Tuesday, March 17, 2020

"Mitos Penciptaan Dunia"


RERA WULAN TANA EKAN DALAM MITOS PENCIPTAAN DUNIA DAN MANUSIA MENURUT MASYARAKAT RIANGRITA-KABUPATEN FLORES TIMUR”
Oleh
FELISIANUS MELKIOR TEMU
(Prosesi Tuan Ma sebagai salah satu bentuk penghormatan masyarakat Flores Timur 
terhadap Wujud yang Tertinggi)


Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikian manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej. 2:7), telah mengukir dalam hati manusia kerinduan untuk melihat Dia. Meskipun kerinduan itu diabaikan, Allah tidak pernah berhenti menarik manusia kepada Diri-Nya karena hanya dalam Dialah manusia dapat menemukan kepenuhan akan kebenaran yang tidak pernah berhenti dicarinya dan hidup dalam kebahagiaan. Inilah dasar religiositas manusia yang menjadikan dia makhluk yang bermartabat. Karena itu menurut kodrat dan panggilannya, manusia adalah makhluk religius yang mampu masuk dalam persekutuan dengan Allah. Hubungan yang mesra dengan Allah mengaruniakan martabat kepada manusia. Manusia, karena tercipta seturut Citra Ilahi, mengandung dalam dirinya karakteristik religius, sebuah sifat dan sikap yang selalu bergerak dari dan terarah kepada yang Ilahi. Terlahir sebagai homo religiosus setiap manusia dan komunitas masyarakat berusaha mengungkapkan cita rasa keagamaan itu dalam konteks budaya, bahasa, pola pikir dan karakter etniknya. Wujud Ilahi disebut dalam bahasanya sendiri. Konsep tentang-Nya dipahami sesuai pola pikir masyarakat bersangkutan. Pola peribadatan dan ritus-ritusnya dibuat sesuai karakter antropologis masyarakat setempat. Spiritualitasnya pun sangat khas berpijak pada konteks hidup di mana komunitas itu ada dan berkembang. Dari sini lahirlah kenyataan kedua dari sejarah keberagamaan manusia yakni kemajemukan agama. Realitas kemajemukan agama ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bersama umat manusia. Ia bukan suatu fakta baru melainkan sudah ada sejak lahirnya agama-agama, itu berarti sudah berabad-abad dunia tidak hanya mengenal satu agama.

Dalam kepercayaan masyarakat Riangrita dan suku Lamaholot pada umumnya, Wujud Tertinggi disapa dengan nama Rera Wulan Tana Ekan. Konsep ini mula-mula lahir dari iman masyarakat akan Wujud Tertinggi sebagai pencipta dan penguasa alam semesta dengan gaya yang sangat kiastik dan kosmologis. Ungkapan Rera Wulan, Tana Ekan mengandung suatu kesatuan makna yang saling melengkapi. Sang Pencipta digambarkan ibarat matahari (rera) dan bulan (wulan) yang senantiasa menerangi alam raya, dan bumi (tana ekan) sebagai tempat pijak dan yang memberikan kehidupan kepada manusia. Secara kiastik ungkapan Rera Wulan Tana Ekan di atas sesungguhnya mau menggambarkan kebesaran Ilahi. Rera (matahari) adalah realitas kosmik yang berfungsi menerangi bumi. Letaknya sangat jauh (tinggi) dari bumi. Segala aktivitas bumi tergantung pada penerangan matahari. Tanpa matahari, aktivitas manusia terhambat dan bahkan tidak ada kehidupan di bumi. Manusia membutuhkan penerangan untuk bekerja. Tumbuh-tumbuhan membutuhkan sinar matahari untuk proses pertumbuhan dan fotosintesis. Hewan pun dengan tuntutan instingnya membutuhkan penerangan untuk dapat bertumbuh dan beraktivitas. Dengan demikian, betapa matahari berperan sangat penting bagi kehidupan dunia termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan.

Selanjutnya ungkapan Tana Ekan pun memiliki makna kiastik yang sama. Tana Ekan secara sederhana dapat diartikan sebagai bumi tempat segala makhluk berpijak dan menjalani kehidupan. Ia adalah tempat di mana umat manusia mencari nafkah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam analogi kosmik yang demikianlah orang Riangrita mengungkapkan iman mereka akan Wujud Tertinggi. Ia adalah realitas tertinggi yang dianalogikan dengan tingginya matahari dan bulan (Rera Wulan). Pada Dialah segala makhluk berpijak dan menggantungkan hidup yang dianalogikan dengan bumi (Tana Ekan). Hal menarik yang terdapat dalam keyakinan masyarakat Riangrita adalah peran Rera Wulan Tana Ekan sebagai pencipta dunia. Gambaran-Nya sebagai realitas llahi yang transendental dan imanentif dapat ditemukan dalam kajian etimologis di atas yakni sebagai Rera dan Wulan yang tinggi dan tak terjangkau dan Tana Ekan sebagai yang didiami dan memberi kehidupan kepada dunia. Masyarakat meyakini bahwa Rera Wulan Tana Ekan inilah sang Pencipta Dunia. Kerangka iman akan Allah sebagai pencipta ternyata ditemukan dalam kisah mitos penciptaan dunia versi agama lokal berjudul 'Puken Nimun Jadi Etok Ata Diken' yakni tentang asal usul dunia dan manusia.

Hal yang menarik dalam hubungan dengan mitos penciptaan dunia ini adalah paralelisme narasi mitos yang hampir sama dengan kisah penciptaan dunia dalam Perjanjian Lama (Kej. 1:1- 31). Sebagian narasi dan penokohannya sama dengan narasi dan penokohan yang terdapat dalam kisah penciptaan dunia dan manusia dalam Kitab Kejadian. Hampir tidak bisa dipastikan apakah kisah ini murni mitologi masyarakat Riangrita atau telah mendapat pengaruh biblis dan teologi Kristen, namun satu hal yang tinggal pasti adalah bahwa masyarakat Riangrita telah lama memiliki mitos dan keyakinan akan Rera Wulan Tana Ekan sebagai pencipta di dalamnya. Dalam mitos inilah peran Rera Wulan, Tana Ekan sebagai pencipta manusia dan dunia ditemukan. Ia diyakini sebagai yang mengasali segala sesuatu, dan yang kepada-Nya segala sesuatu bergerak menuju.

No comments:

Post a Comment