ANALITIKA BAHASA ALFRED JULES AYER
TENTANG PRINSIP VERIVIKASI
TENTANG PRINSIP VERIVIKASI
Oleh
Marianus Ans Lede
Marianus Ans Lede
I.
Pengantar
Ayer yang terlibat dalam diskusi Lingkungan Wina berkenalan dengan
salah seorang dari tokoh Der Wiener Kreis
(Lingkungan Wina) itu antara Moritz Schlick dan Rudolf Carnap. Dalam
pengantar bukunya Language, Truth and
Logic Ayer mengakui pengaruh pemikiran kedua tokoh Lingkungan Wina itu
dalam karyanya itu. Selain itu Ayer juga mengakui bahwa gagasan yang dituangkan
dalam bukunya itu merupakan penjabaran dari ajaran Russel dan Wittgenstein,
sedangkan corak logika dari kedua tokoh atomisme logil itu sendiri dipengaruhi
oleh Berkeley dan David Hume. Di samping pengaruh pemikiran tokoh Lingkungan
Wina dan Atomisme logik, Ayer juga mempelajari sejumlah besar gagasan Moore.
Oleh karena itu, kendati Positivisme Logik telah bubar pada 1936, sejak
kematian Moritz Schlick, namun gagasan mereka masih terdengar gaungnya,
terutama dalam karya Ayer Language, Truth
and Logic tersebut.
Ayer adalah seorang filsuf Oxford Inggris yang mengembangkan
konsep filosofis positivisme logis secara lebih radikal. Positivisme Ayer
bertujuan menghilangkan metafisika dan menggunakan teknik analisis demi
penjelasan bahasa ilmiah. Ayer merumuskan prinsip dasar positivisme dalam suatu
ungkapan terkenal: “Filsafat merupakan kegiatan mengungkapkan dan menentukan
makna suatu pernyataan”. Yang dimaksudkan dengan filsafat di sini adalah
positivisme. Filsafat harus berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya
yang utama membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu
pengetahuan empiris. Filsafat sebagai
analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah, kebanyakan
filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan arti suatu istilah dan
pemakaian bahasa.
Logika positivisme adalah salah satu gerakan filsafat yang
terbesar sepanjang abad dua puluh. Logika positivisme secara umum, berakar pada
sebuah tesis tentang kriteria dari pemaknaansesuatu hal. Makna dari sebuah
pernyataan, menurut pandangan ini, dapat diberikan dengan menetapkan
langkah-langkah yang dapat diambil untuk membuktikan apakah kalimat itu benar
atau salah. Yang paling penting dari logika positivisme adalah bukan tentang
benar salahnya sebuah pernyataan – dimana hal ini merupakan tugas dari ilmu
pengetahuan alam – melainkan makna dari pernyataan tersebut.
Dalam verifikasi Ayer, dibedakan atas dua jenis verifikasi yaitu
verifikasi Ketat (strong) dan
verifikasi lemah (weak). Verifikasi
dalam arti ketat menunjukan kebenaran suatu proposisi didukung oleh pengalaman
secara meyakinkan. Sebuah pernyataan benar jika dan hanya jika disimpulkan oleh
adanya penelitian. Sedangkan verifikasi lemah, suatu proposisi dikatakan dapat
ditasdikan atau dibuktikan, dalam arti lemah jika pernyataan itu mengandung
suatu kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan.
Dibandingkan dengan verifikasi dalam arti ketat, verifikasi lemah / longgar
membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa
lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa depan) sebagai pernyataan yang
mengandung makna. Anda akan mendapat lebih sedikit persoalan jika anda memilih
untuk menggunakan verifikasi yang lemah dan mempertahankan bahwa penelitian
tidak dibutuhkan untuk menyatakan bahwa sesuatu itu benar atau salah dalam
sebuah proposisi. Inilah yang dilakukan
oleh Ayer.
II.
