KUPU-KUPU DI ATAS BUNGA –
ANGIN
MENARI MELALUI PADANG:
MENYIMAK
FILSAFAT SENI MARTIN HEIDEGGER
Yasintus
T. Runesi
Abstrak:
In his path of thinking, particularly from the 1930s
onwards, Martin Heidegger firmly
believed that Sein reveals itself,
when human being, whom he termed as Dasein,
awakened from his blindness of common sense and struggle for grasps his own
authenticity. In this paper I examine Heidegger’s destruction of the work of
art as a site of strife between art and politics in his text, Der Ursprung des Kunstwerkes. Heidegger’s
position is complex: on the one hand, he acknowledges that Sein is a phenomenon beyond our horizon of understanding, Sein is all about not something particular; on the other hand, he insists
that Sein’s presence through art
inscribed in a certain particular identity, especially German volks. In response, I argue that the
identification of Sein with a
particular identity such as German volks, offers the truth that the politics
itself is forged and instituted in and as work of art. Some conclusions will be
drawn concerning the importance of the small dimension of Heidegger’s thought
on art in contemporary politics.
Keywords: Heidegger, art,
Sein, Dasein, politics, identity.
Introduksi
Seni, pada masa lalu tak dapat dilepaskan dari
ritual-ritual keagamaan. Karya seni menjadi medium manusia semasa itu,
mengungkapkan sentimen religius mereka. Sebagai medium, sebuah karya seni
merepresentasikan yang-transenden atau yang-kudus. Tarian misalnya, bukan hanya
sebuah gerak tubuh. Ia adalah doa dan ritus, yang menghubungkan sang penari
dengan yang-transenden. Maka, karya seni yang mencakup di dalamnya puisi, pertunjukkan drama, tarian
bahkan lukisan memiliki kekuatan untuk menghantar dan memampukan seseorang mendengar
sabda melalui matanya. Karya seni
mampu mengubah persepsi dan pengertian para penganut agama,
dengan cara yang mungkin bergerak
di luar tata tertib logika, tetapi kebenaran
dan keyakinan, yang sering memanifestasi melalui disposisi subjektif seseorang
yang mengalaminya di hadapan kenyataan, sukar untuk disangkal.
Namun, pada masa sekarang, hubungan seperti itu
hampir-hampir tak lagi menjadi perhatian. Seni dalam satu dan lain cara,
dilepaskan dari referensi semacam itu. Seni bukan lagi medium representasi,
melainkan dalam nuansa Nietzschean, medium pelepasan rangsangan estetis subjek.
Seni dikembalikan kepada subjektivitas individual. Seni tidak lain tentang
proses kreatif yang terjadi dalam diri subjek seniman maupun subjek penikmat.
Bila kita memandang seni melalui lensa Nietzschean misalnya, seni tidak lain
instrumen perwujudan kehendak untuk berkuasa, yang termanifestasi secara
biologis melalui darah, detak jantung dan reaksi-reaksi lainnya. Seni
dilepaskan dari referensinya dengan manusia sebagai homo religiosus. Membincang seni berarti membincang aesthesis, membincang pengalaman
mengenai proses kreatif yang lahir karena rangsangan estetis yang dirasakan
oleh subjek dari dalam diri. Dalam pemahaman seperti itu, Hegel menyatakan
bahwa seni telah berakhir.
Artikel berikut adalah upaya mendalami filsafat
seni Heidegger sebagaimana tertuang dalam teksnya Der Ursprung des Kunstwerkes. Di sini, saya akan memulai dengan (1)
mengelaborasi problem interpretasi atas karya tersebut. Dalam bagian ini, saya
akan menunjukkan bahwa kalau Hegel mengumumkan akhir dari seni, maka Heidegger
yang melihat seni sebagai representasi identitas, menempatkan dirinya satu
langkah di depan Hegel dengan menjadikan dirinya sebagai palu apokaliptik, dengan menunjukkan bahwa Volksein, yakni bangsanya pada saat itu tidak perlu menerima poesisnya dari masa lalu, tetapi dari
masa depan. Persoalan ini akan lebih didalami dalam bagian tentang titik
berangkat pemikirannya mengenai seni (2). Kemudian, saya akan menelusuri garis
argumentatif Heidegger dengan masuk ke dalam teks tersebut (3). Di sini, akan
ditunjukkan bahwa teks tersebut tidak lain sebuah manifesto identitas, sebuah
tempat pertarungan antara seni dan politik. Dalam bagian selanjutnya (4)
pemikiran Heidegger akan dibaca dalam hubungannya dengan politik semasa ini. Di
sini, saya akan membacanya
dalam dua langkah evaluatif, yakni dengan melihat hubungan Heidegger dengan
politik dan problem identitas lewat karyanya tersebut dan dilanjutkan dengan
membaca politik kontemporer dengan bercermin pada perspektif Heidegger dalam
karya tersebut. Artikel ini akan ditutup dengan sebuah simpulan kecil.
1. Posisi-posisi
Interpretasi
Sebelum menunjukkan interpretasi saya atas teks
tersebut, akan disajikan secara ringkas pandangan beberapa pemikir. Setidaknya
terdapat dua posisi interpretatif atas karya Heidegger, Der Ursprung des Kunstwerkes. Otto Pöggeler dan Christoper P. Long,
yang saya sebut sebagai posisi radikal di satu pihak, dan Friedrich-Wilhelm von
Herrmann, Walter Biemel dan Joseph J. Kockelmans sebagai posisi konservatif di
lain pihak. Menurut Pöggeler, karya Heidegger tersebut pertama-tama tidak
memiliki kaitan dengan filsafat seni tetapi dengan pertanyaan mengenai Sein, sebagaimana tulis Heidegger dalam Adendum: “keseluruhan esai ini secara sadar bergerak, walau implisit, melalui
jalan pertanyaan tentang hakekat sang-Ada.” Berdasarkan pernyataan ini, Pöggeler menegaskan bahwa determinasi
sebuah karya seni hanya dapat dimengerti dari perspektif pertanyaan mengenai kebenaran Sein dan kebenaran tentang
Sein. Ia menegaskan kembali apa yang
telah dinyatakan oleh Heidegger bahwa seni berhubungan dengan peristiwa
apropriasi, darinya makna tentang Sein
dapat didefinisikan. Pöggeler lalu menyatakan bahwa karya tersebut adalah
meditasi lanjut Heidegger atas Sein yang
telah dimulai sejak karyanya Sein und
Zeit.
Pöggeler selanjutnya mengungkapkan bahwa
refleksi Heidegger berangkat dari pengalaman keterlibatannya dalam politik pada
periode yang mendahului kuliah tersebut. Salah satu petunjuk untuk interpretasi
tersebut nampak dalam penggunaan istilah τέχνη (technē) di awal teks, yang langsung mengingatkan kita pada isi pidato
rektoratnya. Pöggeler menyatakan bahwa pada masa itu, Heidegger memang
memfokuskan perhatiannya pada bahasa dan seni sebagai bagian dari upaya
filosofisnya, setelah menarik diri dari keterlibatan politisnya, namun tetap
memiliki keyakinan bahwa historisitas dan takdir bangsanya ditentukan oleh
spirit perjuangan bangsanya.
Nada yang sama terdapat pada Christopher Long.
Dengan membandingkan Heidegger dan Walter Benjamin, ia menyatakan bahwa esai
Heidegger itu dapat dilihat sebagai sebuah respons terhadap kemungkinan
politisasi seni, sekaligus sebuah upaya menghidupkan kembali aura seni ke dalam
sebuah tatanan yang memungkinkan perlindungan terhadap relasi otentik antara
asal-usul Geist dan kekuatan
masyarakat Jerman yang mau ditegakkan lagi. Masih menurut Long, karya ini dapat
dilihat sebagai respon terhadap ketakutan Benjamin yang melihat pudarnya aura
seni karena pengaruh teknologi dan kemungkinan estetisasi politik lewat seni
sebagai kekuatan baru fasisme.
Berbeda dengan Pöggeler dan Long,
Friedrich-Wilhelm von Herrmann menyatakan bahwa teks-teks dalam Holzwege (Off the Beaten Track)
mengandung garis besar pemikiran Heidegger tentang seni. Menurutnya, pernyataan
Heidegger dalam Adendum di satu sisi,
memerlihatkan usahanya merefleksikan seni dengan cara yang berbeda dari apa
yang lazim dalam historiografi seni, yang bisa kita temukan pada para
rasionalist, empirisist, Kant dan juga Hegel. Pada sisi lain, bila pertanyaan
menyangkut kebenaran Sein sebagai
pertanyaan sentral bagi filsafat, maka pertanyaan menyangkut makna seni dapat
diungkapkan dari perspektif yang lebih menyeluruh. Kockelmans dan Biemel pun
sejalan dengan von Herrmann yang yakin bahwa esai tersebut menjadi salah satu esai
penting dalam keseluruhan pemikiran filsafat seni Heidegger, dan penting
dicatat bahwa ia sendiri tidak pernah mencabut dirinya dari tesis dasar yang
dikembangkannya: upaya yang berkanjang untuk menyelam ke dalam misteri Sein. Singkatnya, seni bagi Heidegger
adalah salah satu jalan untuk mengalami Sang-tersembunyi.
Dalam bagian yang ditambahkan kemudian, ia
bertanya apakah seni masih merupakan hal yang esensial dan seharusnya,
melaluinya kebenaran yang terjadi menentukan eksistensi historis kita; atau memang
peran itu telah berakhir, sebagaimana dinyatakan oleh Hegel. Jika seni tidak
lagi memiliki peran semacam itu, maka pertanyaannya adalah mengapa demikian?
