“Cinta Beda Agama”
Memahami Hakikat Perkawinan Beda Agama (Disparitas Cultus)
Perspektif Gereja Katolik Roma
Yosef Missercordius Secundo Naben
Mahasiswa Fakultas Filsafat Semester V
II
Pendahuluan
Gereja
Katolik percaya bahwa sejak awal Allah menciptakan manusia dengan segala
rahmat-Nya agar manusia itu bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan itu manusia
menempuh pelbagai jalan. Hidup perkawinan merupakan salah satu jalan menuju
tujuan itu. Dalam hal ini perkawinan tidak hanya dilihat dari segi manusiawi,
melaikan bernilai religius pula.
Secara khusus Gereja Katolik
Roma memandang perkawinan dalam tiga macam perspektif. Pertama, perkawinan antara kedua
pasangan yang dibaptis Katolik (ideal). Kedua, juga Sakramen Perkawinan,
antara orang Katolik dengan Kristen Protestan. Prinsip dua orang yang dibaptis
menikah secara Katolik, diproses secara Katolik oleh otoritas Katolik (Pastor
atau Diakon) disebut Sakramen Perkawinan. Ini istilahnya Mixta Religio atau
perkawinan beda gereja. Ketiga, perkawinan beda agama. Istilahnya Disparitas
Cultus. Perkawinan beda agama ini disebut halangan. Orang Katolik terhalang
menikah dengan orang Non-Katolik yang belum dibaptis seperti Islam, Hindu,
Buddha, Khonghucu, Yahudi bahkan Ateis atau Agnostik.
Artikel
ini secara khusus akan membahas tentang perkawinan beda agama (Disparitas
Cultus).
Dengan berlandaskan pada dokumen resmi Gereja dan sumber-sumber terpercaya,
maka penulis melakukan kajian terhadap perkawinan Gereja Katolik untuk menjawab
dua pertanyaan besar yakni: Apakah mereka yang bukan Katolik bisa menikah
dengan orang Katolik? Jika diperbolehkan, apa saja syarat-syaratnya?
Kata Kunci: Perkawinan, Gereja Katolik, Beda
Agama (Disparitas Cultus).
Paham Perkawinan Menurut
Gereja Katolik
Perkawinan adalah hak setiap
orang yang sudah dewasa dalam segi usia. Gereja Katolik memandang Perkawinan
sebagai sesuatu yang sakral dan suci, karena menjadi bagian dari karunia Allah
kepada manusia. Kitab Kejadian Bab 1-2 menjelaskan bagaimana Allah memberkati
manusia sebagai ciptaan yang paling mulia, dan diberikan tugas khusus untuk
menjaga dan memelihara ciptaan-Nya yang lain. Karena itu manusia juga disebut
sebagai Co-Creatio, rekan kerja Allah. Melalui perkawinan, maka
tugas mulia itu menjadi sah.
Dalam
perspektif Hukum Kanonik, perkawinan dikenal juga dengan beberapa istilah lain
yakni: kebersamaan seluruh hidup; persekutuan permanen; persekutuan hidup perkawinan; perjanjian perkawinan; kesepakatan yang tak dapat diganti atau perjanjian yang tak dapat ditarik
kembali; perayaan perkawinan; dan kehidupan bersama perkawinan. Dari kanon-kanon ini dapatlah dilihat bahwa KHK 1983 menjabarkan doktrin
tentang kodrat fundamental perkawinan, sifat-sifat hakiki perkawinan,
konsensus perkawinan, hak untuk perkawinan, wewenang Gereja atas perkawinan
orang Katolik, dan keraguan atas sahnya suatu perkawinan.
Konsili
Vatikan II kemudian memberikan pencerahan mengenai makna dari perkawinan Katolik yang sah bukan lagi sebagai kontrak atau
ikatan jasmani antara dua insan, realitas perkawinan
seringkali disebut sebagai: persekutuan nikah; persekutuan suami-isteri dan
keluarga; perjanjian nikah atau persetujuan pribadi; lembaga nikah dan
persekutuan cinta kasih suami-isteri; persekutuan mesra; persekutuan dan
kebersamaan seluruh hidup. Maka perkawinan
tidak lagi dilihat sebagai suatu kesatuan
antara dua pribadi (persona) secara fisik. Namun
secara lebih luhur sebagai ikatan spiritual yang mesra dan suci antara manusia
dengan Tuhan.
