BUNUK:
Yohanes Victor Lasi Usbobo
Abstract:
The implementation
of todays forest management that based on formal-scientific knowledge and
technical knowledge seems to fail to protect the forest from deforestation and
the environmental damage. Decolonialisation of western knowledge could give an
opportunity to identify and find the knowledge and practices of indigenous
people in sustainable forest management. Forest management based on the
indigenous knowledge and practices is believed easy to be accepted by the
indigenous community due to the knowledge and practice is known and ‘lived’ by
them. The Atoni Pah Meto from West
Timor has their own customary law in forest management that is knows as Bunuk. In the installation of Bunuk, there is a concencus among the
community members to protect and preserve the forest through the vow to the
supreme one, the ruler of the earth and the ancestors, thus, bunuk is becoming a le’u (sacred). Thus, the Atoni
Meto will not break the bunuk due
to the secredness. Adapting the bunuk to
the modern forest management in the Atoni
Meto areas could be one of the best option in protecting and preserving the
forest.
Key words: bunuk, pengetahuan dan
praktek, tata kelola hutan, masyarakat adat, Atoni Meto (bunuk, knowledge and
practice, forest management and Indigenous people and Atoni Meto).
Pendahuluan
Tulisan ini lahir dari keprihatinan akan kerukan hutan
dan lingkungan yang terjadi secara masif di Indonesia. Barri
et al. (2018) dalam laporan Forest Watch Indonesia tahun 2018
menulis bahwa kerusakan hutan di Indonesia meskipun mengalami penurunan dalam
satu decade terkahir, tetapi angka kerusanakan
dari tahun 2009 – 2014 masih tinggi, yakni sebesar 1.1 juta hektar per
tahun. Laju kerusakan hutan di NTT juga ternyata cukup tinggi, (Hidayatullah
2008) menulis bahwa laju
degradasi hutan mencapai 15,613 ha per tahun. Pada tahun 2018 lalu masyarakat
NTT juga diheborkan dengan penebangan kayu sonokeling secara illegal di NTT dan
kegiatan ini melibatkan orang-orang pemda dan petugas kehutanan. Akan tetapi
kasus ini pun tidak pernah disentuh oleh hokum. Sunderlin
and Resosudarmo (1997) menegaskan bahwa agak
kesulitan untuk menyatakan satu pihak sebagai pelaku kerusakan hutan karena itu
butuh penelitian yang komprehensif dan tidak parsial untuk bisa memetakan
pelaku dan penyebabnya.
Kerusakan hutan yang tinggi ini memang patut disayangkan
padahal negara memiliki instrument berupa aturan, apparat penjaga hutan dari
pemerintah pusat hingga desa dan ditopang oleh modernisasi difusi antara
pengetahuan formal-ilmiah dan pengetahuan teknis yang berasal dari Eropa dan
Amerika Utara. Bukannya modernisasi ini sering dianggap sebagai cara yang
efektif untuk mengatasi persoalan yang ada negara-negara dunia ketiga.
Pengetahuan formal-ilmiah dan pengetahuan teknis dari dunia barat ini yang
akhirnya dijadikan rujukan dalam pembangunan di segala aspek kehidupan. Padahal
masyarakat asli/adat dari dunia ketiga sekian lamahidup dan menghidupi model
tata kelola hutan berbasis local. Pengetahuan semacan ini ‘hidup’ bersama
mereka dan bila didorong ke kebijakan formal akan lebih diterima dan kuat
karena sifatnya akrab dengan kehidupan dan pengetahuan mereka. Namun,
pengetahuan dan ketrampilan masyarakat asli/adat tersebut justru tidak dianggap
sebagai sebuah pengetahuan formal-ilmiah setelah masyarakat di Indonesia
bersentuhan langsung dengan pengetahuan formal-ilmian dan pengetahuan teknis
sebagai hasil dari modernisasi. Sejak Indonesia merdeka, banyak pengetahuan dan
praktek local dari masyarakat-masyarakat adat yang diabaikan dan bahkan dengan
sengaja atau pun secara sistematis dimatikan oleh pemerintah yang mengadopsi
pengetahuan formal-ilmiah dan pengetahuan teknis barat. Akibatnya pengetahuan
dan keterampilan local masyarakat ini sering diabaikan dan dianggap tidak
memiliki kontribusi atau bahkan dianggap bertentangan dengan modernisasi.
