Friday, March 20, 2020

"Tanggung Jawab Moril Manusia"

TANGGUNG JAWAB MORIL MANUSIA DALAM MEWUJUDKAN KEBAIKAN PENCIPTA MENURUT KATEKSIMUS GEREJA KATOLIK NOMOR 1954

Oleh

Maksimilianus Embu


Manusia tidak hidup begitu saja di atas bumi ini. Ia selalu membentuk suatu pandangan tertentu mengenai dunia, sesama, dirinya sendiri, alam semesta dan bahkan Tuhan sendiri yang menciptakannya. Ia selalu berusaha menyadari mengenai tugas dan perannya sebagai manusia di dalam dunia. Kesadaran itu ada karena manusia tahu bahwa ia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang istimewa. Ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Ia diberikan akal budi, hati nurani dan kehendak bebas. Semua itu diberikan agar ia bisa menguasai bumi dan segala isinya dengan memelihara, merawat, mengembangkannya secara bertanggung jawab.
Tanggung jawab manusia atas sesama dan alam ciptaan harus berdasarkan kesadaran moralnya. Tanggung jawab secara moral artinya bahwa manusia dengan kesadaran kebebasannya memperlakukan ciptaan lain sesuai dengan kehendak Tuhan. Karena Tuhan telah memberikan kebebasan, maka dibutuhkan hati nurani untuk menimbang kehendak-Nya dalam diri manusia. Kehendak bebas yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan kebebasan mutlak manusia seringkali disalahgunakan oleh manusia. Penyalahgunaan kehendak bebaslah yang membuat manusia kehilangan orientasinya pada Allah. Dengan ini manusia harus dihantar kepada paham Allah yang melandasi tindakan moralnya.
Sama seperti dalam bahasa-bahasa di Eropa, dalam bahasa Indonesia pun kata yang dipakai untuk “bertanggung jawab” ada kaitannya dengan “jawab”. Bertanggung jawab berarti dapat menjawab bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasannya tentang tingkah lakunya dan bukan saja dia bisa menjawab kalau dia mau, melainkan juga dia harus menjawab. Lebih lanjut, tanggung jawab moril manusia berarti orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Ia harus benar- benar bersikap sebagai manusia ciptaan Tuhan yang memiliki kebebasan yang bertanggung jawab. Tuntutan jawaban yang diberikannya itu harus ditujukan kepada dirinya sendiri, kepada orang lain atau sesamanya dan kepada Tuhan. Tanggung jawab moril berarti manusia dengan sungguh- sungguh menjadi rekan kerja Allah yang setia. Ia taat pada apa yang diperintahkan Allah dan setia mematuhi larangan-Nya.
Tanggung jawab manusia secara moral atas ciptaan Tuhan menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan kebaikan Allah dalam hidupnya. Moral merupakan tingkah laku baik manusia kepada diri sendiri, sesama, alam ciptaan lain serta kepada Allah sebagai sumber kebaikan itu sendiri. Pada dasarnya bentuk tindakan moral manusia bersumber dalam cinta kasih, keadilan, damai sejahtera, kelemahlembutan, kesabaran dan kerendahan hati. Cinta kasih merupakan hukum yang paling pertama dan utama. Cinta kasih Kristiani dipandang sebagai kebajikan terbesar serta menjadi inti dan puncak atau kepenuhan hidup Kristiani. Dengan melalui kepenuhan Kristiani ini, maka manusia sebagai umat beriman mewujudkan kebaikan moral yang ada dalam dirinya. Manusia yang mengejahwantahkan kebaikan moral dalam hidupnya bukanlah sekadar suatu tindakan alamiah melainkan tuntutan untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Kebaikan manusia adalah bagian dari pernyataan dirinya sebagai makhluk yang diciptakan Allah dengan kondisi “baik adanya”. Dengan demikian, melakukan kebaikan moral adalah bagian dari pertanggugjawaban manusia kepada Allah.
Tanggung jawab menuntut, di samping kesetiaan terhadap prinsip, juga perhatian terhadap akibat perilaku kita. Max Weber membuat perbedaan antara etika sikap dan etika tanggung jawab. Etika sikap merupakan sebuah perbuatan yang ditentukan oleh maksud atau kehendak si pelaku. Perbuatan bernilai baik, apabila timbul dari kehendak baik. Sedangkan penganut etika tanggung jawab merasa bertanggung jawab atas perbuatannya, sejauh ia mampu mengantisipasinya, dan tidak mengalihkan tanggung jawab kepada yang lain. Kompleksitas dan ketaksempurnaan perilaku membuat manusia hanya dapat sampai pada tahap mendekati ideal itu. Karena itu, bertindak tanpa moral di dunia adalah tidak bertanggung jawab. Moral tanpa mengindahkan kemungkinan- kemungkinan konkret dan resiko-resiko juga tidak bertanggung jawab.

