Monday, November 25, 2019

"Ratapan Penantian"

TIGA  MUSIM  SEBELUM  KEDATANGANMU

Fransiskus Soni 


“Jika hidup adalah perjalanan, kau adalah jalan pulang. Maka biarkanlah aku berarak kearahmu,sementara puisi meniduri kita sampai pagi”.
.........
            “Aku hanya duduk termenung sambil memandangimu yang terus sibuk dengan koper-koper dan juga ransel besarmu. Kopi hangat yang kubuatkan utukmu sudah terlanjut dingin, tanpa sedikitpun kau menyetuhnya.
            “Aku akan pergi merantau sayang.” Satu kata yang kau gumamkan dari bibirmu. Aku hanya bisa menangis, tak mampu kupandangi matamu. Terlalu berat bagiku untuk menatap kedua binar  mata bulatmu itu.
            “Berapa lama semua ini akan berakhir? Lagi pula bukankah sudah cukup bagi kita untuk menatap hidup seperti ini saja?”.
            “Percayalah ini tidak akan lama bagimu. Kau lihat padi yang sementara menguning diluar sana sayang? Aku janji, pada musim ketiga selepas kepergianku hari ini, aku akan kembali padamu dan kepada anak kita yang akan segera lahir ini. Nantikanlah aku diantara hamparan sawah yang telah menguning itu, dimusim yang ketiga, musim selepas kepergianku ini. Aku akan pulang sayang, bagaimanapun aku akan pulang.”
           
