Tuesday, January 28, 2020

"Media Komunikasi Dalam Sistem Demokrasi"



PERAN MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL

DALAM SISTEM POLITIK DEMOKRASI

MENURUT DOKUMEN ETHICS IN COMUNICATION NOMOR 8

Oleh
JOSINTO BOY ORLANDO CHANDRA ANIN


            Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu bentuk perkembangan teknologi komunikasi adalah media baru yang kemudian melahirkan media sosial (social media). Media sosial dapat dikatakan sebagai salah satu alat komunikasi sosial berbasis internet yang memungkinkan terjadinya interaksi dua arah dan kolaborasi antara komunikator dan komunikan. Kehadiran media sosial juga mempengaruhi bidang politik. Menurut Silih Agung Wasesa, kehadiran media baru berbasis digital membuat informasi politik tidak hanya semakin pasif, tetapi juga berdistribusi dengan cepat dan bersifat interaktif.
            Melalui media sosial beragam informasi dapat diakses dengan mudah. Tetapi kemudahan penggunaan media sosial seharusnya sejalan dengan upaya memberikan informasi yang benar, tidak mengabaikan etika dan kebenaran informasi sebelum dipublikasikan atau diteruskan kepada khalayak sebagai pengguna media sosial. Dalam hal keluasan jangkauan, media sosial seharusnya dimanfaatkan untuk membangun jaringan komunikasi politik yang memberikan wawasan politik dalam kehidupan bernegara yang berkeadilan. Ikatan stratifikasi politik yang melekat di antara pengguna media sosial, selayaknya digunakan untuk membangun prinsip keterbukaan komunikasi demi mencapai masyarakat informasi yang demokratis.
            Media komunikasi sosial mempunyai dua karakteristik yaitu di satu sisi media dapat mengabdi pribadi-pribadi manusia, tetapi di sisi lain media bisa melanggar kesejahteraan pribadi manusia. Terkait dengan politik, manfaat media komunikasi sosial yang mengabdi pribadi manusia antara lain, media komunikasi sosial memudahkan partisipasi warga dalam proses politik, membentuk komunitas-komunitas politik yang otentik, memberikan informasi, memungkinkan terjadinya komunikasi langsung antara pemerintah dengan masyarakat, pertanggungjawaban yang transparan, menyoroti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan pengabdian terhadap masyarakat.
            Sedangkan komunikasi sosial yang melanggar kesejahteraan pribadi yaitu penggunaan media oleh para politisi yang jahat untuk menghasut dan menipu dengan mendukung kebijakan yang tidak adil dan rezim yang menindas. Para politisi sering memberikan gambaran yang salah mengenai lawan-lawan mereka dan secara sistematis memutar balikan kebenaran dan menekan kebenaran dengan propaganda. Bahkan di negara-negara yang menggunaakn sistem demokrasi, sudah merupakan hal yang biasa bahwa para pemimpin politik memanipulasi pendapat umum lewat media, dan bukannya mendorong partisipasi dalam proses politik dengan diberi informasi. Peraturan-peraturan mengenai demokrasi ditaati, tetapi teknik-teknik yang dipinjam dari periklanan dan humas dimanfatkan untuk kepentingan kebijakan yang menindas kelompok-kelompok tertentu dan melanggar hak-hak asasi.
            Hal konkret dari penyalahgunaan media komunikasi sosial antara lain penyebaran berita bohong (hoax). Hoaks bisa diartikan sebagai informasi yang direkayasa, baik dengan cara memutarbalikkan fakta atau pun mengaburkan informasi, sehingga pesan yang benar tidak dapat diterima seseorang. Dengan demikian masyarakat hanya akan mendapatkan berita bohong atau palsu. Konsekuensi dari hoaks ialah terjadinya konflik sosial yang meluas dan ancaman disintergrasi sulit dihindari.
           Komunikasi sosial yang melanggar kesejahteraan pribadi termasuk dalam gejala perkembangan teknologi komunikasi, globalisasi, liberalisasi, dan komersialisasi yang telah mengalami pergeseran. Media tumbuh tidak hanya menjadi kekuatan pengontrol kekuasaan, tetapi telah menjadi kekuatan politik. Media telah menjadi “power” baru, yang apabila dibiarkan liar justru bisa menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi. Noam Chomsky menganalisis adanya konsipirasi para elite yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Dengan menggunakan istilah manufacturing consent, Chomsky melihat bahwa media telah dipelintir menjadi alat kepentingan politik, ekonomi, dan kultur kalangan eksklusif. Menurutnya para gate keeper media manjadi pion politisi untuk mencari keuntungan.
            Menyimak fenomen sosial di atas, penulis terdorong untuk mengkaji penggunaan media komunikasi sosial, yang didasarkan pada pandangan Gereja Katolik yang tentunya mempunyai implikasi yang bersifat umum. Gereja Katolik memandang penggunaan media sosial harus selaras dengan penyampaian “Kabar Baik” kepada khalayak. Untuk itu, prinsip-prinsip komunikasi sosial dengan kekhasan pada basis medianya, dapat dipakai sebagai landasan bermedia sosial. Prinsip “Kabar Baik” tersebut berlaku umum karena Gereja ada bukan hanya untuk kaum beriman (Koinonia), tapi juga diutus untuk menyampaikan dan membagikan kabar baik ke seluruh dunia (bdk Mat. 28:19-20), sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan, serta sumber ajaran kesusilaan. Dengan demikian, karunia Ilahi dibagikan pula kepada mereka.
            Prinsip kabar baik sangat relevan dengan dampak komunikasi sosial yang mengabdi pada pribadi-pribadi manusia. Dalam konteks sistem politik demokrasi, kabar baik yang hendak disampaikan kepada khalayak seharusnya bersifat konstruktif agar masyarakat dapat secara pasti dan bertanggungjawab terlibat dalam proses politik. Media sosial seharusnya menjadi alat baru yang dapat membantu terciptanya kebaikan bersama (Bonum Commune) dalam praktik berpolitik itu sendiri.