Heidegger menyatakan bahwa penyelidikannya tentang seni yang dimulai dengan
telisik tentang konsep “asal-usul” (Ur-sprung,
arche) dimaksudkan untuk menampakkan hakekat kebenaran. Asal-usul (Ur-sprung, arche) bagi Heidegger tidak
pernah merupakan masa lalu, sebaliknya selalu tentang “tiba-pada-saat-ini,” atau “hari ini” karena
ia menguasai dan mengarahkan seluruh sejarah ada. Asal-usul adalah tentang lompatan dari masa depan ke dalam
saat ini. Oleh karena itu, bila Heidegger memahami karya seni sebagai kebenaran
yang menubuh dalam sebuah karya, maka subjek di mana kebenaran itu menampakkan
diri, bukan hanya tentang sebuah karya, tetapi tentang sebuah masyarakat, dan
masyarakat yang dimaksud tidak lain bangsanya. Maka, pembacaannya atas seni
adalah momen dalam perjuangan bangsanya untuk menegaskan identitasnya. Jadi,
dengan melihatnya dalam konteks politik saat itu, Heidegger ingin menunjukkan
bahwa penegasan identitas bangsanya tidak hanya diterima dengan berpaling pada
warisan masa lalu melainkan harus pula menerima poesisnya dari masa depan.
2. Titik
Berangkat Heidegger
Heidegger menarik garis batas antara dirinya
dengan seluruh sejarah filsafat seni dalam tradisi Barat terutama dengan para
pemikir klasik Jerman, yang dimulai sejak Baumgarten dan Kant. Ia memikirkan
seluruh sejarah filsafat sejak pre-Sokratik sebagai sejarah penghilangan ada (Vergessenheit
des Seins) dan menganggap dirinya
adalah pemikir yang berhasil menemukan kembali ada itu. Seturut itu, ia menempatkan dirinya sebagai suatu titik
muasal baru (Anfang) dalam sejarah pemikiran. Hal yang sama
ia lakukan juga dalam pemikirannya tentang filsafat seni. Menurutnya, filsafat
seni tidak pernah mencapai dirinya sendiri dan karena itu, ia ingin
melakukannya, membawa seni pada kepenuhannya (Vollendung), pada titik apokaliptiknya.
Dalam teksnya tentang Nietzsche, ia
merekonstruksi dan membedakan enam fase dialektis hubungan antara filsafat dan
seni. Fase pertama, mencakup era seniman-seniman besar kurun antik Yunani,
diperkirakan bermula dari Homerus sampai Euripides. Fase ini ditandai oleh
absennya refleksi filosofis atas karya seni. Fase berikutnya ditandai oleh
kesalahan interpretasi dan pembedaan yang keliru terhadap hyle-morphe yang disamakan begitu saja dengan materi-forma, dengan akibat penempatan kategori-kategori dari
wilayah produksi alat-alat pada wilayah karya seni. Hal ini kemudian, ia ulas
lagi dalam teks Der Ursprung dalam
bagian pembedaan ‘sesuatu’ dengan karya. Fase ketiga bermula pada era modern di
mana selera atau citarasa didefenisikan sebagai relasi individualistik manusia
dengan lingkungan sekitarnya, di mana manusia menjadi ukuran bagi
eksis/beradanya sesuatu. Di sini, keindahan dilihat melulu dalam hubungannya
dengan subjek, yakni persepsinya. Artinya, pada fase ketiga, kita mulai melihat
sebuah pergeseran pemaknaan atas seni sebagai objek sensasi, aesthēsis.
Pada periode modern ini, seni yang berhubungan
secara erat dengan ‘yang-absolut’ sebagaimana terjadi pada periode-periode
antik, kehilangan fungsi representatifnya. Fase keempat ini ditandai oleh
berakhirnya seni sebagaimana klaim Hegel. Di situ, seni hanyalah satu tahap
yang mesti dilalui oleh Roh Absolut untuk sampai pada kesadaran akan dirinya
sendiri. Fase kelima berawal pada abad ke-19 ketika Richard Wagner mencoba
mengupayakan suatu hubungan baru antara seni dengan ‘yang-absolut’, tetapi hasilnya
justru jatuh kepada hal-hal emosional dan akhirnya memuncak dalam ketiadaan
atau nihilisme. Menurut Heidegger, meskipun kemabukan emosional dimaksudkan
sebagai kompensasi bagi eksistensi manusia teknis, Wagner gagal menyediakan
orientasi kepada puisi dan pemikiran. Dengan demikian, pada Nietzsche sebagai
fase terakhir terjadi transformasi estetika ke dalam fisiologi melalui
konsepsinya mengenai kemabukan emosional, yang diartikan sebagai fenomena
syaraf dan tanggapan fisiko-elektrik dari tubuh.
Dalam epilog yang ditambahkan kemudian,
Heidegger menulis bahwa teks Der Ursprung
des Kunstwerkes menjadi jalan keterlibatannya dalam teka-teki besar tentang
seni. Teka-teki tersebut adalah seni itu sendiri, dan upaya tersebut tidak
dimaksudkan untuk menjawab secara tuntas teka-teki tersebut: membawa seni
kembali kepada dirinya sendiri. Di sini, sebenarnya Heidegger mengundang kita
untuk membaca teks tersebut sambil menjaga tegangan tetap yang terdapat dalam
klaimnya tentang, di satu sisi, percobaannya untuk menyelidiki teka-teki
tersebut tanpa memberi jawaban, dan di sisi lain, upayanya memberikan
kontribusi pada pengertian kita tentang esensi seni dalam kaitannya dengan
nasib bangsanya. Untuk mewujudkan keduanya, Heidegger memberi kita dua petunjuk
penting. Yang pertama terkait dengan asal mula estetika modern dan yang lainnya
menyangkut nasib seni modern.
Heidegger mengingatkan kita bahwa estetika
merupakan cabang filsafat yang hadir kemudian dengan karya-karya seni sebagai
objeknya, objek aisthēsis, tangkapan
sensasi dalam artinya yang luas. Dalam hal ini, pengalaman subjektif manusia
sangat menentukan, sebab darinya, kita memeroleh informasi mengenai esensi
seni. Pengalaman menjadi sumber dan ukuran menyangkut apresiasi kita terhadap
seni dan gaya-gaya dari produk artistiknya. Artinya, estetika berbicara tentang
pengalaman. Namun, pengalaman itu juga menurut Heidegger menjadi elemen penting
melaluinya seni secara perlahan-lahan berakhir. Ini disebabkan oleh cara
penerimaan yang membatasi seni hanya pada hal-hal yang tampak mata. Terjadi
reduksifasi Sein sekadar tampakan
estetis, tergantung reaksi estetis subjek individual.
Tentang klaimnya itu, Heidegger mengutip
beberapa pernyataan masyur dari Hegel sebagaimana terdapat dalam Lectures on Aesthetics:
“Sudah
lama seni tidak lagi memberi harapan bagi kita sebagai cara tertinggi
melaluinya kebenaran melindungi eksistensi dirinya sendiri.”
“Seseorang
barangkali berharap bahwa seni akan terus meningkatkan dan menyempurnakan
dirinya, namun formanya berhenti menjadi kebutuhan tertinggi dari roh.”
“Dalam
keseluruhan relasi ini, seni sebagai dan juga yang tertinggal bagi kita, pada
titik tertinggi dari panggilannya, telah menjadi masa lalu.”
Menurut Heidegger, pernyataan yang dilontarkan
oleh Hegel tersebut, bukanlah sebuah ledakan besar yang mengakhiri seni,
melainkan suatu resultante dari
bertemunya beberapa faktor sosial yang dapat diidentifikasi, seperti
perkembangan subjektivitas modern yang mencapai puncaknya pada masa romantik
serta perkembangan teknologi. Dalam konteks modernitas, seni sebagai sebuah
karya tidak lagi bertujuan untuk mencapai suatu totalitas pengertian tentang
dan lewatnya historisitas Sein secara
menentukan dijangkau, tetapi lebih diarahkan sebagai suatu ekspresi diri
manusia dengan tujuan ekonomis. Pernyataan Schlegel mungkin bisa menggambarkan
situasi ini: “dalam apa yang dinamakan
filsafat kesenian, biasanya salah satu dari keduanya menjadi korban: filsafat
atau kesenian”.
Sedikit kembali pada Hegel. Bahwa karena asumsi
dasarnya yang memandang sensibilitas itu lebih rendah dari yang intelektual,
maka ia menempatkan seni hanya sebagai salah satu tahap melaluinya Budi Absolut
berproses menuju puncak kesadarannya. Oleh karena itu, pandangan Hegel dianggap
membuka arah baru pandangan manusia mengenai seni. Seni tidak lagi memiliki
tujuan objektif, sebaliknya ditundukkan sepenuhnya pada subjektivitas setiap
orang. Di situ, seni sebagai bentuk representasi dan mimetik diciutkan menjadi
objek kesenangan subjektif, aesthesis.
Perubahan ini berarti pula berubahnya pemahaman mengenai esensi kebenaran,
terutama kebenaran mengenai manusia sebagai Dasein.
