KEKATOLIKAN
SEKOLAH KATOLIK
Herman
P. Panda
ABSTRACT
In this article the author
presents the views of the Catholic Church herself about the identity of Catholic schools. This view is spread
in a number of Church documents both issued by the Vatican II and by the Pope
and Roman Dicasteries. According to this view, Catholic schools have a basic call to educate children and young people
to become individuals who have integrity, wisdom and firm faith. For this reason, every Catholic School must continue to
maintain a supernatural vision, a strong anthropological foundation, an
integral education, the spirit of unity and togetherness of all those involved
in the educational process and sustained by the living testimony of the
teachers.
Key
words: Pendidikan, visi adikodrati, antropologi kristiani, bijaksana, berintegritas,
beriman.
Pengantar
Dalam salah satu
kunjungan lima tahunan (ad limina visit)
para uskup Amerika Serikat ke Vatikan, Bapa Suci Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa “amatlah
penting lembaga-lembaga Katolik menjadi benar-benar Katolik: Katolik dalam
pemahaman diri dan identitas mereka.” Lebih lanjut Bapak Suci mengatakan: “semua
mereka yang ambil bagian dalam karya kerasulan dari lembaga-lembaga tersebut,
termasuk mereka yang tidak beriman Katolik, mesti menunjukkan apresiasi yang
jujur dan penuh penghargaan terhadap misi yang merupakan inspirasi sekaligus
alasan utama keberadaan lembaga-lembaga tersebut.”
Walaupun kata-kata
di atas ditujukan kepada para uskup Amerika Serikat, tetapi pada dasarnya
peringatan Paus ini berlaku pula untuk semua lembaga Katolik di mana pun
berada, termasuk sekolah-sekolah Katolik. Sebab karena identitas Katoliknya,
sebuah sekolah Katolik secara niscaya merupakan sarana penyaluran nilai-nilai
Kerajaan Allah bagi anak-anak dan kaum muda. Dan apa yang dikemukakan Paus di
atas bukanlah hal baru. Konsili Vatikan II dalam Pernyataan tentang Pendidikan
Kristen Gravissimum Educationis telah
menegaskan: “Sekolah Katolik, sementara sebagaimana harusnya membuka diri bagi
kemajuan dunia modern, mendidik para siswanya untuk dengan tepat guna
mengembangkan kesejahteraan masyarakat di dunia, serta menyiapkan mereka untuk
pengabdian demi meluasnya Kerajaan Allah, sehingga dengan memberi teladan hidup
merasul, mereka menjadi bagaikan ragi keselamatan bagi masyarakat luas”.
Lalu, apakah tanda
bahwa sebuah sekolah Katolik benar-benar mewujudkan kekatolikannya? Di bawah
ini akan dikemukakan lima prinsip yang diharapkan ada dalam sekolah Katolik,
sebagai penentu identitas katoliknya. Kelima prinsip ini disusun berdasarkan
pemahaman saya atas ajaran Magisterium Gereja, sebagaimana terdapat dalam
berbagai dokumen.
1.
Visi
Adikodrati
Sebuah sekolah
Katolik memiliki visi adikodrati sebagai sumber inspirasi utama. Dasar kuat Gereja
membangun sebuah filosofi tentang pendidikan seperti ini adalah pemahaman bahwa
pendidikan merupakan proses pembentukan manusia seutuhnya, secara khusus
manusia yang hatinya senantiasa terarah kepada Tuhan. Sekolah Katolik berusaha
mendidik siswa supaya kelak menjadi warga masyarakat yang baik, yang mampu
memperkaya lingkungan hidupnya dengan ragi injili, tetapi sekaligus tidak lupa
akan tujuan terakhir hidupnya yaitu menjadi warga “dunia yang akan datang”.
Dengan kata lain, sekolah Katolik memiliki tujuan utama yaitu mendorong
pertumbuhan manusia Katolik yang baik, yang mengasihi Allah dan sesama, dan
dengan demikian berada di jalan menuju kekudusan.
Hal ini penting di
tengah-tengah dunia yang semakin dirongrong oleh semangat keduniawian di mana
Tuhan ditempatkan pada pinggiran kehidupan. Bila kita gagal mempertahankan visi
adikodrati seperti di atas, segala pembicaraan kita tentang kekatolikan sekolah
Katolik, tidak lebih dari sekadar “gong yang berkumandang dan canang yang
gemerincing” (1 Kor 13: 1).