Isi
Ayer bersama para tokoh analitika bahasa yang lain menerapkan
teknik analisis bahasa yang berbeda satu sama lain, serta menentukan kriteria
yang berlainan tentang istilah atau ungkapan yang bermakna. Oleh karena itu
kebanyakan ahli filsafat menganggap kehadiran metode analisis bahasa ini dalam
kancah filsafat, tidak saja merupakan reaksi terhadap metode filsafat
sebelumnya, akan tetapi juga menandai kelahiran atau munculnya suatu metode
berfilsafat yang baru, yang bercorak “logosentrisme, artinya pandangan yang menganggap
bahasa sebagai objek terpenting dalam pemikiran mereka.”
Filsafat
berkaitan dengan masing-masing ilmu dan dengan cara yang akan kami tunjukan,
kami bermaksud untuk mengesampingkan anggapan bahwa filsafat dapat berkisar di
samping ilmu-ilmu yang ada, sebagai departemen khusus pengetahuan spekulatif.
Mereka yang membuat anggapan ini sangat menghargai keyakinan bahwa ada beberapa
hal di dunia ini yang mungkin merupakan objek dari pengetahuan spekulatif dan
masih berada di luar lingkup sains empiris. Tetapi keyakinan ini adalah
khayalan. Tidak ada bidang pengalaman yang pada prinsipnya tidak dapat di bawah
ke dalam beberapa bentuk hukum ilmiah. Dan tidak ada jenis pengetahuan
spekulatif tentang dunia yang pada prinsipnya berada di luar kekuatan sains.
Kami mengusahakan beberapa cara untuk mendukung proposisi ini dengan
menghancurkan metafisika. Kita sekarang berada dalam posisi untuk melihat bahwa
fungsi filsafat sepenuhnya adalah kritik. Fungsi filsafat, ia menyatakan
‘sepenuhnya kritis’; 'Ini adalah kegiatan analisis'; dan gagasan bahwa filsafat
adalah 'pencarian prinsip-prinsip pertama' adalah takhayul yang darinya kita
dibebaskan untuk mengabaikan metafisika.
Kemudian, yang dimaksudkan verifikasi oleh Ayer adalah bukan
menentukan kebenaran suatu ucapan, tetapi menentukan maknanya. Artinya, suatu
ucapan (proposisi, kalimat) yang bermakna bisa benar atau salah. Menurut Ayer
hanya bermakna suatu ucapan yang merupakan observation-statement
atau pernyataan yang menyangkut realitas indrawi, atau juga bisa disebut
suatu ucapan yang dilakukan berdasarkan observasi. Orang harus tahu
observasi-observasi mana akan membuat dia, dengan syarat-syarat tertentu,
menerima proposisi sebagai benar atau menolaknya sebagai salah.
Ayer lalu memilih verifikasi lemah untuk mempertahankan
proposisi-proposisi agar tetap ilmiah. Alasannya untuk melakukan hal tersebut
adalah, bahwa keilmiahan kadang-kadang dihasilkan dengan memperlihatkan bahwa
sebuah pernyataan tentang suatu penelitian dapat dapat disimpulkan dari sebuah
proposisi ilmiah yang dirangkai dengan yang lain, yaitu proposisi tambahan. Namun
ada kesulitan lain. Setelah memperkenalkan persyaratan verifikasi 'lemah', Ayer
berkomentar bahwa 'tampaknya cukup bebas’ untuk mengakomodasi hukum alam; dan
dalam pengantar barunya dia harus mengakui bahwa 'sebenarnya ini terlalu bebas,
karena memungkinkan makna untuk pernyataan apapun'.
