Wednesday, November 27, 2019

"Mahasiswa Masa Kini"


SIKAP KRITIS MAHASISWA MILENIAL

 DALAM PARODOKS POLITIK INDONESIA

Yohanes Halek Manek



            Terdapat empat pilar kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Sebagai pilar bangsa, keempat elemen ini memiliki peran vital dalam penyelenggaraan negara Indonesia. Ibarat pilar-pilar penyangga sebuah bangunan, keempat pilar ini juga menjadi penyangga yang sangat penting dalam keberlangsungan negara ini. Akan tetapi sebaliknya bila pilar-pilar ini goyah atau runtuh maka negara ini pun akan berpotensi mengalami kehancuran.
         Bila dianalisis secara saksama akhir-akhir ini keempat pilar kebangsaan ini sedang diuji ketahanannya. Diawali dari gerakan subversif dalam aksi radikalisme agama, populisme, politik identitas, rasisme yang berimplikasi pada munculnya gerakan separatis dan kontraversi RUU KHUP dan UU KPK. Fenomena ini semakin memanas ketika kekacuan-kekacuan ini dihubungkan dengan “penumpang gelap” yang mencoba memperkeruh keadaan untuk tujuan tertentu. Mereka memanfaatkan kekuatan media yang ada untuk menyebarkan kebohongan (hoax) dan ujaran kebencian.
            Terlepas dari semuanya itu satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah kekacuan yang terjadi ini merupakan implikasi dari paradoks politik yang sedang terjadi di negeri ini. Paradoks politik ini terjadi ketika politik yang sebetulnya dibangun untuk tujuan luhur yaitu kesejahteraan umum justru cenderung tidak adil dan menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan jalan yang tidak sehat, bahkan mengorbankan kepentingan banyak orang. Lebih parahnya lagi untuk merebut kekuasaan tersebut para politisi tidak segan-segan menggunakan isu agama, suku dan ras untuk mendapatkan dukungan. Imbas dari semuanya itu pada keempat pilar kebangsaan, khususnya kesatuan dalam keberagaman menjadi terganggu. “Bhineka Tunggal Ika” direduksi menjadi slogan yang tidak lagi bermakna persatuan oleh praktek politik kotor yang dilakukan oleh para politisi. Tidak heran ketika banyak orang mulai “alergi” dengan politik dan cenderung menganggap politik sebagai hal yang kotor. Anehnya mahasiswa sebagai kaum intelektual yang harusnya tahu pentingnya politik dalam menyelenggarakan sebuah negara pun turut berpikir seperti itu. Oleh karena itu sebaiknya perlu dipahami dengan sungguh-sungguh apa itu politik sebelum melanjutkan gagasan saya ini.
           Secara etimilogis politik berasal dari bahasa Yunani: polis (warga kota). Di zaman Yunani kuno, negara adalah kota (citystate).  Kata polis berarti masyarakat yang ditata secara politis. Politik sebetulnya memiliki tiga arti yang berbeda. Dalam bahasa inggris pembagian makna arti ini nampak lebih jelas dalam tiga kata yang berbeda.
            Yang pertama ialah policy (kebijakan). Politik adalah kebijakan. Inilah arti yang lebih luas (in sensu lato) dari kata politik itu. Politik dalam pengertian ini adalah tindakan publik di segala bidang yang mencakup arah, sasaran, isi dan program politik. Yang menjadi palakunya ialah para politisi, birokrat, warga dari civil society.
            Yang kedua ialah politics yang merupakan arti yang lebih sempit (in sensu stricto) dari kata politik. Pengertian ini lebih merujuk pada tindakan publik para pelaku politik, seperti politisi, parpol dan aparat negara. Pengertian ini juga berkaitan dengan cara meraih kekuasaan politik yang dilakukan oleh parpol atau politis.
            Yang ketiga ialah polity. Polity ini merujuk pada subsistem politik, seperti bidang kenegaraan dan tata susunan politik berikut birokrasi pemerintahan dengan segala struktur dan mekanismenya.
          Bila sudah mengetahui pengertian dari politik maka selanjutnya mahasiswa sebagai kaum intelektual harus diarahkan untuk berpikir kritis. Berpikir kritis berarti merespon segala fenemena yang ada dengan kemampuan mengidentifikasi, mengevaluasi dan menyimpulkan secara sistematis fenomena-fenomena yang ada ini.
            Kekhasan era milenial adalah kemajuan tehnologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Arus komunikasi dan informasi mengalir sangat cepat. Masalah muncul ketika kemajuan dalam tehnologi komunikasi dan informasi ini malah digunakan oleh “pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan persatuan. Senjata baru itu ialah hoax dan ujaran kebencian yang disebarluaskan. Pada masa Kolonialisme dulu, penjajah sangat mudah menjajah Indonesia karena memainkan politik adu domba (divide et impera). Strategi itu berjalan dengan baik karena masyarakat Indonesia pada waktu itu mudah percaya pada hasutan dan mudah dipancing kemarahannya. Pada masa ini politik adu domba kembali dengan kemasan yang lebih menarik. Media bukan hanya menjadi tempat penyaluran informasi yang berguna melainkan juga menjadi wadah bagi hoax dan ujaran kebencian yang memainkan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) serta isu lainnya yang memecah belah bangsa. Oleh karena itu dibutuhkan sikap kritis dalam menggunakan media yang ada. Sebagai kaum intelektual mahasiswa dituntut untuk menjadi agen pencerahan di tengah maraknya pembodohan masyarakat melalui hoax dan ujaran kebencian.
            Dalam konteks situasi politik yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, hal yang harus dihindari ialah cara berpolitik kotor yang dilakukan oleh politisi dan bukan politik secara keseluruhan. “Alergi” terhadap politik bukanlah sebuah tindakan yang dihasilkan dari usaha berpikir kritis. Bila mahasiswa sebagai kaum terpelajar melabeli politik dengan predikat “kotor” dan menghindari politik itu, maka cara berpikir ini bisa saja diikuti oleh masyarakat umum. Akibatnya orang-orang yang akan terlibat dalam urusan politik akan berpikir bahwa semua jalan yang dilakukan untuk memperoleh kekuasaan termasuk yang akan merugikan orang banyak adalah benar dilakukan.

