Publikasi Dosen, Mahasiswa dan Alumni Seputar Artikel Ilmiah, Opini, Budaya, Sastra dan Info Lainnya
Wednesday, November 27, 2019
Tuesday, November 26, 2019
"Adakah hati di hatimu?"
JANJI PALSU
Fr. Tommie Nainaif
Terdengar jeritan hati
Menahan perihnya rasa yang menyesakkan
Akan kepalsuan sapamu
Akan suara tipuanmu tak bermakna
Bait-bait
kegetiran
Hilang
tanpa cahaya
Dalam
jiwa terisolasi sayu
Hilangkah
janji dalam sendu?
Kebobrokan moral kau ukir
Dalam hati yang memilihmu
Integritasmu unggul bercahaya
Bersanding dengan gelapnya kepalsuan
Adakah
hati di hatimu?
Karena
kata dan perilaku tak sesuai
Karena
status disalahgunakan
Dijadikan
penutup kebusukan dan penipuan
Mata ini risau melihat
Jiwapun layu merana
Tak mampu berkata
Melihat kemunafikan di puncak kebejatan
Tak nampak sumpah dan janji nyata dirimu
"Demokrasi Absurd"
JEJAK TAPAK DEMOKRASI
Fr. Epin Roman
Jejak harian negeri ini tersendat
Hilang disekap rotasi peradapan kini
Jiwa negeri ini merana dalam belantara bangsa
Yang tak lain adalah perbudakan nurani bangsa
Wajah negeri ini muram terpendam resah
Lusuh bagai tak terawat
Ratapan terus berdenyut pada dinding jantung negeri ini
Menangis nasib yang terpenjara dalam ranah diktaktor bangsa
Ironi demokrasi menghilang
Tak terkendali lahir erupsi nahkoda bangsa
Terejerumus dalam hasrat euforia yang naif
Intuisi demokrasi jadi licik bagai ular berbisa
Wahai jejak tapak negeri ini
Sampai kapan peradaban ini berkiprah
Mengarungi alun-alun demokrasi yang terseret pilu
Oleh sentilan paradigma penguasa yang belit
Simpang siur nyanyian pelatuk agen demokrasi
Melambaikan syair-syair siasat nan sakral di setiap sudut negeri ini
Sedangkan jeritan kaum jelata semakin pedih
Mengikuti jejak tapak demokrasi yang absurd!
Monday, November 25, 2019
"Ratapan Penantian"
TIGA MUSIM SEBELUM KEDATANGANMU
Fransiskus Soni
“Jika hidup adalah perjalanan, kau adalah jalan
pulang. Maka biarkanlah aku berarak kearahmu,sementara puisi meniduri kita
sampai pagi”.
.........
“Aku
hanya duduk termenung sambil memandangimu yang terus sibuk dengan koper-koper
dan juga ransel besarmu. Kopi hangat yang kubuatkan utukmu sudah terlanjut
dingin, tanpa sedikitpun kau menyetuhnya.
“Aku
akan pergi merantau sayang.” Satu kata yang kau gumamkan dari bibirmu. Aku hanya
bisa menangis, tak mampu kupandangi matamu. Terlalu berat bagiku untuk menatap
kedua binar mata bulatmu itu.
“Berapa
lama semua ini akan berakhir? Lagi pula bukankah sudah cukup bagi kita untuk
menatap hidup seperti ini saja?”.
“Percayalah
ini tidak akan lama bagimu. Kau lihat padi yang sementara menguning diluar sana
sayang? Aku janji, pada musim ketiga selepas kepergianku hari ini, aku akan
kembali padamu dan kepada anak kita yang akan segera lahir ini. Nantikanlah aku
diantara hamparan sawah yang telah menguning itu, dimusim yang ketiga, musim
selepas kepergianku ini. Aku akan pulang sayang, bagaimanapun aku akan pulang.”
Musim Pertama
Hari ini,
semusim yang lalu sejak kepergianmu. Aku masih duduk ditempat yang sama, tempat
yang telah kau janjikan padaku. Baru semusim kau meninggalkanku,tapi seperti
telah bertahun-tahun rasanya bagiku kehilangan bayanganmu. Ah, masih ada dua musim yang penuh dengan air mata bagiku menanti
kepulanganmu. Aku merindukan saat
itu sayang, aku merindukan dua musim berikut yang akan datang
menghampiriku.