Thursday, March 19, 2020

"Makna Kelahiran Kembali"

"MAKNA KELAHIRAN KEMBALI DALAM AIR DAN ROH BAGI NIKODEMUS"

(Sebuah Refleksi Eksegetis Atas Teks Yohanes 3:1-21)

Oleh

Kristoforus Lahur


Kelahiran adalah sebuah peristiwa sukacita dalam sebuah keluarga. Dikatakan demikian karena dalam dan melalui peristiwa ini hadirnya seorang anggota baru. Dia yang akan berjalan dan menemani hidup keluarga selanjutnya. Dia juga yang akan memberi warna baru bagi perjalanan hidup keluarga. Lebih dari itu kelahiran juga menjadi sebuah peristiwa sukacita karena peristiwa ini direfleksi oleh umat beriman sebagai peristiwa karya agung Allah atas manusia.
Alkitab sendiri sama seperti agama yang lain mengungkapkan imannya akan adanya hidup lain melalui lambang kelahiran baru yang dianugerahkan kepada manusia oleh dewa atau yang ilahi. Alkitab menyajikan konsep yang berbeda bukan soal tindakan magis tetapi soal tindakan kasih dan anugerah Allah. Misalkan saja dalam Perjanjian Lama kelahiran tokoh-tokoh penting yang membawa pembebasan bagi bangsa Israel. Kelahiran nabi Musa selalu dalam hubungan  dan bingkai kasih Allah. Allahlah yang mengantar nabi Musa hingga bebas dari ancaman (Kel 2:1-10). Musa yang dihanyutkan dalam air tidak terjadi apa-apa karena kelahirannya demi sebuah karya Allah yang agung. Dialah yang membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Perjanjian Baru juga menampilkan kisah kelahiran tokoh yang menjadi utusan Allah. Seperti peristiwa kelahiran Yesus sebagai Putera Allah sendiri. Kelahiran-Nya menjadi sebuah peristiwa kelahiran bagi semua orang yang percaya.
Nikodemuspun mengalami peristiwa kelahiran kembali. Dia mengalami peristiwa kelahiran itu berkat perjumpaannya dengan Yesus. Yesus yang dijumpainya mengundang dia untuk mengalami kelahiran kembali dalam air dan Roh. Kelahiran karena campur tangan Allah lewat air dan Roh-Nya. Berkat perjumpaan, percakapan dan sebuah wejangan panjang dari

Yesus, Nikodemus yang adalah seorang Farisi, guru hukum, penguasa orang Yahudi, seorang kaya dan seorang yang berasal dari sebuah keluarga Yahudi terhormat perlahan-lahan diubah.
Nikodemus memiliki seribu macam rasa saat berjumpa dengan Yesus. Dia datang di waktu malam untuk berjumpa dengan Yesus. Kedatangan di malam hari menimbulkan beberapa hipotesis. Pertama, Nikodemus datang malam hari karena takut di ketahui oleh orang banyak. Kedua, dia berjumpa Yesus waktu malam karena malam hari adalah kesempatan yang baik untuk belajar taurat. Malam hari saat yang tenang dan teduh untuk mengambil waktu belajar taurat. Ada juga yang mengatakan bahwa dia datang di waktu malam sebagai simbol bahwa Nikodemus datang dari sebuah kegelapan. Dia datang untuk berjumpa Yesus sebagai Sang Terang Sejati.
Kegelapan kehidupan bagi Nikodemus bisa dipahami karena sebagai orang kaya tentu dia memiliki kelimpahan harta. Namun, dia merasa ada yang kurang dari kelimpahan hidupnya yakni, kekurangan akan harta spiritual. Maka, Nikodemus dengan mengambil sebuah sikap berani mau berjumpa dengan Yesus. Dia datang kepada Yesus tanpa memperhatikan sebuah resiko besar. Nama baik, status dan lain-lain dia abaikan demi berjumpa dengan Yesus. Nikodemus percaya bahwa perjumpaannya dengan Yesus memberi hidup. Perjumpaan itu akan mengalami daya ubah bagi dirinya.
Perjumpaan antara Yesus dan Nikodemus juga menjadi sebuah undangan dan ajakan bagi setiap murid untuk berani mencarinya. Setiap murid diajak untuk mengalami kelahiran kembali dalam air dan Roh. Allah menginginkan suatu pendamaian dengan manusia yang telah tercebur dalam dosa ke dalam kerajaan-Nya. Jalan satu-satunya untuk memasuki dan merasakan kedamaian Kerajaan Allah adalah bahwa setiap orang harus mengalami suatu kelahiran spiritual. Kelahiran spiritual menekankan dimensi keilahian yang berbeda dengan kenyataan real dunia.

Sebab sesungguhnya proses penyempurnaan dunia terjadi dalam diri Kristus. Dalam seluruh karya-Nya, Kristus menampakan secara utuh kasih Allah yang sempurna bagi dunia (Yoh 3:16). Allah tidak menginginkan manusia ciptaan-Nya masuk dalam penghakiman yakni kebinasaan. Tuntutan bagi manusia adalah menghayati hidup dengan berlandaskan pada iman, harapan dan kasih kepada Allah. Penghayatan akan tiga elemen fundamental ini memungkinkan dan melayakan manusia untuk mendiami istana terjanji yakni Kerjaan Allah. Maka, layaknya Nikodemus yang diundang oleh Yesus, Gerejapun harus mengalami kelahiran yang sama.
Di dalam perjumpaan dan undangan dari Yesus untuk mengalami kelahiran kembali itu tentunya membutuhkan sebuah proses. Kelahiran kembali itu tidak sekali jadi tetapi selalu dimurnikan oleh Roh itu sendiri. Layaknya pribadi Nikodemus yang perlahan-lahan percaya. Nikodemus mengakui dan mengimani Yesus di dalam sebuah proses. Sebab Iman itu ibarat sebuah benih yang kecil, biasanya tumbuh lama sekali. Asalkan yang paling terutama adalah keterbukaan dan ketergerakan hati terhadap undangan Allah.