 

Tuesday, November 26, 2019

"Adakah hati di hatimu?"

JANJI PALSU

Fr. Tommie Nainaif


Terdengar jeritan hati
Menahan perihnya rasa yang menyesakkan
Akan kepalsuan sapamu
Akan suara tipuanmu tak bermakna
            Bait-bait kegetiran
            Hilang tanpa cahaya
            Dalam jiwa terisolasi sayu
            Hilangkah janji dalam sendu?
Kebobrokan moral kau ukir
Dalam hati yang memilihmu
Integritasmu unggul bercahaya
Bersanding dengan gelapnya kepalsuan
            Adakah hati di hatimu?
            Karena kata dan perilaku tak sesuai
            Karena status disalahgunakan
            Dijadikan penutup kebusukan dan penipuan
Mata ini risau melihat
Jiwapun layu merana
Tak mampu berkata
Melihat kemunafikan di puncak kebejatan
Tak nampak sumpah dan janji nyata dirimu

"Demokrasi Absurd"

 

JEJAK TAPAK DEMOKRASI

 Fr. Epin Roman

 

Jejak harian negeri ini tersendat

Hilang disekap rotasi peradapan kini

Jiwa negeri ini merana dalam belantara bangsa

Yang tak lain adalah perbudakan nurani bangsa

            Wajah negeri ini muram terpendam resah

            Lusuh bagai tak terawat

            Ratapan terus berdenyut pada dinding jantung negeri ini

            Menangis nasib yang terpenjara dalam ranah diktaktor bangsa

Ironi demokrasi menghilang

Tak terkendali lahir erupsi nahkoda bangsa

Terejerumus dalam hasrat euforia yang naif

Intuisi demokrasi jadi licik bagai ular berbisa

            Wahai jejak tapak negeri ini 

            Sampai kapan peradaban ini berkiprah

            Mengarungi alun-alun demokrasi yang terseret pilu

            Oleh sentilan paradigma penguasa yang belit

Simpang siur nyanyian pelatuk agen demokrasi

Melambaikan syair-syair siasat nan sakral di setiap sudut negeri ini

Sedangkan jeritan kaum jelata semakin pedih

Mengikuti jejak tapak demokrasi yang absurd!

