Thursday, November 14, 2019

"Membaca Psikologi Anak"

Tindakan Agresif Dalam Kehidupan Keluarga
Dan Dampaknya Bagi Kehidupan Iman Anak

Oleh 

LEYANDER EMANUEL TABESI


1.                  Tindakan Agresif
1.1              Pengertian Tindakan Agresif

            Dalam psikologi, salah satu pokok yang menjadi peneletian para ahli adalah agresi. Agresi merupakan terjemahan dari kata Inggris “Aggression”, yang berasal dari kata bahasa Latin “Agredi” (dari kata Ad dan Gredi) yang secara harafiah berarti pergi ke seseorang, menghadap seseorang, menyerang dan menyerbu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia: Agresi dapat diartikan pertama, sebagai penyerangan suatu negara terhadap negara lain. Kedua, perasaan marah dan tindakan kasar akibat kekecewaan dalam mencapai pemuasan yang dapat ditujukan kepada orang atau benda. Ketiga, perbuatan permusuhan yang bersifat menyerang fisik atau psikis terhadap pihak lain.
            Kata “Agresif” adalah kata sifat yang artinya cenderung menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan. Perilaku agresif adalah perilaku yang bersifat menyerang yang ditujukan untuk mencelakai dan mencederai orang lain. Bentuk-bentuk tindakan agresif adalah kekerasan fisik dan kekerasan psikis, kekerasan psikologis dan kekerasan seksual. Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan tindakan agresif adalah kemarahan, frustrasi, faktor belajar/peniruan, faktor sosiologis (menyangkut konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat), faktor kepribadian yang anti sosial, dan faktor kepribadian yang pasif agresif.

2.                  Keluarga
2.1              Pengertian Keluarga
            Manurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah kesatuan kemasyarakatan (sosial) berdasarkan hubungan perkawinan atau pertalian darah.[1] Berdasarkan pengertian ini, maka keluarga mencakup keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti terdiri dari bapa, ibu dan anak. Sedangkan keluarga luas mencakup nenek, kakek, cucu dan sebagainya, yang terlibat dalam satu pertalian darah. Dengan demikian keluarga merupakan suatu persekutuhan masyarakat kecil dengan kekuatan tumpuan pada ayah dan ibu. Keduanya merupakan pemimpin yang mempersatukan sekaligus penggerak dasar kehidupan keluarga sehingga tercipta anggota-anggota yang mampu hidup dalam masyarakat yang lebih luas. Keluarga merupakan peletak dasar kemandirian anak dalam masyarakat di mana ia hidup.

3.                  Kehidupan Iman Anak
3.1              Pengertian Kata Iman
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iman adalah akidah, kepercayaan kepada Tuhan (berkaitan dengan agama), keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, Nabi, Kitab dan sebagainya; ketetapan hati, keteguhan hati. Iman pertama-tama merupakan anugerah dan rahmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia dengan tujuan agar manusia senantiasa menyatu dengan misteri Allah. Manusia wajib untuk menerima rahmat dan anugerah yang diberikan oleh Allah.[2] Dalam Katekismus Gereja Katolik, iman merupakan suatu ikatan pribadi manusia dengan Allah, suatu persetujuan secara bebas terhadap segala kebenaran yang diwahyukan.[3] Menurut Kamus Teologi, “iman” adalah kebenaran objektif yang diwahyukan, yang percaya (Fides Quae)[4] atau penyerahan diri secara pribadi kepada Allah (Fides Qua). Orang dapat beriman karena bantuan Roh Kudus (Kis 16:14).

4.                  Dampak Tindakan Agresif Terhadap Kehidupan Iman Anak
            Tindakan Agresif atau tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat mempengaruhi kehidupan iman anak. Masa kanak-kanak adalah masa perkembangan, kepribadiannya selalu meniru berdasarkan pengamatannya. Keluarga adalah komunitas cinta kasih. Jika keluarga adalah Gereja rumah tangga maka kehidupan keluarga dapat mencerminkan komunitas cinta kasih; adanya saling menghargai, menghormati, dan saling mengasihi antara satu dengan yang lain.
            Tindakan kekerasan dapat mempengaruhi kehidupan anak, terjadinya penyimpangan dari berbagai aspek seperti adanya perubahan psikologi, moral dan kehidupan beragama.

