MODEL PENDIDIKAN MASA KINI
ABSTRACT
“The goal of education according to Habermas is to
humanize human being. There was a wise man from India ever said that an answer
against one thousand problems was education. Nelson Mandela also said: education
was the most powerful weapon that we could use to change the world. These
all show us that education becomes a very urgent need of human life.
Through education human being is processing to be more human and finding the
solution against a number of problems of his/her life like poverty, ignorance
and many other cases”.
Tujuan pendidikan menurut Habermars adalah
memanusiakan manusia. Seorang bijak dari India pernah berujar: satu jawaban
terhadap seribu persoalan adalah pendidikan. Nelson Mandela juga mengatakan
bahwa pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk menghancurkan berbagai
belenggu. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi kebutuhan yang sangat
urgen dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia berproses untuk
menjadi lebih manusiawi, dan menemukan solusi terhadap sejumlah persoalan
hidupnya seperti kemiskinan, kebodohan, rendahnya akhlak, moral dan etika, tata
krama dalam besosialisasi dan berkomunikasi, serta sejumlah persoalan lainnya.
Pendidikan sebagai bagian dari
pembangunan aklak dan moral telah lahir ribuan tahun silam. Titik mulanya
adalah Yunani dalam rintisan Plato. Plato memulainya dengan mengajar para
pemuda di kota Athena dalam tingkat akademi. Pada level ini para pemuda belajar
logika, kemampuan menyampaikan pendapat, berorasi, berdebat, dan kemampuan
bernalar. Plato meletakkan dasar rational dengan maksud agar setiap orang
selalu menggunakan ratio dalam berbagi aspek kehidupan. Dengan demikian sesungguhnya
semua orang mempunyai hak yang tidak dapat diganggu gugat atas pendidikan.
Sayap
pendidikan pada akhirnya berkembang ke semua negara termasuk Indonesia. Model
pendidikan yang dibangun di Indonesia adalah pendidikan berjenjang mulai dari
tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Pendidikan kemudian dirangkum
dalam suatu lembaga dengan tujuan agar mendapat pengawasan dari negara sehingga
tidak melenceng dari tujuan awalnya yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
(alinea IV UUD 45). Apabila bangsa menjadi cerdas maka bangsa ini akan keluar
dari sejumlah persoalan yang melilit seperti kemiskinan, kebodohan pembagunan
akhlak, dan juga sejumlah persoalan dalam kehidupan bernegara seperti layanan
birokrasi, demokrasi (mampu mengaspirasikan pendapat dan memperjuangkan hak).
Pendidikan
dalam prosesnya di Indonesia menuai sejumlah persoalan. Bertolak dari pandangan
Habermars di atas, pendidikan hadir untuk membangun manusia secara utuh yakni
nalar/logika serta moral dan akhlak. Persoalan
yang timbul dalam proses penyelenggaraan pendidikan adalah:
- Proses Pendidikan Mengabaikan Pembangunan Mental
Kecenderungan pendidikan masa kini
adalah membangun manusia secara partial yakni hanya pada penguasaan IPTEK dan
mengabaikan pembangunan moral etika. Fakta yang dapat diamati adalah pendidikan
mencetak manusia yang brilian dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
tetapi keahlian tersebut digunakan untuk membunuh manusia itu sendiri melalui
tindakan bom bunuh diri, teror bom, pembobolan ATM, bajak kapal laut, bajak
pesawat, korupsi berdasi dan tersistem dan lain-lain. Situasi ini menghasilkan
manusia Indonesia yang lemah integritas. Cirinya adalah bekerja dengan benar
dan disiplin kalau sedang dalam pantauan, alias munafik. Menggunakan kekuasaan
yang diperoleh melalui jabatan politik atau structural sebagai kesempatan untuk
membangun system yang memungkinkan terjadinya KKN. Situasi
ini kemudian memunculkan persoalan berantai dalam dunia pendidikan seperti
politisasi pendidikan, pendidikan dijadikan sebagai lahan mencari popularitas,
peluang bisnis. Persoalan tersebut di atas menyeret pendidikan kedalam
lingkaran rantai hitam yang tunduk pada system yang sedang berkuasa, menyembah
kekuatan ekonomi dan politik. Pada titik ini pendidikan kehilangan ciri
independen dan fungsi kritik yang membangun demi mencapai cita-cita bangsa yang
tertuang dalam alinea ke IV UUD 1945.