Menurut Jacques Taminiaux, ambiguitas yang ada
pada Heidegger dapat diartikulasi sebagai berikut: di satu pihak, Heidegger
menyatakan bahwa teka-teki tersebut menyangkut seni itu sendiri, dan dengan
cara yang sama mencoba mengatasi estetika sebagai salah satu bentuk metafisika
modern. Artinya, Heidegger memang tidak mencoba mencari jawaban yang tuntas
atas teka-teki tersebut. Tetapi di lain pihak, jelas bahwa Heidegger mempunyai
pandangan yang positif mengenai pernyataan Hegel tersebut. Dan ia menyebut itu
sebagai refleksi yang cukup menyeluruh mengenai esensi (Wesen) seni, lewatnya Sein
dalam kecerlangannya mewahyukan diri.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Heidegger
dalam Der Ursprung, mencoba
menelusuri ketersembunyian Sein tidak
dengan menempatkan manusia sebagai pusat penyelidikannya seperti dilakukan oleh
Hegel, tetapi dengan menyelidiki apa yang dihasilkan manusia di dalam dunianya.
Heidegger ingin menyelidiki, pada titik mana, Sein itu dapat dikenal karena menghadirkan dirinya, di mana
kehadiran itu menjadi sebuah penampakkan kebenaran (aletheia). Di situ ia melihat seni – mengikuti Schelling – sebagai Wahrheitsgeschehen, peristiwa kebenaran,
moment di mana kebenaran sebagai fajar keterbukaan (aletheia) merekah dengan seluruh kecerlangan dirinya. Upayanya
adalah menempatkan kembali seni sebagai bentuk representasi historisitas
manusia, terutama bangsanya setelah periode keterpurukan akibat perang
sebelumnya. Seni menjadi wajah tampak dari Sein
yang tak tampak wajah, seni adalah pendaran kecerlangan Sein yang tak tampak mata pada identitas
partikular tertentu, terutama pada diri bangsa Jerman.
Heidegger yakin bahwa suatu karya yang sejati,
terutama karya seni secara ontologis memiliki fungsi penyingkapan (disclosive). Karya seni “membiarkan
entitas menjadi”. Oleh karena itu, ia percaya bahwa revolusi Jerman hanya bisa
sukses kalau dipandu dan dibangun di atas karya para raja seniman seperti puisi-puisi
Hölderlin. Bagi Heidegger, hanya dengan merangkum dan menutup metafisika, dalam
istilahnya, mendestruksi metafisika, maka sebuah awal baru yang lebih baik bisa
dimulai. Dalam hal ini, ia menempatkan dirinya satu langkah di depan Hegel dan
Nietzsche: membangun puisi revolusinya
sebagai manifestasi dari angin pemikirannya, terutama dalam analisanya atas
karya seni sebagai suatu manifesto identitas: seumpama kupu-kupu yang bertengger
di atas bunga, lalu menari bersama angin yang berlalu melalui padang.
3. Der Ursprung des Kunstwerkes:
Manifesto Identitas
Dengan menempatkan Dasein sebagai titik berangkat ontologinya, Heidegger dalam proyek
filosifisnya mencoba menjauh dari sudut pandang antroposentrik-filosofis
tradisional. Pertanyaan-pertanyaannya tidak dipusatkan pada cogito Cartesian tetapi pada perilaku
dasar Dasein. Walau demikian, Heidegger tak mampu menjauh
secara total dari antroposentrisme, melaluinya eksistensi manusia secara
general dan eksistensi otentik secara partikular diwahyukan. Untuk itu ia
memulai teksnya dengan memaklumatkan konsep tentang asal-usul (arche). Bagi Heidegger, asal-usul (arche) adalah sesuatu dari dan
melaluinya sesuatu itu hadir seperti apa
adanya, dan sebagai apa adanya. Ini berarti kita berpikir
mengenai kodrat, hakekat atau esensi sesuatu. Asal-usul juga adalah sesuatu
yang memerintah dan mengatur seluruh sejarah Sein, karena itu, asal-usul tidak pernah
menjadi masa lalu. Dari situ, kita bisa melihat bahwa eskatologi setiap karya
seni, terutama puisi adalah membiarkan kebenaran menyingkapkan dirinya.
Oleh karena itu, lebih dalam lagi, kita akan
menemukan bahwa pada Heidegger, hakekat atau esensi itu tidak memiliki
hubungannya dengan eksistensi, atau aktus keberadaan suatu barang tertentu. Ia
melihatnya dalam hubungan dengan sesuatu yang tetap terjaga dalam
ketersembunyiannya. Bukan tentang kesatuan antara eksistensi dan esensi seperti
dikenal dalam arus pemikiran Aristotelo-Thomistik, tetapi antara esensi dan
ketersembunyian (lethe). Heidegger tidak menyibukkan dirinya dengan ‘buah mangga’
dan ke-mangga-annya, tetapi antara ke-mangga-an (esensi) dan suatu
ketersembunyian dibalik esensi tersebut. Dalam konteks ini, berarti, ketika ia
berbicara mengenai karya seni, pertama-tama tidak tentang karya seni sebagai
sesuatu (quid) yang terkomposisi oleh materi-forma, tetapi
sebagai dialektika antara kodrat sebuah karya dengan sesuatu yang tersembunyi
sekaligus membuka diri melalui kodrat karya seni tersebut.
Dalam teks Der
Ursprung des Kunstwerkes ini, kita akan melihat sebuah gerak penalaran yang
secara gradual-dialektis bergerak dari (a) karya seni sebagai sesuatu (quid) yang terkomposisi oleh materia dan
forma; lalu (b) bergerak melalui karya seni sebagai arena tegangan antara yang
tampak dengan sesuatu yang menampakkan dirinya melalui karya seni, antara alam
pra-maknawi (bumi) dengan alam maknawi (dunia). Karya seni sebagai shekinah (untuk menyebutnya dalam
kosakata biblis), suatu takhta tempat bersemayam kebenaran dalam
ketersembunyiannya. Gagasan itu
membawa pada (c) kontemplasinya mengenai hubungan antara ada dan pikiran, yang
mana dalam ketersembunyian bahasa proyektif dari puisi, ada dan pikiran hadir
bersama dan memanifestasikan identitas sebuah bangsa.
Sehubung dengan hal tersebut, dalam
membicarakan puisi, ia sampai pada keyakinan bahwa mereka yang mampu memuisikan
ada adalah penjaga dan pemelihara
keberlangsungan suatu bangsa. Lebih jauh karena dorongan untuk meletakkan ada secara historis, telah mendorongnya
untuk menyamakan antara kebenaran seni dengan kebenaran identitas politis,
terutama identitasnya sebagai orang Jerman. Bahkan dalam catatan hariannya ia
menegaskan bahwa hanya orang Jerman saja yang mampu memuisikan ada.
Kerja: Peralatan vs Karya Seni
Heidegger memulai esainya dengan membuat tiga
pembedaan penting: keberadaan barang-barang, peralatan (piranti/tools) dan
karya-karya seni. Untuk memahami ini, Heidegger mengupayakan aplikasi baru
terhadap pembedaan antara materia-forma
warisan Aristoteles. Pada Aristoteles, materi-forma adalah unsur konstitutif suatu
substansi yang menentukan substansi itu hadir sebagai ‘apa’ dengan ‘keapaannya’
yang khas. Konsep itu dimengerti dalam arti analog sehingga dapat diterapkan
pada semua kenyataan yang ada. Heidegger mereformulasi ulang dengan menyatakan
bahwa materi dan forma merupakan unsur-unsur pembatas bagi sesuatu yang
dihubungkan dengan peralatan yang dipakai oleh manusia. Dengan membatasi
pemikiran mengenai materi dan forma hanya pada barang-barang yang dihasilkan
melalui sentuhan tangan manusia, Heidegger mencoba membedakan antara sesuatu
yang secara alamiah hadir dan peralatan di satu pihak dan karya-karya seni di
pihak lain.
Menurut Heidegger, peralatan sebagai instrument
yang menghubungkan kita dengan dunia, ditentukan oleh penggunaannya di antara
barang apa saja dan pekerjaan kita. Peralatan dilihat dari fungsinya. Seperti
barang-barang lain, peralatan penuh dalam dirinya ketika selesai digunakan dan
bisa dipikirkan terlepas dari fungsinya dalam kerja. Tetapi berbeda dengan
objek alamiah, peralatan hanya berarti ketika ia digunakan oleh manusia.
Eksistensi peralatan hadir ketika ia digunakan. Peralatan berbeda dengan karya
seseorang, dan karya itu sendiri mengatasi barang apa saja sejauh karya itu self-sufficient. Jadi peralatan menjadi
sekadar barang bila ia tidak lagi digunakan, tetapi ia berbeda dari sekadar
barang alamiah yang berada begitu saja karena telah ditentukan penggunaanya.
Dengan mengambil contoh dari lukisan Van Gogh
mengenai sepasang sepatu petani, pembedaan tersebut mengingatkan kita pada
perbedaan yang dibuat oleh Heidegger mengenai sesuatu yang siap untuk di-tangan-i (Zuhandenheit) dan
sesuatu yang tersedia atau hadir di hadapan kita (Vorhandenheit) dalam Being
and Time. Peralatan termasuk pada kelompok barang-barang yang siap kita
pergunakan yang mendukung keberadaan eksistensi kita dalam dunia, sedangkan
barang-barang alamiah adalah benda-benda yang ada, yang teronggok begitu saja
di hadapan kita.