4.1              Kehidupan Psikologis
4.1.1    Mentalitas
Mentalitas sangat mempengaruhi masa perkembangan anak. Pada umumnya penyimpangan-penyimpangan sosial dari mental dan emosi anak, anak yang belum matang, yang labil dan menjadi rusak adalah pengkondisian dari lingkungan yang buruk, terutama berkaitan dengn proses pendidikan dalam keluarga sehingga dapat berpengaruh pada cacat mental yang kerdil pada anak.[5]
4.1.2    Anak yang Pemalu
Perasaan malu adalah perasaan gelisah yang dialami seseorang terhadap pandangan orang lain atas dirinya. Pada umumnya sejak lahir manusia memiliki sedikit perasaan malu, namun apabila peraasaan itu telah berubah menjadi semacam rasa takut yang berlebihan, maka hal itu akan menjadi suatu fobia, yaitu takut mengalami tekanan dari orang lain atau takut menghadapi masyarakat. Umumnya ciri anak pemalu adalah terlalu sensitif, ragu-ragu, terisolir, murung dan sulit bergaul.[6]
4.1.3        Anak yang Rendah Diri
Anak yang rendah diri menganggap dirinya tidak sebanding dengan orang lain, tetapi sebaliknya menghargai dirinya lebih rendah dari pada semua orang secara umum.[7]
4.1.4        Perasaan Takut (Fobia)
Ketakutan adalah reaksi emosi yang timbul karena adanya ancaman yang ada dalam benaknya. Ada ketidakseimbangan dalam jiwa. Misalnya menjadi cemas dan gugup atau juga menyatakan reaksi fisiknya seperti jantung berdebar cepat.[8]
4.1.5        Rasa Gelisah
Gejala-gejala orang yang menjadi korban rasa gelisah antara lain tampak pada tangan dan kaki yang mudah berkeringat, mulut dan bibir yang lekas kering, detak jantung yang mudah berdenyut lebih cepat, kerap sukar bernapas, kepala pening, pikiran kacau, perasaan tidak menentu, dan mudah marah.

 4.1.6        Rasa Pesimis
Rasa pesimis atau kecil hati, sering dihinggapi sikap mengeluh dan hal-hal yang negatif saja, serta memandang seluruh hidup ini hanya dari satu sisi yaitu sisi gelap semata.    Ada berbagai sebab yang mengakibatkan seseorang jatuh menjadi korban rasa pesimis, misalnya watak, kegagalan demi kegagalan atau cita-citanya tidak tercapai, menyimpan rasa permusuhan terhadap diri, keluarganya (misalnya pada masa kecil anak ini selalu dianaya oleh orang tua, lingkungan dan masyarakatnya). Gaya hidup penuh dengan rasa pesimis dapat berpengaruh pada kehidupan keagamaannya, karena pada dasarnya orang yang dihinggapi rasa pesimis tidak pernah bersyukur atar berkat dan rahmat yang diterimanya dalam hidup, sehingga orang cepat putus asa, mengeluh serta mengurangi kebahagiaan hidup pada umumnnya.

4.2              Kehidupan Moral
4.2.1        Suka Berbohong
Bohong adalah suatu perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Biasanya dengan menyembunyikan sebagian atau seluruh kenyataan itu. Berbohong merupakan perbuatan pemalsuan yang sengaja dilakukan dengan tujuan memperdaya.[9]
4.2.2        Mencuri
Mencuri merupakan bentuk kenakalan yang melanggar hak milik, suatu tindakan yang tidak baik yaitu mengambil milik orang lain tanpa memberitahukannya terlebih dahulu dan bukan menjadi miliknya.
4.2.3        Tindakan Menyerang
Sifat yang suka menyerang adalah melakukan suatu tindakan kekerasan (agresif) untuk melukai orang dalam kemarahannya. Biasanya dilakukan dengan menendang atau memukul orang, mengatai atau memaki orang dengan menggunakan kata-kata kasar, memfitnah, menggertak serta mengganggu orang lain.[10]

