Tindakan Agresif Dalam Kehidupan
Keluarga
Dan Dampaknya Bagi Kehidupan Iman
Anak
Oleh
LEYANDER EMANUEL TABESI
1.
Tindakan
Agresif
1.1
Pengertian
Tindakan Agresif
Dalam
psikologi, salah satu pokok yang menjadi peneletian para ahli adalah agresi.
Agresi merupakan terjemahan dari kata Inggris “Aggression”, yang berasal dari kata bahasa Latin “Agredi” (dari kata Ad dan Gredi) yang secara
harafiah berarti pergi ke seseorang, menghadap seseorang, menyerang dan
menyerbu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia: Agresi dapat diartikan pertama,
sebagai penyerangan suatu negara terhadap negara lain. Kedua, perasaan marah
dan tindakan kasar akibat kekecewaan dalam mencapai pemuasan yang dapat
ditujukan kepada orang atau benda. Ketiga, perbuatan permusuhan yang bersifat
menyerang fisik atau psikis terhadap pihak lain.
Kata “Agresif” adalah kata sifat yang artinya cenderung menyerang kepada
sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan. Perilaku
agresif adalah perilaku yang bersifat menyerang yang ditujukan untuk mencelakai
dan mencederai orang lain. Bentuk-bentuk tindakan agresif adalah kekerasan
fisik dan kekerasan psikis, kekerasan psikologis dan kekerasan seksual.
Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan tindakan agresif adalah kemarahan,
frustrasi, faktor belajar/peniruan, faktor sosiologis (menyangkut
konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat), faktor kepribadian yang anti
sosial, dan faktor kepribadian yang pasif agresif.
2.
Keluarga
2.1
Pengertian
Keluarga
Manurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga
adalah kesatuan kemasyarakatan (sosial) berdasarkan hubungan perkawinan atau
pertalian darah.[1]
Berdasarkan pengertian ini, maka keluarga mencakup keluarga inti dan keluarga
luas. Keluarga inti terdiri dari bapa, ibu dan anak. Sedangkan keluarga luas
mencakup nenek, kakek, cucu dan sebagainya, yang terlibat dalam satu pertalian
darah. Dengan demikian keluarga merupakan suatu persekutuhan masyarakat kecil
dengan kekuatan tumpuan pada ayah dan ibu. Keduanya merupakan pemimpin yang
mempersatukan sekaligus penggerak dasar kehidupan keluarga sehingga tercipta
anggota-anggota yang mampu hidup dalam masyarakat yang lebih luas. Keluarga
merupakan peletak dasar kemandirian anak dalam masyarakat di mana ia hidup.
3.
Kehidupan
Iman Anak
3.1
Pengertian
Kata Iman
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, iman
adalah akidah, kepercayaan kepada Tuhan (berkaitan dengan agama), keyakinan dan
kepercayaan kepada Allah, Nabi, Kitab dan sebagainya; ketetapan hati, keteguhan
hati. Iman pertama-tama merupakan anugerah dan rahmat yang diberikan oleh Allah
kepada manusia dengan tujuan agar manusia senantiasa menyatu dengan misteri
Allah. Manusia wajib untuk menerima rahmat dan anugerah yang diberikan oleh
Allah.[2] Dalam
Katekismus Gereja Katolik, iman
merupakan suatu ikatan pribadi manusia dengan Allah, suatu persetujuan secara
bebas terhadap segala kebenaran yang diwahyukan.[3]
Menurut Kamus Teologi, “iman” adalah
kebenaran objektif yang diwahyukan, yang percaya (Fides Quae)[4] atau
penyerahan diri secara pribadi kepada Allah (Fides Qua). Orang dapat beriman karena bantuan Roh Kudus (Kis
16:14).
4.
Dampak
Tindakan Agresif Terhadap Kehidupan Iman Anak
Tindakan Agresif atau tindakan
kekerasan dalam rumah tangga dapat mempengaruhi kehidupan iman anak. Masa
kanak-kanak adalah masa perkembangan, kepribadiannya selalu meniru berdasarkan
pengamatannya. Keluarga adalah komunitas cinta kasih. Jika keluarga adalah
Gereja rumah tangga maka kehidupan keluarga dapat mencerminkan komunitas cinta
kasih; adanya saling menghargai, menghormati, dan saling mengasihi antara satu
dengan yang lain.
Tindakan kekerasan dapat
mempengaruhi kehidupan anak, terjadinya penyimpangan dari berbagai aspek
seperti adanya perubahan psikologi, moral dan kehidupan beragama.
4.1
Kehidupan
Psikologis
4.1.1 Mentalitas
Mentalitas
sangat mempengaruhi masa perkembangan anak. Pada umumnya
penyimpangan-penyimpangan sosial dari mental dan emosi anak, anak yang belum
matang, yang labil dan menjadi rusak adalah pengkondisian dari lingkungan yang
buruk, terutama berkaitan dengn proses pendidikan dalam keluarga sehingga dapat
berpengaruh pada cacat mental yang kerdil pada anak.[5]
4.1.2 Anak
yang Pemalu
Perasaan malu adalah perasaan
gelisah yang dialami seseorang terhadap pandangan orang lain atas dirinya. Pada
umumnya sejak lahir manusia memiliki sedikit perasaan malu, namun apabila
peraasaan itu telah berubah menjadi semacam rasa takut yang berlebihan, maka
hal itu akan menjadi suatu fobia, yaitu takut mengalami tekanan dari orang lain
atau takut menghadapi masyarakat. Umumnya ciri anak pemalu adalah terlalu
sensitif, ragu-ragu, terisolir, murung dan sulit bergaul.[6]
4.1.3
Anak
yang Rendah Diri
Anak
yang rendah diri menganggap dirinya tidak sebanding dengan orang lain, tetapi
sebaliknya menghargai dirinya lebih rendah dari pada semua orang secara umum.[7]
4.1.4
Perasaan
Takut (Fobia)
Ketakutan
adalah reaksi emosi yang timbul karena adanya ancaman yang ada dalam benaknya.
