PERAN
MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL
DALAM
SISTEM POLITIK DEMOKRASI
MENURUT
DOKUMEN ETHICS IN COMUNICATION NOMOR
8
Oleh
JOSINTO
BOY ORLANDO CHANDRA ANIN
Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang
makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan
informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah
menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Salah satu bentuk perkembangan teknologi komunikasi adalah media
baru yang kemudian melahirkan media sosial (social
media). Media sosial dapat dikatakan sebagai salah satu alat komunikasi
sosial berbasis internet yang memungkinkan terjadinya interaksi dua arah dan
kolaborasi antara komunikator dan komunikan. Kehadiran media sosial juga
mempengaruhi bidang politik. Menurut Silih Agung Wasesa, kehadiran media baru
berbasis digital membuat informasi politik tidak hanya semakin pasif, tetapi
juga berdistribusi dengan cepat dan bersifat interaktif.
Melalui
media sosial beragam informasi dapat diakses dengan mudah. Tetapi kemudahan
penggunaan media sosial seharusnya sejalan dengan upaya memberikan informasi
yang benar, tidak mengabaikan etika dan kebenaran informasi sebelum
dipublikasikan atau diteruskan kepada khalayak sebagai pengguna media sosial. Dalam
hal keluasan jangkauan, media sosial seharusnya dimanfaatkan untuk membangun
jaringan komunikasi politik yang memberikan wawasan politik dalam kehidupan
bernegara yang berkeadilan. Ikatan stratifikasi politik yang melekat di antara
pengguna media sosial, selayaknya digunakan untuk membangun prinsip keterbukaan
komunikasi demi mencapai masyarakat informasi yang demokratis.
Media
komunikasi sosial mempunyai dua karakteristik yaitu di satu sisi media dapat
mengabdi pribadi-pribadi manusia, tetapi di sisi lain media bisa melanggar
kesejahteraan pribadi manusia. Terkait dengan politik, manfaat media komunikasi
sosial yang mengabdi pribadi manusia antara lain, media komunikasi sosial
memudahkan partisipasi warga dalam proses politik, membentuk
komunitas-komunitas politik yang otentik, memberikan informasi, memungkinkan
terjadinya komunikasi langsung antara pemerintah dengan masyarakat,
pertanggungjawaban yang transparan, menyoroti korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan dan pengabdian terhadap masyarakat.
Sedangkan
komunikasi sosial yang melanggar kesejahteraan pribadi yaitu penggunaan media
oleh para politisi yang jahat untuk menghasut dan menipu dengan mendukung
kebijakan yang tidak adil dan rezim yang menindas. Para politisi sering
memberikan gambaran yang salah mengenai lawan-lawan mereka dan secara
sistematis memutar balikan kebenaran dan menekan kebenaran dengan propaganda. Bahkan
di negara-negara yang menggunaakn sistem demokrasi, sudah merupakan hal yang
biasa bahwa para pemimpin politik memanipulasi pendapat umum lewat media, dan
bukannya mendorong partisipasi dalam proses politik dengan diberi informasi. Peraturan-peraturan
mengenai demokrasi ditaati, tetapi teknik-teknik yang dipinjam dari periklanan
dan humas dimanfatkan untuk kepentingan kebijakan yang menindas
kelompok-kelompok tertentu dan melanggar hak-hak asasi.
Hal
konkret dari penyalahgunaan media komunikasi sosial antara lain penyebaran
berita bohong (hoax). Hoaks bisa
diartikan sebagai informasi yang direkayasa, baik dengan cara memutarbalikkan
fakta atau pun mengaburkan informasi, sehingga pesan yang benar tidak dapat
diterima seseorang. Dengan demikian masyarakat hanya akan mendapatkan berita
bohong atau palsu. Konsekuensi dari hoaks ialah terjadinya konflik sosial yang
meluas dan ancaman disintergrasi sulit dihindari.
Komunikasi
sosial yang melanggar kesejahteraan pribadi termasuk dalam gejala perkembangan
teknologi komunikasi, globalisasi, liberalisasi, dan komersialisasi yang telah
mengalami pergeseran. Media tumbuh tidak hanya menjadi kekuatan pengontrol
kekuasaan, tetapi telah menjadi kekuatan politik. Media telah menjadi “power” baru, yang apabila dibiarkan liar
justru bisa menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi. Noam Chomsky
menganalisis adanya konsipirasi para elite yang melakukan kontrol pemberitaan
dan informasi. Dengan menggunakan istilah manufacturing
consent, Chomsky melihat bahwa media telah dipelintir menjadi alat
kepentingan politik, ekonomi, dan kultur kalangan eksklusif. Menurutnya para gate keeper media manjadi pion politisi
untuk mencari keuntungan.
Menyimak
fenomen sosial di atas, penulis terdorong untuk mengkaji penggunaan media
komunikasi sosial, yang didasarkan pada pandangan Gereja Katolik yang tentunya
mempunyai implikasi yang bersifat umum. Gereja Katolik memandang penggunaan
media sosial harus selaras dengan penyampaian “Kabar Baik” kepada khalayak. Untuk
itu, prinsip-prinsip komunikasi sosial dengan kekhasan pada basis medianya,
dapat dipakai sebagai landasan bermedia sosial. Prinsip “Kabar Baik” tersebut
berlaku umum karena Gereja ada bukan hanya untuk kaum beriman (Koinonia), tapi juga diutus untuk
menyampaikan dan membagikan kabar baik ke seluruh dunia (bdk Mat. 28:19-20),
sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan, serta sumber ajaran
kesusilaan. Dengan demikian, karunia Ilahi dibagikan pula kepada mereka.
Prinsip
kabar baik sangat relevan dengan dampak komunikasi sosial yang mengabdi pada
pribadi-pribadi manusia. Dalam konteks sistem politik demokrasi, kabar baik
yang hendak disampaikan kepada khalayak seharusnya bersifat konstruktif agar
masyarakat dapat secara pasti dan bertanggungjawab terlibat dalam proses
politik. Media sosial seharusnya menjadi alat baru yang dapat membantu
terciptanya kebaikan bersama (Bonum
Commune) dalam praktik berpolitik itu sendiri.