Wednesday, March 18, 2020

"Konsep Kebebasan Menurut Katekismus Gereja Katolik"




Konsep Kebebasan Manusia Dalam Terang                             Katekismus Gereja Katolik Nomor 1731    
      Oleh

ROBIN H. K. D. C.LOPES                

Kebebasan merupakan kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia. Kenyataan adanya kebebasan pada manusia itu dianugerahkan oleh Allah kepada manusia sebagai ciptaan yang mulia dan istimewa. Kebebasan itu diperjuangkan dan dipertahankan oleh manusia sebab manusia selalu ingin bebas dalam menentukan tindakannya atau dalam memilih tindakannya berdasarkan pertimbangan yang ada dalam dirinya. Persoalan akan muncul ketika manusia menyalahgunakan kebebasan yang dianugerahkan Allah itu dengan bertindak sewenang-wenang sebab hal itulah yang menjauhkan manusia dari Allah, dari sesama dan dari ciptaan lainnya.
Gereja sebagai institusi pembebasan turut merasakan persoalan yang dialami manusia dalam kaitan dengan kebebasan manusia itu sebab sukacita dan dukacita manusia merupakan sukacita dan dukacita Gereja. Melalui Katekismus Gereja Katolik, Gereja mengajarkan umatnya atau mengajak manusia untuk menyadadari, menghayati, mendalami kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia itu agar manusia memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan memperoleh kebahagiaan di dalam Allah, khusunya melalui Katekismus Gereja Katolik nomor 1731.
Katekismus Gereja Katolik Nomor 1731 mengajarkan bahwa kebebasan merupakan kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatannya dengan sadar. Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan diri sendiri. Dengan kebebasannya, manusia harus tumbuh dan menjadi matang dalam kebenaran dan kebaikan. Kebebasan memampukan setiap orang untuk bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Dengan Kehendak bebas, seseorang membentuk kehidupannya sendiri. Dengan kebebasannya, seseorang bertumbuh secara dewasa dalam kebenaran dan kebaikan. Kebebasan akan mencapai kesempurnaannya ketika diarahkan kepada Tuhan, kebahagiaan manusia.
Kebebasan sebagai kemampuan yang berakar dalam akal budi, artinya bahwa Manusia adalah subjek, dan dengan mengada sebagai subjek berarti mengada secara bebas, dan serentak mengada sebagai makhluk berbudi. Dengan akal budinya manusia mampu mengetahui dan mengerti akan sebuah kebenaran. Dengan Akal budinya manusia dapat mengenal Allah dalam terang iman. Dengan akal budinya, manusia menuntun dirinya agar setia pada suara hatinya yang benar, yang artinya sama dengan setia kepada Allah dan kepada dirinya sendiri. Dengan demikian maka dengan akal budinya manusia dapat mengarahkan kebebasannya menuju pada kebenaran dan menuju pada Allah dalam terang iman.

Kebebasan sebagai kemampuan yang berakar pada kehendak sebab manusia tidak selalu menghendaki apa yang sudah diketahuinya sebagai baik, bahwa rasionya tidak selalu menjadi tuan atas kehendaknya. Dengan kehendaknya manusia mampu mengarahkan kebebasannya menuju pada kebaikan. Kebaikan itu tak dapat dipisahkan dari kebenaran, sebab kebenaran diperlihatkan pada kehendak sebagai kebaikan melalui budi, maka untuk menghendaki yang baik, manusia tetap membutuhkan pertimbangan akal budi. Dengan akal budi dan kehendak sebagai akar kebebasan manusia maka manusia mampu menentukan diri sendiri menentukan diri sendiri, membentuk kehidupannya sendiri. Dengan akal budi dan kehendak sebagai akar kebebasannya maka manusia mampu bertumbuh secara matang dalam kebenaran dan kebaikan.

Dengan akal budi dan kehendak sebagai akar kebebasan manusia maka manusia mampu mengarahkan kebebasannya menuju kebebebasan sejati, yaitu kebebaan di dalam Allah. Kebebasan sejati merupakan kebebasan yang sempurna sebab kebebasan sejati adalah kebebasan yang terarah kepada Allah. Kebebasan yang terarah kepada Allah adalah kebebasan yang menghantar manusia menuju pada kebahagiaan. Jika manusia telah mencapai kebahagiaan di dalam Allah maka manusia tidak lagi membutuhkan kodrat akal budi dan kehendak sebagai akar kebebasannya untuk menentukan tindakannya, sebab manusia telah mencapai kebebasan yang sempurna, yaitu kebebasan sejati di dalam dan bersama Allah, dan yang tinggal hanyalah kasih. Kebebasan yang berakar dari kodrat akal budi dan kehendak manusia itu, akan menghantar manusia berbahagia secara kodrati di dunia dan menghantar manusia menuju kebahagiaan adikodrati.