Monday, January 27, 2020

"MENEROPONG POLITIK ARISTOTELES"


KEWARGANEGARAAN DALAM FILSAFAT POLITIK ARISTOTELES 
DAN HIDUP “MENEGARA” MENURUT NIKOLAS DRIYARKARA
Oleh
HILARIUS PIRU


            Manusia adalah mahkluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan sesamanya yang lain. Relasinya dengan orang lain tentu berdampak pula pada sarana pemuas kebutuhan. Pada hakekatnya, manusia memiliki keterbatasan dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, manusia mesti membangun kerja sama dengan orang lain demi mewujudkan kesejahteraan hidup. Kesejahteraan menjadi terget utama yang dikejar oleh manusia.
            Manusia juga dikenal sebagai mahkluk politik (zoom politikon). Partisipasi warga negara dalam politik menjadi alasan adanya polis. Ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa Aristoteles sangat menagung-agungkan “partisipasi” aktif warga negara. Pertama, Aristoteles dengan intervensi dari para dewa. Akan tetapi, politik merupakan ungkapan hakekat manusia. Kalau politik itu ekspresi dari hakekat manusia, manusia tidak perlu melibatkan campur tangan dewa. Kedua, jika manusia dari kodratnya bersifat politis, maka politik tidak membutuhkan kontrak sosial atau konvensi. Manusia dapat membangun komunitas hidup bersama dalam rangka pemenuhan serta penyempurnaan kebutuhan hidupnya. Ketiga, perwujudan diri manusia hanya mungkin dilakukan dalam polis atau negara kota. Aristoteles menggunakan term potentia-actus untuk mendeskripsikan hubungan antara manusia dan polis. Sebagaimana setiap kemungkinan mencapai pemenuhannya ketika mencapai tujuannya, demikian juga dengan manusia. Dia dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang dimilikinya secara kodrati dalam polis. Polis adalah atualisasi dari potensi khsusus manusia.
            Aristoteles kemudian mendefenisikan kewarganegaraan dengan berpatokkan pada kepemilikan kantor-kantor politik. Kantor politik dapat dikualifikasi menjadi dua bagian, yaitu kantor yang terbatas atau khsusus dan kantor yang tidak dispesifikasi/tidak terbatas. Aristoteles mendefenisikan kewarganegaraan dalam hubungannya dengan kepemilikan kantor-kantor tak terbatas. Namun defenisi seperti itu dianggap tidak memadai, karena hanya berlaku untuk negara dengan sistem pemerintahan demokrasi. Maka dari itu, Aristoteles membaharui defenisinya dengan menandaskan bahwa, “warga negara adalah orang-orang yang berhak untuk berpartisipasi dalam kantor deliberatif dan yudisial. Berdasarkan defenisi ini, tipikal utama dari warga negara tidak lagi ditentukan oleh keanggotaan sebuah kantor tak terbatas, tetapi “partisipasi” dalam proses deliberasi dan yudisial. Defenisi ini dianggap cocok untuk semua sistem pemerintahan/konstitusi.
            Partisipasi warga di dalam polis menjadi hal yang penting dan urgen. Kehidupan kota bergantung sepenuhnya pada aktivitas para warganya. Aktivitas yang dimaksudkan di sini adalah aktivitas rasional, di mana hal ini hanya bisa dilakukan oleh manusia. Polis membutuhkan konstitusi untuk mengatur atmosfir kehidupan para warganya, sehingga semuanya dapat berjalan dengan aman. Untuk menghasilkan suatu konstitusi dibutuhkan partisipasi dari orang-orang yang berkompeten. Maka dari itu, Aristoteles menyarankan agar masyarakat turut berpartisipasi dalam jabatan polis. Jabatan yang dimaksud adalah jabatan dalam bidang deliberatif dan yudisial.
