“RERA WULAN
TANA EKAN DALAM MITOS PENCIPTAAN DUNIA DAN MANUSIA MENURUT MASYARAKAT
RIANGRITA-KABUPATEN FLORES TIMUR”
Oleh
FELISIANUS MELKIOR TEMU
(Prosesi Tuan Ma sebagai salah satu bentuk penghormatan masyarakat Flores Timur
terhadap Wujud yang Tertinggi)
“Allah
membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam
hidungnya; demikian manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej. 2:7),
telah mengukir dalam hati manusia kerinduan untuk melihat Dia. Meskipun
kerinduan itu diabaikan, Allah tidak pernah berhenti menarik manusia kepada
Diri-Nya karena hanya dalam Dialah manusia dapat menemukan kepenuhan akan
kebenaran yang tidak pernah berhenti dicarinya dan hidup dalam kebahagiaan.
Inilah dasar religiositas manusia yang menjadikan dia makhluk yang
bermartabat. Karena itu menurut kodrat dan panggilannya, manusia adalah makhluk
religius yang mampu masuk dalam persekutuan dengan Allah. Hubungan yang mesra
dengan Allah mengaruniakan martabat kepada manusia. Manusia, karena tercipta
seturut Citra Ilahi, mengandung dalam dirinya karakteristik religius, sebuah
sifat dan sikap yang selalu bergerak dari dan terarah kepada yang Ilahi. Terlahir sebagai homo religiosus setiap manusia dan
komunitas masyarakat berusaha mengungkapkan cita rasa keagamaan itu dalam
konteks budaya, bahasa, pola pikir dan karakter etniknya. Wujud Ilahi disebut
dalam bahasanya sendiri. Konsep tentang-Nya dipahami sesuai pola pikir
masyarakat bersangkutan. Pola peribadatan dan ritus-ritusnya dibuat sesuai
karakter antropologis masyarakat setempat. Spiritualitasnya pun sangat khas
berpijak pada konteks hidup di mana komunitas itu ada dan berkembang. Dari sini
lahirlah kenyataan kedua dari sejarah keberagamaan manusia yakni kemajemukan agama. Realitas kemajemukan
agama ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan
bersama umat manusia. Ia bukan suatu fakta baru melainkan sudah ada sejak lahirnya
agama-agama, itu berarti sudah berabad-abad dunia tidak hanya mengenal satu
agama.
Dalam kepercayaan masyarakat Riangrita
dan suku Lamaholot pada umumnya,
Wujud Tertinggi disapa dengan nama Rera
Wulan Tana Ekan. Konsep ini mula-mula lahir dari iman masyarakat akan Wujud
Tertinggi sebagai pencipta dan penguasa alam semesta dengan gaya yang sangat
kiastik dan kosmologis. Ungkapan Rera
Wulan, Tana Ekan mengandung suatu kesatuan makna yang saling melengkapi.
Sang Pencipta digambarkan ibarat matahari (rera)
dan bulan (wulan) yang senantiasa
menerangi alam raya, dan bumi (tana ekan)
sebagai tempat pijak dan yang memberikan kehidupan kepada manusia. Secara
kiastik ungkapan Rera Wulan Tana Ekan di
atas sesungguhnya mau menggambarkan kebesaran Ilahi. Rera (matahari) adalah realitas kosmik yang berfungsi menerangi
bumi. Letaknya sangat jauh (tinggi) dari bumi. Segala aktivitas bumi tergantung
pada penerangan matahari. Tanpa matahari, aktivitas manusia terhambat dan
bahkan tidak ada kehidupan di bumi. Manusia membutuhkan penerangan untuk
bekerja. Tumbuh-tumbuhan membutuhkan sinar matahari untuk proses pertumbuhan
dan fotosintesis. Hewan pun dengan tuntutan instingnya membutuhkan penerangan
untuk dapat bertumbuh dan beraktivitas. Dengan demikian, betapa matahari
berperan sangat penting bagi kehidupan dunia termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan.
Selanjutnya ungkapan Tana Ekan pun memiliki makna kiastik
yang sama. Tana Ekan secara sederhana
dapat diartikan sebagai bumi tempat segala makhluk berpijak dan menjalani
kehidupan. Ia adalah tempat di mana umat manusia mencari nafkah dan bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam analogi kosmik yang demikianlah orang
Riangrita mengungkapkan iman mereka akan Wujud Tertinggi. Ia adalah realitas
tertinggi yang dianalogikan dengan tingginya matahari dan bulan (Rera Wulan). Pada Dialah segala makhluk
berpijak dan menggantungkan hidup yang dianalogikan dengan bumi (Tana Ekan). Hal
menarik yang terdapat dalam keyakinan masyarakat Riangrita adalah peran Rera Wulan Tana Ekan sebagai pencipta dunia. Gambaran-Nya sebagai
realitas llahi yang transendental dan imanentif dapat ditemukan dalam kajian
etimologis di atas yakni sebagai Rera dan
Wulan yang tinggi dan tak terjangkau
dan Tana Ekan sebagai yang didiami
dan memberi kehidupan kepada dunia. Masyarakat meyakini bahwa Rera Wulan Tana Ekan inilah sang
Pencipta Dunia. Kerangka iman akan Allah sebagai pencipta ternyata ditemukan
dalam kisah mitos penciptaan dunia versi agama lokal berjudul 'Puken Nimun Jadi Etok Ata Diken' yakni
tentang asal usul dunia dan manusia.
Hal yang menarik dalam hubungan dengan
mitos penciptaan dunia ini adalah paralelisme narasi mitos yang hampir sama
dengan kisah penciptaan dunia dalam Perjanjian Lama (Kej. 1:1- 31). Sebagian
narasi dan penokohannya sama dengan narasi dan penokohan yang terdapat dalam
kisah penciptaan dunia dan manusia dalam Kitab Kejadian. Hampir tidak bisa
dipastikan apakah kisah ini murni mitologi masyarakat Riangrita atau telah
mendapat pengaruh biblis dan teologi Kristen, namun satu hal yang tinggal pasti
adalah bahwa masyarakat Riangrita telah lama memiliki mitos dan keyakinan akan Rera Wulan Tana Ekan sebagai pencipta di
dalamnya. Dalam mitos inilah peran Rera
Wulan, Tana Ekan sebagai pencipta manusia dan dunia ditemukan. Ia diyakini
sebagai yang mengasali segala sesuatu, dan yang kepada-Nya segala sesuatu
bergerak menuju.
No comments:
Post a Comment