4.3              Kehidupan Iman
4.3.1        Kurangnya Penghayatan terhadap nilai-nilai Keagamaan
            Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya memiliki dampak negatif terhadap kehidupan fisikal dan mental anak saja tetapi juga dapat mempengaruhi kehidupan religius anak, terutama minat terhadap agama seperti jarang melakukan ibadah atau pergi ke gereja karena anak-anak telah meniru perilaku orang tua yang jarang atau bahkan sama sekali tidak pergi ke gereja. Hal ini sangat memprihatinkan bagi nasib anak-anak yang menjadi penerus dan penentu masa depan Gereja. Mereka akan menjadi pribadi kerdil dan membahayakan karena kepribadiannya tidak kuat dan imannya tidak mengakar dengan mendalam.[11] 

4.3.2        Mental Beragama yang salah
            Mental agama yang salah sering disebut juga dengan penyakit agama. Hal ini dapat nampak dalam diri orang yang biasanya memberi kesan saleh, khususnya dalam doa, serius dalam ibadah dan terlihat dalam upacara keagamaan. Bagi mereka, agama dan segala urusan yang berhubungan dengannya merupakan segala-galanya.
4.3.3        Motivasi yang salah
            Anak seringkali ditawarkan untuk menerima Yesus dengan iming-iming akan diberikan sebuah Alkitab atau hadiah. Tindakan demikian dapat membawa kepada anak suatu motivasi yang keliru, yaitu mengambil suatu keputusan untuk menerima Yesus demi sebuah hadiah.
4.3.4        Anak yang ditakut-takuti
            Konsep tentang Allah yang salah atau keliru bahwa Allah itu sebagai sesuatu yang menakutkan. Ada sebagian anak yang percaya kepada Tuhan karena takut. Anak dapat dipaksa apabila tidak percaya maka anak tersebut akan masuk dalam neraka untuk dibakar. Tindakan ini dapat berdampak pada kehidupan iman anak. Anak harus dapat diberi pengertian bahwa Yesus mati bukan hanya untuk menolong mereka dari neraka tetapi untuk menghapus dosa.


                [1] Haetomo, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 425.
                [2] W.J.S Poerwadarmminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hlm. 297.
                [3] Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Katekismus Gereja Katolik, dalam P. Herman Embuiru (Penerj.), (Ende: Arnoldus, 1995), No. 73, Selanjutnya kutipan disingkat KGK diikuti no. artikelnya.
                [4] Gerald O’ Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, Kamus Teologi,  (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 113.
                [5] Dr. Kartini Kartono, Pendidikan Karakter, (Bandung: Nusa Media, 2003), hlm. 4.
   [6] Dr. Mary Go Setiawan, Menerobos Dunia Anak, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000), hlm. 112-113.
                [7] Ibid., hlm. 114-116.
                [8] Ibid., hlm. 123.
                [9] Dr. Ny Singgih. D. Gunarsa, Psikologi Anak Bermasalah, (Jakarta: Gunung Mulia, 1976), hlm. 29-38.
                [10] Ibid.
                [11] L. Prasetya, Pr, Dasar-dasar Pendampingan Iman Anak, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 22-23.