Prinsip verifikasi empiris mempunyai implikasi radikal bahwa
kalimat-kalimat metafisika dan etika harus dianggap tidak bermakna dan karena
itu sah. Mengapa demikian? Pernyataan metafisika, justru karena bersifat meta-fisika, melampaui alam inderawi dan
karena itu memang tidak pernah dapat dipastikan secara empiris. Istilah seperti
“substansi”, “hakikat”, “sebab-akibat”, “roh”, “akal budi”, tetapi juga
“Tuhan”, memang tidak menunjuk pada alam indrawi, maka tidak dapat diverifikasi
secara empiris dan oleh karena itu oleh Positivisme Logis dianggap tidak
bermakna atau kosong. Bukannya seakan-akan Positivisme Logis menyatakan kalimat
seperti “Allah ada” salah, melainkan kalimat itu dianggap kosong, tanpa arti.
Kalimat ini tidak salah dan juga tidak benar, melainkan tanpa makna. Begitu
pula kalimat “Allah tidak ada” sama saja tidak terbuka pada verifikasi dan
karena itu tidak bermakna.
Hal yang sama berlaku bagi semua pernyataan etika normatif. Apakah
sebuah perbuatan “baik atau buruk”, “dapat dibenarkan atau tidak dapat
dibenarkan”, “secara moral wajib atau terlarang “ tidak dapat diverifikasi
secara empiris dan karena itu tidak merupakan pernyataan bermakna. “Positivisme
Logis bukannya mengajukan pertanyaan moral dan tidak berhasil menjawabnya.
Melainkan mereka ‘menolak pertanyaan-pertanyaan itu sendiri’.” Posisi itu
disebut nonkognitivisme etis, karena,
berlawanan dengan kognitivisme etis, menyangkal bahwa pernyataan-pernyataan
etis dapat diketahui apakah benar atau salah. Kata-kata dan
pernyataan-pernyataan moral tidak mempunyai kognitif. Dengan demikian, etika
normatif yang justru meneliti pernyataan moral mana yang benar dan mana yang
tidak, menjadi tidak mungkin. Yang mungkin hanyalah metaetika, analisis logis terhadap bahasa yang dipakai dalam etika.
Kriteria apa – jika ada – untuk membedakan makna dari yang tak
bermakna? Kriteria yang kita gunakan untuk menguji keaslian pernyataan fakta
nyata adalah kriteria verifikasi. Kriteria verifikasi harus dibedakan dari
‘prinsip verifikasi’ Lingkungan Wina. Bahwa makna pernyataan adalah metode
verifikasinya. Kriteria memberikan jawaban atas pertanyaan ‘kapan pernyataan
itu bermakna?’ atau ‘Pernyataan macam apa yang bermakna?’, sedangkan prinsipnya
adalah klaim tentang makna apa yag terkandung di dalamnya: itu adalah jawaban
atas pertanyaan ‘what is meaning?’.
Ayer harus mengakui adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip
verifikasi. Tidak perlu bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara langsung,
tetapi cukuplah kalau verifikasinya dapat dilakukan secara tidak langsung.
Misalnya kesaksian orang yang dapat dipercaya. Ayer menerima pembatasan ini,
sebab – kalau tidak – semua ucapan tentang masa lampau menjadi tidak bermakna.
Dengan kata lain, pembatasan ini perlu, supaya ilmu sejarah mungkin. Tidak
perlu juga bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara lengkap, cukuplah jika
ucapan itu dapat diverfikasi untuk sebagian saja. Kalau tidak maka suatu hukum
umum seperti “Logam yang dipanaskan akan memuai” tidak akan bermakna. Karena
pembatasa-pembatasan semacam itu Ayer hati-hati dalam merumuskan prinsip
verifikasi.
Namun Ayer bukan tanpa persoalan. Keberatan yang paling paling
kuat pada pandangan Ayer malah berasal dari refleksi atas prinsip verifikasi
itu sendiri. Yaitu terdapat kesulitan umum dari prinsip verifikasi ini yang
terlalu banyak menyingkirkan preposisi-preposisi dari metafisika dengan tetap
memakai ilmu ilmiah saja. Dengan memilih verifikasi lemah pernyataan
dikondisikan untuk tetap ilmiah. Dengan alasannya ialah keilmiahan kadang-kadang
dihasilkan dengan memperlihatkan bahwa sebuah pernyataan tentang suatu
penelitian dapat disimpulkan dari preposisi ilmiah yang dirangkai dengan yang
lain, yaitu preposisi tambahan. Hal ini menunjukkan bahwa preposisi apapun - bahkan preposisi metafisika yang amat
mengawang-awang tentang yang Absolut – dapat dibuat bermakna sesuai prinsip
verifikasi dengan merangkainya pada suatu proposisi-proposisi tambahan dan
pernyataan-pernyataan penelitian.