- Isu Negeri Dan Swasta
Mirisnya, isu ini
muncul dari iklim yang dikondisikan oleh lembaga plat merah. Fakta ini bermula
dari adanya perhatian terhadap kesejahteraan tenaga pendidik. Pemerintah lebih
memprioritaskan tenaga pendidik yang mengabdi pada lembaga pendidikan berlabel
negeri. Isu ini memunculkan kecenderungan sikap menganaktirikan lembaga
pendidikan swasta teristimewa tenaga pendidiknya. Dampak ini makin meluas pada
minat peserta didik yang lebih cenderung memilih sekolah negeri sebagai tempat
menimba ilmu dibanding sekolah swasta, karena biaya sekolah negeri sangat
murah, bahkan gratis. Isu ini makin lama makin menguat.
Faktanya adalah rendahnya minat tenaga pendidik untuk mengabdi pada sekolah
swasta, rendahnya minat peserta didik untuk mendaftar dan mengenyam pendidikan
pada sekolah swasta. Pada dimensi ini kita menemukan bahwa tanpa disadari kita
membangun sistem yang lebih pada mendewakan nama, label bukan pada proses.
Masyarakat lebih merespon lembaga pendidikan berlabel negeri untuk mendapat
perhatian ekstra dari negara bukan karena proses pendidikannya yang matang dan
berkualitas (untuk NTT sekolah swasta masih unggul dan mengangkat nama daerah).
Ini jelas menunjukkan bahwa masyarakat dan dunia pendidikan sedang memuja label
bukan proses. Label bukan jaminan untuk
menghasilkan anak didik yang lebih berkualitas, tetapi pada prosesnya. Proses pendidikan yang disiplin, yang benar, berkualitas
akan menghasilkan manusia Indonesia yang berintegritas tinggi.
Tindakan
mengabaikan proses dan memuja label melahirkan manusia instan. Cirinya adalah
menginginkan hasil tanpa melalui proses perjuangan dan pengorbanan. Pendidikan
dengan ciri ini menciptakan generasi yang cenderung bertindak brutal, tidak
mampu mengontrol diri dan emosi, suka berteriak, memaksakan keinginan dan
menjadi egois. Negara akan kehilangan generasi yang berjuang tanpa pamrih, rela
berkorban, menghargai hasil karya dan keringat orang lain, mencintai rasa sakit
yang timbul dari proses, bersikap optimis, pantang menyerah dan melihat
kegagalan sebagai titik memulai proses baru dengan semangat juang yang lebih
gigih.
Dampak
lainnya adalah mematikan sekolah-sekolah swasta. Dikotomi swasta dan negeri secara
tidak langsung membunuh sekolah swasta dan menumbuhkan pola pikir baru bahwa
sector swasta bukanlah sector yang menjanjikan, lahan kelas dua, kurang bermasa
depan dan sejumlah stigma buruk lainnya. Jika pola pikir ini tumbuh dan bermula
dalam lingkungan pendidikan, bagaimana mungkin kita mampu menciptakan generasi
enterpreuner, yang mampu berwiraswasta, menciptakan lapangan kerja, kalau dunia
pendidikan sendiri memunculkan stigma bahwa lembaga swasta adalah lembaga kelas
rendah. Campur tangan pemerintah yang berlebihan
memperbesar bahaya etatisme.