Sejak tahun 1980 banyak ahli yang memiliki ketertarikan
untuk meneliti dan menulis tentang system pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat asli/adat terutama atas ketidakpuasan terhadap modernisasi yang
gagal mensejahterakan masyarakat asli/adat di Negara-negara berkembang. Ada
berbagai jenis pengetahuan dan ketrampilan masyarakat asli/adat yang sudah
diidentifikasi yang bermanfaat untuk menjaga hubungan manusia dengan alam tetap
harmonis dan menjamin pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Salah
satu pengetahuan dan praktek dari Atoni
Meto yang mengalami kemunduran ketika berhadapan dengan modernisasi adalah bunuk/tala. Bunuk/tala adalah sebuah pengetahuan dan sistem dalam mengelola
hutan dan konservasi alam secara berkelanjutan.
Tulisan ini bertujuan untuk menemukan dan membahas
pengetahuan dan system pengelolaan hutan yang dimiliki oleh Atoni Meto dan melihat apakah system
pengelolaan hutan tersebut masih relevan untuk dihidupkan kembali, diangkat
atau diadaptasi oleh pemerintah untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Indigenisasi Pengetahuan
Gerakan indigeninisasi mulai tumbuh dan berkebang pada
tahun 1980an sebagai reaksi dan kritikan terhadap modernisasi yang merupakan
sebuah bentuk kolonialisasi terhadap pengetahuan dan ketrampilan masyarakat
adat. Indigenisasi pengetahuan dan praktis didasarkan pada paham post-kolonial
yang melihat hegemoni pengetahuan barat sebagai sebuah kolonialisme terhadap
pengetahuan dan ketrampilan masyarakat adat (Agrawal 1995; Briggs 2014; Warren & Cashman 1988).
Sehingga para ilmuan yang bergerak dalam penelitian masyarakat adat seperti Chilisa (2012),
Smith (2012)
dan Kovach (2010)
menyerukan untuk melakukan dekolonialisasi terhadap pengetahuan dan ketrampilan
yang dibawa dari barat sebab hanya masyarakat adat yang bisa memahami diri
mereka berdasarkan perspektif dan asumsi mereka sendiri. Menurut pendekatan
post-kolonial indigenous sumber pengetahuan pengetahuan dan praktek masyarakat
adat dapat diteliti melalui bahasa, dongeng, cerita rakyat, pengalaman budaya
dan artefak seperti patung, tenunan, ukiran, music, ritus dan seremoni seperti
seremoni pernikahan, kematian dan syukuran (Chilisa, 2012, pp 99 – 124). Lebih
lanjut Chilisa (2012, pp. 40 – 41) menegaskan bahwa dekolonialisasi pengetahuan
yang berpusat pada pengetahuan barat sarat makna dan sangat penting demi
merekonstruksi pengetahuan masyarakat adat yang membawa harapan dan perubahan
social dalam system pengetahuan. Selanjutnya Bank Dunia (2000) dalam laporannya
menegaskan bahwa dekolonialisasi pengetahuan barat sangat penting karena
pengetahuan masyarakat adat itu sesuatu yang brilian dan sangat dibutuhkan
dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Selain itu, beberapa pendekatan juga
dipakai dalam membahas pengetahuan dan praktek Atoni Meto dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan, antara
lain pendekatan dari kaum bio-environmentalis dan pendekatan Ubuntu dari Afrika (Chilisa 2012; Clapp & Dauvergne 2005;
Moreton-Robinson 2013).
Para bio-environmentalis menyatakan bahwa pembangunan dan modernisasi telah
menyebabkan terjadinya penggunaan sumberdaya alam secara berlebihan yang
menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan hilangnya ekosistem di dalamnya
(Clapp & Dauvergne 2005).
