Thursday, April 11, 2019

Bunuk: Pengetahuan Dan Praktek Atoni-Meto Dalam Tata Kelola Hutan



BUNUK:
PENGETAHUAN DAN PRAKTEK ATONI-METO DALAM TATA KELOLA HUTAN

Yohanes Victor Lasi Usbobo

Abstract:

            The implementation of todays forest management that based on formal-scientific knowledge and technical knowledge seems to fail to protect the forest from deforestation and the environmental damage. Decolonialisation of western knowledge could give an opportunity to identify and find the knowledge and practices of indigenous people in sustainable forest management. Forest management based on the indigenous knowledge and practices is believed easy to be accepted by the indigenous community due to the knowledge and practice is known and ‘lived’ by them. The Atoni Pah Meto from West Timor has their own customary law in forest management that is knows as Bunuk. In the installation of Bunuk, there is a concencus among the community members to protect and preserve the forest through the vow to the supreme one, the ruler of the earth and the ancestors, thus, bunuk is becoming a le’u (sacred). Thus, the Atoni Meto will not break the bunuk due to the secredness. Adapting the bunuk to the modern forest management in the Atoni Meto areas could be one of the best option in protecting and preserving the forest.  

Key words: bunuk, pengetahuan dan praktek, tata kelola hutan, masyarakat adat, Atoni Meto (bunuk, knowledge and practice, forest management and Indigenous people and Atoni Meto).

Pendahuluan

            Tulisan ini lahir dari keprihatinan akan kerukan hutan dan lingkungan yang terjadi secara masif di Indonesia. Barri et al. (2018) dalam laporan Forest Watch Indonesia tahun 2018 menulis bahwa kerusakan hutan di Indonesia meskipun mengalami penurunan dalam satu decade terkahir, tetapi angka kerusanakan  dari tahun 2009 – 2014 masih tinggi, yakni sebesar 1.1 juta hektar per tahun. Laju kerusakan hutan di NTT juga ternyata cukup tinggi, (Hidayatullah 2008) menulis bahwa laju degradasi hutan mencapai 15,613 ha per tahun. Pada tahun 2018 lalu masyarakat NTT juga diheborkan dengan penebangan kayu sonokeling secara illegal di NTT dan kegiatan ini melibatkan orang-orang pemda dan petugas kehutanan. Akan tetapi kasus ini pun tidak pernah disentuh oleh hokum. Sunderlin and Resosudarmo (1997) menegaskan bahwa agak kesulitan untuk menyatakan satu pihak sebagai pelaku kerusakan hutan karena itu butuh penelitian yang komprehensif dan tidak parsial untuk bisa memetakan pelaku dan penyebabnya.
            Kerusakan hutan yang tinggi ini memang patut disayangkan padahal negara memiliki instrument berupa aturan, apparat penjaga hutan dari pemerintah pusat hingga desa dan ditopang oleh modernisasi difusi antara pengetahuan formal-ilmiah dan pengetahuan teknis yang berasal dari Eropa dan Amerika Utara. Bukannya modernisasi ini sering dianggap sebagai cara yang efektif untuk mengatasi persoalan yang ada negara-negara dunia ketiga. Pengetahuan formal-ilmiah dan pengetahuan teknis dari dunia barat ini yang akhirnya dijadikan rujukan dalam pembangunan di segala aspek kehidupan. Padahal masyarakat asli/adat dari dunia ketiga sekian lamahidup dan menghidupi model tata kelola hutan berbasis local. Pengetahuan semacan ini ‘hidup’ bersama mereka dan bila didorong ke kebijakan formal akan lebih diterima dan kuat karena sifatnya akrab dengan kehidupan dan pengetahuan mereka. Namun, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat asli/adat tersebut justru tidak dianggap sebagai sebuah pengetahuan formal-ilmiah setelah masyarakat di Indonesia bersentuhan langsung dengan pengetahuan formal-ilmian dan pengetahuan teknis sebagai hasil dari modernisasi. Sejak Indonesia merdeka, banyak pengetahuan dan praktek local dari masyarakat-masyarakat adat yang diabaikan dan bahkan dengan sengaja atau pun secara sistematis dimatikan oleh pemerintah yang mengadopsi pengetahuan formal-ilmiah dan pengetahuan teknis barat. Akibatnya pengetahuan dan keterampilan local masyarakat ini sering diabaikan dan dianggap tidak memiliki kontribusi atau bahkan dianggap bertentangan dengan modernisasi.
            Sejak tahun 1980 banyak ahli yang memiliki ketertarikan untuk meneliti dan menulis tentang system pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat asli/adat terutama atas ketidakpuasan terhadap modernisasi yang gagal mensejahterakan masyarakat asli/adat di Negara-negara berkembang. Ada berbagai jenis pengetahuan dan ketrampilan masyarakat asli/adat yang sudah diidentifikasi yang bermanfaat untuk menjaga hubungan manusia dengan alam tetap harmonis dan menjamin pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Salah satu pengetahuan dan praktek dari Atoni Meto yang mengalami kemunduran ketika berhadapan dengan modernisasi adalah bunuk/tala. Bunuk/tala adalah sebuah pengetahuan dan sistem dalam mengelola hutan dan konservasi alam secara berkelanjutan.
            Tulisan ini bertujuan untuk menemukan dan membahas pengetahuan dan system pengelolaan hutan yang dimiliki oleh Atoni Meto dan melihat apakah system pengelolaan hutan tersebut masih relevan untuk dihidupkan kembali, diangkat atau diadaptasi oleh pemerintah untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Indigenisasi Pengetahuan

            Gerakan indigeninisasi mulai tumbuh dan berkebang pada tahun 1980an sebagai reaksi dan kritikan terhadap modernisasi yang merupakan sebuah bentuk kolonialisasi terhadap pengetahuan dan ketrampilan masyarakat adat. Indigenisasi pengetahuan dan praktis didasarkan pada paham post-kolonial yang melihat hegemoni pengetahuan barat sebagai sebuah kolonialisme terhadap pengetahuan dan ketrampilan masyarakat adat (Agrawal 1995; Briggs 2014; Warren & Cashman 1988). Sehingga para ilmuan yang bergerak dalam penelitian masyarakat adat seperti Chilisa (2012), Smith (2012) dan Kovach (2010) menyerukan untuk melakukan dekolonialisasi terhadap pengetahuan dan ketrampilan yang dibawa dari barat sebab hanya masyarakat adat yang bisa memahami diri mereka berdasarkan perspektif dan asumsi mereka sendiri. Menurut pendekatan post-kolonial indigenous sumber pengetahuan pengetahuan dan praktek masyarakat adat dapat diteliti melalui bahasa, dongeng, cerita rakyat, pengalaman budaya dan artefak seperti patung, tenunan, ukiran, music, ritus dan seremoni seperti seremoni pernikahan, kematian dan syukuran (Chilisa, 2012, pp 99 – 124). Lebih lanjut Chilisa (2012, pp. 40 – 41) menegaskan bahwa dekolonialisasi pengetahuan yang berpusat pada pengetahuan barat sarat makna dan sangat penting demi merekonstruksi pengetahuan masyarakat adat yang membawa harapan dan perubahan social dalam system pengetahuan. Selanjutnya Bank Dunia (2000) dalam laporannya menegaskan bahwa dekolonialisasi pengetahuan barat sangat penting karena pengetahuan masyarakat adat itu sesuatu yang brilian dan sangat dibutuhkan dalam pembangunan yang berkelanjutan.
            Selain itu, beberapa pendekatan juga dipakai dalam membahas pengetahuan dan praktek Atoni Meto dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan, antara lain pendekatan dari kaum bio-environmentalis dan pendekatan Ubuntu dari Afrika (Chilisa 2012; Clapp & Dauvergne 2005; Moreton-Robinson 2013). Para bio-environmentalis menyatakan bahwa pembangunan dan modernisasi telah menyebabkan terjadinya penggunaan sumberdaya alam secara berlebihan yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan hilangnya ekosistem di dalamnya (Clapp & Dauvergne 2005). Bagi merekabumi adalah sebuah organisme yang hidup dan memiliki keterbatasan jika pengelolaannya tidak dilaksanakan secara baik dan bijak maka suatu saat akan habis (Clapp & Dauvergne 2005, p. 9). Atoni Metopun memilik konsep pendekatan yang sama dengan para bio-environmentalis ini. Bagi Atoni Meto batu, tanah dan air memiliki keterkaitan yang sangat erat dan tak terpisahkan. Batu adalah tulang dari bumi, tanah adalah dagingnya dan air adalah darahnya. Karena itu, jika satu bagian dirusakan maka akan memperngaruhi bagian-bagian yang lainnya sebagai sebuah organisme yang hidup.
            Masyarakat adat hidup dalam kehidupan bersama dan memiliki keterhubungan dari kelahiran hingga kematian dan kehidupan setelah kematian (Chilisa 2012; Hemming & Rigney 2008; Moreton-Robinson 2013; Smith 2012). Dalam masyarakat Afrika dikenal sebuah konsep yang diberi nama Ubuntu. Ubuntu adalah sebuah konsep untuk menumbuhkan respek terhadap diri sendiri, membangun hubungan harmonis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam (Chilisa 2012). Konsep ini pun sebenarnaya dimiliki oleh Atoni Meto dalam keterhubungan Uis Neno, Uis Pah, be’I – na’I dan dengan alam; tanah, batu, air, benda yang hidup dan benda mati dan kehidupan setelah kematian.

Atoni Meto Dan Konsep Tentang le’u

            Atoni Pah Meto (baca=Atoin Pah Meto) adalah kelompok etnis yang mendiami pulau Timor bagian barat mulai dari sebagian wilayah Malaka, Kabupaten TTU, Kabupaten TTS, Kabupaten Kupang, Kota Kupang dan Distrik Oekusi di Timor Leste. Kata Atoni berarti orang, Pah artinya tanah dan Meto artinya kering. Atoni (Pah) Meto artinya orang dari tanah/daerah kering (Nordholt 1971, p. 19). Dalam tulisan selanjutnya hanya akan digunakan kata Atoni Meto untuk menyebut kelompok masyarakat ini. Bahasa yang digunakan oleh Atoni Meto adalah Uab Meto dan memiliki berbagai macam dialek. Selain itu, Uab Meto sendiri dibagi ke dalam 2 kategori yakni, Uab Meto yang menggunakan lafal “L” dan “R”.
            Populasi Atoni Metomerupakan yang penduduk terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), meskipun demikian tidak ada satu pun sensus yang menunjukan berapa banyak populasi Atoni Meto. Atoni Meto juga kadang dikenal dengan sebutan orang Dawan. Nordholt (1971) mengemukakan bahwa Atoni Meto disebut sebagai orang Dawan juga karena nenek moyang mereka yang disebut sebagai Nai Dawan/Laban.
            Atoni Meto adalah masyarakat pertanian yang senantiasi bergantung pada aturan atau norma masyarakat pertanian (Meitzner Yoder 2011; Nordholt 1971; Openg & Thomas 2015; Taum 2008). Kehidupan mereka merupakan sebuah lingkaran kehidupan yang dimulai dengan ritual permohonan dan terima kasih kepada wujud tertinggi yang disebut sebagai Uis Neno (Raja Langit), Uis Pah (Raja Bumi), and Be’i – Na’I, nenek moyang (McWilliam 2001; Meitzner Yoder 2011; Nordholt 1971; Openg & Thomas 2015; Taum 2008).
            Atoni Meto memiliki konsep tentang le’u (sacral) yang menjadi nuni (tabu) (Meitzner Yoder 2011; Nordholt 1971). Sesuatu itu dianggap le’u, ia tidak boleh disebut, didekati, disentuh, dilanggar apalagi dirusak. Karena le’u itu mengatur keseimbangan, baik itu pada manusia maupun alam. Melanggar atau merusak le’u atau nuni dapat mendatangkan penyakit atau penderitaan langsung kepada orang yang melanggar atau anggota keluarganya. Selain itu, melanggar atau merusak le’u (nuni) pun dapat mendatangkan bencana kepada kelompok masyarakatnya seperti tanah longsor, kekeringan, gagal tanam dan gagal panen (Meitzner Yoder 2007a, 2011; Nordholt 1971). Menurut Nordholt (1971, p. 147) ‘…segala sesuatu bisa menjadi le’u (nuni) karena dikonsekrasikan melalui ritual adat dan ada beberapa hal tertentu yang tanpa dikonsekrasi sudah menjadi le’u atau nuni, seperti nama Usi Neno.’