Tentang “ke-apa-an” setiap barang, Heidegger
membuat tiga pembedaan penting. Pertama, sebagai substansi lewatnya sifat-sifat
bawaan atau aksiden ‘sesuatu’ (quid)
menjadi nampak. Ini mengingatkan pada perbedaan antara substansi dan aksidens
Aristotelian. Kedua, sebagai kesatuan dari beragam sensasi yang dapat ditangkap
oleh indra-indra kita. Dan yang terakhir sebagai fusi antara materi-forma. Yang
pertama dapat dipakai pada semua yang ada sejauh ada, walau pun tidak dapat
menghadirkan “Sein” secara mutlak.
Yang kedua, sering dimengerti dalam beberapa arti. Yang lain memahami kesatuan
itu sebagai penjumlahan, yang lain memahaminya sebagai totalitas (Hegel), dan
yang lainnya memahaminya sebagai forma (Aristoteles). Dan yang terakhir,
sesuatu ada selalu berada dalam ketertentuannya atau keunikannya.
Heidegger kemudian, dalam hubungannya dengan
ketiga bentuk pembedaan di atas, menyatakan bahwa ketiganya menentukan cara
kita memikirkan sesuatu menurut apa yang kita pikir. Ini tidak terbatas pada
hal-hal partikular, melainkan secara universal mengenai semua yang ada. Cara
tersebut adalah suatu modus melaluinya kita menghubungkan secara langsung
pengalaman (Erfahren) kita dengan
semua yang ada. Dalam hubungannya dengan karya (Werk), Heidegger menunjukkan pembedaan penting. Bahwa dengan
bantuan peralatan sebagai instrument di tangan, kita dapat menghasilkan sebuah
karya sekaligus memberi kita akses kepada dunia. Sebagai contoh adalah lukisan
Van Gogh tentang sepasang sepatu petani. Di sini, sepatu yang ada dalam lukisan
berbeda dengan sepatu sebagai barang yang objektif hadir di hadapan kita.
Sekalipun demikian, sepasang sepatu yang terdapat dalam lukisan itu membantu
kita untuk mengetahui apa kehidupan sang petani dengan segala kesukaran,
kecemasan dan keterlibatannya. Jadi peralatan, selalu ditempatkan dalam
hubungan dengan fungsinya untuk mengakses dunia.
Heidegger lalu melanjutkan bahwa lukisan Van
Gogh mengungkapkan kepada kita apa itu peralatan seperti sepasang sepatu
sebagai sesuatu yang benar. Melalui sebuah karya, esensi sebuah barang
diketahui sebagai apa dan bagaimana penggunaannya. Itulah yang disebut sebagai
kebenaran. Ia benar, karena mengungkapkan dirinya (aletheia) dalam hubungan dengan fungsinya. Maka dalam karya seni,
kebenaran mengenai seiend (barang apa
saja yang ada) menampakkan dirinya. Menampakkan (set) berarti “membawa pada posisinya” atau “hadir dalam keadaan”
atau “menyembul keluar”. Dalam sebuah karya seni, suatu ada apa saja (seined/ens)
menampakkan dirinya ke dalam terang keberadaannya. Keberadaan suatu ada datang
ke dalam keadaanya yang sejelasnya. Dan itulah kebenaran. Artinya, suatu karya
seni menjadikan kebenaran masuk ke dalam peristiwa historis yang konkret.
Inilah maksudnya ketika ia menulis bahwa karya seni mengungkapkan kebenaran.
Di sini, menjadi jelas bahwa ada perbedaan
posisi antara Heidegger dengan Hegel terkait pemaknaan atas kebenaran dalam
kaitannya dengan seni. Hegel melihat kebenaran mengenai seni telah berakhir
ketika subjek sampai pada kepastian absolut mengenai diri (Self). Heidegger sebaliknya, membedakan antara kebenaran sebagai
yang tak tertutup atau yang mengungkapkan dirinya (aletheia), sebagai ketersingkapan dengan kebenaran sebagai
kepastian absolut mengenai diri, antara sejarah sebagai kedatangan kesadaran
Absolut dan sejarah Sein. Yang
menjadi masalah adalah bahwa pada umumnya sebuah karya seni tidak dihubungkan
dengan kebenaran tetapi dengan keindahan. Lukisan misalnya, disebut sebagai
sesuatu yang menghadirkan keindahan dan bukan kebenaran.
Untuk mengatasi ini, bersama Heidegger kita
harus berpaling pada permulaan sejarah Barat yang dimulai di dunia Yunani. Di
sana, Sein (Esse) dimengerti sebagai
benar dalam arti sesuatu yang secara aktual/konkret ada dan dapat diindrai
seperti sebuah lukisan, sebuah baju, sepotong kain. Aktualitas (Wirklicheit) adalah kata yang dipakai untuk menyebut tentang yang
benar. Selain itu, menurut Hegel pada
masyarakat Yunani, seindes (ens)
merupakan hasil karya “Roh”. Maka bagi Hegel, masyarakat Yunani hidup dalam
suatu dunia artistik, sehingga mereka memahami barang-barang yang berada (ens in actu) dalam term karya seni. Begitu
pula aktualitas itu dimengerti dalam term-term seperti phusis, kodrat, kelangsungan, sensasi (gambaran yang dapat
ditangkap oleh indra-indra kita). Dengan begini, bagi Hegel, dunia Yunani
adalah dunia yang dilimpahi dengan keindahan tetapi kurang memberi perhatian
pada kebenaran. Dalam dunia Yunani, keindahan menjadi tudung/penutup yang
menyembunyikan kebenaran.
Dari penelusuran ini, Heidegger lalu menyatakan
bahwa di Barat, historisitas seni berkorespondensi dengan historisitas
kebenaran. Heidegger menulis, “the
beautiful belongs to the advent of truth”, keindahan selalu merengkuh
kedatangan kebenaran (Ereignis).
Itulah sebabnya ia menyatakan bahwa bila ada peralihan pemahaman mengenai
esensi seni, dengan sendirinya pemahaman mengenai esensi kebenaran pasti
berubah. Lewat adanya (seined), karya seni selalu menampakkan
aktus beradanya (Sein) barang-barang
(das Sein des seiendes). Penampakan
sebagai ketaktersembunyian merujuk
pada kebenaran setiap ada (ens) yang
hadir lewat setiap karya. Melalui karya seni, ada itu sendiri (Being itself) menempatkan dirinya dalam
karya. Seni adalah sesuatu yang menyediakan dirinya bagi aktus beradanya
kebenaran.
Karya Seni: Topos Kebenaran
Dalam bagian ini, untuk menjelaskan hubungan
antara karya seni dan kebenaran, Heidegger berpaling ke dunia antik Yunani.
Dengan mengambil contoh dari reruntuhan kuil-kuil Yunani, drama-drama Yunani
dan pertandingan Olimpic, ia membentangkan cara melaluinya kebenaran sebagai aletheia menjadi nampak dalam karya
seni. Kuil, drama dan pertandingan di Olimpic secara implisit menunjukkan apa
yang coba diupayakannya: dimensi ritual dari karya seni, sisi historisitasnya
dan otoritas seni. Karya seni tidak menyangkut ketrampilan tetapi menyangkut
pengungkapannya. Oleh karena itu, deskripsi Heidegger mengenai kuil secara
dramatis dihubungkan dengan kemunduran dunia modern dan pudarnya aura dunia.
Dalam upayanya mengeksplisitasi ketersingkapan kebenaran dalam hubungannya
kuil-kuil tersebut Heidegger membedakan antara “bumi” dan “dunia”. Kuil adalah
medan perseteruan, pertarungan bumi dan dunia.
Bagi Heidegger, dunia tidak sekadar tempat
koleksi benda-benda yang ditempatkan di hadapan kita atau pun bingkai yang
memberi kesatuan sebagai sebuah koleksi. Tetapi lebih dari itu, seni bersifat
subjektif melaluinya kita sebagai subjek lahir dan mati, nasib dan takdir
membawa kita ke dalam keberadaan (Sein):
kita menjadi berada. Dunia, lebih dari hal-hal alamiah yang nampak dan dapat
dipersepsi, ia merupakan situasi di mana kita merasa seperti berada di rumah
sendiri. Heidegger menyebutnya dunia yang mendunia (Welt weltet). Dunia
bersifat historis, dan memberi kemungkinan bagi seseorang mengambil keputusan
berhadapan dengan beragam hal yang mungkin kita tolak atau yang belum kita
ketahui. Singkatnya dunia adalah kenyataan yang terkait dengan pengalaman
subjektif individu.
Meski demikian, dunia tidak seluruhnya
merupakan sebuah keterbukaan. Ia memiliki dimensi yang tak dapat dicapai atau
diakses secara utuh. Heidegger menyebutnya sebagai ruang yang berada di luar
kita, tempat rahmat perlindungan para
allah diterima atau disangkal. Dimensi keterbukaan dan ketersembunyian ini
menghantar kita langsung kepada term ‘bumi.’ Bumi yang dimaksud adalah sesuatu
yang menampak, menyembul keluar dan perlindungan atau naungan. Bumi itu self-dependent, tak bertenaga tapi tak
mengenal kelemahan. Ia ibarat penjaga. Pada dan di atas bumi ini, dasar
historisitas dunia manusia dibangun. Misalnya, di atas bumi itu berdiri kuil
sebagai sebuah karya manusia.