Gereja Katolik juga mendefinisikan sifat perkawinan
yang dipegang dan dijalankan sampai saat ini yakni Monogami (Unitas) dan Ketak-terceraian (Indissolubilitas). Secara formal, kedua
sifat ini dapat dibedakan, namun dalam realitas tak dapat dipisahkan satu dari
yang lain. Indissolubilitas adalah kepenuhan dari unitas/monogam. Monogami berarti perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan seorang
wanita. Oleh karena itu, unitas bertentangan dengan poligami (poliandri dan
poligini). Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa Unitas memiliki arti yang sama dengan kesetiaan seumur hidup, setia sampai maut memisahkan. Dalam perundangan sipil, unitas
mencakup larangan menikah lagi (bigami) dan larangan berzinah. Hukum Kanonik tidak hanya
ber-bicara mengenai beberapa larangan itu, namun menyentuh hal yang lebih
mendalam, di mana perkawinan dianggap tidak sah bila pada moment pertukaran
janji tersimpan niat untuk menikah lagi, atau bila orang merasa berhak menikah
lagi.
Makna Ketak-terceraian (Indissolubilitas) paralel dengan ikatan
abadi atau ikatan yang tak terputuskan. Indissolubilitas bertentangan
dengan perceraian. Ketakterceraian mencakup semua jenis perkawinan. Pada perkawinan kristiani,
karakter itu mendapat stabilitas khusus (karakter sakramental) sebab sekali
dilangsungkan, tidak pernah dapat dibatalkan oleh kuasa manusiawi manapun.
Walaupun
demikian, beberapa pengecualian terutama pengecualian dalam hal tindakan
yuridis, termasuk perkawinan yang dilakukan karena paksaan fisik, ketakutan
besar, penipuan, ketidaktahuan, atau kekeliruan. Realitas itu, dipandang
sebagai cacat konsensus. Dalam kasus-kasus di atas, anulasi perkawinan yang
ditetapkan oleh pengadilan Gereja tidak berarti membatalkan perkawinan yang sah
tetapi hanya membuktikan bahwa perkawinan tidak sah sejak awal. Oleh karena itu, perkawinan mendapat kualifikasi tidak sah apabila
mengesampingkan sifat hakiki indissolubilitas. Dengan kata lain, suatu
perkawinan dianggap tidak sah bila orang berjanji untuk menikah hanya untuk
batas waktu tertentu (perkawinan
kontrak). Selain itu, indissolubilitas mempunyai
dua bentuk yaitu indissolubilitas intrinsik
dan ekstrinsik. Indissolubilitas Intrinsik berarti suatu ikatan perkawinan tidak
bisa diputuskan dan tidak dapat ditarik kembali oleh kemauan suami-isteri yang
telah menyatakan konsensus. Sedangkan Indissolubilitas
Ekstrinsik berarti ikatan perkawinan tidak
bisa diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun (seperti instansi tertentu).
Perkawinan Beda Agama (Disparitas Cultus)
Menyadari perkembangan zaman, ditambah lagi
kemajemukan suatu komunitas, maka perkawinan campur beda agama, Disparitas
Cultus, terus terjadi dalam realitas. Meskipun idealnya perkawinan yang sah
hendaknya dilakukan oleh dua orang yang seiman, namun Gereja Katolik tidak
pernah melarang umatnya untuk mencintai sesama yang berbeda agama. Bahkan jika
cinta itu sudah mengakar kuat dan hanya maut yang dapat memisahkan, maka Gereja
Katolik memberikan ruang untuk mengikat cinta yang suci tersebut dalam suatu
perkawinan, dengan catatan memperhatikan aturan-aturan yang bersifat wajib dan
mengikat, agar perkawinan yang dilangsungkan tidak mempengaruhi iman kedua
pasangan, dan kemudian tidak menimbulkan skandal iman pada anak-anak mereka di kemudian hari.
Terdapat beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi
oleh pasangan menikah beda gereja dan beda agama. Sebenarnya, bobot ’larangan’ antara pernikahan campur
beda gereja dan campur beda agama berbeda. Hal itu tampak dari perbedaan
istilah yang dipakai. Untuk pernikahan campur beda gereja ’hanya’ dibutuhkan
ijin dari Otoritas Gerejawi, sedangkan pernikahan beda agama dibutuhkan dispensasi. Dalam
pengertian yuridis, dispensasi berarti pembebasan dari hukum, dan secara
implisit mengandaikan bahwa larangannya lebih berat.