Bunuk (tala) Dalam Konteks Pengelolaan Hutan

            Sebagaimana kelompok masyarakat adat lainnya, Atoni Meto yang mendiami wilayah Timor Barat juga memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola hutan dan mencegah terjadinya kerusakan hutan. Atoni Meto memiliki hubungan yang erat dengan alam dan bersifat resiprokal. Hidup mereka sepenuhnya bergantung pada alam dan mereka tidak bisa dipisahkan dari alam. Alam merupakan organisme hidup yang perlu dipakai atau digunakan secara bijaksana, dijaga dan dilindungi agar tetap bisa dinikmati oleh generasi berikutnya (Manafe 2014; Nordholt 1971; Taum 2008).
            Sebagai masyarakat agraris, Nordholt (1971) menjelaskan bahwa bagi Atoni Meto pertanian lebih penting dari semua aspek kehidupan. Karena itu alam perlu dijaga, dilindungi dan dipakai secara bijak agar memberikan hasil yang baik. Dalam upayanya mencegah kerusakan hutan dan lingkungan, Atoni Meto pada masa lalu sudah memiliki sebuah model pendekatan pengelolaan hutan dan alam yang dikenal dengan nama bunuk/tala. Bunuk/tala menunjukan way of life (lebensweis) dari Atoni Meto dalam mengelola perdamaian dan rekonsialiasi melalui kesepakatan bersama yang dikuatkan melalui ritus-rutus adat. Bunuk/tala merupakah hukum adat, kebiasaan dan norma sosial. Lebih dari itu bunuk/tala menunjukan kepercayaan masyarakat Atoni Meto akan penyelenggaraan ilahi dari wujud yang tertinggi Uis Neno, Uis Pah dan be’I – na’i (nenek moyang yang sudah meninggal) (McWilliam 2009; Nordholt 1971).
            Bagi Atoni Meto, bunuk/tala merupakan kegiatan adat dan merupakan kesepakatan atau consensus yang mengatur relasi antar manusia, relasi antara manusia dengan hewan/binatang dan relasi manusia dengan alam. Konsensus di dalam bunuk itu mengatur orang-orang yang berada di dalam komunitas kanaf (suku) untuk mengurangi atau mencegah terjadinya pertikaian, mencegah terjadinya kejahatan, melindungi lingkungan dan memastikan keberlanjutannya demi kesejahteraan masyarakat yang tergabung di dalamnya.
            Dalam pengaturan relasi antara manusia dengan alam, bunuk/tala dilakukan untuk mencegah terjadinya perusakan hutan, penjarahan hasil alam secara serampangan, seperti penebangan pohon dan perburuan secara liar, perusakan sumber air, pencurian terhadap hasil pertanian atau perkebunan dan penambangan secara liar (McWilliam 2005, 2009; Meitzner Yoder 2007b; Nordholt 1971; Yoder 2005; Yoder, Laura S Meitzner 2011). Bunuk/tala ditetapkan melalui ritual adat yang disampaikan kepada Uis Neno, Uis Pahdan be’I – na’I (nenek moyang yang sudah meninggal dunia). Upacara instalasi bunuk/tala umumnya dilaksanakan oleh masyarakat dalam sebuah suku atau sebuah wilayah administratif adat. Beragamnya komunitas adat yang dimiliki oleh Atoni Meto di wilayah Timor Barat tentunya memiliki sebutan dan nama yang berbeda-beda untuk pemimpin masyarakatnya. Ketika sebuah bunuk/tala sudah ditetapkan maka orang tidak boleh melanggarnya karena mereka menyadari bahwa penetapan bunuk/tala itu tidak hanya melibatkan diri mereka sendiri, tetapi mereka membangun konsensus atau perjanjian dengan wujud yang tertinggi (Uis Neno), pemimpin daerah (Uis Pah), be’I – na’I (nenek moyang) yang dimeteraikan dengan darah binatang.
            Pada areal bunuk dipasang dianggap sebagai nuni atau le’u. Sesuatu yang menjadi nuni atau le’u tidak boleh sebut, disentuh, apalagi dirusak sebab bila disentuh atau dirusak ia akan mendatangkan malapetaka, penyakit dan bencana kepada orang yang melanggar atau komunitas yang melanggar. Pada tempat yang ditetapkan bunuk/tala umumnya akan disimpan tanda berupa penggantungan daun gewang atau daun lainnya yang representative dan tanpan untuk mudah dilihat oleh orang yang melewatinya.
            McWilliam (2009) menjelaskan bahwa instalasi bunuk/tala di wilayah Oekusi-Ambenu biasanya dipimpin oleh seorang naijuf kepala suku dan ritualnya dilaksanakan oleh seorang tobe. Tobe diberi wewenang dan tugas untuk membagi tanah suku kepada anggota masyarakat, memberikan ijin hutan mana yang boleh dibuka untuk diolah, menjaga hutan  agar tidak dirusak atau terjadi illegal loging dan memberikan denda kepada pihak yang melanggar bunuk/tala (McWilliam 2001; Nordholt 1971; Yoder 2007; Yoder, Laura Suzanne Meitzner 2011).
            Hal ini memberikan gambaran bahwa pengetahuan dan praktek bunuk/tala memiliki hubungan yang tidak terbatas dan memiliki hubungan yang intim dengan system kepercayaan Atoni Meto (Gadgil, Berkes & Folke 1993, p. 151). Ritual penetapan bunuk tersebut menjelaskan bahwa perjanjian atau consensus yang dibangun oleh komunitas itu melibatkan berbagai pihak, yakni wujud yang tertinggi, Penguasa Bumi dan nenek moyang yang sudah meninggal. Karena itu, melanggar bunuk/tala tidak berarti melanggar bunuk/tala itu in-se tetapi melanggar komitmen, consensus yang melibatkan pihak-pihak dalam consensus tersebut yang dimeteraikan dalam darah binatang yang dibunuh.
            Meskipun ada tobe yang ditugaskan untuk menjaga hutan, melalui ritual penetapan bunuk/tala masyarakat yang ada di dalam sebuah komunitas adat diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan (Miyazawa 2013a). Mereka tidak hanya dilibatkan di dalam ritual saja, tetapi mereka juga diberi tanggung jawab untuk menjaga hutan, tidak melakukan penebangan, pertambangan, panen dan perburuan secara liar. Bahkan mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga alam dan ketika ada yang melakukan pengrusakan mereka dapat melaporkan kepada tobe (Meitzner Yoder 2007a, 2007b, 2011; Miyazawa 2013a).

Adaptasi bunuk/tala: Pembelajaran Dari Timor Leste

            Menurut beberapa ahli pengetahuan dan praktek masyarakat adat dapat diadaptasi ke dalam hukum positif bila pengetahuan dan praktek tersebut memang diterima dan dihidup oleh masyarakat setempat (Hemming & Rigney 2010; Meitzner Yoder 2007a, 2007b; Miyazawa 2013a; Warren 1991). Pengetahuan dan praktek yang ada dalam masyarakat dibangun atas konsesus mereka sendiri sehingga pengetahuan atau praktek itu pastinya dijalankan. Ada beberapa pengetahuan dan praktek masyarakat adat yang sudah pernah diadaptasi dalam hukum di berbagai tempat, baik secara local maupun nasional untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, seperti Ngarrindjeri diterapkan oleh masyarakat Aborijin Sungai Murraydi Australia Selatan (Hemming & Rigney 2010) dan Tara Bandu di Timor Leste (Meitzner Yoder 2007a; Miyazawa 2013b; Yoder 2005).
            Timor Leste yang pada awal kemerdekaannya mengalami penyusutan hutan secara besar-besaran menyadari bahwa hokum positif negara ternyata tidak bisa membantu negara untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan. Padahal negara memiliki perangkat dan system hokum, pemerintah pun ditopang oleh modernisasi dalam bidang tekhnologi dan sumberdaya manusia, namun semuanya itu tidak cukup untuk mencegah terjadinya perusakan, perambahan dan degradasi hutan. Akhirnya mereka pun berpikir bahwa perlu ada alternative lain yang harus dikenal dan dihidupi oleh masyarakat adat. Karena itu, dengan bantuan UNDP pemerintah Timor Leste mencoba menemukan pengetahuan dan praktek-praktek yang ada di masyarakat yang dapat membantu pemerintah untuk mencegah tindakan pengrusakan dan penjarahan hasil hutan. Maka pada tahun 2004 mereka menemukan sebuah praktek yang sudah lama ditinggalkan, yakni tara bandu (Meitzner Yoder 2007a, 2007b; Metzner 2017; Miyazawa 2013b; Yoder 2005; Yoder, Laura S Meitzner 2011). Tara bandu adalah sebuah ritual yang mirip dengan bunuk/tala di wilayah adat Atoni Meto. Bantuan UNDP dan pemerintah pusat instalasi tara bandu sudah dilaksanakan di semua chefe de suco (desa) (Meitzner Yoder 2007a, 2007b; Metzner 2017; Miyazawa 2013b; Yoder 2005; Yoder, Laura S Meitzner 2011). Dan ternayata tara bandu hingga saat ini sudah membantu pemerintah Timor Leste mencegah terjadi perusakan dan penjarahan hutan secara signifikan (Miyazawa 2013a).Meitzner Yoder (2007a) dan Miyazawa (2013a) menegaskan bahwa adaptasi hokum adat ke dalam hokum positif berhasil mencegah degradasi hutan dikarenakan tara bandu adalah sebuah praktek yang sudah lama dihidupi oleh masyarakat adat itu sendiri dan praktek ini pun dibuat oleh mereka sendiri.

Penutup

            Tata kelola hutan di Indonesia memang sudah ditopang dengan system yang cukup memadai, baik itu dari segi undang-undang, sumber daya manusia, peralatan dan teknologi modern, namun dalam tata-laksananya pemerintah gagal untuk mencegah terjadinya pengrusakan hutan yang berkaibat lanjut pada terdegradasinya lingkungan dan alam.
            Studi-studi tentang masyarakat adat yang dilaksanakan pada beberapa dekade terkahir mengarahkan untuk menggunakan pendekatan post-kolonial indigeneus untuk melakukan dekolonialisasi terhadap dominasi pemikiran barat. Dekolonialisasi ini memberikan ruang kepada pengetahuan dan praktek-praktek lokal yang berkembang untuk dipakai mengatasi persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan pengetahuan formal-ilmiah dan pengetahuan teknis yang dibawa dari barat (Briggs 2014; Chilisa 2012; Smith 2012). Pengetahuan dan praktek local yang berbasis pada masyarakat adat mudah diterima sebab ia ada dan dihidupi oleh masyarakat adat.
            Di Timor, bunuk/tala merupakan sebuah pengetahuan dan praktek yang ada pada budaya Atoni Meto dalam tata kelola hutan. Tata kelola hutan yang terbangun melalui bunuk/tala memberi jaminan bagi terbangunnya hubungan yang harmonis antara Atoni Meto dan alamnya. Pun pula menjamin keberlanjutan dan keberlangsungan makhluk yang ada di dalamnya. Karena itu, bunuk/tala masih sangat relevan saat ini untuk diangkat sebagai kebiajakan dalam tata pengelolaan hutan karena bunuk di satu sisi merupakan sebuah konsensus yang dibuat oleh anggota komunitas di dalamnya, di sisi lain ia merupakan sesuatu yang sacral (le’u) yang disakralkan melalui ritual adat dan merupakan komitemen dari Atoni Meto kepada Uis Neno, Uis Pah dan be’I – na’I. Karena bunuk menjadi sacral (le’u), dia tidak boleh dilanggar oleh siapapun sebab melanggar bunuk/tala konsekuensinya sangat berat. Tentunya ini menjadi kekuatan untuk menadaptasi bunuk ke dalam kebijakan dalam tata kelola hutan.
            Menghidupkan pengetahuan atau praktek bunuk dalam masyarakat modern ini bukanlah merupakan sebuah romantisme kepada masa lalu, tetapi merupakan sebuah jalan alternative setelah pengetahuan formal-ilmiah dan praktek teknis modern gagal untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan dan degradasi lingkungan. Keberhasilan adaptasi hokum adat ke dalam hokum positif dalam mencegah kerusakan hutan dan degradasi lingkungan sudah banyak terjadi dan dilaksanakan di beberapa tempat, seperti Ngarrindjeri diterapkan oleh masyarakat Aborijin Sungai Murraydi Australia Selatan (Hemming & Rigney 2010) dan Tara Bandu di Timor Leste (Meitzner Yoder 2007a; Miyazawa 2013b; Yoder 2005). Keberhasilan ini mau menunjukan bahwa hokum adat juga memiliki peluang untuk diangkat dalam memberi kontribusi terhadap persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh hokum positif.
            Meskipun melihat betapa pentingnya bunuk/tala dalam kehidupan Atoni Meto pada masa lampau dalam upaya tata kelola hutan, tulisan ini belum memberikan rekomendasi secara gamblang untuk mengadaptasi bunuk/tala ke dalam regulasi-regulasi, baik di tingkat local maupun pusat dalam mencegah kerusakan hutan. Penelitian yang lebih lanjut terkait dengan bunuk/tala secara komprehensif sangat dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang bunuk/tala, mengetahui tentang manfaat, kekurangan dan kelebihannya. Dari hasil penelitian itu, kita bisa melihat apakah bunuk/tala layak untuk diadaptasikan ke dalam kebijakan tata kelola hutan di wilayah Timor Barat dalam mencegah terjadinya kerusakan hutan dan degradasi lingkungan.
 

Daftar Pustaka

Agrawal, A 1995, 'Dismantling the divide between indigenous and scientific knowledge', Development and Change, vol. 26, no. 3, pp. 413-39.

Barri, MF, Setiawan, AA, Oktaviani, AR, Prayoga, AP & Ichsan, AC 2018, Deforestasi tanpa henti: Potret deforestasi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara, Forest Watch Indonesia, Bogor.

Briggs, J 2014, 'Indigenous knowledge and development', in V Desai & RB Potter (eds), The companion to development studies, Routledge, New York, USA, pp. 333 - 6.

Chilisa, B 2012, Indigenous research methodologies, Sage Publications, Los Angeles.

Clapp, J & Dauvergne, P 2005, Paths to a Green World: The Political Economy of the Environment, Cambridge, MA: MIT Press.

Hemming, S & Rigney, D 2008, 'Unsettling sustainability: Ngarrindjeri political literacies, strategies of engagement and transformation', Continuum, vol. 22, no. 6, pp. 757-75.

—— 2010, 'Decentring the new protectors: transforming Aboriginal heritage in South Australia', International Journal of Heritage Studies, vol. 16, no. 1-2, pp. 90-106.

Hidayatullah, M 2008, 'Rehabilitasi lahan dan hutan di Nusa Tenggara Timur', Kupang.

Kovach, ME 2010, Indigenous methodologies: Characteristics, conversations, and contexts, University of Toronto Press.

Manafe, YD 2014, Komunikasi ritual pada pertanian Atoni Pah Meto, Univesitas Nusa Cendana, Kupang.

McWilliam, A 2001, 'Prospects for the sacred grove: Valuing lulic forests on Timor', The Asia Pacific Journal of Anthropology, vol. 2, no. 2, pp. 89-113.