2.
Dasar Antropologis Yang Kuat
Sekolah Katolik
didirikan di atas dasar pemahaman yang benar tentang martabat manusia
kristiani. Dengan menekankan tujuan adikodrati peserta didik, tercakup pula di
dalamnya suatu penghargaan mendalam atas perlunya mendidik anak-anak menuju
kesempurnaan sebagai citra Allah (Kej 1: 26-27) dalam segala dimensinya. Iman
Katolik mengajarkan bahwa rahmat Allah bekerjasama dengan kodrat manusia. Dalam
hal ini terdapat kerjasama yang saling melengkapi antara hal yang adikodrati
dan yang kodrati. Untuk itu, semua yang terpanggil untuk mengabdi di
sekolah-sekolah Katolik perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang pribadi
manusia. Secara khusus mereka yang mengajar atau menjadi pembimbing di
sekolah-sekolah Katolik, perlu memiliki pemahaman menyeluruh tentang manusia
(tidak hanya sebatas bidang ilmu tertentu), terutama memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan untuk perkembangan baik kodrati maupun adikodrati peserta
didik.
Berkali-kali
dokumen Tahta Suci mengulangi pentingnya suatu filosofi tentang pendidikan yang
dibangun di atas dasar antropologi kristiani yang mantap. Dalam dokumen
berjudul “Awam Katolik di Sekolah-sekolah: saksi iman. Tahta Suci menjelaskan
bahwa dalam dunia yang pluralis dewasa ini, pendidik Katolik harus secara sadar
menginspirasi kegiatannya dengan konsep kristiani tentang manusia, dalam
kesatuan dengan kuasa mengajar Gereja. Konsep tersebut meliputi pembelaan
hak-hak azasi manusia tetapi juga konsep tentang pribadi manusia sebagai anak
Allah, yang memiliki kebebasan penuh, tertebus dari dosa oleh Kristus, dan
tujuan tertingginya adalah kesatuan total dengan Allah melalui kasih. Manusia
seperti itu juga mengembangkan suatu relasi solidaritas dengan manusia lain
melalui kasih timbal balik. Selanjutnya manusia dipanggil pula kepada tugas
mengembangkan secara penuh segala ciptaan karena dia dikehendaki oleh
Penciptanya sebagai tuan atas segala ciptaan lain.
Dokumen-dokumen
Tahta Suci yang lain, dengan berbagai cara menegaskan bahwa supaya layak menyandang
gelar Katolik sebuah sekolah Katolik harus berdiri di atas dasar Kristus Sang
Penebus yang melalui penjelmaannya telah bersatu dengan manusia, termasuk para
siswa. Kristus bukan sekadar tambahan pada visi sebuah sekolah Katolik tetapi
berada pada pusat, dan menjadi terang yang menerangi setiap siswa yang datang
menimba ilmu di sekolah Katolik. Maka sekolah Katolik harus berjuang mewujudkan
perkembangan manusia seutuhnya, sebab di dalam Kristus Sang manusia sempurna,
segala nilai manusiawi menemukan kepenuhan dan kesatuannya. Di sinilah letak
dari karakter khas sekolah Katolik: tugas utamanya adalah memelihara
nilai-nilai manusiawi yang bersumber pada figur Kristus sebagai model utama.
Injil dan pribadi
Yesus Kristus merupakan inspirasi dan penuntun sekolah Katolik dalam setiap
aspeknya: filosofi pendidikannya, kurikulum, kehidupan komunitas sekolah,
pengangkatan guru bahkan juga dalam menata lingkungan fisik sekolah. St.
Yohanes Paulus II pernah mengatakan: pendidikan Katolik pertama-tama adalah
persoalan mengkomunikasikan Kristus dan membantu orang lain untuk menghidupi
hidup Kristus.
Bahwa Kristus
merupakan dasar dari setiap sekolah Katolik bukanlah hal baru. Akan tetapi
pengakuan seperti ini, kadang-kadang kurang didalami. Dengan antropologi
kristiani yang mantap, pendidik Katolik dimampukan untuk mengenal Kristus
sebagai standar dan ukuran kekatolikan sebuah sekolah Katolik. Kristus
merupakan dasar dari seluruh usaha pendidikan dan prinsip-prinsip Injil
merupakan norma penuntun.