"Viatikum : Bekal Perjalanan Ke Rumah Bapa"


VIATIKUM BAGI UMAT BERIMAN KRISTIANI YANG BERADA DALAM BAHAYA MAUT

MENURUT KANON 921 § 1 KITAB HUKUM KANONIK 1983


Oleh 

Vergilius Mandonsa


Hidup adalah anugerah terindah dari Allah yang dikaruniakan secara cuma-cuma kepada setiap makhluk ciptaan-Nya. Manusia sebagai makhluk peziarah merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling luhur di muka bumi. Paling luhur berarti manusia diciptakan secara istimewa, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27). Sebagai ciptaan yang paling luhur juga, manusia dipanggil oleh Allah untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setiap saat dan di mana-mana Ia dekat dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk mencari-Nya, untuk mengenal-Nya dan untuk mencintai-Nya dengan segala kekuatannya. Ia melakukan seluruh usaha itu dengan perantaraan Putera-Nya yang telah Ia utus sebagai penebus dan Juru Selamat. Di dalam Dia dan oleh Dia, Allah memanggil manusia supaya menjadi anak-anak-Nya dalam Roh Kudus dan dengan demikian mewarisi kehidupan-Nya yang bahagia.
Dalam peziarahan hidup ini, setiap manusia mengetahui bahwa di dunia ini manusia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan masa kehidupan manusia di dunia itu tidak bersifat kekal abadi. Artinya bahwa cepat atau lambat, hidup manusia akan berakhir dengan kematian. Kematian merupakan sebuah kepastian hidup.
Berhadapan dengan kematian sebagai suatu realitas yang tak terelakkan maka Gereja sebagai pernyataan kasih Allah yang ada di dunia tidak hanya diam, di mana Gereja senantiasa berusaha untuk menopang perjalanan menuju kematian melalui sakramen- sakramen, salah satunya ialah sakramen Ekaristi yakni pemberian komuni suci sebagai bekal perjalanan kembali ke rumah Bapa (Viatikum).

Viatikum berasal dari kata bahasa latin yakni Via, te, cum yang berarti berjalan bersamamu. Viatikum merupakan Komuni Suci yang diberikan kepada orang beriman kristiani yang berada dalam bahaya maut. Viatikum disebut juga komuni bekal suci (bekal perjalanan ke rumah Bapa). Disebut sebagai sebagai bekal perjalanan karena dalam saat peralihan ke rumah Bapa ini persatuan dengan tubuh dan darah Kristus mempunyai arti dan kepentingan khusus yakni sebagai benih hidup abadi dan kekuatan untuk kebangkitan bagi manusia.

Oleh karena itu Gereja Katolik sangat mengharapkan agar setiap pribadi telah dibaptis dan berada dalam bahaya maut mesti ditopang dengan Tubuh dan Darah Kristus dalam rupa roti dan anggur yang telah dikonsekrir dalam perayaan Ekaristi. Melalui pemberian tubuh dan darah Kristus bagi mereka yang akan kembali ke rumah Bapa ini bermakna bahwa seseorang akan dikuatkan imannya dan seorang yang akan meninggal tersebut akan dengan tenang menghadapi kematiannya. Ia akan sadar bahwa hidup ini adalah suatu peziarahan, dan kini saatnya dengan tenang kembali kepada sang empunya kehidupan yakni Allah. Dasar teologisnya ialah bahwa hidup ini berasal dari Allah maka kita akan kembali kepada Allah.

Tuesday, March 17, 2020

"Mitos Penciptaan Dunia"


RERA WULAN TANA EKAN DALAM MITOS PENCIPTAAN DUNIA DAN MANUSIA MENURUT MASYARAKAT RIANGRITA-KABUPATEN FLORES TIMUR”
Oleh
FELISIANUS MELKIOR TEMU
(Prosesi Tuan Ma sebagai salah satu bentuk penghormatan masyarakat Flores Timur 
terhadap Wujud yang Tertinggi)


Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikian manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej. 2:7), telah mengukir dalam hati manusia kerinduan untuk melihat Dia. Meskipun kerinduan itu diabaikan, Allah tidak pernah berhenti menarik manusia kepada Diri-Nya karena hanya dalam Dialah manusia dapat menemukan kepenuhan akan kebenaran yang tidak pernah berhenti dicarinya dan hidup dalam kebahagiaan. Inilah dasar religiositas manusia yang menjadikan dia makhluk yang bermartabat. Karena itu menurut kodrat dan panggilannya, manusia adalah makhluk religius yang mampu masuk dalam persekutuan dengan Allah. Hubungan yang mesra dengan Allah mengaruniakan martabat kepada manusia. Manusia, karena tercipta seturut Citra Ilahi, mengandung dalam dirinya karakteristik religius, sebuah sifat dan sikap yang selalu bergerak dari dan terarah kepada yang Ilahi. Terlahir sebagai homo religiosus setiap manusia dan komunitas masyarakat berusaha mengungkapkan cita rasa keagamaan itu dalam konteks budaya, bahasa, pola pikir dan karakter etniknya. Wujud Ilahi disebut dalam bahasanya sendiri. Konsep tentang-Nya dipahami sesuai pola pikir masyarakat bersangkutan. Pola peribadatan dan ritus-ritusnya dibuat sesuai karakter antropologis masyarakat setempat. Spiritualitasnya pun sangat khas berpijak pada konteks hidup di mana komunitas itu ada dan berkembang. Dari sini lahirlah kenyataan kedua dari sejarah keberagamaan manusia yakni kemajemukan agama. Realitas kemajemukan agama ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bersama umat manusia. Ia bukan suatu fakta baru melainkan sudah ada sejak lahirnya agama-agama, itu berarti sudah berabad-abad dunia tidak hanya mengenal satu agama.