—— 2005, 'Haumeni, not many: renewed plunder and mismanagement in the Timorese sandalwood industry', Modern Asian Studies, vol. 39, no. 2, pp. 285-320.

—— 2009, 'Trunk and tip in West Timor: precedence in a botanical idiom', Precedence: social differentiation in the Austronesian world, p. 111.


Meitzner Yoder, LS 2007a, 'Hybridising justice: state-customary interactions over forest crime and punishment in Oecusse, East Timor', The Asia Pacific Journal of Anthropology, vol. 8, no. 1, pp. 43-57.

Meitzner Yoder, LS 2007b, 'The tobe and tara bandu: a post-independence renaissance of forest regulation authorities and practices in Oecusse, East Timor', in R Ellen (ed.), Modern crises and traditional strategies: local ecological knowledge in island Southeast Asia. New York: Berghahn, pp. 220-37.

Meitzner Yoder, LS 2011, 'Political ecologies of wood and wax: Sandalwood and beeswax as symbols and shapers of customary authority in the Oecusse enclave, Timor', Journal of Political Ecology, vol. 18, pp. 11-24.

Metzner, JK 2017, 'Man and Environment in Eastern Timor: a geological analysis of Baucau - Viqueque Areas as a possible basis for regional planning', vol. 8.

Miyazawa, N 2013a, 'Customary law and community-based natural resource management in post-conflict Timor-Leste', in J Unruh & R Williams, C (eds), Land and post-conflic peacebuilding, Earthscan, London, pp. 511-32.

—— 2013b, 'Customary law and community-based natural resource management in post-conflict Timor-Leste', Land and Post-Conflict Peacebuilding.

Moreton-Robinson, A 2013, 'Towards an Australian Indigenous Women's Standpoint Theory', Australian Feminist Studies, vol. 28, no. 78, pp. 331-47.

Nordholt, HS 1971, The Political System of the Atoni of Timor, First edn, Springer, Amsterdam.

Openg, K & Thomas, V 2015, 'Mamar sebagai kearifan ekologi masyarakat adat Atoin Meto dalam kaitan pelestarian sumber daya air di desa Femnasi, Timor Tengah Utara', HUMANIS, vol. 36, no. 1.

Smith, LT 2012, Decolonizing methodologies: Research and indigenous peoples, Second edn, Zed books, London, UK.

Sunderlin, WD & Resosudarmo, IAP 1997, Laju dan penyebab deforestasi di Indonesia: penelaahan kerancuan dan penyelesaiannya, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Taum, YY 2008, Tradisi fua pah: Ritus dan mitos agraris masyarakat Dawan di  Timor, Universitas Sanata Darma, Yogyakarta.

Warren, DM 1991, 'The role of indigenous knowledge in facilitating the agricultural extension process', in international workshop on agricultural knowledge systems and the role of extension. Bad Boll, Germany, pp. 21-4.

Warren, DM & Cashman, K 1988, Indigenous knowledge for sustainable agriculture and rural development, International Institute for Environment and Development, Sustainable Agriculture Programme.

Yoder, LSM 2005, 'Custom, codification, collaboration: Integrating the legacies of land and forest authorities in Oecusse Enclave, East Timor', PhD thesis, Yale University.

Kupu-Kupu Di Atas Bunga - Angin Menari Melalui Padang: Menyimak Filsafat Seni Martin Heidegger



KUPU-KUPU DI ATAS BUNGA –
ANGIN MENARI MELALUI PADANG:
MENYIMAK FILSAFAT SENI MARTIN HEIDEGGER

Yasintus T. Runesi


Abstrak:
In his path of thinking, particularly from the 1930s onwards, Martin Heidegger firmly believed that Sein reveals itself, when human being, whom he termed as Dasein, awakened from his blindness of common sense and struggle for grasps his own authenticity. In this paper I examine Heidegger’s destruction of the work of art as a site of strife between art and politics in his text, Der Ursprung des Kunstwerkes. Heidegger’s position is complex: on the one hand, he acknowledges that Sein is a phenomenon beyond our horizon of understanding, Sein is all about not something particular; on the other hand, he insists that Sein’s presence through art inscribed in a certain particular identity, especially German volks. In response, I argue that the identification of Sein with a particular identity such as German volks, offers the truth that the politics itself is forged and instituted in and as work of art. Some conclusions will be drawn concerning the importance of the small dimension of Heidegger’s thought on art in contemporary politics. 

Keywords: Heidegger, art, Sein, Dasein, politics, identity.

Introduksi
Seni, pada masa lalu tak dapat dilepaskan dari ritual-ritual keagamaan. Karya seni menjadi medium manusia semasa itu, mengungkapkan sentimen religius mereka. Sebagai medium, sebuah karya seni merepresentasikan yang-transenden atau yang-kudus. Tarian misalnya, bukan hanya sebuah gerak tubuh. Ia adalah doa dan ritus, yang menghubungkan sang penari dengan yang-transenden. Maka, karya seni yang mencakup di dalamnya puisi, pertunjukkan drama, tarian bahkan lukisan memiliki kekuatan untuk menghantar dan memampukan seseorang mendengar sabda melalui matanya. Karya seni mampu mengubah persepsi dan pengertian para penganut agama, dengan cara yang mungkin bergerak di luar tata tertib logika, tetapi kebenaran dan keyakinan, yang sering memanifestasi melalui disposisi subjektif seseorang yang mengalaminya di hadapan kenyataan, sukar untuk disangkal.
Namun, pada masa sekarang, hubungan seperti itu hampir-hampir tak lagi menjadi perhatian. Seni dalam satu dan lain cara, dilepaskan dari referensi semacam itu. Seni bukan lagi medium representasi, melainkan dalam nuansa Nietzschean, medium pelepasan rangsangan estetis subjek. Seni dikembalikan kepada subjektivitas individual. Seni tidak lain tentang proses kreatif yang terjadi dalam diri subjek seniman maupun subjek penikmat. Bila kita memandang seni melalui lensa Nietzschean misalnya, seni tidak lain instrumen perwujudan kehendak untuk berkuasa, yang termanifestasi secara biologis melalui darah, detak jantung dan reaksi-reaksi lainnya. Seni dilepaskan dari referensinya dengan manusia sebagai homo religiosus. Membincang seni berarti membincang aesthesis, membincang pengalaman mengenai proses kreatif yang lahir karena rangsangan estetis yang dirasakan oleh subjek dari dalam diri. Dalam pemahaman seperti itu, Hegel menyatakan bahwa seni telah berakhir.
Artikel berikut adalah upaya mendalami filsafat seni Heidegger sebagaimana tertuang dalam teksnya Der Ursprung des Kunstwerkes. Di sini, saya akan memulai dengan (1) mengelaborasi problem interpretasi atas karya tersebut. Dalam bagian ini, saya akan menunjukkan bahwa kalau Hegel mengumumkan akhir dari seni, maka Heidegger yang melihat seni sebagai representasi identitas, menempatkan dirinya satu langkah di depan Hegel dengan menjadikan dirinya sebagai palu apokaliptik, dengan menunjukkan bahwa Volksein, yakni bangsanya pada saat itu tidak perlu menerima poesisnya dari masa lalu, tetapi dari masa depan. Persoalan ini akan lebih didalami dalam bagian tentang titik berangkat pemikirannya mengenai seni (2). Kemudian, saya akan menelusuri garis argumentatif Heidegger dengan masuk ke dalam teks tersebut (3). Di sini, akan ditunjukkan bahwa teks tersebut tidak lain sebuah manifesto identitas, sebuah tempat pertarungan antara seni dan politik. Dalam bagian selanjutnya (4) pemikiran Heidegger akan dibaca dalam hubungannya dengan politik semasa ini. Di sini, saya akan membacanya dalam dua langkah evaluatif, yakni dengan melihat hubungan Heidegger dengan politik dan problem identitas lewat karyanya tersebut dan dilanjutkan dengan membaca politik kontemporer dengan bercermin pada perspektif Heidegger dalam karya tersebut. Artikel ini akan ditutup dengan sebuah simpulan kecil.

1.    Posisi-posisi Interpretasi
Sebelum menunjukkan interpretasi saya atas teks tersebut, akan disajikan secara ringkas pandangan beberapa pemikir. Setidaknya terdapat dua posisi interpretatif atas karya Heidegger, Der Ursprung des Kunstwerkes. Otto Pöggeler dan Christoper P. Long, yang saya sebut sebagai posisi radikal di satu pihak, dan Friedrich-Wilhelm von Herrmann, Walter Biemel dan Joseph J. Kockelmans sebagai posisi konservatif di lain pihak. Menurut Pöggeler, karya Heidegger tersebut pertama-tama tidak memiliki kaitan dengan filsafat seni tetapi dengan pertanyaan mengenai Sein, sebagaimana tulis Heidegger dalam Adendum: “keseluruhan esai ini secara sadar bergerak, walau implisit, melalui jalan pertanyaan tentang hakekat sang-Ada. Berdasarkan pernyataan ini, Pöggeler menegaskan bahwa determinasi sebuah karya seni hanya dapat dimengerti dari perspektif pertanyaan mengenai kebenaran Sein dan kebenaran tentang Sein. Ia menegaskan kembali apa yang telah dinyatakan oleh Heidegger bahwa seni berhubungan dengan peristiwa apropriasi, darinya makna tentang Sein dapat didefinisikan. Pöggeler lalu menyatakan bahwa karya tersebut adalah meditasi lanjut Heidegger atas Sein yang telah dimulai sejak karyanya Sein und Zeit.
Pöggeler selanjutnya mengungkapkan bahwa refleksi Heidegger berangkat dari pengalaman keterlibatannya dalam politik pada periode yang mendahului kuliah tersebut. Salah satu petunjuk untuk interpretasi tersebut nampak dalam penggunaan istilah τέχνη (technē) di awal teks, yang langsung mengingatkan kita pada isi pidato rektoratnya. Pöggeler menyatakan bahwa pada masa itu, Heidegger memang memfokuskan perhatiannya pada bahasa dan seni sebagai bagian dari upaya filosofisnya, setelah menarik diri dari keterlibatan politisnya, namun tetap memiliki keyakinan bahwa historisitas dan takdir bangsanya ditentukan oleh spirit perjuangan bangsanya.
Nada yang sama terdapat pada Christopher Long. Dengan membandingkan Heidegger dan Walter Benjamin, ia menyatakan bahwa esai Heidegger itu dapat dilihat sebagai sebuah respons terhadap kemungkinan politisasi seni, sekaligus sebuah upaya menghidupkan kembali aura seni ke dalam sebuah tatanan yang memungkinkan perlindungan terhadap relasi otentik antara asal-usul Geist dan kekuatan masyarakat Jerman yang mau ditegakkan lagi. Masih menurut Long, karya ini dapat dilihat sebagai respon terhadap ketakutan Benjamin yang melihat pudarnya aura seni karena pengaruh teknologi dan kemungkinan estetisasi politik lewat seni sebagai kekuatan baru fasisme.
Berbeda dengan Pöggeler dan Long, Friedrich-Wilhelm von Herrmann menyatakan bahwa teks-teks dalam Holzwege (Off the Beaten Track) mengandung garis besar pemikiran Heidegger tentang seni. Menurutnya, pernyataan Heidegger dalam Adendum di satu sisi, memerlihatkan usahanya merefleksikan seni dengan cara yang berbeda dari apa yang lazim dalam historiografi seni, yang bisa kita temukan pada para rasionalist, empirisist, Kant dan juga Hegel. Pada sisi lain, bila pertanyaan menyangkut kebenaran Sein sebagai pertanyaan sentral bagi filsafat, maka pertanyaan menyangkut makna seni dapat diungkapkan dari perspektif yang lebih menyeluruh. Kockelmans dan Biemel pun sejalan dengan von Herrmann yang yakin bahwa esai tersebut menjadi salah satu esai penting dalam keseluruhan pemikiran filsafat seni Heidegger, dan penting dicatat bahwa ia sendiri tidak pernah mencabut dirinya dari tesis dasar yang dikembangkannya: upaya yang berkanjang untuk menyelam ke dalam misteri Sein. Singkatnya, seni bagi Heidegger adalah salah satu jalan untuk mengalami Sang-tersembunyi.
Dalam bagian yang ditambahkan kemudian, ia bertanya apakah seni masih merupakan hal yang esensial dan seharusnya, melaluinya kebenaran yang terjadi menentukan eksistensi historis kita; atau memang peran itu telah berakhir, sebagaimana dinyatakan oleh Hegel. Jika seni tidak lagi memiliki peran semacam itu, maka pertanyaannya adalah mengapa demikian? Heidegger menyatakan bahwa penyelidikannya tentang seni yang dimulai dengan telisik tentang konsep “asal-usul” (Ur-sprung, arche) dimaksudkan untuk menampakkan hakekat kebenaran. Asal-usul (Ur-sprung, arche) bagi Heidegger tidak pernah merupakan masa lalu, sebaliknya selalu tentang  “tiba-pada-saat-ini,” atau “hari ini” karena ia menguasai dan mengarahkan seluruh sejarah ada. Asal-usul adalah tentang lompatan dari masa depan ke dalam saat ini. Oleh karena itu, bila Heidegger memahami karya seni sebagai kebenaran yang menubuh dalam sebuah karya, maka subjek di mana kebenaran itu menampakkan diri, bukan hanya tentang sebuah karya, tetapi tentang sebuah masyarakat, dan masyarakat yang dimaksud tidak lain bangsanya. Maka, pembacaannya atas seni adalah momen dalam perjuangan bangsanya untuk menegaskan identitasnya. Jadi, dengan melihatnya dalam konteks politik saat itu, Heidegger ingin menunjukkan bahwa penegasan identitas bangsanya tidak hanya diterima dengan berpaling pada warisan masa lalu melainkan harus pula menerima poesisnya dari masa depan.