Bagi merekabumi adalah sebuah organisme yang hidup dan memiliki keterbatasan
jika pengelolaannya tidak dilaksanakan secara baik dan bijak maka suatu saat
akan habis (Clapp & Dauvergne 2005, p. 9). Atoni Metopun memilik konsep pendekatan yang sama dengan para
bio-environmentalis ini. Bagi Atoni Meto batu,
tanah dan air memiliki keterkaitan yang sangat erat dan tak terpisahkan. Batu
adalah tulang dari bumi, tanah adalah dagingnya dan air adalah darahnya. Karena
itu, jika satu bagian dirusakan maka akan memperngaruhi bagian-bagian yang
lainnya sebagai sebuah organisme yang hidup.
Masyarakat adat hidup dalam kehidupan bersama dan
memiliki keterhubungan dari kelahiran hingga kematian dan kehidupan setelah
kematian (Chilisa 2012; Hemming & Rigney 2008;
Moreton-Robinson 2013; Smith 2012).
Dalam masyarakat Afrika dikenal sebuah konsep yang diberi nama Ubuntu. Ubuntu adalah sebuah konsep
untuk menumbuhkan respek terhadap diri sendiri, membangun hubungan harmonis
antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam (Chilisa 2012).
Konsep ini pun sebenarnaya dimiliki oleh Atoni
Meto dalam keterhubungan Uis Neno,
Uis Pah, be’I – na’I dan dengan alam; tanah, batu, air, benda yang hidup
dan benda mati dan kehidupan setelah kematian.
Atoni Meto Dan Konsep Tentang le’u
Atoni Pah Meto
(baca=Atoin Pah Meto) adalah kelompok etnis
yang mendiami pulau Timor bagian barat mulai dari sebagian wilayah Malaka,
Kabupaten TTU, Kabupaten TTS, Kabupaten Kupang, Kota Kupang dan Distrik Oekusi
di Timor Leste. Kata Atoni berarti
orang, Pah artinya tanah dan Meto artinya kering. Atoni (Pah) Meto artinya orang dari
tanah/daerah kering (Nordholt 1971, p. 19). Dalam tulisan selanjutnya hanya
akan digunakan kata Atoni Meto untuk
menyebut kelompok masyarakat ini. Bahasa yang digunakan oleh Atoni Meto adalah Uab Meto dan memiliki berbagai macam dialek. Selain itu, Uab Meto sendiri dibagi ke dalam 2
kategori yakni, Uab Meto yang
menggunakan lafal “L” dan “R”.
Populasi Atoni Metomerupakan
yang penduduk terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), meskipun
demikian tidak ada satu pun sensus yang menunjukan berapa banyak populasi Atoni Meto. Atoni Meto juga kadang
dikenal dengan sebutan orang Dawan. Nordholt
(1971) mengemukakan bahwa Atoni Meto disebut sebagai orang Dawan
juga karena nenek moyang mereka yang disebut sebagai Nai Dawan/Laban.
Atoni
Meto adalah
masyarakat pertanian yang senantiasi bergantung pada aturan atau norma
masyarakat pertanian (Meitzner
Yoder 2011; Nordholt 1971; Openg & Thomas 2015; Taum 2008). Kehidupan mereka
merupakan sebuah lingkaran kehidupan yang dimulai dengan ritual permohonan dan
terima kasih kepada wujud tertinggi yang disebut sebagai Uis Neno (Raja Langit), Uis
Pah (Raja Bumi), and Be’i – Na’I, nenek
moyang (McWilliam
2001; Meitzner Yoder 2011; Nordholt 1971; Openg & Thomas 2015; Taum 2008).
Atoni Meto memiliki konsep tentang le’u (sacral) yang menjadi nuni (tabu) (Meitzner
Yoder 2011; Nordholt 1971). Sesuatu itu dianggap le’u,
ia tidak boleh disebut, didekati, disentuh, dilanggar apalagi dirusak.