Ada ketidakseimbangan dalam jiwa. Misalnya menjadi cemas dan gugup atau juga
menyatakan reaksi fisiknya seperti jantung berdebar cepat.[8]
4.1.5
Rasa
Gelisah
Gejala-gejala
orang yang menjadi korban rasa gelisah antara lain tampak pada tangan dan kaki
yang mudah berkeringat, mulut dan bibir yang lekas kering, detak jantung yang
mudah berdenyut lebih cepat, kerap sukar bernapas, kepala pening, pikiran
kacau, perasaan tidak menentu, dan mudah marah.
Rasa
pesimis atau kecil hati, sering dihinggapi sikap mengeluh dan hal-hal yang
negatif saja, serta memandang seluruh hidup ini hanya dari satu sisi yaitu sisi
gelap semata. Ada berbagai sebab yang
mengakibatkan seseorang jatuh menjadi korban rasa pesimis, misalnya watak,
kegagalan demi kegagalan atau cita-citanya tidak tercapai, menyimpan rasa
permusuhan terhadap diri, keluarganya (misalnya pada masa kecil anak ini selalu
dianaya oleh orang tua, lingkungan dan masyarakatnya). Gaya hidup penuh dengan
rasa pesimis dapat berpengaruh pada kehidupan keagamaannya, karena pada
dasarnya orang yang dihinggapi rasa pesimis tidak pernah bersyukur atar berkat
dan rahmat yang diterimanya dalam hidup, sehingga orang cepat putus asa,
mengeluh serta mengurangi kebahagiaan hidup pada umumnnya.
4.2
Kehidupan
Moral
4.2.1
Suka
Berbohong
Bohong
adalah suatu perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan yang
terjadi. Biasanya dengan menyembunyikan sebagian atau seluruh kenyataan itu.
Berbohong merupakan perbuatan pemalsuan yang sengaja dilakukan dengan tujuan
memperdaya.[9]
4.2.2
Mencuri
Mencuri
merupakan bentuk kenakalan yang melanggar hak milik, suatu tindakan yang tidak
baik yaitu mengambil milik orang lain tanpa memberitahukannya terlebih dahulu
dan bukan menjadi miliknya.
4.2.3
Tindakan
Menyerang
Sifat
yang suka menyerang adalah melakukan suatu tindakan kekerasan (agresif) untuk
melukai orang dalam kemarahannya. Biasanya dilakukan dengan menendang atau
memukul orang, mengatai atau memaki orang dengan menggunakan kata-kata kasar,
memfitnah, menggertak serta mengganggu orang lain.[10]
4.3
Kehidupan
Iman
4.3.1
Kurangnya
Penghayatan terhadap nilai-nilai Keagamaan
Kekerasan
dalam rumah tangga tidak hanya memiliki dampak negatif terhadap kehidupan
fisikal dan mental anak saja tetapi juga dapat mempengaruhi kehidupan religius
anak, terutama minat terhadap agama seperti jarang melakukan ibadah atau pergi
ke gereja karena anak-anak telah meniru perilaku orang tua yang jarang atau
bahkan sama sekali tidak pergi ke gereja. Hal ini sangat memprihatinkan bagi
nasib anak-anak yang menjadi penerus dan penentu masa depan Gereja. Mereka akan
menjadi pribadi kerdil dan membahayakan karena kepribadiannya tidak kuat dan
imannya tidak mengakar dengan mendalam.[11]
4.3.2
Mental
Beragama yang salah
Mental
agama yang salah sering disebut juga dengan penyakit agama. Hal ini dapat
nampak dalam diri orang yang biasanya memberi kesan saleh, khususnya dalam doa,
serius dalam ibadah dan terlihat dalam upacara keagamaan. Bagi mereka, agama
dan segala urusan yang berhubungan dengannya merupakan segala-galanya.
4.3.3
Motivasi
yang salah
Anak
seringkali ditawarkan untuk menerima Yesus dengan iming-iming akan diberikan
sebuah Alkitab atau hadiah. Tindakan demikian dapat membawa kepada anak suatu
motivasi yang keliru, yaitu mengambil suatu keputusan untuk menerima Yesus demi
sebuah hadiah.
4.3.4
Anak
yang ditakut-takuti
Konsep
tentang Allah yang salah atau keliru bahwa Allah itu sebagai sesuatu yang
menakutkan. Ada sebagian anak yang percaya kepada Tuhan karena takut. Anak dapat
dipaksa apabila tidak percaya maka anak tersebut akan masuk dalam neraka untuk
dibakar. Tindakan ini dapat berdampak pada kehidupan iman anak. Anak harus
dapat diberi pengertian bahwa Yesus mati bukan hanya untuk menolong mereka dari
neraka tetapi untuk menghapus dosa.