Dalam kepercayaan masyarakat Riangrita dan suku Lamaholot pada umumnya, Wujud Tertinggi disapa dengan nama Rera Wulan Tana Ekan. Konsep ini mula-mula lahir dari iman masyarakat akan Wujud Tertinggi sebagai pencipta dan penguasa alam semesta dengan gaya yang sangat kiastik dan kosmologis. Ungkapan Rera Wulan, Tana Ekan mengandung suatu kesatuan makna yang saling melengkapi. Sang Pencipta digambarkan ibarat matahari (rera) dan bulan (wulan) yang senantiasa menerangi alam raya, dan bumi (tana ekan) sebagai tempat pijak dan yang memberikan kehidupan kepada manusia. Secara kiastik ungkapan Rera Wulan Tana Ekan di atas sesungguhnya mau menggambarkan kebesaran Ilahi. Rera (matahari) adalah realitas kosmik yang berfungsi menerangi bumi. Letaknya sangat jauh (tinggi) dari bumi. Segala aktivitas bumi tergantung pada penerangan matahari. Tanpa matahari, aktivitas manusia terhambat dan bahkan tidak ada kehidupan di bumi. Manusia membutuhkan penerangan untuk bekerja. Tumbuh-tumbuhan membutuhkan sinar matahari untuk proses pertumbuhan dan fotosintesis. Hewan pun dengan tuntutan instingnya membutuhkan penerangan untuk dapat bertumbuh dan beraktivitas. Dengan demikian, betapa matahari berperan sangat penting bagi kehidupan dunia termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan.

Selanjutnya ungkapan Tana Ekan pun memiliki makna kiastik yang sama. Tana Ekan secara sederhana dapat diartikan sebagai bumi tempat segala makhluk berpijak dan menjalani kehidupan. Ia adalah tempat di mana umat manusia mencari nafkah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam analogi kosmik yang demikianlah orang Riangrita mengungkapkan iman mereka akan Wujud Tertinggi. Ia adalah realitas tertinggi yang dianalogikan dengan tingginya matahari dan bulan (Rera Wulan). Pada Dialah segala makhluk berpijak dan menggantungkan hidup yang dianalogikan dengan bumi (Tana Ekan). Hal menarik yang terdapat dalam keyakinan masyarakat Riangrita adalah peran Rera Wulan Tana Ekan sebagai pencipta dunia. Gambaran-Nya sebagai realitas llahi yang transendental dan imanentif dapat ditemukan dalam kajian etimologis di atas yakni sebagai Rera dan Wulan yang tinggi dan tak terjangkau dan Tana Ekan sebagai yang didiami dan memberi kehidupan kepada dunia. Masyarakat meyakini bahwa Rera Wulan Tana Ekan inilah sang Pencipta Dunia. Kerangka iman akan Allah sebagai pencipta ternyata ditemukan dalam kisah mitos penciptaan dunia versi agama lokal berjudul 'Puken Nimun Jadi Etok Ata Diken' yakni tentang asal usul dunia dan manusia.

Hal yang menarik dalam hubungan dengan mitos penciptaan dunia ini adalah paralelisme narasi mitos yang hampir sama dengan kisah penciptaan dunia dalam Perjanjian Lama (Kej. 1:1- 31). Sebagian narasi dan penokohannya sama dengan narasi dan penokohan yang terdapat dalam kisah penciptaan dunia dan manusia dalam Kitab Kejadian. Hampir tidak bisa dipastikan apakah kisah ini murni mitologi masyarakat Riangrita atau telah mendapat pengaruh biblis dan teologi Kristen, namun satu hal yang tinggal pasti adalah bahwa masyarakat Riangrita telah lama memiliki mitos dan keyakinan akan Rera Wulan Tana Ekan sebagai pencipta di dalamnya. Dalam mitos inilah peran Rera Wulan, Tana Ekan sebagai pencipta manusia dan dunia ditemukan. Ia diyakini sebagai yang mengasali segala sesuatu, dan yang kepada-Nya segala sesuatu bergerak menuju.

Monday, March 16, 2020

"Tugas Pewartaan Seorang Imam"