Monday, November 25, 2019

"Ratapan Penantian"

TIGA  MUSIM  SEBELUM  KEDATANGANMU

Fransiskus Soni 


“Jika hidup adalah perjalanan, kau adalah jalan pulang. Maka biarkanlah aku berarak kearahmu,sementara puisi meniduri kita sampai pagi”.
.........
            “Aku hanya duduk termenung sambil memandangimu yang terus sibuk dengan koper-koper dan juga ransel besarmu. Kopi hangat yang kubuatkan utukmu sudah terlanjut dingin, tanpa sedikitpun kau menyetuhnya.
            “Aku akan pergi merantau sayang.” Satu kata yang kau gumamkan dari bibirmu. Aku hanya bisa menangis, tak mampu kupandangi matamu. Terlalu berat bagiku untuk menatap kedua binar  mata bulatmu itu.
            “Berapa lama semua ini akan berakhir? Lagi pula bukankah sudah cukup bagi kita untuk menatap hidup seperti ini saja?”.
            “Percayalah ini tidak akan lama bagimu. Kau lihat padi yang sementara menguning diluar sana sayang? Aku janji, pada musim ketiga selepas kepergianku hari ini, aku akan kembali padamu dan kepada anak kita yang akan segera lahir ini. Nantikanlah aku diantara hamparan sawah yang telah menguning itu, dimusim yang ketiga, musim selepas kepergianku ini. Aku akan pulang sayang, bagaimanapun aku akan pulang.”
           