Karena le’u itu mengatur
keseimbangan, baik itu pada manusia maupun alam. Melanggar atau merusak le’u atau nuni dapat mendatangkan penyakit atau penderitaan langsung kepada
orang yang melanggar atau anggota keluarganya. Selain itu, melanggar atau
merusak le’u (nuni) pun dapat mendatangkan bencana kepada kelompok masyarakatnya
seperti tanah longsor, kekeringan, gagal tanam dan gagal panen (Meitzner
Yoder 2007a, 2011; Nordholt 1971). Menurut Nordholt (1971,
p. 147) ‘…segala sesuatu bisa menjadi le’u
(nuni) karena dikonsekrasikan
melalui ritual adat dan ada beberapa hal tertentu yang tanpa dikonsekrasi sudah
menjadi le’u atau nuni, seperti nama Usi Neno.’
Bunuk (tala) Dalam Konteks Pengelolaan Hutan
Sebagaimana kelompok masyarakat adat
lainnya, Atoni Meto yang mendiami
wilayah Timor Barat juga memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola
hutan dan mencegah terjadinya kerusakan hutan. Atoni Meto memiliki hubungan yang erat dengan alam dan bersifat
resiprokal. Hidup mereka sepenuhnya bergantung pada alam dan mereka tidak bisa
dipisahkan dari alam. Alam merupakan organisme hidup yang perlu dipakai atau
digunakan secara bijaksana, dijaga dan dilindungi agar tetap bisa dinikmati
oleh generasi berikutnya (Manafe
2014; Nordholt 1971; Taum 2008).
Sebagai masyarakat agraris, Nordholt (1971) menjelaskan
bahwa bagi Atoni Meto pertanian lebih
penting dari semua aspek kehidupan. Karena itu alam perlu dijaga, dilindungi
dan dipakai secara bijak agar memberikan hasil yang baik. Dalam upayanya
mencegah kerusakan hutan dan lingkungan, Atoni
Meto pada masa lalu sudah memiliki sebuah model pendekatan pengelolaan hutan
dan alam yang dikenal dengan nama bunuk/tala.
Bunuk/tala menunjukan way of life (lebensweis) dari Atoni Meto dalam
mengelola perdamaian dan rekonsialiasi melalui kesepakatan bersama yang
dikuatkan melalui ritus-rutus adat. Bunuk/tala
merupakah hukum adat, kebiasaan dan norma sosial. Lebih dari itu bunuk/tala menunjukan kepercayaan masyarakat
Atoni Meto akan penyelenggaraan ilahi
dari wujud yang tertinggi Uis Neno, Uis
Pah dan be’I – na’i (nenek moyang
yang sudah meninggal) (McWilliam 2009; Nordholt 1971).
Bagi Atoni Meto, bunuk/tala merupakan kegiatan adat dan merupakan
kesepakatan atau consensus yang mengatur relasi antar manusia, relasi antara
manusia dengan hewan/binatang dan relasi manusia dengan alam. Konsensus di
dalam bunuk itu mengatur orang-orang
yang berada di dalam komunitas kanaf (suku)
untuk mengurangi atau mencegah terjadinya pertikaian, mencegah terjadinya
kejahatan, melindungi lingkungan dan memastikan keberlanjutannya demi
kesejahteraan masyarakat yang tergabung di dalamnya.
Dalam pengaturan relasi antara manusia dengan alam, bunuk/tala dilakukan untuk mencegah
terjadinya perusakan hutan, penjarahan hasil alam secara serampangan, seperti
penebangan pohon dan perburuan secara liar, perusakan sumber air, pencurian
terhadap hasil pertanian atau perkebunan dan penambangan secara liar (McWilliam 2005, 2009; Meitzner Yoder 2007b; Nordholt
1971; Yoder 2005; Yoder, Laura S Meitzner 2011).