Tuesday, November 12, 2019

Psikologi Anak


PERAN ORANG TUA

 DALAM PERKEMBANGAN EMOSI ANAK USIA DINI

Oleh 
Agus Joni Oliveira



            Anak usia dini dikenal sebagai usia menjelajah atau usia bertanya. Sebutan ini dikenakan pada mereka karena mereka berada dalam tahap ingin mengetahui keadaan lingkungannya, bagaimana mekanismenya, bagaimana perasaannya serta bagaimana supaya anak dapat menjadi bagian dari lingkungannya. Selain kedua sebutan yang diberikan oleh para ahli psikologi kepada anak usia dini, ahli psikologi juga menyebut anak usia dini sebagai usia meniru. Anak-anak meniru pembicaraan dan tingkah laku orang lain. Namun demikian,  pada usia meniru ini, anak-anak juga sering kedapatan menunjukkan kreativitas dalam bermain, atau yang dikenal dengan usia kreatif.[1] Di tengah usia perkembangan inilah maka sangat diperlukan sebuah pendampingan yang efektif dan kreatif dari para pengasuhnya, dalam hal ini orang tua sebagai pendidik pertama. Berikut beberapa “point” penting dari peran orang tua dalam membantu perkembangan emosi anak.
            Pertama, orang tua harus menjadikan diri sebagai pendidik. Ini berarti orang tua membantu anak agar kelak menjadi anak yang hidup dalam kasih baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Memang cukup sulit untuk menentukan apakah anak sudah mendapatkan kasih sayang atau belum. Namun perasaan tidak cukup disayangi ini akan menimbulkan perasaan kurang diperhatikan atau dikasihi. Akibat dari sikap kurang kasih sayang terlihat dari sifat anak yakni tidak yakin akan diri sendiri, bahkan merasa rendah diri. Anak yang tak pernah belajar mencintai, tak akan pernah merasa dicintai, tidak dapat mengadakan hubungan pribadi dengan orang lain, tak dapat didekati, sulit dipengaruhi dan tak bisa bekerja sama.[2] Jika anak sejak awal mendapat cinta yang tulus dari kedua orang tuanya, maka ia akan berkembang menjadi anak yang akan banyak mencintai diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya anak yang sejak kecil tidak merasakan bahwa mereka dicintai pada akhirnya akan berkembang menjadi anak yang suka memberontak pada orang tuanya, dan seringkali aksi mereka ini terjadi tanpa alasan yang jelas. Oleh karena itu bagi anak yang matang secara emosional pada akhirnya dapat menjadi pribadi yang sangat penyayang.[3]
            Kedua, orang tua harus menjadi tokoh panutan dan guru bagi anaknya. Anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang saling mengasihi dan mengasihinya, membuat anak bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang penuh dengan kasih. Kasih adalah dasar perkembangan emosi anak. Bila anak tak tahu bahwa mereka dicintai, mereka akan sulit sekali diyakinkan bahwa mereka berharga.[4]  Seorang anak yang dikejutkan dengan ungkapan cinta adalah seorang anak yang perkembangan emosionalnya akan sangat optimal dan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya. Anak seperti itu percaya bahwa ia selalu bernilai sepanjang waktu dan mempunyai potensi dalam diri yang perlu dikembangkan. Orang tua harus mempelajari segala hal yang akan menuntun anaknya sepanjang hidupnya. Diatas bahu orang tua terletak tanggung jawab untuk memberikan pendidikan jasmani, mental, rohani, budi dan pekerti.[5]
            Ketiga, orang tua perlu menjadi sahabat yang memberi pujian yang tulus dan sepenuh hati untuk hal-hal baik yang dicapai oleh anak. Misalnya anak berhasil dalam menyusun sebuah permainan. Orang tua yang memberikan pujian akan membangkitkan motivasi yang sehat dalam diri anak. Pujian adalah salah satu cara membangun perasaan bahwa ia bernilai, sekaligus mendorong keinginan anak untuk mencoba aktivitas baru dan mencapai tujuan yang lebih baik dalam hidupnya. Dampak yang lebih luas dari peran orang tua pada perasaan anak ini adalah ia akan berkembang menjadi anak yang ceriah dan tidak mengalami beban ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup. Ini berarti orang tua mempunyai tanggung jawab penuh akan emosi dan karakter anak.[6]
            Untuk itu peran orang tua sebagai pendidik, sahabat, tokoh panutan dan guru sangat dibutuhkan demi menunjang perkembangan emosi anak. Bawasannya orang tua-lah yang paham sejauh mana anak mereka berkembang. Apalagi rasa ingin tahu diri anak adalah salah satu bagian penting dalam perkembangan emosi anak sejak usia dini, yang mana perkembangan ini berakar pada perasaan dan pikirannnya yang diterima, bernilai dan penting bagi keluarga dan orang sekitarnya.


                [1]Rochelle Semmel Albin, Emosi-Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 9.
                [2]Wolgang Bock. SJ, Anak Terluka Anak Ajaib Penyembuhan Luka Batin Masa Kecil, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 120.  
                [3]Ibid., hlm. 120. 
                [4]Pam Galbaith dan Rachel C. Hoyer, 7 Kecerdasan Emosional yang Dibutuhkan Oleh Anak Anda, (Batam: Gospel Press, 2015), hlm. 14-16. 
                [5]E.G.White, Mendidik dan Membimbing Anak, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1994), hlm. 14. 
                [6]Bernard Poduska, 4 Teori Kepribadian, (Jakarta: Restu Agung, 2002), hlm. 12.