MEWARTAKAN INJIL SEBAGAI TUGAS KHAS IMAM

MENURUT KANON 757 KITAB HUKUM KANONIK 1983

Oleh

Yohanes Dionisius Leo


“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15). Kutipan teks Injil ini merupakan pesan yang disampaikan Yesus kepada murid-murid-Nya sebelum Ia terangkat ke surga. Makna perkataan Yesus ini ialah Injil sebagai kabar sukacita keselamatan, tidak saja diperuntukkan bagi orang-orang Yahudi, tetapi juga bagi segala makhluk di segala penjuru. Bagi para murid Yesus sendiri, amanat ini merupakan tugas mereka yang utama setelah Yesus tidak lagi bersama mereka. Mereka mengemban tugas melanjutkan karya pewartaan Injil bagi segala bangsa.
Tugas pewartaan Injil tidak saja ditujukan kepada para murid Yesus, tetapi diperuntukkan bagi semua orang yang telah bersatu sebagai anggota Gereja. Perintah yang diberikan kepada Dua belas rasul untuk pergi dan mewartakan Injil juga berlaku untuk semua orang Kristen, meskipun dengan cara yang berbeda. Berkat sakramen pembaptisan, umat beriman Kristiani telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah dan turut mengambil bagian dalam tiga tugas Kristus yakni sebagai Imam, Nabi dan Raja. Sebagai Imam, anggota Gereja Umat Allah mengemban tugas pengudusan. Sebagai Nabi, Gereja diserahi tugas pewartaan, dan sebagai Raja, Gereja mengemban tugas pelayanan. Usaha untuk mewartakan Injil kepada orang-orang zaman sekarang ini, yang didukung oleh sutau pengharapan namun sekaligus perasaan tertekan karena ketakutan dan kecemasan, merupakan suatu pelayanan yang diberikan kepada jemaat Kristen dan juga kepada seluruh umat manusia.
Tugas mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja. Tugas untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa merupakan perutusan hakiki dari Gereja. Gereja ada untuk mewartakan Injil. Gereja pada gilirannya juga diutus oleh Yesus untuk mewartakan Kabar Baik. Gereja merupakan perpanjangan Yesus dan meneruskan kehadiran Yesus, lebih- lebih perutusan Yesus dan meneruskan kehadiran Yesus. Gereja adalah pewarta Injil, namun hal ini dimulai dengan menerima pewartaan itu sendiri. Setelah diutus dan diberi pewartaan Injil, maka Gereja sendiri mengutus para pewarta Injil.
Tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pewartaan Injil dalam situasi zaman sekarang merupakan suatu hal yang sangat mendesak. Dunia dewasa ini mengalami begitu banyak perubahan yang semakin luas dan kompleks. Perubahan-perubahan dimaksud terjadi dalam tata masyarakat, maupun dalam aspek psikologis, moral dan keagamaan. Di satu pihak, dapat ditemukan perkembangan dan kemajuan yang begitu besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Namun di lain pihak, dapat disaksikan pula situasi-situasi faktual yang begitu memprihatinkan yang dialami oleh umat manusia. Ada berbagai ketimpangan sosial dan ketidakseimbangan yang dialami oleh umat manusia dewasa ini.
Kemendesakan pewartaan Injil dalam situasi dunia zaman sekarang, turut dirasakan juga oleh Bapa-Bapa Konsili. Keadaan umat manusia yang serba baru dan perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam di dalam masyarakat zaman sekarang ini, menjadikan Gereja dipanggil secara lebih mendesak untuk menyelamatkan dan membarui semua ciptaan. Gereja dipanggil untuk membawa seluruh umat manusia menjadi satu keluarga dan satu umat Allah di dalam Kristus.
Telah disinggung sebelumnya bahwa usaha mewartakan Injil merupakan suatu pelayanan yang diemban oleh seluruh umat manusia. Namun sejatinya, tugas pewartaan Injil secara istimewa diemban oleh para uskup yang bekerja sama dengan para imam. Imbauan Apostolik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi secara jelas menyatakan demikian:
“Dalam kesatuan dengan Pengganti Petrus, para Uskup, yang merupakan pengganti para rasul, melalui kuasa tahbisan mereka menerima kewibawan untuk mengajarkan kebenaran yang diwahyukan dalam Gereja. Mereka adalah guru-guru iman. Bersatu dengan para Uskup dalam pelayanan penginjilan dan bertanggung jawab karena suatu gelar khusus, ialah mereka yang karena tahbisan imamatnya ‘bertindak dalam Pribadi Kristus’. Mereka adalah pendidik-pendidik umat Allah dalam iman dan pengkhotbah-pengkhotbah, pada saat yang sama sekaligus juga menjadi pelayan- pelayan Ekaristi dan sakramen-sakramen lainnya. Kita para Gembala oleh karenanya diajak untuk memperhatikan kewajiban ini, lebih daripada anggota- anggota lain dalam Gereja. Yang memberikan identitas pada pengabdian kita selaku imam, yang memberikan kesatuan mendalam terhadap seribu satu macam tugas yang menuntut perhatian kita hari demi hari sepanjang hidup kita, dan memberikan suatu ciri khas pada kegiatan-kegiatan kita, ialah tujuan ini, yang selalu ada dalam segala perbuatan kita: Untuk mewartakan Injil Allah. Salah satu tanda identitas kita yang tidak boleh terhambat karena keragu-raguan dan tak boleh dikaburkan karena ada pertentangan, ialah ini: sebagai pastor-pastor, kita telah dipilih oleh belas kasih Gembala Tertinggi, kendati kita tidak layak untuk mewartakan sabda Allah dengan kewibawaan.”
Pada hakikatnya, fungsi pelayanan para imam dibagi ke dalam tiga aspek yakni para imam adalah pelayan sabda Allah, para imam adalah pelayan sakramen- sakramen dan Ekaristi, dan yang terakhir para imam adalah pemimpin umat Allah. Di antara ketiga fungsi pelayanan ini, pelayanan sabda Allah mendapat tempat yang pertama dan utama. Apa yang dinyatakan Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi itu, telah ditekankan satu dekade sebelumnya oleh Bapa-Bapa Konsili. Para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang. Dengan melaksanakan amanat Yesus tersebut di atas, para imam membentuk dan mengembangkan umat Allah.
Dengan sakramen imamat, imam secara khas dan khusus mengambil bagian dalam tiga tugas Yesus, yakni sebagai imam, nabi dan raja. Sebagai imam, ia bertugas mempersembahkan kurban kepada Allah (bdk. Im 1-7) dan memberkati umat atas nama Allah (bdk. Bil 6:22). Sebagai nabi, imam menjadi pendengar sabda Allah dan harus dengan setia mengajarkannya kepada umat. Ia harus menafsir tanda-tanda zaman berdasarkan firman Allah itu dan harus menyampaikan sikap kritis-profetis kepada umatnya. Sebagai raja, imam bertindak sebagai gembala dan pemimpin umat (bdk. 2 Sam 5:2). Imam membela hak Allah tetapi juga secara khusus melindungi hak-hak orang miskin, mewakili umat di hadapan Allah serta mewakili Allah di hadapan umat.
Kewajiban para imam pertama-tama adalah mewartakan Injil Allah kepada semua orang. Para imam mempunyai kewajiban untuk menyampaikan kebenaran Injil kepada semua orang, sehingga mereka bergembira di dalam Tuhan. Dalam menanggapi berbagai kebutuhan para pendengar dan menurut karisma para pewarta sendiri, pewartaan Injil dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Model atau cara pewartaan Injil yang dapat dibuat yakni para imam mengajak orang-orang untuk memuliakan Allah dengan cara hidup mereka yang baik di tengah umat; menyiarkan misteri Kristus kepada kaum tak beriman dengan pewartaan yang terbuka; dengan memberikan katekese Kristiani; dengan menguraikan ajaran Gereja; dan dengan berusaha mengkaji persoalan-persoalan aktual dalam terang Kristus.