Bunuk/tala ditetapkan melalui ritual
adat yang disampaikan kepada Uis Neno,
Uis Pahdan be’I – na’I (nenek
moyang yang sudah meninggal dunia). Upacara instalasi bunuk/tala umumnya dilaksanakan oleh masyarakat dalam sebuah suku
atau sebuah wilayah administratif adat. Beragamnya komunitas adat yang dimiliki
oleh Atoni Meto di wilayah Timor
Barat tentunya memiliki sebutan dan nama yang berbeda-beda untuk pemimpin
masyarakatnya. Ketika sebuah bunuk/tala sudah
ditetapkan maka orang tidak boleh melanggarnya karena mereka menyadari bahwa
penetapan bunuk/tala itu tidak hanya
melibatkan diri mereka sendiri, tetapi mereka membangun konsensus atau
perjanjian dengan wujud yang tertinggi
(Uis Neno), pemimpin daerah (Uis Pah),
be’I – na’I (nenek moyang) yang dimeteraikan dengan darah binatang.
Pada areal bunuk dipasang dianggap sebagai nuni atau le’u. Sesuatu yang menjadi nuni
atau le’u tidak boleh sebut,
disentuh, apalagi dirusak sebab bila disentuh atau dirusak ia akan mendatangkan
malapetaka, penyakit dan bencana kepada orang yang melanggar atau komunitas
yang melanggar. Pada tempat yang ditetapkan bunuk/tala
umumnya akan disimpan tanda berupa penggantungan daun gewang atau daun
lainnya yang representative dan tanpan untuk mudah dilihat oleh orang yang
melewatinya.
McWilliam (2009)
menjelaskan bahwa instalasi bunuk/tala di
wilayah Oekusi-Ambenu biasanya dipimpin oleh seorang naijuf kepala suku dan ritualnya dilaksanakan oleh seorang tobe. Tobe diberi wewenang dan tugas
untuk membagi tanah suku kepada anggota masyarakat, memberikan ijin hutan mana
yang boleh dibuka untuk diolah, menjaga hutan
agar tidak dirusak atau terjadi illegal loging dan memberikan denda
kepada pihak yang melanggar bunuk/tala (McWilliam 2001; Nordholt 1971; Yoder 2007; Yoder,
Laura Suzanne Meitzner 2011).
Hal ini memberikan gambaran bahwa
pengetahuan dan praktek bunuk/tala memiliki
hubungan yang tidak terbatas dan memiliki hubungan yang intim dengan system
kepercayaan Atoni Meto (Gadgil,
Berkes & Folke 1993, p. 151). Ritual penetapan bunuk tersebut menjelaskan bahwa perjanjian atau consensus yang
dibangun oleh komunitas itu melibatkan berbagai pihak, yakni wujud yang
tertinggi, Penguasa Bumi dan nenek moyang yang sudah meninggal. Karena itu,
melanggar bunuk/tala tidak berarti
melanggar bunuk/tala itu in-se tetapi melanggar komitmen,
consensus yang melibatkan pihak-pihak dalam consensus tersebut yang dimeteraikan
dalam darah binatang yang dibunuh.
Meskipun
ada tobe yang ditugaskan untuk
menjaga hutan, melalui ritual penetapan bunuk/tala
masyarakat yang ada di dalam sebuah komunitas adat diberikan kesempatan
untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan (Miyazawa
2013a). Mereka tidak hanya dilibatkan
di dalam ritual saja, tetapi mereka juga diberi tanggung jawab untuk menjaga
hutan, tidak melakukan penebangan, pertambangan, panen dan perburuan secara
liar. Bahkan mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga alam dan
ketika ada yang melakukan pengrusakan mereka dapat melaporkan kepada tobe (Meitzner
Yoder 2007a, 2007b, 2011; Miyazawa 2013a).
Adaptasi bunuk/tala: Pembelajaran Dari Timor Leste
Menurut beberapa ahli
pengetahuan dan praktek masyarakat adat dapat diadaptasi ke dalam hukum positif
bila pengetahuan dan praktek tersebut memang diterima dan dihidup oleh
masyarakat setempat (Hemming
& Rigney 2010; Meitzner Yoder 2007a, 2007b; Miyazawa 2013a; Warren 1991). Pengetahuan dan praktek
yang ada dalam masyarakat dibangun atas konsesus mereka sendiri sehingga
pengetahuan atau praktek itu pastinya dijalankan. Ada beberapa pengetahuan dan
praktek masyarakat adat yang sudah pernah diadaptasi dalam hukum di berbagai
tempat, baik secara local maupun nasional untuk menjaga keberlanjutan
lingkungan, seperti Ngarrindjeri diterapkan
oleh masyarakat Aborijin Sungai Murraydi Australia Selatan (Hemming
& Rigney 2010) dan Tara Bandu di Timor Leste (Meitzner
Yoder 2007a; Miyazawa 2013b; Yoder 2005).