III.
Penutup
Fungsi filsafat sepenuhnya adalah kritik. Fungsi
filsafat, Ayer menyatakan ‘sepenuhnya kritis’; 'Ini adalah kegiatan analisis';
dan gagasan bahwa filsafat adalah 'pencarian prinsip-prinsip pertama' adalah
takhayul yang darinya kita dibebaskan untuk mengabaikan metafisika. Kemudian, yang dimaksudkan verifikasi oleh Ayer adalah
bukan menentukan kebenaran suatu ucapan, tetapi menentukan maknanya. Artinya,
suatu ucapan (proposisi, kalimat) yang bermakna bisa benar atau salah.
Ayer merumuskan prinsip dasar positivisme dalam suatu ungkapan terkenal:
“Filsafat merupakan kegiatan mengungkapkan dan menentukan makna suatu
pernyataan”. Yang dimaksudkan dengan filsafat di sini adalah positivisme.
Filsafat harus berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya yang utama
membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan
empiris.
Prinsip verifikasi empiris mempunyai implikasi radikal bahwa
kalimat-kalimat metafisika dan etika harus dianggap tidak bermakna dan karena
itu sah. Mengapa demikian? Pernyataan metafisika, justru karena bersifat meta-fisika, melampaui alam inderawi dan
karena itu memang tidak pernah dapat dipastikan secara empiris.
Dalam verifikasi Ayer, dibedakan atas dua jenis verifikasi yaitu
verifikasi Ketat (strong) dan
verifikasi lemah (weak). Verifikasi
dalam arti ketat menunjukan kebenaran suatu proposisi didukung oleh pengalaman
secara meyakinkan. Sebuah pernyataan benar jika dan hanya jika disimpulkan oleh
adanya penelitian. Sedangkan verifikasi lemah, suatu proposisi dikatakan dapat
ditasdikan atau dibuktikan, dalam arti lemah jika pernyataan itu mengandung
suatu kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan.
Dibandingkan dengan verifikasi dalam arti ketat, verifikasi lemah / longgar
membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa
lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa depan) sebagai pernyataan yang
mengandung makna.
Ayer lalu memilih verifikasi lemah untuk mempertahankan
proposisi-proposisi agar tetap ilmiah. Alasannya untuk melakukan hal tersebut
adalah, bahwa keilmiahan kadang-kadang dihasilkan dengan memperlihatkan bahwa
sebuah pernyataan tentang suatu penelitian dapat dapat disimpulkan dari sebuah
proposisi ilmiah yang dirangkai dengan yang lain, yaitu proposisi tambahan.
Ayer harus mengakui adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip
verifikasi. Tidak perlu bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara langsung,
tetapi cukuplah kalau verifikasinya dapat dilakukan secara tidak langsung.
Misalnya kesaksian orang yang dapat dipercaya. Ayer menerima pembatasan ini,
sebab – kalau tidak – semua ucapan tentang masa lampau menjadi tidak bermakna.
Dengan kata lain, pembatasan ini perlu, supaya ilmu sejarah mungkin. Tidak
perlu juga bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara lengkap, cukuplah jika
ucapan itu dapat diverfikasi untuk sebagian saja. Kalau tidak maka suatu hukum
umum seperti “Logam yang dipanaskan akan memuai” tidak akan bermakna. Karena
pembatasa-pembatasan semacam itu Ayer hati-hati dalam merumuskan prinsip
verifikasi.