"Konsep Pendidikan Moral Charles Taylor"



KONSEP PENDIDIKAN MORAL MENURUT CHARLES TAYLOR 
DAN RELEVANSINYA BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA
  Oleh
VALENTINUS D. KYEN



Manusia memiliki kehidupan yang seluruhnya menjadi bagian dari dirinya, kehidupan manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan (infra human), bahkan manusia adalah makhluk yang lebih kaya dan memiliki keruwetannya sendiri. Hal ini dikarenakan, manusia memiliki kekhususan dalam dirinya yaitu ia memiliki otak yang memungkinkan dirinya untuk bernalar,melakukan aktivitas berpikir dan merefleksikan hidupnya. Kemampuan berpikir manusia ini memungkinkan dirinya untuk berkembang maju (progresif). Dalam kesadarannya manusia dapat memiliki hubungan dengan dunia entah manusia akan mengubah dunianya, memproduksi dunianya dan bahkan lewat kerja atau karyanya manusia dapat menaklukan dunia demi keinginannya.
Pendidikan adalah salah satu jalan yang ditempuh oleh manusia untuk membentuk dirinya sekaligus menjadi jalan guna mencapai keutuhan dirinya. Pendidikan juga di sisi lain menjadi wadah dimana manusia mengenal, belajar dan berproses untuk menghadapi sekaligus melewati hal-hal yang ada dalam hidupnya. Pendidikan yang dimaksud ini ialah pendidikan baik formal yang diajarkan lewat suatu lembaga atau institusi maupun pendidikan non-formal yang diperoleh dari proses belajar dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Segala sesuatu sejauh manusia mempelajarinya entah lewat pengalaman langsung maupun lewat cara pembelajaran lain, disitu menusia sedang merangkai sekaligus mendidik dirinya sendiri. Pendidikan selain bertujuan untuk mencapai keutuhan manusia juga menjadi media dimana membentuk cara pandang manusia mengenai hakikat realitas dimana dengan bangunan pemikiran yang dibangun dalam pendidikan memampukan manusia untuk melihat inti terdalam kehidupan dan jati dirinya.
Charles Taylor filsuf beraliran komunitarianisme mengatakan bahwa “sekolah pengakuan” (school of recognation) adalah sebuah pendidikan yang mendasarkan pada “pengakuan”(recognition). Pengenalan yang dimaksud ialah pengenalan akan diri (self) yang mengantar pada pengakuan akan identitas dari dan oleh yang lain serta kepada yang lain. Kurangnya pengakuan dari dan kepada orang lain dapat saja menyebabkan disintegrasi atau masalah dalam diri seseorang sehingga tujuan pendidikan adalah mengantar pribadi sampai pada “pengakuan” akan dirinya. Charles Taylor mengatakan bahwa: Identitas kita merupakan bagian yang dibentuk oleh pengakuan atau tiadanya pengakuan, sering oleh tidak adanya pengakuan  dari orang lain dan ketika itu manusia atau sekelompok manusia dapat menderita kerusakan, kenyataan penyimpangan. Tidak mengakui atau tidak adanya pengakuan dapat mendatangkan kerugian, penindasan, mendekam seseorang dalam kesalahan, berbuat perilaku menyimpang dan bahkan mereduksi cara berada mereka. ketiadaan pengakuan menunjukkan kurangnya rasa hormat. Pengakuan adalah sesuatu yang vital dan dibutuhkan manusia.
Sedangkan moral menurut Charles Taylor ialah sesuatu yang baik karena memang ia baik pada dirinya sendiri dan harus dijalankan oleh manusia serta bersifat konstitutif yaitu “wajib”. Sesuatu yang baik itu adalah sumber moral itu sendiri. Baik adalah sumber dan pendorong manusia untuk bertindak atas dasar cinta sebab cinta adalah manifestasi sekaligus ada di dalam baik. Baik disini adalah sesuatu yang diterima secara umum, dibentuk, layak, disadari ke- bernilaiannya, mengagumkan, baik hati. yang Baik juga merupakan cinta yang mendorong untuk bertindak. Baik adalah sumber cinta yang memberdayakan kita untuk bertindak dan menjadi hingga kita mencapai pemenuhan diri. Bagi Charles Taylor, “moral otentik” ialah bagaimana seseorang menjadi benar-benar dirinya seturut keaslian dirinya (identitas) dan itu hanya dapat terwujud dan diungkapkan jika melihat potensi yang ada dalam diri dan menjadi khas dalam diri sendiri.