            Musim Pertama
            Hari ini, semusim yang lalu sejak kepergianmu. Aku masih duduk ditempat yang sama, tempat yang telah kau janjikan padaku. Baru semusim kau meninggalkanku,tapi seperti telah bertahun-tahun rasanya bagiku kehilangan bayanganmu. Ah, masih ada dua musim yang penuh dengan air mata bagiku menanti kepulanganmu. Aku merindukan saat  itu sayang, aku merindukan dua musim berikut yang akan datang menghampiriku.
            Halaman rumah kita sudah semakin semerbak dengan aneka jenis bunga yang kubeli dari hasil kirimanmu yang kau berikan pada musim ini. Anak kita sudah lahir sayang. Dari tangisannya aku tahu kalau ia bahagia dilahirkan diantara kita. Tetapi aku yakin dia kecewa karena tidak bisa melihat seperti apa rupa dan perkasa ayahnya. Matanya indah sayang, seindah binar matamu. Tetapi rambutnya hitam dan lurus seperti aku, tidak seperti punyahmu yang sedikit berombak dan jarang disisir.
            Uang yang kau berikan masih kusimpan, dan separuhnya telah kutabung untuk membangun rumah kita. Aku tidak sabar lagi menanti kedatanganmu, dan akan kita bangun istana kita ini bersama-sama. Aku merindukan suaramu, merindukan kehangatan rumah kita yang akan diisi oleh tawa dari anak-anak kita nantinya. Aku merindukanmu sayang, aku merindukan dua musim yang masih membentangkan jarak diantara kita. Salam manis dari istri dan anakmu yang selalu mencintaimu ini.
            Musim Kedua           
            Bulir-bulir padi bergoyang diterpa angin yang hilir mudik sedari tadi. Gemerisik daun berbisik mengalumkan melodi. Aku tersenyum memandangi hamparan sawah yang sudah mulai menguning. Hari ini dua musim sudah aku sendiri tanpamu. Malam yang sepi kulihat dengan indahnya senyuman yang kau ukirkan bagiku. Masih kurasakan kehangatan kecupan yang kau berikan didahiku dan masih kunikmati bekas-bekas pelukanmu yang sempat tersisa. Aroma tubuhmu masih tertinggal diantara lipatan bajuku, dan deruhnya nafasmu masih membekas diantaraan berkas-berkas bibirku. Tinggal satu musi lagi, dan kau akan datang kembali kepadaku. Aku tidak pernah berhenti berbenah sambil menanti kepulanganmu itu sayang.
            Sesuai dengan permintaanmu. Pelan-pelan aku akan membangun rumah kita, istana kita. Dinding-dinging bambu kita telah kuganti dengan batu-batu yang kokoh, dan atap alang-alang kita telah tergeser oleh genteng dan juga rangka baja. Cukup untuk melindungi kita dari teriknya matahari dan juga dari pedihnya irisan gerimis. Kau tidak perlu takut lagi ada orang dan mengintip tidur kita dan juga tidak perlu cemas lagi untuk menganti ember dan baskom kita yang penuh dengan air hujan.
            Kasur kita yang kecil dan tipis itu telah kuganti dengan kasur yang lebih besar dan juga lebih tebal dan empuk tentunya. Hahaha kamu bahkan akan tenggelam di dalamnya. Lantai tanah kita yang becek dan berlumpur itu sudah kuganti dengan keramik-keramik yang indah dan mengkilap sayang. Kau hanya perlu datang dan menggagumi betapa indahnya istana kita yang megah ini. Oh iya, televisi hitam putih kita yang lama telah kuganti dengan televisi yang lebih tipis dan lebar. Kamu pasti tidak percaya kalau televisi kita yang baru itu aku tempel di tembok kita yang penuh warnah itu. Setelah kau pulang, kau akan terkejut dengan penampilan istrimu ini yang tentunya tidak bedah jauh dengan gadis-gadis di sana yang berkulit mulus itu. Kau tahu kan, berkat uang kirimanmu itu kini aku sudah kelihatan lebih bersinar berkat aneka cream dan juga bedak yang aku lihat di iklan-iklan dalam televisi itu. Kau pasti akan bangga dengan kecantikan dan keanggunan istrimu ini.
            Aku juga sudah mulai berlangganan koran sayang, sebuah kebiasaa baruku yang mungkin terasa aneh bagimu. Ya, semenjak berita tentang beberapa tenaga kerja kita yang meninggal dan mayatnya dikirim pulang dari tanah rantau, aku semakin mencemaskan dirimu. Cepatlah pulang sayang, aku menantikan dirimu. Aku bosan hanya merindukan bayangmu dari setiap lembar-lembar korang yang kubaca. Kau tahu sayang, isinya hanya penuh dengan aroma kematian. Aku mulai merasa mual dengan bau darah yang tertuang dibalik tinta-tinta yang tercetak itu. Belum lagi dengan cerita tentang korupsi para calon kepala daerah ataupun juga dengan gelagat para wakil rakyat yang tidak pernah puas-puasnya memperkosa ayat demi ayat undang-undang di atas meja persidangan. Aku jenuh dengan mereka sayang, aku hanya merindukanmu. Anak kita sudah semakin besar dan juga sudah bisa sedikit berbicara. Datanglah dan ajarlah dia supaya dapat menjadi perkasa sepertimu sayang.
..........
            Musim Ketiga, Hari ini.
            Aku membaca berita di koran beberapa hari yang lalu tentang dirimu. Tentang teanga kerja yang meninggal karena dianiaya majikannya, dan juga tentang isi tubuhmu yang sudah raib entah kemana. Mungkin sudah dijual atau mungkin juga seluruh tubuhmu dikosongkan supaya menjadi tempat bagi mereka untuk menyelundupkan narkoba. Kau tahu sayang, aku menangis membaca berita itu. Tetapi aku tidak percaya, sebab nama yang disebutkan itu bukan dirimu tetapi foto yang kulihat adalah wajahmu. Aku tidak percaya sayang. Kau terlalu perkasa untuk dilakukan seperti itu. Kulitmu sudah terlalu tebal ditempa teriknya matahari, mana mungkin sebuah rotan dapat menembusi kulitmu itu? Ataukah mungkin bahwa dia itu adalah saudara kembarmu? Tetapi mengapa kau tidak pernah mengenalkannya kepadaku? Aku tidak percaya akan semua ini sayang. Pulanglah dan buktikanlah kepadaku bahwa sosok itu bukanlah kau. Musim ini adalah musim terakhir bagimu untuk pulang. Kupandangi hamparan sawah di depan rumah kita. Masih menghijau. Itu bukan kau sayang, itu bukan kau.
            Aku sudah menjelaskan kepada semua orang bahwa itu bukanlah kau, tetapi masih saja mereka semua tidak percaya. Bahkan semakin banyak pelayat yang datang dan mencoba untuk menguatkanku. Aku tidak menangis, sebab aku yakin kalu itu bukanlah kau. Padi di depan di depan rumah kita belum menguning, berarti kau belum kembali. Dan aku berharap semoga hari ini kau belum pulang sayang.
            Bunyi sirene ambulance menggema di pelataran rumah kita, istana baru kita yang aku bangun dari uang hasil rantauanmu di sana. Pintu mobil dibuka dan jasadmu turut serta. Semua orang yang ada di pelaratan rumah kita menangis mengiringi peti matimu. Peti baru yang masih mengkilat warnanya. Bau darah masih menyebar, dan aroma kematian menempel kental di sekujur peti matimu. Aku tidak menangis. Itu bukan kau, aku yakin itu bukan kau.
            “Ini adalah suamimu. Ia pergi ke sana dengan menggunakan passpor yang palsu. Dia pekerja ilegal.
            “Tidak. Itu bukan dia! Dia sudah berjanji. Akan kubuktikan itu semua kepada kalian.” Segera aku berlari keluar rumah, menuju ke arah pematang. Aku mulai muak dengan semua kebohongan yang ada di dalam rumah kita. Kuarahkan pandanganku kepada hamparan padi yang sementara bergoyang, dan air mataku mulai jatuh di ats bulir-bulirnya. Padi itu mulai menguning, tubuh yang penuh jahitan itu semakin mendingan, dan aku semakin menggigil. Itu kau sayang, itu kau.
                                               
 

No comments:

Post a Comment