Timor Leste yang pada
awal kemerdekaannya mengalami penyusutan hutan secara besar-besaran menyadari
bahwa hokum positif negara ternyata tidak bisa membantu negara untuk mencegah
terjadinya kerusakan hutan. Padahal negara memiliki perangkat dan system hokum,
pemerintah pun ditopang oleh modernisasi dalam bidang tekhnologi dan sumberdaya
manusia, namun semuanya itu tidak cukup untuk mencegah terjadinya perusakan,
perambahan dan degradasi hutan. Akhirnya mereka pun berpikir bahwa perlu ada
alternative lain yang harus dikenal dan dihidupi oleh masyarakat adat. Karena
itu, dengan bantuan UNDP pemerintah Timor Leste mencoba menemukan pengetahuan
dan praktek-praktek yang ada di masyarakat yang dapat membantu pemerintah untuk
mencegah tindakan pengrusakan dan penjarahan hasil hutan. Maka pada tahun 2004
mereka menemukan sebuah praktek yang sudah lama ditinggalkan, yakni tara bandu (Meitzner
Yoder 2007a, 2007b; Metzner 2017; Miyazawa 2013b; Yoder 2005; Yoder, Laura S
Meitzner 2011). Tara bandu adalah sebuah ritual yang mirip dengan bunuk/tala di wilayah adat Atoni Meto. Bantuan UNDP dan pemerintah
pusat instalasi tara bandu sudah
dilaksanakan di semua chefe de suco (desa)
(Meitzner
Yoder 2007a, 2007b; Metzner 2017; Miyazawa 2013b; Yoder 2005; Yoder, Laura S
Meitzner 2011). Dan ternayata tara bandu hingga saat ini sudah
membantu pemerintah Timor Leste mencegah terjadi perusakan dan penjarahan hutan
secara signifikan (Miyazawa
2013a).Meitzner
Yoder (2007a) dan Miyazawa
(2013a) menegaskan bahwa adaptasi
hokum adat ke dalam hokum positif berhasil mencegah degradasi hutan dikarenakan
tara bandu adalah sebuah praktek yang
sudah lama dihidupi oleh masyarakat adat itu sendiri dan praktek ini pun dibuat
oleh mereka sendiri.
Penutup
Tata kelola hutan di Indonesia memang sudah ditopang
dengan system yang cukup memadai, baik itu dari segi undang-undang, sumber daya
manusia, peralatan dan teknologi modern, namun dalam tata-laksananya pemerintah
gagal untuk mencegah terjadinya pengrusakan hutan yang berkaibat lanjut pada
terdegradasinya lingkungan dan alam.
Studi-studi tentang masyarakat adat yang dilaksanakan
pada beberapa dekade terkahir mengarahkan untuk menggunakan pendekatan
post-kolonial indigeneus untuk melakukan dekolonialisasi terhadap dominasi
pemikiran barat. Dekolonialisasi ini memberikan ruang kepada pengetahuan dan
praktek-praktek lokal yang berkembang untuk dipakai mengatasi persoalan-persoalan
yang tidak bisa diselesaikan dengan pengetahuan formal-ilmiah dan pengetahuan
teknis yang dibawa dari barat (Briggs
2014; Chilisa 2012; Smith 2012). Pengetahuan dan praktek local yang berbasis pada masyarakat
adat mudah diterima sebab ia ada dan dihidupi oleh masyarakat adat.