2.    Titik Berangkat Heidegger
Heidegger menarik garis batas antara dirinya dengan seluruh sejarah filsafat seni dalam tradisi Barat terutama dengan para pemikir klasik Jerman, yang dimulai sejak Baumgarten dan Kant. Ia memikirkan seluruh sejarah filsafat sejak pre-Sokratik sebagai sejarah penghilangan ada (Vergessenheit des Seins) dan menganggap dirinya adalah pemikir yang berhasil menemukan kembali ada itu. Seturut itu, ia menempatkan dirinya sebagai suatu titik muasal baru (Anfang) dalam sejarah pemikiran. Hal yang sama ia lakukan juga dalam pemikirannya tentang filsafat seni. Menurutnya, filsafat seni tidak pernah mencapai dirinya sendiri dan karena itu, ia ingin melakukannya, membawa seni pada kepenuhannya (Vollendung), pada titik apokaliptiknya.
Dalam teksnya tentang Nietzsche, ia merekonstruksi dan membedakan enam fase dialektis hubungan antara filsafat dan seni. Fase pertama, mencakup era seniman-seniman besar kurun antik Yunani, diperkirakan bermula dari Homerus sampai Euripides. Fase ini ditandai oleh absennya refleksi filosofis atas karya seni. Fase berikutnya ditandai oleh kesalahan interpretasi dan pembedaan yang keliru terhadap hyle-morphe yang disamakan begitu saja dengan materi-forma, dengan akibat penempatan kategori-kategori dari wilayah produksi alat-alat pada wilayah karya seni. Hal ini kemudian, ia ulas lagi dalam teks Der Ursprung dalam bagian pembedaan ‘sesuatu’ dengan karya. Fase ketiga bermula pada era modern di mana selera atau citarasa didefenisikan sebagai relasi individualistik manusia dengan lingkungan sekitarnya, di mana manusia menjadi ukuran bagi eksis/beradanya sesuatu. Di sini, keindahan dilihat melulu dalam hubungannya dengan subjek, yakni persepsinya. Artinya, pada fase ketiga, kita mulai melihat sebuah pergeseran pemaknaan atas seni sebagai objek sensasi, aesthēsis.
Pada periode modern ini, seni yang berhubungan secara erat dengan ‘yang-absolut’ sebagaimana terjadi pada periode-periode antik, kehilangan fungsi representatifnya. Fase keempat ini ditandai oleh berakhirnya seni sebagaimana klaim Hegel. Di situ, seni hanyalah satu tahap yang mesti dilalui oleh Roh Absolut untuk sampai pada kesadaran akan dirinya sendiri. Fase kelima berawal pada abad ke-19 ketika Richard Wagner mencoba mengupayakan suatu hubungan baru antara seni dengan ‘yang-absolut’, tetapi hasilnya justru jatuh kepada hal-hal emosional dan akhirnya memuncak dalam ketiadaan atau nihilisme. Menurut Heidegger, meskipun kemabukan emosional dimaksudkan sebagai kompensasi bagi eksistensi manusia teknis, Wagner gagal menyediakan orientasi kepada puisi dan pemikiran. Dengan demikian, pada Nietzsche sebagai fase terakhir terjadi transformasi estetika ke dalam fisiologi melalui konsepsinya mengenai kemabukan emosional, yang diartikan sebagai fenomena syaraf dan tanggapan fisiko-elektrik dari tubuh.
Dalam epilog yang ditambahkan kemudian, Heidegger menulis bahwa teks Der Ursprung des Kunstwerkes menjadi jalan keterlibatannya dalam teka-teki besar tentang seni. Teka-teki tersebut adalah seni itu sendiri, dan upaya tersebut tidak dimaksudkan untuk menjawab secara tuntas teka-teki tersebut: membawa seni kembali kepada dirinya sendiri. Di sini, sebenarnya Heidegger mengundang kita untuk membaca teks tersebut sambil menjaga tegangan tetap yang terdapat dalam klaimnya tentang, di satu sisi, percobaannya untuk menyelidiki teka-teki tersebut tanpa memberi jawaban, dan di sisi lain, upayanya memberikan kontribusi pada pengertian kita tentang esensi seni dalam kaitannya dengan nasib bangsanya. Untuk mewujudkan keduanya, Heidegger memberi kita dua petunjuk penting. Yang pertama terkait dengan asal mula estetika modern dan yang lainnya menyangkut nasib seni modern.
Heidegger mengingatkan kita bahwa estetika merupakan cabang filsafat yang hadir kemudian dengan karya-karya seni sebagai objeknya, objek aisthēsis, tangkapan sensasi dalam artinya yang luas. Dalam hal ini, pengalaman subjektif manusia sangat menentukan, sebab darinya, kita memeroleh informasi mengenai esensi seni. Pengalaman menjadi sumber dan ukuran menyangkut apresiasi kita terhadap seni dan gaya-gaya dari produk artistiknya. Artinya, estetika berbicara tentang pengalaman. Namun, pengalaman itu juga menurut Heidegger menjadi elemen penting melaluinya seni secara perlahan-lahan berakhir. Ini disebabkan oleh cara penerimaan yang membatasi seni hanya pada hal-hal yang tampak mata. Terjadi reduksifasi Sein sekadar tampakan estetis, tergantung reaksi estetis subjek individual.
Tentang klaimnya itu, Heidegger mengutip beberapa pernyataan masyur dari Hegel sebagaimana terdapat dalam Lectures on Aesthetics: 

“Sudah lama seni tidak lagi memberi harapan bagi kita sebagai cara tertinggi melaluinya kebenaran melindungi eksistensi dirinya sendiri.”
“Seseorang barangkali berharap bahwa seni akan terus meningkatkan dan menyempurnakan dirinya, namun formanya berhenti menjadi kebutuhan tertinggi dari roh.”
“Dalam keseluruhan relasi ini, seni sebagai dan juga yang tertinggal bagi kita, pada titik tertinggi dari panggilannya, telah menjadi masa lalu.”

Menurut Heidegger, pernyataan yang dilontarkan oleh Hegel tersebut, bukanlah sebuah ledakan besar yang mengakhiri seni, melainkan suatu resultante dari bertemunya beberapa faktor sosial yang dapat diidentifikasi, seperti perkembangan subjektivitas modern yang mencapai puncaknya pada masa romantik serta perkembangan teknologi. Dalam konteks modernitas, seni sebagai sebuah karya tidak lagi bertujuan untuk mencapai suatu totalitas pengertian tentang dan lewatnya historisitas Sein secara menentukan dijangkau, tetapi lebih diarahkan sebagai suatu ekspresi diri manusia dengan tujuan ekonomis. Pernyataan Schlegel mungkin bisa menggambarkan situasi ini: “dalam apa yang dinamakan filsafat kesenian, biasanya salah satu dari keduanya menjadi korban: filsafat atau kesenian”.
Sedikit kembali pada Hegel. Bahwa karena asumsi dasarnya yang memandang sensibilitas itu lebih rendah dari yang intelektual, maka ia menempatkan seni hanya sebagai salah satu tahap melaluinya Budi Absolut berproses menuju puncak kesadarannya. Oleh karena itu, pandangan Hegel dianggap membuka arah baru pandangan manusia mengenai seni. Seni tidak lagi memiliki tujuan objektif, sebaliknya ditundukkan sepenuhnya pada subjektivitas setiap orang. Di situ, seni sebagai bentuk representasi dan mimetik diciutkan menjadi objek kesenangan subjektif, aesthesis. Perubahan ini berarti pula berubahnya pemahaman mengenai esensi kebenaran, terutama kebenaran mengenai manusia sebagai Dasein.
Menurut Jacques Taminiaux, ambiguitas yang ada pada Heidegger dapat diartikulasi sebagai berikut: di satu pihak, Heidegger menyatakan bahwa teka-teki tersebut menyangkut seni itu sendiri, dan dengan cara yang sama mencoba mengatasi estetika sebagai salah satu bentuk metafisika modern. Artinya, Heidegger memang tidak mencoba mencari jawaban yang tuntas atas teka-teki tersebut. Tetapi di lain pihak, jelas bahwa Heidegger mempunyai pandangan yang positif mengenai pernyataan Hegel tersebut. Dan ia menyebut itu sebagai refleksi yang cukup menyeluruh mengenai esensi (Wesen) seni, lewatnya Sein dalam kecerlangannya mewahyukan diri.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Heidegger dalam Der Ursprung, mencoba menelusuri ketersembunyian Sein tidak dengan menempatkan manusia sebagai pusat penyelidikannya seperti dilakukan oleh Hegel, tetapi dengan menyelidiki apa yang dihasilkan manusia di dalam dunianya. Heidegger ingin menyelidiki, pada titik mana, Sein itu dapat dikenal karena menghadirkan dirinya, di mana kehadiran itu menjadi sebuah penampakkan kebenaran (aletheia). Di situ ia melihat seni – mengikuti Schelling – sebagai Wahrheitsgeschehen, peristiwa kebenaran, moment di mana kebenaran sebagai fajar keterbukaan (aletheia) merekah dengan seluruh kecerlangan dirinya. Upayanya adalah menempatkan kembali seni sebagai bentuk representasi historisitas manusia, terutama bangsanya setelah periode keterpurukan akibat perang sebelumnya. Seni menjadi wajah tampak dari Sein yang tak tampak wajah, seni adalah pendaran kecerlangan Sein yang tak tampak mata pada identitas partikular tertentu, terutama pada diri bangsa Jerman.
Heidegger yakin bahwa suatu karya yang sejati, terutama karya seni secara ontologis memiliki fungsi penyingkapan (disclosive). Karya seni “membiarkan entitas menjadi”. Oleh karena itu, ia percaya bahwa revolusi Jerman hanya bisa sukses kalau dipandu dan dibangun di atas karya para raja seniman seperti puisi-puisi Hölderlin. Bagi Heidegger, hanya dengan merangkum dan menutup metafisika, dalam istilahnya, mendestruksi metafisika, maka sebuah awal baru yang lebih baik bisa dimulai. Dalam hal ini, ia menempatkan dirinya satu langkah di depan Hegel dan Nietzsche: membangun puisi revolusinya sebagai manifestasi dari angin pemikirannya, terutama dalam analisanya atas karya seni sebagai suatu manifesto identitas: seumpama kupu-kupu yang bertengger di atas bunga, lalu menari bersama angin yang berlalu melalui padang.

3.    Der Ursprung des Kunstwerkes: Manifesto Identitas
Dengan menempatkan Dasein sebagai titik berangkat ontologinya, Heidegger dalam proyek filosifisnya mencoba menjauh dari sudut pandang antroposentrik-filosofis tradisional. Pertanyaan-pertanyaannya tidak dipusatkan pada cogito Cartesian tetapi pada perilaku dasar Dasein.  Walau demikian, Heidegger tak mampu menjauh secara total dari antroposentrisme, melaluinya eksistensi manusia secara general dan eksistensi otentik secara partikular diwahyukan. Untuk itu ia memulai teksnya dengan memaklumatkan konsep tentang asal-usul (arche). Bagi Heidegger, asal-usul (arche) adalah sesuatu dari dan melaluinya sesuatu itu hadir seperti apa adanya, dan sebagai apa adanya. Ini berarti kita berpikir mengenai kodrat, hakekat atau esensi sesuatu. Asal-usul juga adalah sesuatu yang memerintah dan mengatur seluruh sejarah Sein, karena itu, asal-usul tidak pernah menjadi masa lalu. Dari situ, kita bisa melihat bahwa eskatologi setiap karya seni, terutama puisi adalah membiarkan kebenaran menyingkapkan dirinya.
Oleh karena itu, lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa pada Heidegger, hakekat atau esensi itu tidak memiliki hubungannya dengan eksistensi, atau aktus keberadaan suatu barang tertentu. Ia melihatnya dalam hubungan dengan sesuatu yang tetap terjaga dalam ketersembunyiannya. Bukan tentang kesatuan antara eksistensi dan esensi seperti dikenal dalam arus pemikiran Aristotelo-Thomistik, tetapi antara esensi dan ketersembunyian (lethe). Heidegger tidak menyibukkan dirinya dengan ‘buah mangga’ dan ke-mangga-annya, tetapi antara ke-mangga-an (esensi) dan suatu ketersembunyian dibalik esensi tersebut. Dalam konteks ini, berarti, ketika ia berbicara mengenai karya seni, pertama-tama tidak tentang karya seni sebagai sesuatu (quid) yang terkomposisi oleh materi-forma, tetapi sebagai dialektika antara kodrat sebuah karya dengan sesuatu yang tersembunyi sekaligus membuka diri melalui kodrat karya seni tersebut.
Dalam teks Der Ursprung des Kunstwerkes ini, kita akan melihat sebuah gerak penalaran yang secara gradual-dialektis bergerak dari (a) karya seni sebagai sesuatu (quid) yang terkomposisi oleh materia dan forma; lalu (b) bergerak melalui karya seni sebagai arena tegangan antara yang tampak dengan sesuatu yang menampakkan dirinya melalui karya seni, antara alam pra-maknawi (bumi) dengan alam maknawi (dunia). Karya seni sebagai shekinah (untuk menyebutnya dalam kosakata biblis), suatu takhta tempat bersemayam kebenaran dalam ketersembunyiannya. Gagasan itu membawa pada (c) kontemplasinya mengenai hubungan antara ada dan pikiran, yang mana dalam ketersembunyian bahasa proyektif dari puisi, ada dan pikiran hadir bersama dan memanifestasikan identitas sebuah bangsa.
Sehubung dengan hal tersebut, dalam membicarakan puisi, ia sampai pada keyakinan bahwa mereka yang mampu memuisikan ada adalah penjaga dan pemelihara keberlangsungan suatu bangsa. Lebih jauh karena dorongan untuk meletakkan ada secara historis, telah mendorongnya untuk menyamakan antara kebenaran seni dengan kebenaran identitas politis, terutama identitasnya sebagai orang Jerman. Bahkan dalam catatan hariannya ia menegaskan bahwa hanya orang Jerman saja yang mampu memuisikan ada.