            Musim Pertama
            Hari ini, semusim yang lalu sejak kepergianmu. Aku masih duduk ditempat yang sama, tempat yang telah kau janjikan padaku. Baru semusim kau meninggalkanku,tapi seperti telah bertahun-tahun rasanya bagiku kehilangan bayanganmu. Ah, masih ada dua musim yang penuh dengan air mata bagiku menanti kepulanganmu. Aku merindukan saat  itu sayang, aku merindukan dua musim berikut yang akan datang menghampiriku.
            Halaman rumah kita sudah semakin semerbak dengan aneka jenis bunga yang kubeli dari hasil kirimanmu yang kau berikan pada musim ini. Anak kita sudah lahir sayang. Dari tangisannya aku tahu kalau ia bahagia dilahirkan diantara kita. Tetapi aku yakin dia kecewa karena tidak bisa melihat seperti apa rupa dan perkasa ayahnya. Matanya indah sayang, seindah binar matamu. Tetapi rambutnya hitam dan lurus seperti aku, tidak seperti punyahmu yang sedikit berombak dan jarang disisir.
            Uang yang kau berikan masih kusimpan, dan separuhnya telah kutabung untuk membangun rumah kita. Aku tidak sabar lagi menanti kedatanganmu, dan akan kita bangun istana kita ini bersama-sama. Aku merindukan suaramu, merindukan kehangatan rumah kita yang akan diisi oleh tawa dari anak-anak kita nantinya. Aku merindukanmu sayang, aku merindukan dua musim yang masih membentangkan jarak diantara kita. Salam manis dari istri dan anakmu yang selalu mencintaimu ini.
            Musim Kedua           
            Bulir-bulir padi bergoyang diterpa angin yang hilir mudik sedari tadi. Gemerisik daun berbisik mengalumkan melodi. Aku tersenyum memandangi hamparan sawah yang sudah mulai menguning. Hari ini dua musim sudah aku sendiri tanpamu. Malam yang sepi kulihat dengan indahnya senyuman yang kau ukirkan bagiku. Masih kurasakan kehangatan kecupan yang kau berikan didahiku dan masih kunikmati bekas-bekas pelukanmu yang sempat tersisa. Aroma tubuhmu masih tertinggal diantara lipatan bajuku, dan deruhnya nafasmu masih membekas diantaraan berkas-berkas bibirku. Tinggal satu musi lagi, dan kau akan datang kembali kepadaku. Aku tidak pernah berhenti berbenah sambil menanti kepulanganmu itu sayang.
            Sesuai dengan permintaanmu. Pelan-pelan aku akan membangun rumah kita, istana kita. Dinding-dinging bambu kita telah kuganti dengan batu-batu yang kokoh, dan atap alang-alang kita telah tergeser oleh genteng dan juga rangka baja. Cukup untuk melindungi kita dari teriknya matahari dan juga dari pedihnya irisan gerimis. Kau tidak perlu takut lagi ada orang dan mengintip tidur kita dan juga tidak perlu cemas lagi untuk menganti ember dan baskom kita yang penuh dengan air hujan.
            Kasur kita yang kecil dan tipis itu telah kuganti dengan kasur yang lebih besar dan juga lebih tebal dan empuk tentunya. Hahaha kamu bahkan akan tenggelam di dalamnya. Lantai tanah kita yang becek dan berlumpur itu sudah kuganti dengan keramik-keramik yang indah dan mengkilap sayang. Kau hanya perlu datang dan menggagumi betapa indahnya istana kita yang megah ini. Oh iya, televisi hitam putih kita yang lama telah kuganti dengan televisi yang lebih tipis dan lebar. Kamu pasti tidak percaya kalau televisi kita yang baru itu aku tempel di tembok kita yang penuh warnah itu. Setelah kau pulang, kau akan terkejut dengan penampilan istrimu ini yang tentunya tidak bedah jauh dengan gadis-gadis di sana yang berkulit mulus itu. Kau tahu kan, berkat uang kirimanmu itu kini aku sudah kelihatan lebih bersinar berkat aneka cream dan juga bedak yang aku lihat di iklan-iklan dalam televisi itu. Kau pasti akan bangga dengan kecantikan dan keanggunan istrimu ini.
            Aku juga sudah mulai berlangganan koran sayang, sebuah kebiasaa baruku yang mungkin terasa aneh bagimu. Ya, semenjak berita tentang beberapa tenaga kerja kita yang meninggal dan mayatnya dikirim pulang dari tanah rantau, aku semakin mencemaskan dirimu. Cepatlah pulang sayang, aku menantikan dirimu. Aku bosan hanya merindukan bayangmu dari setiap lembar-lembar korang yang kubaca. Kau tahu sayang, isinya hanya penuh dengan aroma kematian. Aku mulai merasa mual dengan bau darah yang tertuang dibalik tinta-tinta yang tercetak itu. Belum lagi dengan cerita tentang korupsi para calon kepala daerah ataupun juga dengan gelagat para wakil rakyat yang tidak pernah puas-puasnya memperkosa ayat demi ayat undang-undang di atas meja persidangan. Aku jenuh dengan mereka sayang, aku hanya merindukanmu. Anak kita sudah semakin besar dan juga sudah bisa sedikit berbicara. Datanglah dan ajarlah dia supaya dapat menjadi perkasa sepertimu sayang.
..........
            Musim Ketiga, Hari ini.
            Aku membaca berita di koran beberapa hari yang lalu tentang dirimu. Tentang teanga kerja yang meninggal karena dianiaya majikannya, dan juga tentang isi tubuhmu yang sudah raib entah kemana. Mungkin sudah dijual atau mungkin juga seluruh tubuhmu dikosongkan supaya menjadi tempat bagi mereka untuk menyelundupkan narkoba. Kau tahu sayang, aku menangis membaca berita itu. Tetapi aku tidak percaya, sebab nama yang disebutkan itu bukan dirimu tetapi foto yang kulihat adalah wajahmu. Aku tidak percaya sayang. Kau terlalu perkasa untuk dilakukan seperti itu. Kulitmu sudah terlalu tebal ditempa teriknya matahari, mana mungkin sebuah rotan dapat menembusi kulitmu itu? Ataukah mungkin bahwa dia itu adalah saudara kembarmu? Tetapi mengapa kau tidak pernah mengenalkannya kepadaku? Aku tidak percaya akan semua ini sayang. Pulanglah dan buktikanlah kepadaku bahwa sosok itu bukanlah kau. Musim ini adalah musim terakhir bagimu untuk pulang. Kupandangi hamparan sawah di depan rumah kita. Masih menghijau. Itu bukan kau sayang, itu bukan kau.
            Aku sudah menjelaskan kepada semua orang bahwa itu bukanlah kau, tetapi masih saja mereka semua tidak percaya. Bahkan semakin banyak pelayat yang datang dan mencoba untuk menguatkanku. Aku tidak menangis, sebab aku yakin kalu itu bukanlah kau. Padi di depan di depan rumah kita belum menguning, berarti kau belum kembali. Dan aku berharap semoga hari ini kau belum pulang sayang.
            Bunyi sirene ambulance menggema di pelataran rumah kita, istana baru kita yang aku bangun dari uang hasil rantauanmu di sana. Pintu mobil dibuka dan jasadmu turut serta. Semua orang yang ada di pelaratan rumah kita menangis mengiringi peti matimu. Peti baru yang masih mengkilat warnanya. Bau darah masih menyebar, dan aroma kematian menempel kental di sekujur peti matimu. Aku tidak menangis. Itu bukan kau, aku yakin itu bukan kau.
            “Ini adalah suamimu. Ia pergi ke sana dengan menggunakan passpor yang palsu. Dia pekerja ilegal.
            “Tidak. Itu bukan dia! Dia sudah berjanji. Akan kubuktikan itu semua kepada kalian.” Segera aku berlari keluar rumah, menuju ke arah pematang. Aku mulai muak dengan semua kebohongan yang ada di dalam rumah kita. Kuarahkan pandanganku kepada hamparan padi yang sementara bergoyang, dan air mataku mulai jatuh di ats bulir-bulirnya. Padi itu mulai menguning, tubuh yang penuh jahitan itu semakin mendingan, dan aku semakin menggigil. Itu kau sayang, itu kau.