Stigma
swasta dan negeri bagai titik api. Percikannya
kian hari kian melebar dan memunculkan titik-titik persoalan baru. Penyelenggaraan
pendidikan sudah tidak profesional. Pendidikan keluar dari fungsi asalnya yakni
sebagai jawaban atas persoalan-persoalan nyata manusia. Penyelenggaraan
pendidikan justru memunculkan persoalan lain yang lebih besar. Persoalan yang
bisa dilihat adalah pendidikan mencetak manusia berijasah tetapi tidak mampu
berpikir dan bertindak lebih rational, menghasilkan manusia jenius tetapi
bermental destruktif. Cirinya adalah memuja pikiran negative, tidak berjiwa
membangun. Fakta yang bisa diamati adalah disiplin yang rendah, korupsi atau
yang lebih tragis adalah mengembangkan sikap teror melalui opini, bom bunuh
diri, ancaman bom dan lain-lain. Persoalan lain dari dunia pendidikan masa kini
adalah dunia pedidikan melahirkan masyarakat pendidikan yang tidak mampu memecahkan
persoalan hidupnya sendiri seperti kemiskinan, pemenuhan lapangan kerja karena
rendahnya kreatifitas. Dunia pendidikan
dan lapangan kerja berlabel plat merah menjadi dewa, dianggap lebih bergengsi
dibanding lapangan kerja dan dunia pendidikan swasta.
Persoalan
ini justru menguras perhatian masyarakat pencinta pendidikan. Kita lebih sibuk
mengurus label, bukan proses pendidikan, tujuan dan fungsi pendidikan, output
dunia pendidikan. Persoalan label justru mengalihkan perhatian. Persoalan ini
menunjukkan bahwa kita memiliki pandangan yang sempit terhadap hakekat dan
eksistensi pendidikan. Persoalan ini membuat kita (Indonesia) tetap tertinggal
dalam banyak hal, walau banyak hal positif dimiliki Indonesia. Bahwa sejatinya
pendidikan sebagai sarana output manusia yang bermental dan berkarakter baik
dan berwawasan luas sebenarnya bukan ditentukan oleh labelnya tetapi pada
prosesnya. Di zaman Rousseau pendidikan dilaksanakan secara otoritatif dengan
disiplin ketat dan nyaris mekanis sampai membuat peserta didik kurang bebas
berpikir mandiri. Hal ini ditolak oleh Rousseau, Baginya pendidikan harus
ditransformasikan sedemikian rupa untuk membawa perubahan.
Pada titik ini, semua elemen perlu
berbenah untuk mengembalikan pendidikan pada fungsi asalinya yakni sebagai
sarana pemecah persoalan manusia, dan sarana yang menjadikan manusia lebih
manusiawi karena memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup serta karakter mental/spiritual,
moral dan etika yang baik. Semua ini akan tercapai apabila pendidikan berproses
secara benar. Proses yang benar akan mematangkan emosi mental dan ratio
sehingga menciptakan output yang bermental dan memiliki ratio yang baik. Ratio
dan mental yang tumbuh dari proses yang baik akan melahirkan manusia yang lebih
respek dan berperilaku positif seperti disiplin, kerja keras, bertanggung
jawab, positive thinking dan
lain-lain.
Jika pendidikan berbicara tentang
pembangunan manusia untuk menjadi lebih manusiawi dan menciptakan output yang mampu menjawabi persoalan
hidupnya melalui tindakan berpikir dan sikap (attitude) maka kita menemukan bahwa pendidikan mengemban fungsi
ganda. Pendidikan tidak hanya mendidik ratio tetapi juga membangun karakter:
spiritual, moral dan etika. Bagaimana mungkin pendidikan mampu berdiri kokoh
dan berteriak dengan lantang untuk hal-hal tersebut jika dunia pendidikan
sendiri tidak mampu memecahkan persoalan dalam dirinya. Kelihatannya dunia
pendidikan lebih focus pada persoalan sepele seperti label swasta dan negeri,
mengabaikan proses, cenderung terlibat dan dikendalikan oleh iklim demokrasi
electoral, cenderung menjadikan dunia pendidikan sebagai lahan bisnis, kasta
kelas elit dan kelas pinggiran.
Apabila dunia pendidikan semakin
tenggelam dan sibuk dengan persoalan-persoalan sepele tersebut di atas maka
dunia pendidikan akan melupakan hakekat dan nilai yang harus diperjuangkan.