Ketika sebuah karya seni di tempatkan dalam
konteks sebuah perayaan, kita menyebut tindakan itu sebagai “menempatkannya
sesuai...” Tetapi penempatan ini berbeda dengan “menempatkan” sebuah kuil
sesuai ketentuannya, yang mana di dalamnya ditempatkan berbagai atribut
religius, dan menjadi tempat masyarakat merayakan satu festival kudus. Di sini,
menempatkan tidak sekadar berkaitan dengan tempat, tetapi malah ditentukan oleh
tujuan dan kepada siapa penempatan itu dilakukan. Ini disebut sebagai dedikasi,
dan dedikasi selalu berkaitan dengan tindakan mengkhususkan, dan mengkhususkan
selalu berarti “mengkonsekrasikan”. Artinya menguduskan bagi pihak lain yang
lebih tinggi. Ini nanti kemudian dihubungkan dengan tindakan berdoa yang
mengandung di dalamnya penghormatan kepada martabat dan kebenaran Allah. Bumi tidak sekadar
bumi saja tetapi menjadi bumi yang kudus, tempat sakral, tempat yang
dikhususkan. Dengan tindakan mengkhususkan, alam pra-maknawi diangkat ke taraf
maknawi.
Bagi Heidegger, sebuah karya yang ditempatkan
memiliki maknanya juga sebagai “membangun sebuah dunia”. Sebuah karya yang
ditempatkan di bumi membuka sebuah dunia dan memertahankan keberadaannya. Maka
dunia dan bumi harus dipikirkan secara bersamaan. Membangun sebuah dunia
berarti memelihara bumi dan ini memerlihatkan dua ciri khas dari esensi sebuah
karya. Dunia dibangun di atas bumi dan bumi menampakkan dirinya lewat dunia.
Walau tak terpisahkan, hubungan antara keduannya tidak pernah merupakan
hubungan yang kosong, melainkan diwarnai pertentangan, pertarungan, perjuangan.
Pertentangan atau pertarungan ini tidak dimengerti sebagai sebentuk pembubaran
semua kesatuan yang dapat dirangkum oleh Sein
atau di dalam karya seni, tetapi dipahami sebagai paduan terdalam (inner cohesion) dari elemen-elemen yang
saling bertegangan. Prinsip kohesif yang memadukan adalah logos.
Heidegger memakai kata seperti fight, struggle, strife untuk
menunjukkan dimensi pertentangan antara dunia dan bumi, suatu tegangan kreatif.
Oposisi antara dunia dan bumi, pertama-tama merupakan oposisi antara
keterbukaan-itu-sendiri dengan sesuatu yang tersembunyi di dalam keterbukaan
tersebut. Di sini, karya seni menjadi medan/arena pertarungan (ketegangan
kreatif) itu, dan kuil menjadi contoh yang gamblang mengenai keterbukaan dan
sesuatu yang tersembunyi di dalam keterbukaan tersebut. Kuil itu berdiri di
luar bumi yang merupakan pelindungnya, sekaligus membuka pengetahuan kita
tentang sebuah dunia. Ia memerlihatkan bagi kita dunia Yunani, budaya mereka,
dan siapa allah mereka. Jadi esensi sebuah karya terletak dalam ketegangan
kreatif antara dunia dan bumi dan menjadi tanda bagi sebuah dunia yang
tertentu. Esensi sebuah karya seni nampak dalam setiap pertarungan. Dalam
pertarungan itulah kebenaran menampakkan dirinya. Karya seni adalah topos dari kebenaran.
Bumi dikenal lewat dunia, dan dunia menempatkan
dasarnya di atas bumi hanya sejauh kebenaran menyingkapkan diri lewat
pertarungan antara keterbukaan dan ketersembunyian. Artinya, lewat karya seni,
bumi dibiarkan menjadi bumi lewat dunia yang terbangun di atas bumi. Jalan,
lewatnya kebenaran menampakkan diri adalah esensi sebuah karya manusia yang
mengandung keterbukaan sekaligus ketersembunyian. Membangun sebuah dunia dan
memelihara bumi, yakni lewat karya sebagai pusat pertarungan, melaluinya ada yang menampakkan dirinya sebagai
sebuah keseluruhan atau kebenaran menjadi hadir secara utuh. Kebenaran
menampakkan diri lewat sebuah kuil yang berdiri di sana yang membuat bumi
menjadi ‘sakral’, tempat yang kudus (Bezirk).
Ini tidak berarti sesuatu secara benar digambarkan atau dibangun pada suatu
tempat, tetapi bahwa sesuatu sebagai sebuah keseluruhan dibawa masuk ke dalam
sebuah keterbukaan/ketersingkapan dan berada di sana. Ia menampakkan yang tak
terlihat namun memberi nuansa kesatuan ekstasis.
Lewat sebuah karya seni, penampakan diri ada menjadi jelas atau terang di
hadapan kita. Jenis cahaya ini menempatkan kecerlangannya dalam sebuah karya,
sebuah kebenaran yang bercitra/berpamor (veritatis
splendor). Terang yang ditempatkan ke dalam sebuah karya itu adalah
keindahan. Maka keindahan menjadi jalan lewatnya kebenaran sebagai
ketersingkapan dibawa ke dalam kehadiran. Esensi sebuah kebenaran menjadi
jelas, terbuka lewat karya seni sekaligus esensi tersebut mengandung kebenaran.
Hal ini mengafirmasi gagasan awal yang mendefinisikan hakekat sebuah produk
dalam relasinya dengan esensi kebenaran sebagai ketersingkapan ada.
Revelasi
Sein melalui Bahasa
Seni adalah fundasi karya seni dan seniman.
Fundasi itu sekaligus menjadi sumber atau asal (Ursprung als Anfang) bagi
esensi lewatnya ada (Sein) yang mau dihadirkan menjadi ada (seiend) secara aktual. Aktualitas sebuah
karya hadir lewat objek karya yang dihasilkan sebagai ‘peristiwa kebenaran’ (Wahrheitsgeschehen).
Dan menyebut peristiwa berarti kita memikirkannya dalam hubungan pertentangan
antara dunia dan bumi yang terjadi pada dan lewat karya seni. Dalam karya seni
terkandung apa yang kita sebut sebagai “posisi” atau “pendirian.” Lebih jauh
lagi, esensi kebenaran menyata lewat tindakan politis yang bisa kita temukan
dalam pendirian sebuah negara.
Oleh karena itu, Heidegger menghubungkan esensi
kebenaran yang nampak dalam sebuah karya seni dengan pemeliharaan (die Bewahrung). Memelihara sebuah karya
seni berarti ‘masuk dalam’ sebuah penyingkapan Sein lewat esensi karya seni. Yang dimaksud dengan “masuk dalam” merujuk pada sebentuk
pengetahuan yang melibatkan diri dalam karya-karya tersebut. Bentuk pengetahuan
ini menuntut juga kehendak dari subjek yang terlibat. Pengetahuan mengandaikan
kehendak, dan kehendak mengandaikan pengetahuan dari Dasein yang mengangkatnya dirinya ke dalam kesadaran akan Sein yang menyingkapkan adanya dalam
pengalaman harian, yang sering tak disadari. Sikap ini hadir lewat keputusan
yang ia sebut sebagai Entschlossenheit
(ketekadan). Entschlossenheit tidak
sebatas tindakan subjek melainkan keterbukaan Dasein yang keluar dari kungkungan inotentisitas adanya, dan
membuka dirinya kepada Sein.
Dalam hubungan dengan otentisitas Dasein dalam keterlemparannya sebagai
sebuah upaya pemeliharaan diri, Heidegger lalu membaca karya seni dalam garis
pemikiran tersebut. Pemeliharaan terhadap karya seni tidak berarti mereduksi
seseorang hanya pada pengalaman privat mereka, tetapi membawa mereka ke dalam
suatu hubungan mendalam dengan esensi kebenaran dalam karya-karya seni. Lewat
tindak pemeliharaan terhadap warisan kultural misalnya, subjek menemukan
dirinya dalam hubungan dengan orang lain (Mit-ein-ander-sein)
yang menjadi dasar historis eksistensi manusia (Dasein), yang selalu mengalir keluar dari relasi dirinya dengan
yang lain sebagai penyingkapan. Maka, dalam terang keberadaan suatu karya seni,
sang pemelihara sekaligus menjadi pencipta, dan karena itu pula karya seni
secara mutlak, dalam esensinya, membutuhkan pemelihara.
Dalam karya seni, esensi kebenaran nampak
padanya, sekaligus menjadi cara berada dari karya seni. Jika kodrat esensial
seni dalam perkembangannya secara spesifik hadir sebagai menempatkan-diri-dalam-kebenaran, maka menempatkan diri dalam karya
berarti membawa adanya karya tersebut ke dalam tindakan dan peristiwa. Peristiwa itu tidak lain adalah
pemeliharaan. Dengan demikian, seni adalah suatu proses ke arah menjadi dan peristiwa kebenaran.
Penyingkapan terjadi dan kecerlangan dari setiap ada menyingkap, meskipun ketersingkapan yang datang itu lebih
sebagai “proyeksi” ke masa depan dalam faktisitas “keterlemparan”.
Kebenaran sebagai ketersingkapan sekaligus
ketersembunyian, menyata melalui puitisasi ada. Seni dimaknai sebagai
membiarkan tersingkapnya ketersembunyian itu sendiri melalui puisi. Puisi bagi
Heidegger yang didasarkan pada bahasa, dalam dirinya harus dimengerti tidak
sekadar sebuah tindakan komunikasi. Sebaliknya bahasa dan puisi dikonstruksi
oleh Heidegger sebagai dasar bagi seluruh karya seni seperti arsitektur, lukisan,
kriya, dan musik, dan lain-lain. Semua karya seni harus menemukan kembali
asal-muasalnya dalam puisi dan bahasa. Lewat bahasa, yakni penamaan, sesuatu
yang ada menjadi jelas kehadirannya. Maka penamaan atau penyebutan merupakan
penyingkapan diri agar menjadi jelas bagi pihak lain. Sesuatu yang dinyatakan
melalui bahasa hadir ke dalam realitas sebagai sesuatu (“as”). Kita sampai kepada sesuatu
itu sendiri yakni Sein yang
menyatakan dirinya ‘melalui’ (medium quo)
bahasa, dan bukan sampai kepada bahasa
yang membahasakan sesuatu.