Kerja: Peralatan vs Karya Seni
Heidegger memulai esainya dengan membuat tiga pembedaan penting: keberadaan barang-barang, peralatan (piranti/tools) dan karya-karya seni. Untuk memahami ini, Heidegger mengupayakan aplikasi baru terhadap pembedaan antara materia-forma warisan Aristoteles. Pada Aristoteles, materi-forma adalah unsur konstitutif suatu substansi yang menentukan substansi itu hadir sebagai ‘apa’ dengan ‘keapaannya’ yang khas. Konsep itu dimengerti dalam arti analog sehingga dapat diterapkan pada semua kenyataan yang ada. Heidegger mereformulasi ulang dengan menyatakan bahwa materi dan forma merupakan unsur-unsur pembatas bagi sesuatu yang dihubungkan dengan peralatan yang dipakai oleh manusia. Dengan membatasi pemikiran mengenai materi dan forma hanya pada barang-barang yang dihasilkan melalui sentuhan tangan manusia, Heidegger mencoba membedakan antara sesuatu yang secara alamiah hadir dan peralatan di satu pihak dan karya-karya seni di pihak lain.
Menurut Heidegger, peralatan sebagai instrument yang menghubungkan kita dengan dunia, ditentukan oleh penggunaannya di antara barang apa saja dan pekerjaan kita. Peralatan dilihat dari fungsinya. Seperti barang-barang lain, peralatan penuh dalam dirinya ketika selesai digunakan dan bisa dipikirkan terlepas dari fungsinya dalam kerja. Tetapi berbeda dengan objek alamiah, peralatan hanya berarti ketika ia digunakan oleh manusia. Eksistensi peralatan hadir ketika ia digunakan. Peralatan berbeda dengan karya seseorang, dan karya itu sendiri mengatasi barang apa saja sejauh karya itu self-sufficient. Jadi peralatan menjadi sekadar barang bila ia tidak lagi digunakan, tetapi ia berbeda dari sekadar barang alamiah yang berada begitu saja karena telah ditentukan penggunaanya.
Dengan mengambil contoh dari lukisan Van Gogh mengenai sepasang sepatu petani, pembedaan tersebut mengingatkan kita pada perbedaan yang dibuat oleh Heidegger mengenai sesuatu yang siap untuk di-tangan-i (Zuhandenheit) dan sesuatu yang tersedia atau hadir di hadapan kita (Vorhandenheit) dalam Being and Time. Peralatan termasuk pada kelompok barang-barang yang siap kita pergunakan yang mendukung keberadaan eksistensi kita dalam dunia, sedangkan barang-barang alamiah adalah benda-benda yang ada, yang teronggok begitu saja di hadapan kita.
Tentang “ke-apa-an” setiap barang, Heidegger membuat tiga pembedaan penting. Pertama, sebagai substansi lewatnya sifat-sifat bawaan atau aksiden ‘sesuatu’ (quid) menjadi nampak. Ini mengingatkan pada perbedaan antara substansi dan aksidens Aristotelian. Kedua, sebagai kesatuan dari beragam sensasi yang dapat ditangkap oleh indra-indra kita. Dan yang terakhir sebagai fusi antara materi-forma. Yang pertama dapat dipakai pada semua yang ada sejauh ada, walau pun tidak dapat menghadirkan “Sein” secara mutlak. Yang kedua, sering dimengerti dalam beberapa arti. Yang lain memahami kesatuan itu sebagai penjumlahan, yang lain memahaminya sebagai totalitas (Hegel), dan yang lainnya memahaminya sebagai forma (Aristoteles). Dan yang terakhir, sesuatu ada selalu berada dalam ketertentuannya atau keunikannya.
Heidegger kemudian, dalam hubungannya dengan ketiga bentuk pembedaan di atas, menyatakan bahwa ketiganya menentukan cara kita memikirkan sesuatu menurut apa yang kita pikir. Ini tidak terbatas pada hal-hal partikular, melainkan secara universal mengenai semua yang ada. Cara tersebut adalah suatu modus melaluinya kita menghubungkan secara langsung pengalaman (Erfahren) kita dengan semua yang ada. Dalam hubungannya dengan karya (Werk), Heidegger menunjukkan pembedaan penting. Bahwa dengan bantuan peralatan sebagai instrument di tangan, kita dapat menghasilkan sebuah karya sekaligus memberi kita akses kepada dunia. Sebagai contoh adalah lukisan Van Gogh tentang sepasang sepatu petani. Di sini, sepatu yang ada dalam lukisan berbeda dengan sepatu sebagai barang yang objektif hadir di hadapan kita. Sekalipun demikian, sepasang sepatu yang terdapat dalam lukisan itu membantu kita untuk mengetahui apa kehidupan sang petani dengan segala kesukaran, kecemasan dan keterlibatannya. Jadi peralatan, selalu ditempatkan dalam hubungan dengan fungsinya untuk mengakses dunia.
Heidegger lalu melanjutkan bahwa lukisan Van Gogh mengungkapkan kepada kita apa itu peralatan seperti sepasang sepatu sebagai sesuatu yang benar. Melalui sebuah karya, esensi sebuah barang diketahui sebagai apa dan bagaimana penggunaannya. Itulah yang disebut sebagai kebenaran. Ia benar, karena mengungkapkan dirinya (aletheia) dalam hubungan dengan fungsinya. Maka dalam karya seni, kebenaran mengenai seiend (barang apa saja yang ada) menampakkan dirinya. Menampakkan (set) berarti “membawa pada posisinya” atau “hadir dalam keadaan” atau “menyembul keluar”. Dalam sebuah karya seni, suatu ada apa saja (seined/ens) menampakkan dirinya ke dalam terang keberadaannya. Keberadaan suatu ada datang ke dalam keadaanya yang sejelasnya. Dan itulah kebenaran. Artinya, suatu karya seni menjadikan kebenaran masuk ke dalam peristiwa historis yang konkret. Inilah maksudnya ketika ia menulis bahwa karya seni mengungkapkan kebenaran.
Di sini, menjadi jelas bahwa ada perbedaan posisi antara Heidegger dengan Hegel terkait pemaknaan atas kebenaran dalam kaitannya dengan seni. Hegel melihat kebenaran mengenai seni telah berakhir ketika subjek sampai pada kepastian absolut mengenai diri (Self). Heidegger sebaliknya, membedakan antara kebenaran sebagai yang tak tertutup atau yang mengungkapkan dirinya (aletheia), sebagai ketersingkapan dengan kebenaran sebagai kepastian absolut mengenai diri, antara sejarah sebagai kedatangan kesadaran Absolut dan sejarah Sein. Yang menjadi masalah adalah bahwa pada umumnya sebuah karya seni tidak dihubungkan dengan kebenaran tetapi dengan keindahan. Lukisan misalnya, disebut sebagai sesuatu yang menghadirkan keindahan dan bukan kebenaran.
Untuk mengatasi ini, bersama Heidegger kita harus berpaling pada permulaan sejarah Barat yang dimulai di dunia Yunani. Di sana, Sein (Esse) dimengerti sebagai benar dalam arti sesuatu yang secara aktual/konkret ada dan dapat diindrai seperti sebuah lukisan, sebuah baju, sepotong kain.  Aktualitas (Wirklicheit) adalah kata yang dipakai untuk menyebut tentang yang benar. Selain itu, menurut Hegel pada masyarakat Yunani, seindes (ens) merupakan hasil karya “Roh”. Maka bagi Hegel, masyarakat Yunani hidup dalam suatu dunia artistik, sehingga mereka memahami barang-barang yang berada (ens in actu) dalam term karya seni. Begitu pula aktualitas itu dimengerti dalam term-term seperti phusis, kodrat, kelangsungan, sensasi (gambaran yang dapat ditangkap oleh indra-indra kita). Dengan begini, bagi Hegel, dunia Yunani adalah dunia yang dilimpahi dengan keindahan tetapi kurang memberi perhatian pada kebenaran. Dalam dunia Yunani, keindahan menjadi tudung/penutup yang menyembunyikan kebenaran.
Dari penelusuran ini, Heidegger lalu menyatakan bahwa di Barat, historisitas seni berkorespondensi dengan historisitas kebenaran. Heidegger menulis, “the beautiful belongs to the advent of truth”, keindahan selalu merengkuh kedatangan kebenaran (Ereignis). Itulah sebabnya ia menyatakan bahwa bila ada peralihan pemahaman mengenai esensi seni, dengan sendirinya pemahaman mengenai esensi kebenaran pasti berubah. Lewat adanya (seined), karya seni selalu menampakkan aktus beradanya (Sein) barang-barang (das Sein des seiendes). Penampakan sebagai ketaktersembunyian merujuk pada kebenaran setiap ada (ens) yang hadir lewat setiap karya. Melalui karya seni, ada itu sendiri (Being itself) menempatkan dirinya dalam karya. Seni adalah sesuatu yang menyediakan dirinya bagi aktus beradanya kebenaran.

Karya Seni: Topos Kebenaran
Dalam bagian ini, untuk menjelaskan hubungan antara karya seni dan kebenaran, Heidegger berpaling ke dunia antik Yunani. Dengan mengambil contoh dari reruntuhan kuil-kuil Yunani, drama-drama Yunani dan pertandingan Olimpic, ia membentangkan cara melaluinya kebenaran sebagai aletheia menjadi nampak dalam karya seni. Kuil, drama dan pertandingan di Olimpic secara implisit menunjukkan apa yang coba diupayakannya: dimensi ritual dari karya seni, sisi historisitasnya dan otoritas seni. Karya seni tidak menyangkut ketrampilan tetapi menyangkut pengungkapannya. Oleh karena itu, deskripsi Heidegger mengenai kuil secara dramatis dihubungkan dengan kemunduran dunia modern dan pudarnya aura dunia. Dalam upayanya mengeksplisitasi ketersingkapan kebenaran dalam hubungannya kuil-kuil tersebut Heidegger membedakan antara “bumi” dan “dunia”. Kuil adalah medan perseteruan, pertarungan bumi dan dunia.
Bagi Heidegger, dunia tidak sekadar tempat koleksi benda-benda yang ditempatkan di hadapan kita atau pun bingkai yang memberi kesatuan sebagai sebuah koleksi. Tetapi lebih dari itu, seni bersifat subjektif melaluinya kita sebagai subjek lahir dan mati, nasib dan takdir membawa kita ke dalam keberadaan (Sein): kita menjadi berada. Dunia, lebih dari hal-hal alamiah yang nampak dan dapat dipersepsi, ia merupakan situasi di mana kita merasa seperti berada di rumah sendiri. Heidegger menyebutnya dunia yang mendunia (Welt weltet). Dunia bersifat historis, dan memberi kemungkinan bagi seseorang mengambil keputusan berhadapan dengan beragam hal yang mungkin kita tolak atau yang belum kita ketahui. Singkatnya dunia adalah kenyataan yang terkait dengan pengalaman subjektif individu.
Meski demikian, dunia tidak seluruhnya merupakan sebuah keterbukaan. Ia memiliki dimensi yang tak dapat dicapai atau diakses secara utuh. Heidegger menyebutnya sebagai ruang yang berada di luar kita, tempat rahmat perlindungan para allah diterima atau disangkal. Dimensi keterbukaan dan ketersembunyian ini menghantar kita langsung kepada term ‘bumi.’ Bumi yang dimaksud adalah sesuatu yang menampak, menyembul keluar dan perlindungan atau naungan. Bumi itu self-dependent, tak bertenaga tapi tak mengenal kelemahan. Ia ibarat penjaga. Pada dan di atas bumi ini, dasar historisitas dunia manusia dibangun. Misalnya, di atas bumi itu berdiri kuil sebagai sebuah karya manusia. 
Ketika sebuah karya seni di tempatkan dalam konteks sebuah perayaan, kita menyebut tindakan itu sebagai “menempatkannya sesuai...” Tetapi penempatan ini berbeda dengan “menempatkan” sebuah kuil sesuai ketentuannya, yang mana di dalamnya ditempatkan berbagai atribut religius, dan menjadi tempat masyarakat merayakan satu festival kudus. Di sini, menempatkan tidak sekadar berkaitan dengan tempat, tetapi malah ditentukan oleh tujuan dan kepada siapa penempatan itu dilakukan. Ini disebut sebagai dedikasi, dan dedikasi selalu berkaitan dengan tindakan mengkhususkan, dan mengkhususkan selalu berarti “mengkonsekrasikan”. Artinya menguduskan bagi pihak lain yang lebih tinggi. Ini nanti kemudian dihubungkan dengan tindakan berdoa yang mengandung di dalamnya penghormatan kepada martabat dan kebenaran Allah. Bumi tidak sekadar bumi saja tetapi menjadi bumi yang kudus, tempat sakral, tempat yang dikhususkan. Dengan tindakan mengkhususkan, alam pra-maknawi diangkat ke taraf maknawi.
Bagi Heidegger, sebuah karya yang ditempatkan memiliki maknanya juga sebagai “membangun sebuah dunia”. Sebuah karya yang ditempatkan di bumi membuka sebuah dunia dan memertahankan keberadaannya. Maka dunia dan bumi harus dipikirkan secara bersamaan. Membangun sebuah dunia berarti memelihara bumi dan ini memerlihatkan dua ciri khas dari esensi sebuah karya. Dunia dibangun di atas bumi dan bumi menampakkan dirinya lewat dunia. Walau tak terpisahkan, hubungan antara keduannya tidak pernah merupakan hubungan yang kosong, melainkan diwarnai pertentangan, pertarungan, perjuangan. Pertentangan atau pertarungan ini tidak dimengerti sebagai sebentuk pembubaran semua kesatuan yang dapat dirangkum oleh Sein atau di dalam karya seni, tetapi dipahami sebagai paduan terdalam (inner cohesion) dari elemen-elemen yang saling bertegangan. Prinsip kohesif yang memadukan adalah logos.
Heidegger memakai kata seperti fight, struggle, strife untuk menunjukkan dimensi pertentangan antara dunia dan bumi, suatu tegangan kreatif. Oposisi antara dunia dan bumi, pertama-tama merupakan oposisi antara keterbukaan-itu-sendiri dengan sesuatu yang tersembunyi di dalam keterbukaan tersebut. Di sini, karya seni menjadi medan/arena pertarungan (ketegangan kreatif) itu, dan kuil menjadi contoh yang gamblang mengenai keterbukaan dan sesuatu yang tersembunyi di dalam keterbukaan tersebut. Kuil itu berdiri di luar bumi yang merupakan pelindungnya, sekaligus membuka pengetahuan kita tentang sebuah dunia. Ia memerlihatkan bagi kita dunia Yunani, budaya mereka, dan siapa allah mereka. Jadi esensi sebuah karya terletak dalam ketegangan kreatif antara dunia dan bumi dan menjadi tanda bagi sebuah dunia yang tertentu. Esensi sebuah karya seni nampak dalam setiap pertarungan. Dalam pertarungan itulah kebenaran menampakkan dirinya. Karya seni adalah topos dari kebenaran.
Bumi dikenal lewat dunia, dan dunia menempatkan dasarnya di atas bumi hanya sejauh kebenaran menyingkapkan diri lewat pertarungan antara keterbukaan dan ketersembunyian. Artinya, lewat karya seni, bumi dibiarkan menjadi bumi lewat dunia yang terbangun di atas bumi. Jalan, lewatnya kebenaran menampakkan diri adalah esensi sebuah karya manusia yang mengandung keterbukaan sekaligus ketersembunyian. Membangun sebuah dunia dan memelihara bumi, yakni lewat karya sebagai pusat pertarungan, melaluinya ada yang menampakkan dirinya sebagai sebuah keseluruhan atau kebenaran menjadi hadir secara utuh. Kebenaran menampakkan diri lewat sebuah kuil yang berdiri di sana yang membuat bumi menjadi ‘sakral’, tempat yang kudus (Bezirk). Ini tidak berarti sesuatu secara benar digambarkan atau dibangun pada suatu tempat, tetapi bahwa sesuatu sebagai sebuah keseluruhan dibawa masuk ke dalam sebuah keterbukaan/ketersingkapan dan berada di sana. Ia menampakkan yang tak terlihat namun memberi nuansa kesatuan ekstasis.
Lewat sebuah karya seni, penampakan diri ada menjadi jelas atau terang di hadapan kita. Jenis cahaya ini menempatkan kecerlangannya dalam sebuah karya, sebuah kebenaran yang bercitra/berpamor (veritatis splendor). Terang yang ditempatkan ke dalam sebuah karya itu adalah keindahan. Maka keindahan menjadi jalan lewatnya kebenaran sebagai ketersingkapan dibawa ke dalam kehadiran. Esensi sebuah kebenaran menjadi jelas, terbuka lewat karya seni sekaligus esensi tersebut mengandung kebenaran. Hal ini mengafirmasi gagasan awal yang mendefinisikan hakekat sebuah produk dalam relasinya dengan esensi kebenaran sebagai ketersingkapan ada.