Di Timor, bunuk/tala
merupakan sebuah pengetahuan dan praktek yang ada pada budaya Atoni Meto dalam tata kelola hutan. Tata
kelola hutan yang terbangun melalui bunuk/tala
memberi jaminan bagi terbangunnya hubungan yang harmonis antara Atoni Meto dan alamnya. Pun pula
menjamin keberlanjutan dan keberlangsungan makhluk yang ada di dalamnya. Karena
itu, bunuk/tala masih sangat relevan
saat ini untuk diangkat sebagai kebiajakan dalam tata pengelolaan hutan karena bunuk di satu sisi merupakan sebuah
konsensus yang dibuat oleh anggota komunitas di dalamnya, di sisi lain ia
merupakan sesuatu yang sacral (le’u)
yang disakralkan melalui ritual adat dan merupakan komitemen dari Atoni Meto kepada Uis Neno, Uis Pah dan be’I –
na’I. Karena bunuk menjadi sacral
(le’u), dia tidak boleh dilanggar
oleh siapapun sebab melanggar bunuk/tala
konsekuensinya sangat berat. Tentunya ini menjadi kekuatan untuk menadaptasi bunuk ke dalam kebijakan dalam tata
kelola hutan.
Menghidupkan pengetahuan atau praktek bunuk dalam masyarakat modern ini
bukanlah merupakan sebuah romantisme kepada masa lalu, tetapi merupakan sebuah
jalan alternative setelah pengetahuan formal-ilmiah dan praktek teknis modern
gagal untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan dan degradasi lingkungan.
Keberhasilan adaptasi hokum adat ke dalam hokum positif dalam mencegah
kerusakan hutan dan degradasi lingkungan sudah banyak terjadi dan dilaksanakan
di beberapa tempat, seperti Ngarrindjeri diterapkan
oleh masyarakat Aborijin Sungai Murraydi Australia Selatan (Hemming
& Rigney 2010) dan Tara Bandu di Timor Leste (Meitzner
Yoder 2007a; Miyazawa 2013b; Yoder 2005). Keberhasilan ini mau
menunjukan bahwa hokum adat juga memiliki peluang untuk diangkat dalam memberi
kontribusi terhadap persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh
hokum positif.
Meskipun melihat betapa pentingnya bunuk/tala dalam kehidupan Atoni
Meto pada masa lampau dalam upaya tata kelola hutan, tulisan ini belum
memberikan rekomendasi secara gamblang untuk mengadaptasi bunuk/tala ke dalam regulasi-regulasi, baik di tingkat local maupun
pusat dalam mencegah kerusakan hutan. Penelitian yang lebih lanjut terkait
dengan bunuk/tala secara komprehensif
sangat dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang bunuk/tala, mengetahui tentang manfaat,
kekurangan dan kelebihannya. Dari hasil penelitian itu, kita bisa melihat
apakah bunuk/tala layak untuk
diadaptasikan ke dalam kebijakan tata kelola hutan di wilayah Timor Barat dalam
mencegah terjadinya kerusakan hutan dan degradasi lingkungan.
Daftar Pustaka
Agrawal, A 1995, 'Dismantling the
divide between indigenous and scientific knowledge', Development and Change, vol. 26, no. 3, pp. 413-39.
Barri, MF, Setiawan, AA, Oktaviani, AR, Prayoga,
AP & Ichsan, AC 2018, Deforestasi
tanpa henti: Potret deforestasi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku
Utara, Forest Watch Indonesia, Bogor.
Briggs, J 2014, 'Indigenous knowledge and
development', in V Desai & RB Potter (eds), The companion to development studies, Routledge, New York, USA, pp.
333 - 6.
Chilisa, B 2012, Indigenous research methodologies, Sage Publications, Los Angeles.
Clapp, J & Dauvergne, P 2005, Paths to a Green World: The Political
Economy of the Environment, Cambridge, MA: MIT Press.
Hemming, S & Rigney, D 2008, 'Unsettling
sustainability: Ngarrindjeri political literacies, strategies of engagement and
transformation', Continuum, vol. 22,
no. 6, pp. 757-75.
