolak pertanyaan-pertanyaan itu sendiri’.” Posisi itu disebut nonkognitivisme etis, karena, berlawanan dengan kognitivisme etis, menyangkal bahwa pernyataan-pernyataan etis dapat diketahui apakah benar atau salah. Kata-kata dan pernyataan-pernyataan moral tidak mempunyai kognitif. Dengan demikian, etika normatif yang justru meneliti pernyataan moral mana yang benar dan mana yang tidak, menjadi tidak mungkin. Yang mungkin hanyalah metaetika, analisis logis terhadap bahasa yang dipakai dalam etika.
Kriteria apa – jika ada – untuk membedakan makna dari yang tak bermakna? Kriteria yang kita gunakan untuk menguji keaslian pernyataan fakta nyata adalah kriteria verifikasi. Kriteria verifikasi harus dibedakan dari ‘prinsip verifikasi’ Lingkungan Wina. Bahwa makna pernyataan adalah metode verifikasinya. Kriteria memberikan jawaban atas pertanyaan ‘kapan pernyataan itu bermakna?’ atau ‘Pernyataan macam apa yang bermakna?’, sedangkan prinsipnya adalah klaim tentang makna apa yag terkandung di dalamnya: itu adalah jawaban atas pertanyaan ‘what is meaning?’.
Ayer harus mengakui adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip verifikasi. Tidak perlu bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara langsung, tetapi cukuplah kalau verifikasinya dapat dilakukan secara tidak langsung. Misalnya kesaksian orang yang dapat dipercaya. Ayer menerima pembatasan ini, sebab – kalau tidak – semua ucapan tentang masa lampau menjadi tidak bermakna. Dengan kata lain, pembatasan ini perlu, supaya ilmu sejarah mungkin. Tidak perlu juga bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara lengkap, cukuplah jika ucapan itu dapat diverfikasi untuk sebagian saja. Kalau tidak maka suatu hukum umum seperti “Logam yang dipanaskan akan memuai” tidak akan bermakna. Karena pembatasa-pembatasan semacam itu Ayer hati-hati dalam merumuskan prinsip verifikasi.
Namun Ayer bukan tanpa persoalan. Keberatan yang paling paling kuat pada pandangan Ayer malah berasal dari refleksi atas prinsip verifikasi itu sendiri. Yaitu terdapat kesulitan umum dari prinsip verifikasi ini yang terlalu banyak menyingkirkan preposisi-preposisi dari metafisika dengan tetap memakai ilmu ilmiah saja. Dengan memilih verifikasi lemah pernyataan dikondisikan untuk tetap ilmiah. Dengan alasannya ialah keilmiahan kadang-kadang dihasilkan dengan memperlihatkan bahwa sebuah pernyataan tentang suatu penelitian dapat disimpulkan dari preposisi ilmiah yang dirangkai dengan yang lain, yaitu preposisi tambahan. Hal ini menunjukkan bahwa preposisi apapun -  bahkan preposisi metafisika yang amat mengawang-awang tentang yang Absolut – dapat dibuat bermakna sesuai prinsip verifikasi dengan merangkainya pada suatu proposisi-proposisi tambahan dan pernyataan-pernyataan penelitian.           
 III.          Penutup
Fungsi filsafat sepenuhnya adalah kritik. Fungsi filsafat, Ayer menyatakan ‘sepenuhnya kritis’; 'Ini adalah kegiatan analisis'; dan gagasan bahwa filsafat adalah 'pencarian prinsip-prinsip pertama' adalah takhayul yang darinya kita dibebaskan untuk mengabaikan metafisika. Kemudian, yang dimaksudkan verifikasi oleh Ayer adalah bukan menentukan kebenaran suatu ucapan, tetapi menentukan maknanya. Artinya, suatu ucapan (proposisi, kalimat) yang bermakna bisa benar atau salah.
Ayer merumuskan prinsip dasar positivisme dalam suatu ungkapan terkenal: “Filsafat merupakan kegiatan mengungkapkan dan menentukan makna suatu pernyataan”. Yang dimaksudkan dengan filsafat di sini adalah positivisme. Filsafat harus berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya yang utama membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris.
Prinsip verifikasi empiris mempunyai implikasi radikal bahwa kalimat-kalimat metafisika dan etika harus dianggap tidak bermakna dan karena itu sah. Mengapa demikian? Pernyataan metafisika, justru karena bersifat meta-fisika, melampaui alam inderawi dan karena itu memang tidak pernah dapat dipastikan secara empiris.
Dalam verifikasi Ayer, dibedakan atas dua jenis verifikasi yaitu verifikasi Ketat (strong) dan verifikasi lemah (weak). Verifikasi dalam arti ketat menunjukan kebenaran suatu proposisi didukung oleh pengalaman secara meyakinkan. Sebuah pernyataan benar jika dan hanya jika disimpulkan oleh adanya penelitian. Sedangkan verifikasi lemah, suatu proposisi dikatakan dapat ditasdikan atau dibuktikan, dalam arti lemah jika pernyataan itu mengandung suatu kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan. Dibandingkan dengan verifikasi dalam arti ketat, verifikasi lemah / longgar membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa depan) sebagai pernyataan yang mengandung makna.
Ayer lalu memilih verifikasi lemah untuk mempertahankan proposisi-proposisi agar tetap ilmiah. Alasannya untuk melakukan hal tersebut adalah, bahwa keilmiahan kadang-kadang dihasilkan dengan memperlihatkan bahwa sebuah pernyataan tentang suatu penelitian dapat dapat disimpulkan dari sebuah proposisi ilmiah yang dirangkai dengan yang lain, yaitu proposisi tambahan.
Ayer harus mengakui adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip verifikasi. Tidak perlu bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara langsung, tetapi cukuplah kalau verifikasinya dapat dilakukan secara tidak langsung. Misalnya kesaksian orang yang dapat dipercaya. Ayer menerima pembatasan ini, sebab – kalau tidak – semua ucapan tentang masa lampau menjadi tidak bermakna. Dengan kata lain, pembatasan ini perlu, supaya ilmu sejarah mungkin. Tidak perlu juga bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara lengkap, cukuplah jika ucapan itu dapat diverfikasi untuk sebagian saja. Kalau tidak maka suatu hukum umum seperti “Logam yang dipanaskan akan memuai” tidak akan bermakna. Karena pembatasa-pembatasan semacam itu Ayer hati-hati dalam merumuskan prinsip verifikasi.