Revelasi Sein melalui Bahasa
Seni adalah fundasi karya seni dan seniman. Fundasi itu sekaligus menjadi sumber atau asal (Ursprung als Anfang) bagi esensi lewatnya ada (Sein) yang mau dihadirkan menjadi ada (seiend) secara aktual. Aktualitas sebuah karya hadir lewat objek karya yang dihasilkan sebagaiperistiwa kebenaran’ (Wahrheitsgeschehen). Dan menyebut peristiwa berarti kita memikirkannya dalam hubungan pertentangan antara dunia dan bumi yang terjadi pada dan lewat karya seni. Dalam karya seni terkandung apa yang kita sebut sebagai “posisi” atau “pendirian.” Lebih jauh lagi, esensi kebenaran menyata lewat tindakan politis yang bisa kita temukan dalam pendirian sebuah negara.
Oleh karena itu, Heidegger menghubungkan esensi kebenaran yang nampak dalam sebuah karya seni dengan pemeliharaan (die Bewahrung). Memelihara sebuah karya seni berarti ‘masuk dalam’ sebuah penyingkapan Sein lewat esensi karya seni. Yang dimaksud dengan “masuk dalam” merujuk pada sebentuk pengetahuan yang melibatkan diri dalam karya-karya tersebut. Bentuk pengetahuan ini menuntut juga kehendak dari subjek yang terlibat. Pengetahuan mengandaikan kehendak, dan kehendak mengandaikan pengetahuan dari Dasein yang mengangkatnya dirinya ke dalam kesadaran akan Sein yang menyingkapkan adanya dalam pengalaman harian, yang sering tak disadari. Sikap ini hadir lewat keputusan yang ia sebut sebagai Entschlossenheit (ketekadan). Entschlossenheit tidak sebatas tindakan subjek melainkan keterbukaan Dasein yang keluar dari kungkungan inotentisitas adanya, dan membuka dirinya kepada Sein.
Dalam hubungan dengan otentisitas Dasein dalam keterlemparannya sebagai sebuah upaya pemeliharaan diri, Heidegger lalu membaca karya seni dalam garis pemikiran tersebut. Pemeliharaan terhadap karya seni tidak berarti mereduksi seseorang hanya pada pengalaman privat mereka, tetapi membawa mereka ke dalam suatu hubungan mendalam dengan esensi kebenaran dalam karya-karya seni. Lewat tindak pemeliharaan terhadap warisan kultural misalnya, subjek menemukan dirinya dalam hubungan dengan orang lain (Mit-ein-ander-sein) yang menjadi dasar historis eksistensi manusia (Dasein), yang selalu mengalir keluar dari relasi dirinya dengan yang lain sebagai penyingkapan. Maka, dalam terang keberadaan suatu karya seni, sang pemelihara sekaligus menjadi pencipta, dan karena itu pula karya seni secara mutlak, dalam esensinya, membutuhkan pemelihara.
Dalam karya seni, esensi kebenaran nampak padanya, sekaligus menjadi cara berada dari karya seni. Jika kodrat esensial seni dalam perkembangannya secara spesifik hadir sebagai menempatkan-diri-dalam-kebenaran, maka menempatkan diri dalam karya berarti membawa adanya karya tersebut ke dalam tindakan dan peristiwa. Peristiwa itu tidak lain adalah pemeliharaan. Dengan demikian, seni adalah suatu proses ke arah menjadi dan peristiwa kebenaran. Penyingkapan terjadi dan kecerlangan dari setiap ada menyingkap, meskipun ketersingkapan yang datang itu lebih sebagai “proyeksi” ke masa depan dalam faktisitas “keterlemparan”.
Kebenaran sebagai ketersingkapan sekaligus ketersembunyian, menyata melalui puitisasi ada. Seni dimaknai sebagai membiarkan tersingkapnya ketersembunyian itu sendiri melalui puisi. Puisi bagi Heidegger yang didasarkan pada bahasa, dalam dirinya harus dimengerti tidak sekadar sebuah tindakan komunikasi. Sebaliknya bahasa dan puisi dikonstruksi oleh Heidegger sebagai dasar bagi seluruh karya seni seperti arsitektur, lukisan, kriya, dan musik, dan lain-lain. Semua karya seni harus menemukan kembali asal-muasalnya dalam puisi dan bahasa. Lewat bahasa, yakni penamaan, sesuatu yang ada menjadi jelas kehadirannya. Maka penamaan atau penyebutan merupakan penyingkapan diri agar menjadi jelas bagi pihak lain. Sesuatu yang dinyatakan melalui bahasa hadir ke dalam realitas sebagai sesuatu (“as”). Kita sampai kepada sesuatu itu sendiri yakni Sein yang menyatakan dirinya ‘melalui’ (medium quo) bahasa, dan bukan sampai kepada bahasa yang membahasakan sesuatu.
Mengenai penamaan tersebut, menarik kalau dibandingkan dengan pemikiran Walter Benjamin tentang bahasa. Menurutnya, bahasa sebenarnya bukan hak istimewa manusia, melainkan satu momen yang melekat pada segala sesuatu, sebagaimana ditunjukan dalam percakapan sehari-hari. Sehari-hari kita berbicara tentang bahasa musik, bahasa teknik, bahasa tubuh dan sebagainya. Dalam penggunaan seperti itu, bahasa adalah prinsip yang mengatur penyampaian makna-makna ideal dari sesuatu. Bahasa menyampaikan makna, namun bahasa bukanlah makna itu sendiri. Itu berarti, bahwa melalui bahasa sebagai pengungkapan kita tidak sampai ke sesuatu itu sendiri (realitas kelihatan), yang mengungkapkan dirinya melalui bahasa, melainkan kita sampai kepada sesuatu, yang mengungkapkan dirinya di dalam bahasa. Dalam ungkapan yang sama berarti, melalui karya seni sebagai ikon, kita tidak sampai ke sesuatu itu yakni karya seni tertentu yang hadir di hadapan kita, tetapi kita dihantar melampaui yang hadir untuk sampai kepada sesuatu yang mengungkapkan sebagian dirinya di dalam karya tersebut.
Bahasa menunjukkan dimensi proyektif dari upaya menyingkapkan Sein. Rancang-bangun (Entwerfen) adalah modus operasional keterlemparan ada (Wurf) sebagai penyingkapan yang membawa dirinya sendiri ke dalam adanya (ex-sistere), sesuatu yang telah tetapi belum vice versa. Maka “menyatakan” diri sekaligus berarti “membuang” hal-hal yang tidak perlu, yang membuat ada menjadi sesuatu yang tidak autentik. “Menyatakan” berarti sekaligus mengkonstitusi “membuang”. Penyebutan atas sesuatu selalu meniadakan ‘yang lain’ yang tidak termasuk dalam penyebutan tersebut. Gagasan ini mengingatkan akan pandangan Hegel mengenai negativitas internal.
Heidegger membangun pandangannya tentang seni dengan konsepsi tentang puisi sebagai “perkataan proyektif” (entwerfende Sagen). Puisi menjadi sarana yang paling memadai dalam membahasakan dunia maknawi dan alam pra-maknawi, membahasakan medan pertarungan dan tempat dari semua ‘kedekatan’ sekaligus ‘keberjarakan’ (Nähe und Ferne) dengan Sang Ada. Puisi adalah cara pembahasaan kita atas upaya untuk terus-menerus memberi akses lewatnya sang ada merevelasikan diri. Lewat puisi, sebuah dunia historis menghadirkan dirinya di hadapan masyarakat (einem Volk). Di sini, pemikir maupun penyair hanya memproyeksikan apa yang diproyeksikan kepada mereka. Proyeksi dalam dirinya mesti menjadi sesuatu yang diproyeksikan, yakni Ada (Seyn). Maka proyeksi tidak lain suatu peristiwa apropriasi (Ereignes). Kata-kata proyektif mengungkap sekaligus tidak mengungkap, menyingkap sekaligus menyembunyikan. Dalam bahasa-bahasa proyektif tersebut, konsep mengenai esensi dari historisitas masyarakat, termasuk juga sejarah dunia dibentangkan kepada setiap orang. Pada titik ini, kita melihat bahwa Heidegger sudah bergerak dari subjek individual (Dasein) kepada subjek kolektif (das Volk/ Volksein).
Dalam pengertian ini bahasa adalah puisi, sebab ada disingkapkan sebagai ada hanya melalui penciptaan (poesis=techne=art). Puisi dalam bentuknya yang paling awal adalah penciptaan itu sendiri. Bahasa bukan puisi karena ia adalah ciptaan awal (ur-poesy), sebab poesy hanya bisa ditangkap lewat bahasa, dan dalam bahasalah terungkap secara jelas asal-muasal puisi. Dan bila seni adalah penyingkapan Sein, lewat karya, berarti karya itu adalah puisi. Puisi sebagai seni, yang nampak sebagai sebuah karya seni menjadi medan penyingkapan Sein. Dalam karyanya yang lain, ia menulis bahwa bahasa adalah suatu wilayah yang sangat murni dari segala bentuk penguasaan, tetapi pada moment tertentu ketika ia dikuasai oleh seseorang, bahasa menjadi wilayah yang berbahaya dari segala bahaya. Bahasa menjadi sesuatu yang berbahaya karena ia menghadirkan Sein ke dalam keberadaannya. Ini berarti, dengan menguasai bahasa, seseorang menjadi author yang memiliki autoritas untuk menyatakan dan mengarahkan jalannya sejarah.
Seturut itu, Heidegger menyatakan bahwa esensi seni adalah bahasa, dan esensi puisi adalah keberadaan, penyingkapan Sein. Di sini, keberadaan mengandung tiga makna yang saling berelasi. Pertama, sebagai pemberian. Keterlemparan Dasein sebagai sebuah historisitas adalah sebuah pemberian. Kedua, sebagai dasar. Ini berkaitan dengan pengangkatan diri atau transendensi Dasein yang mengatasi waktu, seolah-olah berdiri di luar waktu. Dan yang terakhir, sebagai awal atau titik awal, pijakan awal bagi Dasein dalam memproyeksikan masa depannya, pijakan awal bagi pengejaran cita-cita Dasein. Keberadaan itu secara actual hadir dalam pemeliharaan, maka setiap bentuk keberadaan selalu berkorespondensi dengan bentuk pemeliharaan tertentu atas manusia, yang melahirkan tataan-tataan politis tertentu.
Yang pertama, puisi dalam dirinya berarti menjadikan-hadir ada dan menetap sebagai sesuatu melaluinya kebenaran sebagai penyingkapan diinstitusikan ke dalam sebuah tatanan yang ada. Menempatkan-ke-dalam-karya selalu memberi dorongan untuk bergerak ke arah sesuatu yang berada di luar kebiasaan dan menghancurkan apa yang tertata. Di situ, kebenaran yang menyingkapkan dirinya dalam sebuah karya seni tidak dapat dibuktikan atau diambil dari sesuatu yang telah lewat. Sesuatu yang telah lewat disangkal melalui sebuah karya seni. Dengan demikian, sebuah keberadaan memiliki karakter sebagai sesuatu yang mengalir keluar, sebagai sebuah pemberian yang tidak kembali.
Yang kedua, proyeksi puitis mengenai kebenaran ditempatkan dalam sebuah karya seni. Di sini, kebenaran diserahkan kepada si pemelihara, yakni dalam historisitas kemanusiaannya. Proyeksi atas puitisasi kebenaran menampakkan keterbukaan melaluinya, Dasein yang menyejarah, selalu berada dalam tarikan masa depan (Geworfenheit). Keterarahan yang menyejarah berlangsung dalam suatu situasi konkret tertentu, bersifat spasio-temporal namun abadi, terus berlangsung. Keterarahan ini berlangsung di atas bumi, yang bagi suatu masyarakat historis tertentu, menjadi buminya, yakni arena penyingkapan diri, yang dimiliki bersama sesuatu yang selalu menyembunyikan dirinya sekaligus selalu ada. Juga merupakan dunia yang berlaku berdasarkan hubungan Dasein menuju ketersingkapan Sein. Inilah alasannya, segala sesuatu yang melaluinya manusia diberkahi, harus dalam proyeksi tersebut, ditata dari dasarnya yang tertutup dan diekspresikan, disembulkan keluar ke atas menjadi sikap dasar yang kelihatan. Dalam hal ini fundasi (dasar) adalah pijakan atau keberadaan pertama yang menghasilkan keterarahan tersebut.
Yang ketiga, pemberian dan fundasi memiliki dalam diri mereka karakter ‘kemendadakan’ atau ‘ketak-terdugaan’ yang oleh Heidegger disebut sebagai awal atau permulaan. Permulaan/awal yang murni itu merupakan sebuah “Ursprung”, sebuah lompatan asali. Lompatan itu sendiri bersifat primordial namun bukan primitif, karena secara fundamental diarahkan langsung ke masa depan. Namun apa yang diarahkan langsung ke masa depan tidak mengindikasikan bahwa terdapat masa lalu. Bagi Heidegger, permulaan ini tidak pernah menjadi masa lalu, ia selalu hadir sebagai “saat ini”, “hari ini”, karena ia menguasai dan mengarahkan seluruh sejarah ada. Asal-mula sebuah karya seni adalah permulaan bagi pencipta dan pemelihara. Maka seni bisa kita sebut sebagai penghadiran dimensi historis Dasein atau sebuah masyarakat. Historis tidak merujuk kepada pengertian tentang kesinambungan (duree), rangkaian waktu; tetapi tentang hubungan antara kesadaran dan ada. Seni dalam esensinya adalah sebuah permulaan (Ursprung): sebuah jalan khusus lewatnya kebenaran hadir ke dalam kekonkretan secara spasio-temporal, dan karena itu ia menyejarah, menghubungkan antara kesadaran tentang identitas dan keberadaan dengan identitas tertentu.
Seni adalah upaya menampakkan kebenaran. Sebagai sebuah upaya dari Dasein, ia memiliki historisitasnya. Seni adalah sejarah dalam artinya yang sangat mendasar, sebab ia menjadi basis, awal mula sejarah dan identitas Dasein. Dan menurutnya, hal tersebut nampak secara paling otentik dalam puisi. Lewat puisi, Sein menyingkapkan, merevelasikan dirinya. Hemat saya puisi sebagai karya seni dalam Heidegger adalah wajah tampak dari Sein yang tak tampak wajah. Heidegger dalam bukunya yang lain menegaskan bahwa kita mengalami revelasi Sein secara paling otentik tidak melalui ilmu pengetahuan yang membedah, memecah-mecah kenyataan tetapi “melalui filsafat primordial, sebagaimana melalui puisi-puisi agung dan proyeksi-proyeksi maknanya. Puisi memungkinan keberadaan sesuatu menjadi lebih berarti.”
Pertanyaan yang mencuat adalah gejala apa yang menentukan dalam sebuah puisi sehingga oleh Heidegger dinyatakan bahwa puisi membuat ada menjadi sungguh ada dalam keotentikannya? Tak dapat disangkal bahwa gejala yang mencuat adalah pengolahan bahasa. Puisi adalah olahan bahasa, bahasa yang membahasakan dirinya, bahasa yang dialami sebagai bahasa. Bahasa sebagai suatu wilayah yang sangat murni dari segala bentuk penguasaan dan sebagai rumah manusia adalah sesuatu yang berbahaya. Ia berbahaya sebab dengan menguasai bahasa, seseorang dapat mengarahkan peristiwa kebenaran agar melayani kepentingannya. Bahasa mengarahkan proyeksi yang diartikulasi oleh Dasein sesuai impiannya. Dalam The Thinker as Poet, ia menulis bahwa:
Saat kuncup awal cahaya pagi, dalam sunyi
merayapi bubungan bebukit
kegelapan dunia tak pernah
meraih cahaya sang Ada