Dunia pendidikan akan kehilangan wibawa dan dikuasai oleh pelaku bisnis dan
politik electoral. Jika demikian maka pendidikan kehilangan martabat sebagai
proses mendidik dan mencerahkan mental dan ratio generasi bangsa. Dunia
pendidikan sebagai tempat membangun pola pikir yang baik, mental yang baik demi
kemajuan bangsa akan lambat laun menjadi hilang. Jika ini makin dibiarkan, kita
akan menemukan generasi baru yang bersifat destruktif,
dehumanis. Ciri perilakunya adalah
lebih bangga terhadap hal-hal yang rendah dan negative seperti pandai korup,
hebat berkelahi, pintar berkelit, pandai berbohong dan lain-lain. Jika kita
hidup dalam situasi, pola pikir dan suasana demikian maka lambat laun kita akan
tidak mampu membedakan mana yang prinsip, mana yang benar, mana yang tidak
boleh. Kita akan mencapuradukan kebohongan dan kejujuran, kesalahan dalam
kebenaran demi keuntungan pribadi, pemenuhan ego, langgengnya jabatan politik,
mencari rasa aman dan lain-lain.
- Adanya Ketidakadilan Distributif
Ketidakadilan yang dimaksud di sini
adalah tidak adanya bentuk perhatian yang sama dan seimbang antara sekolah di
kota dan sekolah di desa. Perhatian dimaksud adalah adanya penyaluran fasilitas
pendidikan dan tenaga pendidik yang merata dan seimbang antara sekolah-sekolah
di kota dan desa. Sekolah-sekolah dikota mendapat fasilitas dan tenaga pendidik
yang cukup dibanding sekolah-sekolah di desa. Hal
ini menyebabkan peserta didik dari kalangan ekonomi mampu lebih memilih
mengenyam pendidikan di kota daripada di desa. Sejumlah persolan yang muncul
dari situasi ini adalah mobilisasi penduduk generasi muda dari desa ke kota
semakin tinggi. Fakta ini menyebabkan adanya desa menjadi sepi, perputaran uang
di kota menjadi lebih cepat dan lancar karena uang yang ada di desa dibawa dan
dibelanjakan di kota, pertumbuhan fasilitas di kota menjadi lebih cepat karena
daya beli masyarakat semakin tingi sementara roda perekonomian di desa menjadi
semakin layu. Pada titik ini tanpa disadari dunia pendidikan sedang membangun
sistem yang secara tidak langsung membunuh desa, menghambat pembangunan yang
dicanangkan oleh pemerintah sekarang yakni membangun dari desa, memberdayakan
desa, membuat desa bergeliat dan menjadi lebih hidup.
Persoalan lainnya
adalah kwalitas output berbeda
walaupun memliliki tingkat ijasah yang sama. Hal ini disebabkan karena
fasilitas pendidikan dan tenaga pendidik yang berbeda dalam dunia pendidikan.
Kualitas fasilitas dan tenaga pendidik menyebabkan proses transfer ilmu
pengethuan, teknologi dan pembangunan aklak menjadi semakin mudah.
Sekolah-sekolah tertentu mendapat label sekolah
elit dengan fasilitas dan tenaga pendidik yang mewah sementara ada sekolah
kelas masyarakat pinggiran, kelompok ekonomi lemah dengan fasilitas serba
terbatas dan kekurangan. Hal ini menyebabkan adanya tingkat perbedaan
penguasaan ketrampilan, pengetahuan dan wawasan yang tidak merata di antara
para out put. Pada titik ini kita
menemukan adanya tindak diskriminatif dalam dunia pendidikan, pembagian kasta
karena adanya kasta elit dan kelas rendah.