Bagi Taylor, Tujuan dari manusia ialah kepenuhan diri dimana ia dapat mengaktualisasikan diri atau identitasnya yang di dapat selama hidupnya. Sekolah Pengakuan adalah sekolah yang mana identitas dan diri manusia diaktualisasikan. Sekolah pengakuan adala sebuah model pendidikan etis sebab identitas yang menjadi unsur penting mansuai mendapat tempanya atau dalam bahasa Taylor memperoleh pengakuan. Pengakuan akan mendatangkan keotentikan diri bagi manusia. Dalam pengakuan, identitas yang mana merupakan keaslian dari diri manusia di akui atau diterima keberadaannya yang mana mengantar manusia pada keaslian dirinya. Tidak adanya pengakuan atas identitas dapat menyebabkan kerusakan pada diri manusia dan dari semuanya itu, manusia tidak akan hidup dengan keaslian dirinya atau keotentikan dirinya bahkan kepenuhan diri tidak akan tercapai oleh manusia tersebut. Dengan demikian, pengakuan atas identitas adalah suatu hal yang mutlak sebab dengan adanya pengakuan seseorang dapat mencapai kepenuhan dirinya yaitu menjadi diri yang otentik.

"Ritual Mbama Orang Wolosoko"



NILAI SOSIAL DALAM RITUAL MBAMA

DI KAMPUNG WOLOSOKO KECAMATAN WOLOWARU KABUPATEN ENDE
Oleh
HERMAN PUTRA MBUI DJOKA
Manusia adalah makluk sosial yang senantiasa berhubungan dengan manusia yang lain. Hubungan ini akan menimbulkan produk-produk. Di antaranya adalah nilai-nilai sosial dan norma-norma sosial yang dianut oleh suatu kelompok tersebut. Dengan demikian, masyarakat sendiri merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama.
Orang Wolosoko juga merupakan suatu masyarakat sosial yang mempunyai adat istiadat. Dengan adat istiadat, orang Wolosoko mampu untuk berinteraksi dengan alam dunia, mengolahnya dan mengembangkan apa yang telah ada, sehingga lahirlah produk-produk budaya yang baru, sebagai hasil pengembangan dan perealisasian dirinya. Salah satu dari produk budaya tersebut adalah Ritual Mbama.
Ritual Mbama adalah ritual syukur atas hasil panen perladangan dalam semusim tanam, yaitu hasil yang diperoleh setelah setahun bergulat dengan lahan dan tanaman. Dalam komunitas peladang Wolosoko, setiap tahun diadakan Ritual Mbama. Mbama memang menjadi pesta panen yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan sebagai puncak syukur. Kendati bernuansa pesta syukur, pesta besar dan meriah, aspek ritualnya tetap menjadi inti. Tata cara yang dipakai adalah musyawara-mufakat para pemimpin dan penyangga lembaga tradisional mosalaki dengan jajarannya.
Ritual Mbama memiliki nilai sosial. Jenis nilai sosial dalam Ritual Mbama di Desa Wolosoko mencakup tiga nilai yaitu nilai sosial-ekonomi, nilai sosial-politik dan nilai sosial- religius. Pertama, nilai sosial-ekonomi. Ritual Mbama menunjukan jati diri Masyarakat Wolosoko sebagai masyarakat yang pekerjaan pokoknya adalah bertani. Bertani adalah penopang kehidupan Masyarakat Wolosoko. Apa yang dihasilkan dalam setahun akan dipersembahkan kepada Du’a Ngga’e, tana watu, nitu pa’i. Persembahan tersebut merupakan ungkapan syukur atas apa yang telah diperoleh.
Kedua, nilai sosial-politik. Ritual Mbama dapat dilihat dalam stuktur sosial dalam pelaksanaan ritual adat, dari Mosalaki, ine ema, aji ana, dan boge hage serta faiwalo anahalo sebagai perencana dan pelaksana ritual adat. Dalam upacara nelu, hanya Mosalaki, aji ana, dan boge hage yang mempunyai hak suara untuk menentukan kapan pelaksanaan ritual dan apa yang harus dibuat sedangkan faiwalu anakalo hanyalah menyetujui dan siap melaksanakan apa yang telah disepakati oleh pemangku kekuasaan tersebut. Mereka-lah yang mengatur perjalanan ritual selama setahun.
Ketiga, nilai sosial-religius. Ritual Mbama adalah salah satu bentuk upacara adaat untuk menghormati Wujud Tertinggi sebagai pengatur segala sesuatu. Nilai-nilai sosial ini ditemukan dalam proses Ritual Mbama dari perencanaan hingga penutup ritualnya. Nilai-nilai ini sangat jelas diungkapkan dalam Ritual Mbama. Ritual Mbama adalah pesta pasca panen sebagai tanda syukur dan sekaligus mengenang dan menghormati Ine Pare atau Bobi dan Nombi yang diyakini sebagai asal mula padi yang dikorbankan dengan darahnya. Darah yang menjelma menjadi makanan yang bermutu tinggi, sehingga ada sederet ritual dari pembukaan lahan sampai Ritual Mbama.