(namun) kita terlalu larut bagi dewa-dewa, juga
terlalu pagi untuk Ada. Ada sang puisi
baru saja menyingkap, ialah manusia.

Bahasa berbahaya sebab ia bukan lagi tempat pemeliharaan tradisi sebagaimana ditegaskan kemudian oleh Gadamer, sebaliknya menjadi tempat pengerasan dan pembekuan ideologi penguasa sebagaimana dinyatakan oleh Foucault. Seni, dengan demikian menjadi pengindah penampilan yang menyembunyikan naluri penghancuran sekaligus menggelapkan (verdunkelt) kebenaran. Seni menjadi medium melaluinya setiap kekuasaan yang berjuang bagi dirinya mereproduksi kebohongan dan menghancurkan kebenaran.

4.        Reduksifasi Seni: Topeng dan Propaganda Politik
Seni, seperti bahasa bagi Heidegger, bukanlah sebuah jalan yang bersifat provisional. Seni adalah jalan penegasan partikularitas identitas. Dalam karya seni, terutama melalui puisi, identitas itu dijaga dan dipelihara. Heidegger menulis dalam Being and Time bahwa “makna ada dari Dasein bukanlah sesuatu yang lain, yang terlepas dari dan di luar dari Sein, melainkan adalah Dasein yang memahami diri sendiri.” Ini berarti, Sein tersingkap tampil, memerlihatkan dirinya pada setiap momen keberwaktuan, kala manusia memahami dirinya dan memahami ke mana dirinya akan terarah. Dengan demikian penelaahan atas eksistensi-eksistensi melaluinya manusia sebagai Dasein keluar (ek-sistensi) adalah upaya menangkap kehadiran Sein secara penuh.
Heidegger dalam Der Ursprung des Kunstwerkes, berhasil membawa kita menelusuri, menyisir jejak-jejak kemungkinan Sein menampilkan diri dalam fenomen-fenomen karya seni, lewatnya manusia sebagai Dasein terlibat di dalamnya. Dalam karya seni, kebenaran sebagai penyingkapan menjadi nampak lewat tegangan kreatif antara dimensi keduniawian dan dimensi kealamiahan kenyataan. Di sini, dunia mewakili fenomena khas manusia dan bumi mewakili kenyataan alamiah. Dan dari tegangan kreatif ini mengemuka sebuah tema penting lain yakni penegasan diri. Dalam ungkapan Gadamer berarti ada gerak antara “tinggal-di-dalam-diri-sendiri” (In-sich-stehen) dan membuka-cakrawala-dunia. Dinamika ini bersifat kreatif sehingga terciptalah suatu “dunia baru” atau cakrawala baru dan bukan sebuah “bumi” yang tumbuh belaka. Seturut itu, dunia kehidupan tampak di situ, mengejawantahkan kehidupan justru karena ia tinggal-dalam-dirinya-sendiri di atas “hakekat bumi.”
Lewat seni sebagai bentuk penegasan diri, kita dibimbing untuk menyelami diri dan mengenal diri, menyingkapkan diri dan mengarahkan diri agar menjadi otentik dan memuncak lewat puitisasi ada. Bagi Heidegger, puisi tidak bertaut dengan investigasi literatur tetapi sebagai situs lewatnya historisitas dan takdir Dasein yang dikonfigurasi, dan kemudian menghadirkan dirinya sendiri. Lewat puisi, Dasein menjadi ‘gembala’ Ada. Situs (tempat) dalam dirinya mewahyukan dimensi vertikal dan horizontal yakni dimensi metafisis sekaligus politis Dasein. Maka, subjek yang dibicarakan dalam elaborasi atas puisi-puisinya bukan hanya ‘aku’ individu, juga ‘kita’ yakni historisitas Dasein yang supraindividual, yang tidak lain adalah Jerman sebagai kesatuan dari keseluruhan yang ditegaskan. Sehubung dengan hal ini, dalam bukunya yang lain, ia malah menegaskan bahwa “hanya seorang Jermanlah yang mampu memuisikan Sein secara baru.”
Puisi merupakan medium penyingkapan sekaligus penyembunyian ada (Sein), puisi merangkum keseluruhan kediaman manusia ke dalam kodratnya yang otentik, sebagai ada yang hadir. Penyingkapan dan penyembunyian itu memerlihatkan bahwa puisi sebagai karya seni bersifat historis. Historis sebab puisi terkait dengan pengalaman-pengalaman eksistensial yang tidak mudah diungkapkan dalam konsep-konsep yang jelas dan terpilah. Historisitas (Geschichtlichkeit) Dasein yang hadir, ada-di-dalam-dunia selalu merupakan ada-bersama-yang-lain, yang sebagai peristiwa dideterminasi oleh takdir (Geschick) bersama. Gamblanglah kalau bagi Heidegger, historisitas (Geschichtlichkeit) terhubung erat dengan usaha mengejar takdir (Geschick) dalam semangat kebebasan untuk menyerahkan diri kepada kematian. Takdir diri mesti ditegaskan dan direalisasikan lewat historisitas Dasein yang terlibat, antara lain terlibat membangun takdir bangsa. Pemeliharaan bangsa berarti juga pemeliharaan atas takdir Dasein, yaitu identitasnya, dan yang berarti penegasan atas dirinya. Dengan demikian, Der Ursprung des Kunstwerkes tidak lain sebuah pernyataan terbuka mengenai dimensi politis dan identitas politik Dasein lewat karya seni. Jika ia menyatakan bahwa kebenaran menubuh dalam karya, maka bisa dikatakan bahwa kebenaran identitas dinyatakan secara paling tegas melalui setiap karya. Dengan kata lain, kebenaran identitas ditempa dan diinstitusionalkan melalui karya seni.
Tema-tema seperti muasal, penegasan diri, pertarungan, penyingkapan Sein, das Volk, negara ibarat tenunan benang yang membentuk motif politis teks tersebut. Dalam ungkapan Lacoue-Labarthe, berarti teks tersebut membentangkan ke hadapan setiap pembaca sebuah mitos asali yang ‘menghasut’ pembaca untuk mengidentifikasi identitas politisnya dengan mitos tersebut. Mitos dalam pengertian sebagai “kekuatan atau kekuasaan” [puissance] yakni kesatuan antara kekuatan fundamental dan orientasi individu atau masyarakat, sebuah kekuasaan dari dalam, bersifat konkret dan menubuh menjadi identitas. Puissance ini dimaknai sebagai impian, sebagai proyeksi tentang suatu gambaran politis masa depan, dengannya seseorang diidentifikasi melalui sebuah komitmen yang total dan langsung. Ia mengandung model mengenai kemilau identitas dan karena itu harus direalisasikan lewat politik sebagai jalannya.
Bahwa teks ini ditulis setelah periode “arus balik” (Kehre), tidak berarti terlepas dari impian Heidegger sebelumnya mengenai bangkitnya identitas Jerman yang terpuruk setelah kalah total dalam perang dunia pertama maupun kedua. Maka, yang perlu diwaspadai dari teks ini, adalah kemungkinan mengembalikan pemaknaan Sein, dengan mengobjektivasinya sebagai Dasein, yakni menafsirkan Dasein sebagai Sein sekaligus mereduksi Sein hanya pada kelompok tertentu atau subjek tertentu. Inilah sebentuk romantisisme politik fiksional, di mana Dasein dipandang sebagai pencipta dan pemelihara, dan secara politis menjadi alasan pembenaran kekuasaan, lewatnya penguasa merasa dirinya sebagai penyelamat politis bagi rakyatnya. Kekuasaan adalah pertarungan untuk menegaskan diri sebagai pencipta dan pemelihara. Hal mana terjadi pada periode sebelumnya, ketika Heidegger mencoba mengartikulasi Sein ke dalam sosok pemimpin politis seperti Hitler.
Dalam konteks kontemporer, seni telah menjadi salah satu elemen utama bagi menguatnya industri hasrat yang diarahkan kepada perengkuhan kekuasaan. Apa yang disebut Heidegger bahwa seni telah dikeluarkan dari dirinya, terulang lagi dengan wajahnya yang baru. Seni menjadi otonom dari ritus-ritus, dikosongkan dari hubungannya subjek atau dengan kata lain seni menyingkirkan manusia sebagai subjek sekaligus sebagai jalan penegasian terhadap tuntutan moral yang menempatkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Seni menjadi suaka pelepasan hasrat. Oleh teknologi dan kekuasaan, keindahan dilihat dengan referensi pada subjek yakni persepsinya, aisthesis. Di sini, seni direduksi kepada estetika yang terskenariokan oleh teknologi, yang mendukung konsumsi yang berulang-ulang, yang dibangun atas dasar kepuasan imaginer dan simbolis dengan polesan artifisial sebagai karakter daya pertimbangan selera, perburuan kesenangan atau kenikmatan tanpa interese dan finalitas tanpa maksud yang jelas dengan tujuan mendukung kekuasaan tertentu. Di sini, seni yang berkaitan dengan peristiwa kebenaran menjadi peristiwa hasrat. Inilah alasannya Honneth menyatakan bahwa “seni adalah tempat utama patologi-patologi sosial.”
Bila kilau sebuah karya seni, puisi kalau menurut Heidegger, tidak lagi sebagai wilayah penampakkan kebenaran (aletheia), tetapi sebagai sebuah konstruksi hasrat dalam kultur kapitalisme, maka seni hanya akan menghantar kepada sebuah represi nonterbuka. Pengalaman subjektif menutup jalan kepada pembicaraan atas hal-hal etis, yang sering dalam tingkatan tertentu, membutuhkan evidensi universal-konkret, kendati yang universal itu tidak pernah tuntas dirumuskan. Ketika ditempatkan dalam konteks politik, seni cenderung menjadi corong lewatnya lahir banyak pelanggaran, penyimpangan dan perpecahan dalam kehidupan konkret dan melahirkan beragam disrespek. Dalam jalur ini, lewat satu dan lain cara, seni atau lebih tepatnya estetika melahirkan patologi massa yang dengan gampang disubtitusikan pada sosok tertentu demi kepentingan politik. Dengan demikian, dalam budaya massa yang bersifat “chaosmotik” setiap upaya pembebasan cenderung berbalik arah menjadi proses penundukan secara tak sadar.
Lebih dalam lagi, kita mengetahui bahwa sebuah pendirian yang cukup banyak diterima oleh pemikir kontemporer adalah menyingkirkan pembicaraan mengenai kebenaran dan menggantikannya dengan sebentuk kompromi perasaan. Rasionalitas dianggap berkaitan dengan kepentingan dominasi, penundukkan, peringkusan terhadap “yang lain” atas nama kebenaran. Rasionalitas lalu berarti keseragaman. Rorty misalnya, mengkampanyekan bahwa dalam konteks kontemporer, hanya literatur saja yang memiliki hak mutlak memikirkan kemanusiaan. Para filsuf harus di-deprofesionalisasi posisi mereka dan diidentifikasi sebagai sastrawan. Ada yang menyatakan bahwa kalau seseorang berusaha menyatakan sebuah kebenaran, ia sebenarnya sedang berusaha menundukkan orang lain di bawah kekuasaannya.
Sikap relativis atau pragmatis gaya Rortyan misalnya, pada gilirannya mengambil bentuknya dengan memberi tempat bagi semua bentuk kehidupan untuk mendapatkan aktualitasnya dalam kehidupan publik. Secara teoritis berarti, memberi tempat bagi semua bentuk perspektif yang berbeda untuk berkembang. Secara praktis berarti memberi tempat bagi setiap cara hidup yang berbeda-beda untuk tetap hidup di tengah pluralitas. Sikap ini secara ideal menjanjikan, namun dalam praktisnya, bila rasionalitas tidak digunakan lagi di hadapan keragaman, lalu apa yang akan kita gunakan bersama ketika dihadapkan dalam suatu problem masyarakat yang mengandung kontradiksi-kontradiksi internal, karena ketiadaan ukuran-ukuran etis yang diterima bersama. Bukankah kapasitas subjek untuk memeringkatkan nilai-nilai di antara beragam nilai yang dibentangkan di hadapannya, bergantung pada kemampuan refleksi yang merupakan tugas rasio diskursif?