Halaman
rumah kita sudah semakin semerbak dengan aneka jenis bunga yang kubeli dari
hasil kirimanmu yang kau berikan pada musim ini. Anak kita sudah lahir sayang.
Dari tangisannya aku tahu kalau ia bahagia dilahirkan diantara kita. Tetapi aku
yakin dia kecewa karena tidak bisa melihat seperti apa rupa dan perkasa ayahnya.
Matanya indah sayang, seindah binar matamu. Tetapi rambutnya hitam dan lurus
seperti aku, tidak seperti punyahmu yang sedikit berombak dan jarang disisir.
Uang
yang kau berikan masih kusimpan, dan separuhnya telah kutabung untuk membangun
rumah kita. Aku tidak sabar lagi menanti kedatanganmu, dan akan kita bangun
istana kita ini bersama-sama. Aku merindukan suaramu, merindukan kehangatan
rumah kita yang akan diisi oleh tawa dari anak-anak kita nantinya. Aku
merindukanmu sayang, aku merindukan dua musim yang masih membentangkan jarak
diantara kita. Salam manis dari istri dan anakmu yang selalu mencintaimu ini.
Musim Kedua
Bulir-bulir
padi bergoyang diterpa angin yang hilir mudik sedari tadi. Gemerisik daun
berbisik mengalumkan melodi. Aku tersenyum memandangi hamparan sawah yang sudah
mulai menguning. Hari ini dua musim sudah aku sendiri tanpamu. Malam yang sepi
kulihat dengan indahnya senyuman yang kau ukirkan bagiku. Masih kurasakan
kehangatan kecupan yang kau berikan didahiku dan masih kunikmati bekas-bekas pelukanmu
yang sempat tersisa. Aroma tubuhmu masih tertinggal diantara lipatan bajuku, dan
deruhnya nafasmu masih membekas diantaraan berkas-berkas bibirku. Tinggal satu
musi lagi, dan kau akan datang kembali kepadaku. Aku tidak pernah berhenti
berbenah sambil menanti kepulanganmu itu sayang.
Sesuai
dengan permintaanmu. Pelan-pelan aku akan membangun rumah kita, istana kita.
Dinding-dinging bambu kita telah kuganti dengan batu-batu yang kokoh, dan atap
alang-alang kita telah tergeser oleh genteng dan juga rangka baja. Cukup untuk
melindungi kita dari teriknya matahari dan juga dari pedihnya irisan gerimis.
Kau tidak perlu takut lagi ada orang dan mengintip tidur kita dan juga tidak
perlu cemas lagi untuk menganti ember dan baskom kita yang penuh dengan air
hujan.
Kasur
kita yang kecil dan tipis itu telah kuganti dengan kasur yang lebih besar dan juga
lebih tebal dan empuk tentunya. Hahaha
kamu bahkan akan tenggelam di dalamnya. Lantai tanah kita yang becek dan
berlumpur itu sudah kuganti dengan keramik-keramik yang indah dan mengkilap
sayang. Kau hanya perlu datang dan menggagumi betapa indahnya istana kita yang
megah ini. Oh iya, televisi hitam putih kita yang lama telah kuganti dengan
televisi yang lebih tipis dan lebar. Kamu pasti tidak percaya kalau televisi
kita yang baru itu aku tempel di tembok kita yang penuh warnah itu. Setelah kau
pulang, kau akan terkejut dengan penampilan istrimu ini yang tentunya tidak
bedah jauh dengan gadis-gadis di sana yang berkulit mulus itu. Kau tahu kan,
berkat uang kirimanmu itu kini aku sudah kelihatan lebih bersinar berkat aneka
cream dan juga bedak yang aku lihat di iklan-iklan dalam televisi itu. Kau pasti
akan bangga dengan kecantikan dan keanggunan istrimu ini.