—— 2010, 'Decentring the new protectors:
transforming Aboriginal heritage in South Australia', International Journal of Heritage Studies, vol. 16, no. 1-2, pp.
90-106.
Hidayatullah, M 2008, 'Rehabilitasi lahan dan
hutan di Nusa Tenggara Timur', Kupang.
Kovach, ME 2010, Indigenous methodologies: Characteristics, conversations, and contexts,
University of Toronto Press.
Manafe, YD 2014, Komunikasi ritual pada pertanian Atoni Pah Meto, Univesitas Nusa
Cendana, Kupang.
McWilliam, A 2001, 'Prospects for the sacred
grove: Valuing lulic forests on Timor', The
Asia Pacific Journal of Anthropology, vol. 2, no. 2, pp. 89-113.
—— 2005, 'Haumeni, not many: renewed plunder and
mismanagement in the Timorese sandalwood industry', Modern Asian Studies, vol. 39, no. 2, pp. 285-320.
—— 2009, 'Trunk and tip in West Timor: precedence
in a botanical idiom', Precedence: social
differentiation in the Austronesian world, p. 111.
Meitzner Yoder, LS 2007a, 'Hybridising justice:
state-customary interactions over forest crime and punishment in Oecusse, East
Timor', The Asia Pacific Journal of
Anthropology, vol. 8, no. 1, pp. 43-57.
Meitzner Yoder, LS 2007b, 'The tobe and tara
bandu: a post-independence renaissance of forest regulation authorities and
practices in Oecusse, East Timor', in R Ellen (ed.), Modern crises and traditional strategies: local ecological knowledge in
island Southeast Asia. New York: Berghahn, pp. 220-37.
Meitzner Yoder, LS 2011, 'Political ecologies of
wood and wax: Sandalwood and beeswax as symbols and shapers of customary
authority in the Oecusse enclave, Timor', Journal
of Political Ecology, vol. 18, pp. 11-24.
Metzner, JK 2017, 'Man and Environment in Eastern
Timor: a geological analysis of Baucau - Viqueque Areas as a possible basis for
regional planning', vol. 8.
Miyazawa, N 2013a, 'Customary law and
community-based natural resource management in post-conflict Timor-Leste', in J
Unruh & R Williams, C (eds), Land and
post-conflic peacebuilding, Earthscan, London, pp. 511-32.
—— 2013b, 'Customary law and community-based
natural resource management in post-conflict Timor-Leste', Land and Post-Conflict Peacebuilding.
Moreton-Robinson, A 2013, 'Towards an Australian
Indigenous Women's Standpoint Theory', Australian
Feminist Studies, vol. 28, no. 78, pp. 331-47.
Nordholt, HS 1971, The Political System of the Atoni of Timor, First edn, Springer,
Amsterdam.
Openg, K & Thomas, V 2015, 'Mamar sebagai
kearifan ekologi masyarakat adat Atoin Meto dalam kaitan pelestarian sumber
daya air di desa Femnasi, Timor Tengah Utara', HUMANIS, vol. 36, no. 1.
Smith, LT 2012, Decolonizing methodologies: Research and indigenous peoples, Second
edn, Zed books, London, UK.
Sunderlin, WD & Resosudarmo, IAP 1997, Laju dan penyebab deforestasi di Indonesia:
penelaahan kerancuan dan penyelesaiannya, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Taum, YY 2008, Tradisi
fua pah: Ritus dan mitos agraris masyarakat Dawan di Timor, Universitas Sanata Darma,
Yogyakarta.
Warren, DM 1991, 'The role of indigenous knowledge
in facilitating the agricultural extension process', in international workshop on agricultural knowledge systems and the role
of extension. Bad Boll, Germany, pp. 21-4.
Warren, DM & Cashman, K 1988, Indigenous knowledge for sustainable
agriculture and rural development, International Institute for Environment
and Development, Sustainable Agriculture Programme.
Yoder, LSM 2005, 'Custom, codification,
collaboration: Integrating the legacies of land and forest authorities in
Oecusse Enclave, East Timor', PhD thesis, Yale University.
No comments:
Post a Comment