Penutup
Heidegger merefleksikan karya seni dalam hubungannya dengan Dasein dan Sein. Sebagaimana Hegel memikirkan seni dalam hubungan dengan sistem filsafatnya, yang mana seni hanyalah momen transisi antara roh objektif dan roh absolute; hal yang sama terlihat dilakukan oleh Heidegger. Karya seni sekaligus merupakan momen dan tempat berlangsungnya kebenaran sebagai peristiwa, yakni peristiwa tersingkapnya Sein, terutama penyingkapan identitas bangsanya. Ini berarti, filsafat seni Heidegger adalah tempat Dasein terlibat dalam keseluruhan eksistensinya sebagai yang terlempar (Geworfenheit) di sana (Da) demi merengkuh otentisitas dirinya. Momen otentisitas itu hanya bermakna jika disertai dengan sikap penegasan diri Dasein.
Bagi Heidegger, karya seni sedapat mungkin menjadi suatu karya yang berkaitan dengan historisitas dan identitas Dasein. Karya seni tidak hanya sebatas sebuah objek kesenangan subjektif, yang melulu diletakkan pada subjektivitas individu sebagai referensi. Maka, di akhir teks tersebut, artikulasi karya seni tidak lagi pada historistas dan kebenaran tentang Dasein yang individual, tetapi menyangkut historisitas, pemuasalan kebenaran tentang identitas Jerman. Ia beralih dari Dasein kepada Volksein. Jadi artikulasi seni ditempatkan dalam konteks politik. Seni harus kontekstual dalam arti mampu menghantar setiap orang untuk mengalami kebenaran tentang Sein yang hadir lewat historisitas Dasein dan yang memuncak dalam identitas Volksein. Dengan begini, pada Heidegger gamblang terlibat bahwa pada tingkat tertentu kebenaran estetis mencerminkan kebenaran identitas politik.
Maka, yang perlu diwaspadai dari teks ini adalah sebentuk rormantisisme politik, penegasan identitas yang akan cenderung menolak yang tidak se-identitas dengan sang pembuat pernyataan, bahaya reduksi seni pada partikularitas identitas tertentu. Karya seni dapat menjadi bersifat propagandis. Dalam konteks kontemporer, seni sebagai objek estetis, gampang menjadi sarana akumulasi kekuatan, dengan cara merayu tanpa pihak yang dirayu atau dibujuk menyadari ke mana kekuasaan politik itu diarahkan. Dengan kata lain, karya seni menjadi sebentuk estetisasi ketidaksadaran. Bukan lagi Sein yang mewahyukan dirinya, tetapi hasrat (desire) yang memiliki Dasein; Dasein yang tidak lagi mengarahkan diri berdasarkan ketekadan, keputusan dan proyeksi, tetapi Dasein yang sepenuhnya diarahkan oleh hasrat mencaplok yang tak habis-habisnya. Gagasan Heidegger mengenai seni dapat menjadi salah satu jalan kita merefleksikan kembali apa yang seharusnya (proper) dan apa yang tidak seharusnya (improper), dalam hubungan yang tak terpisahkan dari Dasein yang memutuskan. Dalam perspektif etikopolitik, seni dalam hal ini yang estetis sedapatnya dilintasi terus-menerus.


Bibliografi

Agamben, Giorgio. Stanzas: Word and Phantasm in Western Culture. Trans. Ronald L. Martinez. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1993.
Biemel, Walter. Martin Heidegger: An Illustrated Study. Trans. J. L. Mehta. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1976.
da Silva Gusmão, Martinho G. Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang Mengagungkan Tradisi. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Faye, Emmanuel. “Nazi Foundations in Heidegger’s Work.” South Central Review, 23, No. 1 (Spring 2006) 55-66. http://www.jstor.org/stable/40039913 (acces 22.04.2014).
Ferris, David. “Politics of the Useless: The Work of Art in Benjamin and Heidegger.” Sparks Will Fly: Benjamin and Heidegger. Eds. Andrew Benjamin and Dimitris Vardoulakis. Albany, NY: SUNY Press, 2015.
Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method. Second revised edition. Trans.  Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall. London: Continuum, 2004.
Gaston, Sean. Derrida and Disinterest. London: Continuum, 2005.
Guattari, Felix. Chaosmosis: An Ethico-Aesthetic Paradigm. Trans. Paul Bains and Julian Pefanis. Bloomington: Indiana University Press, 1995.
Hammermeister, Kai. The German Aesthetic Tradition. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.
Harries, Karsten. Art Matters: A Critical Commentary on Heidegger’s “The Origin of the Work of Art”. New York: Springer, 2009.
Heidegger, Martin, Hoseki Shin’ichi Hisamatsu, et al., “Art and Thinking: Protocol of a Colloquium on May 18, 1958.” Trans. Carolyn Culbertson and Tobias Keiling. Philosophy Today, Vol 61, Iss 1 (Winter 2017): 47-51. [doi: 10.5840/philtoday2017317146].
Heidegger, Martin. “Der Ursprung des Kunstwerkes.” Holzwege. Hrsg. v. Friedrich-Wilhelm von Herrmann. Frankfurt am Main: Vittorio Klostermann, 2003 [1977].
----------------. “Five Statements of Art.” Nietzsche Vol. I-II. Trans. David Farrell Krell. New York: HarpersCollins, 1991.
----------------. “Letter on Humanism.” Pathmark. Trans. Frank A. Capuzzi. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
----------------. “On the Question of Being. Pathmarks. Trans. William McNeill. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
----------------. “Six Basic Developments in the History of Aesthetics.” Nietzsche Vol. I-II. Trans. David Farrell Krell. New York: HarpersCollins, 1991.
----------------. “The End of Philosophy and the Task of Thinking.” Basic Writings: From Being and Time (1927) to the Task of Thinking (1964). Ed. David Farrell Krell. New York: Harper Collins Publishers, 1993.
----------------. “The Thinker as Poet,” Poetry, Language, Thought. Trans. Albert Hofstadter. New York: Harper & Row, 2001.
----------------. “The Self-Assertion of the German University.” The Heidegger Controversy: A Critical Reader. Third edition. Ed. Richard Wolin.  Cambridge, MA: The MIT Press, 1998.
----------------. “The Origin of the Work of Art.” Off the Beaten Track. Trans. Julian Young and Kenneth Haynes. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.
----------------. “The Way to Language.” Martin Heidegger. Basic Writings: From Being and Time (1927) to the Task of Thinking (1964). Ed. David Farrell Krell. New York: Harper Collins Publishers, 1993.
----------------. Being and Time. Trans. John Macquarrie and Edward Robinson. Oxford: Blackwell, 1978.
----------------. Hegel. Trans. Joseph Arel and Niels Feuerhahn. Bloomington: Indiana University Press, 2015.
----------------. Hölderlin’s Hymns Germania and the Rhine. Trans. William McNeill and Julia Ireland. Bloomington: Indiana University Press, 2014.
----------------. On the Way to Language. Trans. Peter D. Hertz. New York: HarperOne, 1982.
----------------. Ponderings II-VI: Black Notebooks 1931-1938. Trans. Richard Rojcewicz. Bloomington: Indiana University Press, 2016.
----------------. Ponderings XII-XV: Black Notebooks 1939-1941. Trans. Richard Rojcewicz. Bloomington: Indiana University Press, 2017.
----------------. The Elucidations of Hölderlin’s Poetry. Trans. Keith Hoeller. New York: Humanity Books, 2000.
----------------. The Essence of Truth: On Plato Parable of the Cave and the Theaetetus. Trans. Ted Sadler. London: Continuum, 1994.
----------------. Überlegungen II-IV (Schwarze Hefte 1931-1938). Hrsg. Peter Trawny. Frankfurt a.M: Vittorio Klostermann, 2014.
----------------. Überlegungen, XII-XV (Schwarze Hefte 1939-1941). Hrsg. Peter Trawny. Frankfurt a.M: Vittorio Klostermann, 2014.
Honneth, Axel. “Decentered Autonomy: The Subject after the Fall.” The Fragmented World of the Social. Ed. Charles W. Wrigth. Albany, NY: SUNY Press, 1995.
----------------. “Philosophy in Germany.” Interviewed by Simon Critchley. Radical Philosophy 89 (May/June 1998) 27-39.
Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES, 1987.
Kleden, Paul Budi. “Melahirkan dan Membesarkan Teroris: Führer dalam Filsafat Heidegger.” Jurnal Filsafat Vox 49, No.1 (2004) 11-30.
----------------. Memasang Punggung ke Masa Depan – Menyisir Jejak Masa Lampau: Menyimak Filsafat Sejarah Walter Benjamin.” Mengabdi Kebenaran. Eds. Frans Ceunfin dan Felix Baghi. Maumere: Ledalero, 2005.
Kockelmans, Joseph J. Heidegger on Art and Art Work. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1986.
Lacoue-Labarthe, Philippe. Heidegger, Art and Politics: The Fiction of the Political. Trans. Chris Turner. Oxford: Basil Blackwell, 1990.
Long, Christopher P. “Art’s Fateful Hour: Benjamin, Heidegger, Art and Politics.” New Source German Critique, No. 83, Special Issue on Walter Benjamin, (Spring – Summer, 2001) 89-115. http://www.jstor.org/stable/827790 (acces 03.08.2015).
Magnis-Suseno, Franz. Pijar-pijar Filsafat. Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Marx, Karl. “The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.” Karl Marx – Selected Writings. Ed. David McLellan. Oxford: Oxford University Press, 2000.
Pöggeler, Otto. “Heidegger’s Political Self-understanding.” The Heidegger Controversy: A Critical Reader. Ed. Richard Wolin. Cambridge: MIT Press, 1998.
----------------. Martin Heidegger’s Path of Thinking. Trans. Daniel Magurshak and Sigmund Barber. New York: Humanities Press International Inc., 1987.
Richardson, William J. Heidegger: Through Phenomenology to Thought. Fourth edition. New York: Fordham University Press, 2003.
Taminiaux, Jacques. ‘The Origin of “The Origin of the Work of Art.”’ Reading Heidegger: Commemorations. Ed. John Sallis. Bloomington: Indiana University Press, 1993.
Wolin, Richard. The Seduction of Unreason: The Intellectual Romance with Fascism from Nietzsche to Postmodernism. New Jersey: Princeton University Press, 2004.
Zimmerman, Michael E. Heidegger’s Confrontation with Modernity: Technology, Politics and Art. Bloomington: Indiana University Press, 1990.