Mengenai penamaan tersebut, menarik kalau
dibandingkan dengan pemikiran Walter Benjamin tentang bahasa. Menurutnya,
bahasa sebenarnya bukan hak istimewa manusia, melainkan satu momen yang melekat
pada segala sesuatu, sebagaimana ditunjukan dalam percakapan sehari-hari.
Sehari-hari kita berbicara tentang bahasa musik, bahasa teknik, bahasa tubuh
dan sebagainya. Dalam penggunaan seperti itu, bahasa adalah prinsip yang
mengatur penyampaian makna-makna ideal dari sesuatu. Bahasa menyampaikan makna,
namun bahasa bukanlah makna itu sendiri. Itu berarti, bahwa melalui bahasa
sebagai pengungkapan kita tidak sampai ke sesuatu itu sendiri (realitas
kelihatan), yang mengungkapkan dirinya melalui
bahasa, melainkan kita sampai kepada sesuatu, yang mengungkapkan dirinya di dalam bahasa. Dalam ungkapan yang
sama berarti, melalui karya seni sebagai ikon, kita tidak sampai ke sesuatu itu
yakni karya seni tertentu yang hadir di hadapan kita, tetapi kita dihantar
melampaui yang hadir untuk sampai kepada sesuatu yang mengungkapkan sebagian
dirinya di dalam karya tersebut.
Bahasa menunjukkan dimensi proyektif dari upaya
menyingkapkan Sein. Rancang-bangun (Entwerfen) adalah modus operasional
keterlemparan ada (Wurf) sebagai penyingkapan yang membawa
dirinya sendiri ke dalam adanya (ex-sistere),
sesuatu yang telah tetapi belum vice versa. Maka “menyatakan” diri
sekaligus berarti “membuang” hal-hal yang tidak perlu, yang membuat ada menjadi sesuatu yang tidak autentik.
“Menyatakan” berarti sekaligus mengkonstitusi “membuang”. Penyebutan atas
sesuatu selalu meniadakan ‘yang lain’ yang tidak termasuk dalam penyebutan
tersebut. Gagasan ini mengingatkan akan pandangan Hegel mengenai negativitas
internal.
Heidegger membangun pandangannya tentang seni
dengan konsepsi tentang puisi sebagai “perkataan
proyektif” (entwerfende Sagen).
Puisi menjadi sarana yang paling memadai dalam membahasakan dunia maknawi dan
alam pra-maknawi, membahasakan medan pertarungan dan tempat dari semua
‘kedekatan’ sekaligus ‘keberjarakan’ (Nähe und Ferne) dengan Sang Ada. Puisi adalah cara pembahasaan kita atas upaya untuk
terus-menerus memberi akses lewatnya sang
ada merevelasikan diri. Lewat puisi, sebuah dunia historis menghadirkan
dirinya di hadapan masyarakat (einem Volk).
Di sini, pemikir maupun penyair hanya memproyeksikan apa yang diproyeksikan
kepada mereka. Proyeksi dalam dirinya mesti menjadi sesuatu yang diproyeksikan,
yakni Ada (Seyn). Maka proyeksi tidak lain suatu peristiwa apropriasi (Ereignes). Kata-kata proyektif mengungkap
sekaligus tidak mengungkap, menyingkap sekaligus menyembunyikan. Dalam
bahasa-bahasa proyektif tersebut, konsep mengenai esensi dari historisitas
masyarakat, termasuk juga sejarah dunia dibentangkan kepada setiap orang. Pada
titik ini, kita melihat bahwa Heidegger sudah bergerak dari subjek individual (Dasein) kepada subjek kolektif (das
Volk/ Volksein).
Dalam pengertian ini bahasa adalah puisi, sebab
ada disingkapkan sebagai ada hanya melalui penciptaan (poesis=techne=art). Puisi dalam
bentuknya yang paling awal adalah penciptaan itu sendiri. Bahasa bukan puisi
karena ia adalah ciptaan awal (ur-poesy),
sebab poesy hanya bisa ditangkap
lewat bahasa, dan dalam bahasalah terungkap secara jelas asal-muasal puisi. Dan
bila seni adalah penyingkapan Sein,
lewat karya, berarti karya itu adalah puisi. Puisi sebagai seni, yang nampak
sebagai sebuah karya seni menjadi medan penyingkapan Sein. Dalam karyanya yang lain, ia menulis bahwa bahasa adalah
suatu wilayah yang sangat murni dari segala bentuk penguasaan, tetapi pada
moment tertentu ketika ia dikuasai oleh seseorang, bahasa menjadi wilayah yang
berbahaya dari segala bahaya. Bahasa menjadi sesuatu yang berbahaya karena ia
menghadirkan Sein ke dalam
keberadaannya. Ini berarti, dengan menguasai bahasa, seseorang menjadi author yang memiliki autoritas untuk menyatakan dan
mengarahkan jalannya sejarah.
Seturut itu, Heidegger menyatakan bahwa esensi
seni adalah bahasa, dan esensi puisi adalah keberadaan, penyingkapan Sein. Di sini, keberadaan mengandung
tiga makna yang saling berelasi. Pertama,
sebagai pemberian. Keterlemparan Dasein
sebagai sebuah historisitas adalah sebuah pemberian. Kedua, sebagai dasar. Ini berkaitan dengan pengangkatan diri atau
transendensi Dasein yang mengatasi
waktu, seolah-olah berdiri di luar waktu. Dan yang terakhir, sebagai awal atau
titik awal, pijakan awal bagi Dasein dalam
memproyeksikan masa depannya, pijakan awal bagi pengejaran cita-cita Dasein. Keberadaan itu secara actual
hadir dalam pemeliharaan, maka setiap bentuk keberadaan selalu berkorespondensi
dengan bentuk pemeliharaan tertentu atas manusia, yang melahirkan tataan-tataan
politis tertentu.
Yang pertama, puisi dalam dirinya berarti
menjadikan-hadir ada dan menetap
sebagai sesuatu melaluinya kebenaran sebagai penyingkapan diinstitusikan ke
dalam sebuah tatanan yang ada. Menempatkan-ke-dalam-karya selalu memberi
dorongan untuk bergerak ke arah sesuatu yang berada di luar kebiasaan dan
menghancurkan apa yang tertata. Di situ, kebenaran yang menyingkapkan dirinya
dalam sebuah karya seni tidak dapat dibuktikan atau diambil dari sesuatu yang
telah lewat. Sesuatu yang telah lewat disangkal melalui sebuah karya seni.
Dengan demikian, sebuah keberadaan memiliki karakter sebagai sesuatu yang
mengalir keluar, sebagai sebuah pemberian yang tidak kembali.
Yang kedua, proyeksi puitis mengenai kebenaran
ditempatkan dalam sebuah karya seni. Di sini, kebenaran diserahkan kepada si
pemelihara, yakni dalam historisitas kemanusiaannya. Proyeksi atas puitisasi
kebenaran menampakkan keterbukaan melaluinya, Dasein yang menyejarah, selalu berada dalam tarikan masa depan (Geworfenheit). Keterarahan yang
menyejarah berlangsung dalam suatu situasi konkret tertentu, bersifat
spasio-temporal namun abadi, terus berlangsung. Keterarahan ini berlangsung di
atas bumi, yang bagi suatu masyarakat
historis tertentu, menjadi buminya, yakni
arena penyingkapan diri, yang dimiliki bersama sesuatu yang selalu
menyembunyikan dirinya sekaligus selalu ada. Juga merupakan dunia yang berlaku berdasarkan hubungan Dasein menuju ketersingkapan Sein. Inilah alasannya, segala sesuatu
yang melaluinya manusia diberkahi, harus dalam proyeksi tersebut, ditata dari
dasarnya yang tertutup dan diekspresikan, disembulkan keluar ke atas menjadi
sikap dasar yang kelihatan. Dalam hal ini fundasi (dasar) adalah pijakan atau
keberadaan pertama yang menghasilkan keterarahan tersebut.
Yang ketiga, pemberian dan fundasi memiliki
dalam diri mereka karakter ‘kemendadakan’ atau ‘ketak-terdugaan’ yang oleh
Heidegger disebut sebagai awal atau permulaan. Permulaan/awal yang murni itu
merupakan sebuah “Ursprung”, sebuah
lompatan asali. Lompatan itu sendiri bersifat primordial namun bukan primitif,
karena secara fundamental diarahkan langsung ke masa depan. Namun apa yang
diarahkan langsung ke masa depan tidak mengindikasikan bahwa terdapat masa
lalu. Bagi Heidegger, permulaan ini tidak pernah menjadi masa lalu, ia selalu
hadir sebagai “saat ini”, “hari ini”, karena ia menguasai dan mengarahkan
seluruh sejarah ada. Asal-mula sebuah
karya seni adalah permulaan bagi pencipta dan pemelihara. Maka seni bisa kita
sebut sebagai penghadiran dimensi historis Dasein
atau sebuah masyarakat. Historis tidak merujuk kepada pengertian tentang
kesinambungan (duree), rangkaian
waktu; tetapi tentang hubungan antara kesadaran dan ada. Seni dalam esensinya adalah sebuah permulaan (Ursprung): sebuah jalan khusus lewatnya
kebenaran hadir ke dalam kekonkretan secara spasio-temporal, dan karena itu ia menyejarah, menghubungkan antara kesadaran
tentang identitas dan keberadaan dengan identitas tertentu.