Pemerintah sebagai
sebuah lembaga yang memiliki fungsi kontrol mengabaikan tanggung jawabnya. Hal
ini disebabkan oleh karena takut dihukum dalam kotak suara, takut kehilangan
simpati, tidak mampu bertindak tegas untuk menegakkan wibawa dan fungsi otentik
dunia pendidikan karena memiliki kepentingan politik dalam dunia demokrasi
elektoral. Aparatur pemerintah yang bertanggungjawab dalam mengatur dan
mengontrol dunia pendidikan sering tidak bersuara dan menjadi inkonsisten dalam
membangun nalarnya tentang pendidikan. Tindakan
inkonsisten yang dimaksud adalah adanya konsep dualisme terhadap pendidikan. Ketika
berada di antara kelompok elit aparatur penanggung jawab berlaku sebagai
kelompok elit, ikut mendukung prilaku elit dan menjadi warga elit. Aparatur
penanggungjawab tidak berani bertindak tegas untuk menarik tenaga pendidik,
sarana pendidikan untuk didistribusikan kepada kelompok pinggiran. Demikian
pula, ketika berada dalam kelompok pinggiran aparatur penanggungjawab tidak
berani menutup sekolah yang tidak layak karena tidak memenuhi syarat dari segi
tenaga pendidik dan fasilitas pendidikan. Sarana belajar yang tidak layak dan kualitas
tenaga pendidik yang minim dibiarkan dan proses pendidikan yang berjalan dalam
situasi serba kekurangan dibiarkan terjadi. Hasilnya dapat dipastikan bahwa sedikit
lebih rendah dibanding peserta didik yang beruntung dan mengenyam pendidikan di
sekolah elit.
Pemerintah
sebagai penanggung jawab mestinya membantu mengangkat sekolah-sekolah swasta
dan negeri kelas pinggiran untuk berdiri sama tinggi dan sejajar dengan
sekolah-sekolah elit. Hal ini bukanlah sesuatu yang
mustahil karena negara-negara lain telah menerapkannya. Misalnya di Kanada,
Australia. Pemerintah bertanggung jawab penuh dalam menyediakan fasilitas dan
tenaga pendidik sehingga tidak terciptanya sekolah elit dan sekolah kelas
bawah.
Jika demikian maka
kwalitas pendidikan berjalan kian merata, keadilan distributif di bidang
pendidikan makin terasa, tidak tercipta golongan atau kelas dalam dunia
pendidikan. Dengan demikian setiap subyek akan memiliki konsep yang sama,
berpikir dalam taraf kwalitas yang sama mengenai output, dan kembali kepada hakekat dan eksistensi pendidikan dalam
pandangan Habermars yakni menjadikan manusia lebih manusia. Manusia yang
dimaksud adalah subyek yang terdiri dari jiwa dan raga ratio dan mental. Dalam
konteksnya tentang Indonesia, pendidikan menjadi sarana mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Pemerataan konsep
dimaksud adalah bahwa di daerah manapun, di lembaga pendidikan manapun, output
yang dihasilkan akan memiliki jiwa dan karakter tutwuri handayani, ing madyomangun karsa, dan ing ngarso sung tulodo. Output dunia pendidikan ketika menjadi
pemimpin dalam garda terdepan, mampu memberi teladan dalam dimensi berpikir,
membangun opini publik, dan mampu membangun semamgat dan dukungan yang positif.
Nilai-nilai luhur
bangsa dalam dunia pendidikan dalam konteks budaya Indoesia ini justru makin
pudar di tengah demokrasi elektoral. Bias demokrasi elektoral telah menyusup ke
dalam dunia pendidikan sehingga iklim saling menyemangati, memberi teladan
makin terabaikan. Stakeholder di
bidang pendidikan diangkat berdasarkan kepentingan atasan, bukan pada prinsip the right man on the right place. Budaya
lawan dan kawan mulai dibangun secara sistematis dalam lembaga pendidikan. Kita
bisa menemukan adanya berbagai kubu dalam satu lembaga pendidikan, blok A, blok
B dan blok netral. Situasi ini cenderung menciptakan iklim yang kurang
kondusif, dan para pelaku pendidikan cenderung bekerja berdasarkan kepentingan
politik, bukan untuk tujuan pendidikan.
Daftar Pustaka:
1. Awam Katolik di
Sekolah: Saksi-saksi Iman. Jakarta: Komisi Pendidikan KWI, 2008
2.
Kitab Hukum Kanonik tentang Pendidikan Katolik. Jakarta: Komisi Pendidikan KWI,
2008
3.
Atmadi, A. dan Setiyaningsih, Y. (Editor). Transformasi Pendidikan Memasuki
Milenium Ketiga. Yogyakarta: Kanisius, 2000
4. Mochtar
Buchori, Evolusi Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2007
5.
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
2004
6.
Dokumen Konsili Vatikan II: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta:
1998
7. Nota Pastoral
Tentang Pendidikan, KWI: 2008
No comments:
Post a Comment