Aku
juga sudah mulai berlangganan koran sayang, sebuah kebiasaa baruku yang mungkin
terasa aneh bagimu. Ya, semenjak berita tentang beberapa tenaga kerja kita yang
meninggal dan mayatnya dikirim pulang dari tanah rantau, aku semakin
mencemaskan dirimu. Cepatlah pulang sayang, aku menantikan dirimu. Aku bosan
hanya merindukan bayangmu dari setiap lembar-lembar korang yang kubaca. Kau tahu
sayang, isinya hanya penuh dengan aroma kematian. Aku mulai merasa mual dengan
bau darah yang tertuang dibalik tinta-tinta yang tercetak itu. Belum lagi
dengan cerita tentang korupsi para calon kepala daerah ataupun juga dengan
gelagat para wakil rakyat yang tidak pernah puas-puasnya memperkosa ayat demi
ayat undang-undang di atas meja persidangan. Aku jenuh dengan mereka sayang, aku
hanya merindukanmu. Anak kita sudah semakin besar dan juga sudah bisa sedikit
berbicara. Datanglah dan ajarlah dia supaya dapat menjadi perkasa sepertimu
sayang.
..........
Musim Ketiga, Hari ini.
Aku
membaca berita di koran beberapa hari yang lalu tentang dirimu. Tentang teanga
kerja yang meninggal karena dianiaya majikannya, dan juga tentang isi tubuhmu
yang sudah raib entah kemana. Mungkin sudah dijual atau mungkin juga seluruh
tubuhmu dikosongkan supaya menjadi tempat bagi mereka untuk menyelundupkan
narkoba. Kau tahu sayang, aku menangis membaca berita itu. Tetapi aku tidak
percaya, sebab nama yang disebutkan itu bukan dirimu tetapi foto yang kulihat
adalah wajahmu. Aku tidak percaya sayang. Kau terlalu perkasa untuk dilakukan
seperti itu. Kulitmu sudah terlalu tebal ditempa teriknya matahari, mana
mungkin sebuah rotan dapat menembusi kulitmu itu? Ataukah mungkin bahwa dia itu
adalah saudara kembarmu? Tetapi mengapa kau tidak pernah mengenalkannya
kepadaku? Aku tidak percaya akan semua ini sayang. Pulanglah dan buktikanlah
kepadaku bahwa sosok itu bukanlah kau. Musim ini adalah musim terakhir bagimu
untuk pulang. Kupandangi hamparan sawah di depan rumah kita. Masih menghijau. Itu
bukan kau sayang, itu bukan kau.
Aku
sudah menjelaskan kepada semua orang bahwa itu bukanlah kau, tetapi masih saja
mereka semua tidak percaya. Bahkan semakin banyak pelayat yang datang dan
mencoba untuk menguatkanku. Aku tidak menangis, sebab aku yakin kalu itu
bukanlah kau. Padi di depan di depan rumah kita belum menguning, berarti kau
belum kembali. Dan aku berharap semoga hari ini kau belum pulang sayang.
Bunyi
sirene ambulance menggema di
pelataran rumah kita, istana baru kita yang aku bangun dari uang hasil
rantauanmu di sana. Pintu mobil dibuka dan jasadmu turut serta. Semua orang
yang ada di pelaratan rumah kita menangis mengiringi peti matimu. Peti baru
yang masih mengkilat warnanya. Bau darah masih menyebar, dan aroma kematian
menempel kental di sekujur peti matimu. Aku tidak menangis. Itu bukan kau, aku
yakin itu bukan kau.
“Ini
adalah suamimu. Ia pergi ke sana dengan menggunakan passpor yang palsu. Dia pekerja ilegal.
“Tidak.
Itu bukan dia! Dia sudah berjanji. Akan kubuktikan itu semua kepada kalian.” Segera
aku berlari keluar rumah, menuju ke arah pematang. Aku mulai muak dengan semua
kebohongan yang ada di dalam rumah kita. Kuarahkan pandanganku kepada hamparan
padi yang sementara bergoyang, dan air mataku mulai jatuh di ats
bulir-bulirnya. Padi itu mulai menguning, tubuh yang penuh jahitan itu semakin
mendingan, dan aku semakin menggigil. Itu
kau sayang, itu kau.
Subscribe to:
Posts (Atom)