Seni adalah upaya menampakkan kebenaran.
Sebagai sebuah upaya dari Dasein, ia
memiliki historisitasnya. Seni adalah sejarah dalam artinya yang sangat
mendasar, sebab ia menjadi basis, awal mula sejarah dan identitas Dasein. Dan menurutnya, hal tersebut
nampak secara paling otentik dalam puisi. Lewat puisi, Sein menyingkapkan, merevelasikan dirinya. Hemat saya puisi sebagai
karya seni dalam Heidegger adalah wajah
tampak dari Sein yang tak tampak wajah. Heidegger dalam bukunya yang lain
menegaskan bahwa kita mengalami revelasi Sein
secara paling otentik tidak melalui ilmu pengetahuan yang membedah,
memecah-mecah kenyataan tetapi “melalui
filsafat primordial, sebagaimana melalui puisi-puisi agung dan
proyeksi-proyeksi maknanya. Puisi memungkinan keberadaan sesuatu menjadi lebih
berarti.”
Pertanyaan yang mencuat adalah gejala apa yang
menentukan dalam sebuah puisi sehingga oleh Heidegger dinyatakan bahwa puisi
membuat ada menjadi sungguh ada dalam keotentikannya? Tak dapat disangkal bahwa
gejala yang mencuat adalah pengolahan bahasa. Puisi adalah olahan bahasa,
bahasa yang membahasakan dirinya, bahasa yang dialami sebagai bahasa. Bahasa
sebagai suatu wilayah yang sangat murni dari segala bentuk penguasaan dan
sebagai rumah manusia adalah sesuatu yang berbahaya. Ia berbahaya sebab dengan
menguasai bahasa, seseorang dapat mengarahkan peristiwa kebenaran agar melayani
kepentingannya. Bahasa mengarahkan proyeksi yang diartikulasi oleh Dasein sesuai impiannya. Dalam The Thinker as Poet, ia menulis bahwa:
Saat kuncup awal cahaya pagi, dalam sunyi
merayapi bubungan bebukit
kegelapan dunia tak pernah
meraih cahaya sang Ada
(namun) kita terlalu larut bagi dewa-dewa, juga
terlalu pagi untuk Ada. Ada sang puisi
baru saja menyingkap, ialah manusia.
Bahasa berbahaya sebab ia bukan lagi tempat
pemeliharaan tradisi sebagaimana ditegaskan kemudian oleh Gadamer, sebaliknya
menjadi tempat pengerasan dan pembekuan ideologi penguasa sebagaimana
dinyatakan oleh Foucault. Seni, dengan demikian menjadi pengindah penampilan
yang menyembunyikan naluri penghancuran sekaligus menggelapkan (verdunkelt) kebenaran. Seni menjadi medium
melaluinya setiap kekuasaan yang berjuang bagi dirinya mereproduksi kebohongan
dan menghancurkan kebenaran.
4.
Reduksifasi Seni: Topeng dan Propaganda Politik
Seni, seperti bahasa bagi
Heidegger, bukanlah sebuah jalan yang bersifat provisional. Seni adalah jalan
penegasan partikularitas identitas. Dalam karya seni, terutama melalui puisi,
identitas itu dijaga dan dipelihara. Heidegger menulis dalam Being and Time bahwa “makna ada dari Dasein bukanlah sesuatu yang
lain, yang terlepas dari dan di luar dari Sein, melainkan adalah Dasein yang
memahami diri sendiri.” Ini berarti, Sein
tersingkap tampil, memerlihatkan dirinya pada setiap momen keberwaktuan,
kala manusia memahami dirinya dan memahami ke mana dirinya akan terarah. Dengan
demikian penelaahan atas eksistensi-eksistensi melaluinya manusia sebagai Dasein keluar (ek-sistensi) adalah upaya menangkap kehadiran Sein secara penuh.
Heidegger dalam Der Ursprung des Kunstwerkes, berhasil membawa kita menelusuri,
menyisir jejak-jejak kemungkinan Sein
menampilkan diri dalam fenomen-fenomen karya seni, lewatnya manusia sebagai Dasein terlibat di dalamnya. Dalam karya
seni, kebenaran sebagai penyingkapan menjadi nampak lewat tegangan kreatif
antara dimensi keduniawian dan dimensi kealamiahan kenyataan. Di sini, dunia mewakili fenomena khas manusia dan
bumi mewakili kenyataan alamiah. Dan
dari tegangan kreatif ini mengemuka sebuah tema penting lain yakni penegasan
diri. Dalam ungkapan Gadamer berarti ada gerak antara
“tinggal-di-dalam-diri-sendiri” (In-sich-stehen)
dan membuka-cakrawala-dunia. Dinamika ini bersifat kreatif sehingga terciptalah
suatu “dunia baru” atau cakrawala baru dan bukan sebuah “bumi” yang tumbuh
belaka. Seturut itu, dunia kehidupan tampak di situ, mengejawantahkan kehidupan
justru karena ia tinggal-dalam-dirinya-sendiri di atas “hakekat bumi.”
Lewat seni sebagai bentuk penegasan diri, kita
dibimbing untuk menyelami diri dan mengenal diri, menyingkapkan diri dan
mengarahkan diri agar menjadi otentik dan memuncak lewat puitisasi ada. Bagi Heidegger, puisi tidak bertaut
dengan investigasi literatur tetapi sebagai situs
lewatnya historisitas dan takdir Dasein yang
dikonfigurasi, dan kemudian menghadirkan dirinya sendiri. Lewat puisi, Dasein menjadi ‘gembala’ Ada. Situs (tempat) dalam dirinya mewahyukan
dimensi vertikal dan horizontal yakni dimensi metafisis sekaligus politis Dasein. Maka, subjek yang dibicarakan
dalam elaborasi atas puisi-puisinya bukan hanya ‘aku’ individu, juga ‘kita’
yakni historisitas Dasein yang
supraindividual, yang tidak lain adalah Jerman sebagai kesatuan dari
keseluruhan yang ditegaskan. Sehubung dengan hal ini, dalam bukunya yang lain,
ia malah menegaskan bahwa “hanya seorang
Jermanlah yang mampu memuisikan Sein secara baru.”
Puisi merupakan medium penyingkapan sekaligus
penyembunyian ada (Sein), puisi
merangkum keseluruhan kediaman manusia ke dalam kodratnya yang otentik, sebagai
ada yang hadir. Penyingkapan dan penyembunyian itu memerlihatkan bahwa puisi
sebagai karya seni bersifat historis. Historis sebab puisi terkait dengan
pengalaman-pengalaman eksistensial yang tidak mudah diungkapkan dalam
konsep-konsep yang jelas dan terpilah. Historisitas (Geschichtlichkeit) Dasein
yang hadir, ada-di-dalam-dunia selalu merupakan ada-bersama-yang-lain, yang
sebagai peristiwa dideterminasi oleh takdir (Geschick) bersama. Gamblanglah kalau bagi Heidegger,
historisitas (Geschichtlichkeit)
terhubung erat dengan usaha mengejar takdir (Geschick) dalam semangat kebebasan untuk menyerahkan diri kepada
kematian. Takdir diri mesti ditegaskan dan direalisasikan lewat historisitas Dasein yang terlibat, antara lain
terlibat membangun takdir bangsa. Pemeliharaan bangsa berarti juga pemeliharaan
atas takdir Dasein, yaitu
identitasnya, dan yang berarti penegasan atas dirinya. Dengan demikian, Der Ursprung des Kunstwerkes tidak lain sebuah pernyataan terbuka mengenai
dimensi politis dan identitas politik Dasein
lewat karya seni. Jika ia menyatakan bahwa kebenaran
menubuh dalam karya, maka bisa dikatakan bahwa kebenaran identitas
dinyatakan secara paling tegas melalui setiap karya. Dengan kata lain,
kebenaran identitas ditempa dan diinstitusionalkan melalui karya seni.
Tema-tema seperti muasal, penegasan diri, pertarungan, penyingkapan Sein, das Volk, negara
ibarat tenunan benang yang membentuk motif politis teks tersebut. Dalam
ungkapan Lacoue-Labarthe, berarti teks tersebut membentangkan ke hadapan setiap
pembaca sebuah mitos asali yang ‘menghasut’ pembaca untuk mengidentifikasi
identitas politisnya dengan mitos tersebut. Mitos dalam pengertian sebagai
“kekuatan atau kekuasaan” [puissance]
yakni kesatuan antara kekuatan fundamental dan orientasi individu atau
masyarakat, sebuah kekuasaan dari dalam, bersifat konkret dan menubuh menjadi
identitas. Puissance ini dimaknai
sebagai impian, sebagai proyeksi tentang suatu gambaran politis masa depan,
dengannya seseorang diidentifikasi melalui sebuah komitmen yang total dan
langsung. Ia mengandung model mengenai kemilau identitas dan karena itu harus
direalisasikan lewat politik sebagai jalannya.
Bahwa teks ini ditulis setelah periode “arus
balik” (Kehre), tidak berarti
terlepas dari impian Heidegger sebelumnya mengenai bangkitnya identitas Jerman
yang terpuruk setelah kalah total dalam perang dunia pertama maupun kedua.