            Warga negara memiliki kewenangan untuk berpartisipasi dalam bidang dileberatif atau pertimbangan. Sebagai anggota dewan pertimbangan atau dileberatif, mereka memiliki beberapa kewenangan khusus, yakni mengurus hal-hal yang berhubungan dengan masalah perang, mengusahakan perdamaian, membuat undang-undang, mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan hukuman mati, pembuangan dan penyitaan. Selain itu, mereka juga mempunyai kuasa untuk mengangkat dan mengawasi kinerja para pejabat. Partisipasi warga negara dalam bidang dileberatif ditentukan oleh jenis konstitusi yang berlaku dalam negara yang bersangkutan. Dalam negara demokrasi, semua rakyat diberi hak yang sama. Salah satu hak yang melekat dalam diri warga negara adalah hak untuk mengeluarkan pendapat. Untuk memberikan masukan-masukan atau aspirasi-aspirasi, seorang warga negara harus bergabung dalam kelompok dileberatif. Di sanalah masyarakat melakukan pertimbangan bersama guna mencapai kesepakatan yang berkualitas. Kesepakatan-kesepakatan yang telah dihasilkan akan diterapkan dalam kehidupan polis. Dengan demikian, kemajuan polis dan kesejahteraan para warganya dapat tercapai.
            Lembaga yudisial atau badan peradilan (dikasteria) merupakan salah satu lembaga hukum yang bertugas untuk mengadili perkara atau memberi keputusan atas suatu masalah. Lembaga ini memiliki peranan penting dalam kehidupan polis. Ketika warga negara menghadapi suatu perkara, maka lembaga ini akan menanganinya. Pada bagian ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan lembaga peradilan.
            Lembaga ini memiliki delapan jenis peradilan. Pertama, pengadilan untuk peninjauan perilaku pejabat publik; kedua, pengadilan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kepentingan umum; ketiga, pengadilan untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan konstitusi; keempat, pengadilan untuk kasus-kasus di seputar perselisihan jumlah denda; kelima, pengadilan untuk perjanjian atau kontrak antara kalangan swasta perorangan, yang melibatkan jumlah yang besar; keenam, pengadilan untuk kasus-kasus pembunuhan; ketujuh, pengadilan yang berhubungan dengan kasus-kasus orang asing; kedepalan, pengadilan untuk kontrak-kontrak dalam jumlah kecil.
            Nikolas Driyarkara memiliki pandangan yang  khas tentang hidup menegara. Nikolas Driyarkara mengintegrasikan manusia dengan negara. Menurut Nikolas Driyarkara, manusia itu tidak bernegara, melainkan menegara! Ia menegarakan diri sendiri, sesama manusia, dan tanahnya dengan seluruh keadaannya. Manusia menjalin ralasi dengan sesama dan lingkungan alam sekitar guna mewujudkan kesejahteraan bersama. Kesejahteraan bersama manjadi finalitas teleologis dari hidup manusia di dalam negara.