KEWARGANEGARAAN DALAM FILSAFAT
POLITIK ARISTOTELES
DAN HIDUP “MENEGARA”
MENURUT NIKOLAS DRIYARKARA
Oleh
HILARIUS PIRU
Manusia
adalah mahkluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan sesamanya
yang lain. Relasinya dengan orang lain tentu berdampak pula pada sarana pemuas
kebutuhan. Pada hakekatnya, manusia memiliki keterbatasan dalam memenuhi
seluruh kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, manusia mesti membangun kerja sama
dengan orang lain demi mewujudkan kesejahteraan hidup. Kesejahteraan menjadi
terget utama yang dikejar oleh manusia.
Manusia
juga dikenal sebagai mahkluk politik (zoom
politikon). Partisipasi warga negara dalam politik menjadi alasan adanya polis. Ada tiga hal yang menjadi alasan
mengapa Aristoteles sangat menagung-agungkan “partisipasi” aktif warga negara. Pertama, Aristoteles dengan intervensi
dari para dewa. Akan tetapi, politik merupakan ungkapan hakekat manusia. Kalau politik
itu ekspresi dari hakekat manusia, manusia tidak perlu melibatkan campur tangan
dewa. Kedua, jika manusia dari
kodratnya bersifat politis, maka politik tidak membutuhkan kontrak sosial atau
konvensi. Manusia dapat membangun komunitas hidup bersama dalam rangka pemenuhan
serta penyempurnaan kebutuhan hidupnya. Ketiga,
perwujudan diri manusia hanya mungkin dilakukan dalam polis atau negara kota. Aristoteles menggunakan term potentia-actus untuk mendeskripsikan
hubungan antara manusia dan polis. Sebagaimana
setiap kemungkinan mencapai pemenuhannya ketika mencapai tujuannya, demikian
juga dengan manusia. Dia dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang
dimilikinya secara kodrati dalam polis. Polis
adalah atualisasi dari potensi khsusus manusia.
Aristoteles
kemudian mendefenisikan kewarganegaraan dengan berpatokkan pada kepemilikan
kantor-kantor politik. Kantor politik dapat dikualifikasi menjadi dua bagian,
yaitu kantor yang terbatas atau khsusus dan kantor yang tidak
dispesifikasi/tidak terbatas. Aristoteles mendefenisikan kewarganegaraan dalam
hubungannya dengan kepemilikan kantor-kantor tak terbatas. Namun defenisi
seperti itu dianggap tidak memadai, karena hanya berlaku untuk negara dengan
sistem pemerintahan demokrasi. Maka dari itu, Aristoteles membaharui
defenisinya dengan menandaskan bahwa, “warga negara adalah orang-orang yang
berhak untuk berpartisipasi dalam kantor deliberatif dan yudisial. Berdasarkan defenisi
ini, tipikal utama dari warga negara tidak lagi ditentukan oleh keanggotaan
sebuah kantor tak terbatas, tetapi “partisipasi” dalam proses deliberasi dan
yudisial. Defenisi ini dianggap cocok untuk semua sistem
pemerintahan/konstitusi.
Partisipasi
warga di dalam polis menjadi hal yang
penting dan urgen. Kehidupan kota bergantung sepenuhnya pada aktivitas para
warganya. Aktivitas yang dimaksudkan di sini adalah aktivitas rasional, di mana
hal ini hanya bisa dilakukan oleh manusia. Polis
membutuhkan konstitusi untuk mengatur atmosfir kehidupan para warganya,
sehingga semuanya dapat berjalan dengan aman. Untuk menghasilkan suatu
konstitusi dibutuhkan partisipasi dari orang-orang yang berkompeten. Maka dari
itu, Aristoteles menyarankan agar masyarakat turut berpartisipasi dalam jabatan
polis. Jabatan yang dimaksud adalah
jabatan dalam bidang deliberatif dan yudisial.
Warga
negara memiliki kewenangan untuk berpartisipasi dalam bidang dileberatif atau
pertimbangan. Sebagai anggota dewan pertimbangan atau dileberatif, mereka
memiliki beberapa kewenangan khusus, yakni mengurus hal-hal yang berhubungan
dengan masalah perang, mengusahakan perdamaian, membuat undang-undang,
mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan hukuman mati, pembuangan dan
penyitaan. Selain itu, mereka juga mempunyai kuasa untuk mengangkat dan
mengawasi kinerja para pejabat. Partisipasi warga negara dalam bidang
dileberatif ditentukan oleh jenis konstitusi yang berlaku dalam negara yang
bersangkutan. Dalam negara demokrasi, semua rakyat diberi hak yang sama. Salah
satu hak yang melekat dalam diri warga negara adalah hak untuk mengeluarkan
pendapat. Untuk memberikan masukan-masukan atau aspirasi-aspirasi, seorang
warga negara harus bergabung dalam kelompok dileberatif. Di sanalah masyarakat
melakukan pertimbangan bersama guna mencapai kesepakatan yang berkualitas. Kesepakatan-kesepakatan
yang telah dihasilkan akan diterapkan dalam kehidupan polis. Dengan demikian, kemajuan polis dan kesejahteraan para warganya dapat tercapai.
Lembaga
yudisial atau badan peradilan (dikasteria) merupakan salah satu lembaga hukum
yang bertugas untuk mengadili perkara atau memberi keputusan atas suatu
masalah. Lembaga ini memiliki peranan penting dalam kehidupan polis. Ketika warga negara menghadapi
suatu perkara, maka lembaga ini akan menanganinya. Pada bagian ini akan dibahas
hal-hal yang berkaitan dengan lembaga peradilan.
Lembaga
ini memiliki delapan jenis peradilan. Pertama,
pengadilan untuk peninjauan perilaku pejabat publik; kedua, pengadilan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap
kepentingan umum; ketiga, pengadilan
untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan konstitusi; keempat, pengadilan untuk kasus-kasus di seputar perselisihan
jumlah denda; kelima, pengadilan
untuk perjanjian atau kontrak antara kalangan swasta perorangan, yang
melibatkan jumlah yang besar; keenam, pengadilan
untuk kasus-kasus pembunuhan; ketujuh, pengadilan
yang berhubungan dengan kasus-kasus orang asing; kedepalan, pengadilan untuk kontrak-kontrak dalam jumlah kecil.
Nikolas
Driyarkara memiliki pandangan yang khas
tentang hidup menegara. Nikolas Driyarkara mengintegrasikan manusia dengan
negara. Menurut Nikolas Driyarkara, manusia itu tidak bernegara, melainkan menegara!
Ia menegarakan diri sendiri, sesama
manusia, dan tanahnya dengan seluruh keadaannya. Manusia menjalin ralasi dengan
sesama dan lingkungan alam sekitar guna mewujudkan kesejahteraan bersama. Kesejahteraan
bersama manjadi finalitas teleologis dari
hidup manusia di dalam negara.
No comments:
Post a Comment