Maka, yang perlu diwaspadai dari teks ini, adalah kemungkinan mengembalikan
pemaknaan Sein, dengan
mengobjektivasinya sebagai Dasein,
yakni menafsirkan Dasein sebagai Sein sekaligus mereduksi Sein hanya pada kelompok tertentu atau
subjek tertentu. Inilah sebentuk
romantisisme politik fiksional, di mana Dasein
dipandang sebagai pencipta dan pemelihara, dan secara politis menjadi alasan
pembenaran kekuasaan, Kekuasaan adalah
pertarungan untuk menegaskan diri sebagai pencipta dan pemelihara. Hal mana
terjadi pada periode sebelumnya, ketika Heidegger mencoba mengartikulasi Sein ke dalam sosok pemimpin politis
seperti Hitler.
Dalam konteks kontemporer, seni telah menjadi
salah satu elemen utama bagi menguatnya industri hasrat yang diarahkan kepada
perengkuhan kekuasaan. Apa yang disebut Heidegger bahwa seni telah dikeluarkan
dari dirinya, terulang lagi dengan wajahnya yang baru. Seni menjadi otonom dari
ritus-ritus, dikosongkan dari hubungannya subjek atau dengan kata lain seni
menyingkirkan manusia sebagai subjek sekaligus sebagai jalan penegasian
terhadap tuntutan moral yang menempatkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya
sendiri. Seni menjadi suaka pelepasan hasrat. Oleh teknologi dan kekuasaan,
keindahan dilihat dengan referensi pada subjek yakni persepsinya, aisthesis. Di sini, seni direduksi
kepada estetika yang terskenariokan oleh teknologi, yang mendukung konsumsi
yang berulang-ulang, yang dibangun atas dasar kepuasan
imaginer dan simbolis dengan polesan artifisial sebagai karakter daya pertimbangan selera,
perburuan kesenangan atau kenikmatan tanpa interese dan finalitas tanpa
maksud yang jelas dengan tujuan
mendukung kekuasaan tertentu. Di sini, seni yang berkaitan dengan peristiwa
kebenaran menjadi peristiwa hasrat. Inilah alasannya Honneth menyatakan bahwa “seni adalah tempat utama patologi-patologi
sosial.”
Bila kilau sebuah karya seni, puisi kalau
menurut Heidegger, tidak lagi sebagai wilayah penampakkan kebenaran (aletheia), tetapi sebagai sebuah
konstruksi hasrat dalam kultur kapitalisme, maka seni hanya akan menghantar
kepada sebuah represi nonterbuka. Pengalaman subjektif menutup jalan kepada
pembicaraan atas hal-hal etis, yang sering dalam tingkatan tertentu,
membutuhkan evidensi universal-konkret, kendati yang universal itu tidak pernah
tuntas dirumuskan. Ketika ditempatkan dalam konteks politik, seni cenderung
menjadi corong lewatnya lahir banyak pelanggaran, penyimpangan dan perpecahan
dalam kehidupan konkret dan melahirkan beragam disrespek. Dalam jalur ini,
lewat satu dan lain cara, seni atau lebih tepatnya estetika melahirkan patologi
massa yang dengan gampang disubtitusikan pada sosok tertentu demi kepentingan
politik. Dengan demikian, dalam budaya massa yang bersifat “chaosmotik” setiap
upaya pembebasan cenderung berbalik arah menjadi proses penundukan secara tak
sadar.
Lebih dalam lagi, kita mengetahui bahwa sebuah
pendirian yang cukup banyak diterima oleh pemikir kontemporer adalah
menyingkirkan pembicaraan mengenai kebenaran dan menggantikannya dengan
sebentuk kompromi perasaan. Rasionalitas dianggap berkaitan dengan kepentingan
dominasi, penundukkan, peringkusan terhadap “yang lain” atas nama kebenaran.
Rasionalitas lalu berarti keseragaman. Rorty misalnya, mengkampanyekan bahwa
dalam konteks kontemporer, hanya literatur saja yang memiliki hak mutlak
memikirkan kemanusiaan. Para filsuf harus di-deprofesionalisasi posisi mereka
dan diidentifikasi sebagai sastrawan. Ada yang menyatakan bahwa kalau seseorang
berusaha menyatakan sebuah kebenaran, ia sebenarnya sedang berusaha menundukkan
orang lain di bawah kekuasaannya.
Sikap relativis atau pragmatis gaya Rortyan
misalnya, pada gilirannya mengambil bentuknya dengan memberi tempat bagi semua
bentuk kehidupan untuk mendapatkan aktualitasnya dalam kehidupan publik. Secara
teoritis berarti, memberi tempat bagi semua bentuk perspektif yang berbeda
untuk berkembang. Secara praktis berarti memberi tempat bagi setiap cara hidup
yang berbeda-beda untuk tetap hidup di tengah pluralitas. Sikap ini secara
ideal menjanjikan, namun dalam praktisnya, bila rasionalitas tidak digunakan
lagi di hadapan keragaman, lalu apa yang akan kita gunakan bersama ketika
dihadapkan dalam suatu problem masyarakat yang mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal, karena ketiadaan ukuran-ukuran etis yang
diterima bersama. Bukankah kapasitas subjek untuk memeringkatkan nilai-nilai di
antara beragam nilai yang dibentangkan di hadapannya, bergantung pada kemampuan
refleksi yang merupakan tugas rasio diskursif?
Penutup
Heidegger merefleksikan karya seni dalam
hubungannya dengan Dasein dan Sein. Sebagaimana Hegel memikirkan seni
dalam hubungan dengan sistem filsafatnya, yang mana seni hanyalah momen
transisi antara roh objektif dan roh absolute; hal yang sama terlihat dilakukan
oleh Heidegger. Karya seni sekaligus merupakan momen dan tempat berlangsungnya
kebenaran sebagai peristiwa, yakni peristiwa tersingkapnya Sein, terutama penyingkapan identitas bangsanya. Ini berarti, filsafat seni Heidegger adalah tempat Dasein terlibat dalam keseluruhan
eksistensinya sebagai yang terlempar (Geworfenheit) di sana (Da) demi merengkuh otentisitas dirinya. Momen otentisitas itu hanya
bermakna jika disertai dengan sikap penegasan diri Dasein.
Bagi Heidegger, karya seni sedapat mungkin
menjadi suatu karya yang berkaitan dengan historisitas dan identitas Dasein. Karya seni tidak hanya sebatas
sebuah objek kesenangan subjektif, yang melulu diletakkan pada subjektivitas
individu sebagai referensi. Maka, di
akhir teks tersebut, artikulasi karya seni tidak lagi pada historistas dan
kebenaran tentang Dasein yang
individual, tetapi menyangkut historisitas, pemuasalan kebenaran tentang
identitas Jerman. Ia beralih dari Dasein
kepada Volksein. Jadi artikulasi seni
ditempatkan dalam konteks politik. Seni harus kontekstual dalam arti mampu
menghantar setiap orang untuk mengalami kebenaran tentang Sein yang hadir lewat historisitas Dasein dan yang memuncak dalam identitas Volksein. Dengan begini, pada Heidegger gamblang terlibat bahwa
pada tingkat tertentu kebenaran estetis mencerminkan kebenaran identitas
politik.
Maka, yang perlu diwaspadai dari teks ini
adalah sebentuk rormantisisme politik, penegasan identitas yang akan cenderung
menolak yang tidak se-identitas dengan sang pembuat pernyataan, bahaya reduksi seni pada
partikularitas identitas tertentu.
Karya seni dapat menjadi bersifat propagandis. Dalam konteks kontemporer, seni
sebagai objek estetis, gampang menjadi sarana akumulasi kekuatan, dengan cara
merayu tanpa pihak yang dirayu atau dibujuk menyadari ke mana kekuasaan politik
itu diarahkan. Dengan kata lain, karya seni menjadi sebentuk estetisasi
ketidaksadaran. Bukan lagi Sein yang
mewahyukan dirinya, tetapi hasrat (desire)
yang memiliki Dasein; Dasein yang tidak lagi mengarahkan diri
berdasarkan ketekadan, keputusan dan proyeksi, tetapi Dasein yang sepenuhnya diarahkan oleh hasrat mencaplok yang tak
habis-habisnya. Gagasan Heidegger mengenai seni dapat menjadi salah satu jalan
kita merefleksikan kembali apa yang seharusnya (proper) dan apa yang
tidak seharusnya (improper), dalam
hubungan yang tak terpisahkan dari Dasein
yang memutuskan. Dalam perspektif etikopolitik, seni dalam hal ini yang
estetis sedapatnya dilintasi terus-menerus.
Bibliografi
Heidegger,
Martin, Hoseki Shin’ichi Hisamatsu, et al., “Art and Thinking: Protocol of a
Colloquium on May 18, 1958.” Trans. Carolyn Culbertson and Tobias Keiling. Philosophy Today, Vol 61, Iss 1 (Winter
2017): 47-51. [doi: 10.5840/philtoday2017317146].
----------------. “Six Basic
Developments in the History of Aesthetics.” Nietzsche
Vol. I-II. Trans. David Farrell Krell. New York: HarpersCollins, 1991.
----------------. “The End of
Philosophy and the Task of Thinking.” Basic
Writings: From Being and Time (1927) to the Task of Thinking (1964). Ed.
David Farrell Krell. New York: Harper Collins Publishers, 1993.
----------------. “The Thinker as
Poet,” Poetry, Language, Thought. Trans.
Albert Hofstadter. New York: Harper & Row, 2001.