Selanjutnya,
dalam pemberian dispensasi dari halangan beda agama terdapat 4 syarat khusus yang harus dipenuhi yakni: Pertama, pihak Katolik menyatakan bersedia
menjauhkan bahaya meninggalkan iman Katolik. Dalam konteks Indonesia, tidak
sedikit pasutri beda agama yang setia sampai mati membangun bahtera keluarga.
Dalam hal ini, pihak Katolik tetap beriman Katolik dan semua anak-anak yang
lahir dibaptis dan dididik secara Katolik. Akan tetapi, tak sedikit pula umat
Katolik yang memasuki perkawinan beda agama akhirnya meninggalkan imannya. Jika
“pengaruh” pihak non-Katolik (termasuk keluarga besarnya) lebih kuat, lama-lama
pihak Katolik menghadapi bahaya meninggalkan imannya. Kedua, pihak Katolik memberikan janji yang
jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua
anaknya dibaptis dan dididik dalam Katolik. Ketiga, mengenai janji-janji
yang harus dibuat oleh pihak Katolik tersebut, pihak non-Katolik hendaknya
diberitahu dengan baik sehingga nyata baginya bahwa ia sungguh-sungguh sadar
akan janji dan kewajiban kedua pihak. Keuskupan-keuskupan di Indonesia
menentukan hal-hal praktis mengenai pernyataan janji ini. Dalam pemeriksaan
kanonik, Pastor meminta kesediaan pihak Katolik dan pihak non-Katolik untuk
menyatakan dengan jujur bahwa mereka melaksanakan dengan setia janji-janji yang dituntut. Keduanya pun
diminta menanda-tangani pernyataan janji-janji tersebut. Keempat, pihak Katolik dan non-Katolik
hendaknya diajar mengenai tujuan dan ciri-ciri hakiki esensial perkawinan yang tidak boleh dikecualikan oleh
seorang pun dari keduanya.
Keempat
syarat ini secara garis besar dijabarkan namun tidak berarti bahwa prosesnya
akan berjalan dengan cepat. Dalam setiap tahapan, Gereja tetap memberikan
kesempatan kepada kedua pasangan calon pasutri agar menimbang dan merefleksikan
segala syarat dan ketentuan yang disebutkan di atas. Jika proses diskusi
keduanya belum menemukan kata sepakat, maka Gereja bertugas untuk memberikan
pemahaman dan jalan keluar yang baik bagi mereka agar kelak perkawinan yang
dilaksanakan benar-benar suci dan sakral.
Penutup
Gereja
Katolik memaknai perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Perkawinan
tersebut dikatakan suci apabila disahkan dengan Sakramen Perkawinan. Karena
itu, entah perkawinan yang terjadi adalah perkawinan beda Gereja (Mixta Religio) atau perkawinan beda agama (Disparitas
Cultus), keduanya adalah sah dan juga sakral jika dijalankan dengan
prosedur yang tepat tanpa adanya cacat atau skandal.
Gereja Katolik juga percaya bahwa melalui perkawinan yang sah tersebut maka
tiga tujuan fundamental dari perkawinan yakni: Kebaikan suami-istri (bonum coniugum)
yang saling berjuang memenuhi kesejahteraan lahir dan batin; Keterbukaan pada
kelahiran anak (bonum prolis); dan Pendidikan anak (bonum educationis)
dapat terpenuhi secara baik.
Daftar Pustaka
Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici),
(Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2016).
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes (GS,dalam R. Hardawirjaya (penerj), (Jakarta: Obor,
1993).
Alwi, Hasan, dkk, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2004).
Fatoni, Siti Nur, dkk, Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama
Di Kota Bandung, (Varia Hukum:Volume 1, Nomor 1 Januari 2019).
Subani,Yohanes,Pengantar
Hukum Perkawinan Gereja,(Kupang: FFA-Unwira,2008).
Gulo, Postinus, Dispensasi
Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2) (Solusi Gereja Katolik bagi
perkawinan beda agama), https://www.google.com/amp/s/www.katolikana.com/amp/2020/06/08/dispensasi-gereja-katolik-dalam-perkawinan-beda-agama-2/,
diakses pada 20 Desember 2021 pukul 01:29.
Siti Nur Fatoni Dan Iu Rusliana, Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh
Lintas Agama Di Kota Bandung, Varia Hukum, Volume 1, Nomor 1 Januari 2019,
hal. 106.
Konsili
Vatikan II, Gaudium et Spes (GS)
dalam R. Hardawirjaya (penerj), (Jakarta: Obor, 1993), No. 47-52. Selanjutnya akan ditulis GS diikuti nomor artikelnya.