3.
Semangat
Persatuan Dan
Kebersamaan
Sekolah Katolik dijiwai
oleh semangat persatuan dan kebersamaan. Dokumen-dokumen Gereja juga menekankan
aspek komunitas sebuah sekolah Katolik, yaitu suatu kenyataan yang berakar pada,
baik kodrat sosial pribadi manusia maupun faham Gereja sebagai rumah persatuan
dan kebersamaan. Pemikiran tentang sekolah Katolik sebagai sebuah komunitas
pendidikan, merupakan perkembangan baik bagi sekolah-sekolah dewasa ini.
Konsili Vatikan II dalam Pernyataan tentang Pendidikan Kristen mencatat suatu
perkembangan penting dari cara memandang sekolah-sekolah Katolik yaitu
perubahan dari perspektif sekolah sebagai sebuah lembaga ke perspektif sekolah
sebagai sebuah komunitas. Aspek
komunitas ini barangkali merupakan suatu hasil dari kesadaran baru dalam
memahami hakikat Gereja sebagaimana dikembangkan dalam Konsili tersebut. Dalam
teks-teks Konsili Vatikan II, aspek komunitas pertama-tama adalah konsep
teologis dan bukan kategori sosiologis.
Ada tiga hal yang
Tahta Suci lihat dan harapkan dari perkembangan sebuah sekolah Katolik sebagai
komunitas. Pertama, adanya tim kerja yang kompak atau suatu kerjasama dari
mereka yang terlibat dalam pengelolaan sekolah; kedua, interaksi antara siswa
dan guru; ketiga, lingkungan fisik sekolah yang asri dan nyaman bagi semua
warganya.
Bagi sekolah setingkat
Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, diharapkan tercipta suatu lingkungan fisik
yang nyaman dengan relasi yang hangat antara guru dan siswa bagaikan lingkungan
rumah dan keluarga. Pengelola sekolah perlu berusaha mendorong dan menciptakan
suasana di mana anak menaruh kepercayaan tinggi pada guru sehingga memungkinkan
dia dapat bergiat secara spontan dan kreatif. Hal ini mengandaikan adanya
kemauan baik dari semua untuk bekerjasama. Guru awam, Imam dan biarawan / wati
yang terlibat dalam pengelolaan sekolah serta orangtua siswa bekerjasama
sebagai tim yang kompak untuk kebaikan sekolah, dengan memperhatikan
keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing.
Filosofi
pendidikan Katolik yang diterapkan dalam setiap jenjang pendidikan perlu
menaruh perhatian khusus pada relasi interpersonal di dalam komunitas
pendidikan sekolah, terutama antara siswa dan guru. Selama masa anak-anak dan
remaja, seorang siswa membutuhkan pengalaman relasi personal dengan para
pendidik mereka. Apa yang diajarkan akan berpengaruh lebih besar bagi hidup
siswa bila ditempatkan dalam konteks keterlibatan personal, kerjasama yang
tulus, kesesuaian antara perkataan dan tindakan, serta sikap hidup sehari-hari.
Suatu lingkungan pendidikan yang mendorong dan memberanikan siswa akan jauh
lebih efektif ketimbang kedisiplinan yang kaku yang malahan dapat menciptakan
banyak kemunafikan. Sebuah prinsip pembinaan mengatakan: “yang afektif itulah
yang efektif.”
4.
Pendidikan
Yang Integral
Sekolah Katolik
berusaha menerapkan pandangan hidup Katolik, tidak hanya melalui pelajaran
agama Katolik atau aktivitas pastoral sekolah, melainkan keseluruhan kurikulum.
Dokumen Konsili Vatikan II berbicara tentang “suatu pendidikan integral, yaitu
pendidikan yang menjawabi semua kebutuhan manusia sebagai suatu pribadi.”
Itulah sebabnya Gereja mendirikan sekolah-sekolah, karena sekolah adalah tempat
istimewa untuk melaksanakan pembinaan secara keseluruhan bagi pribadi manusia.
Suatu pendidikan integral bertujuan membantu perkembangan secara bertahap
setiap aspek kemampuan siswa: aspek intellektual, fisik, psikologis, moral dan
keagamaan. Pendidikan diarahkan secara langsung bagi perkembangan seluruh
pribadi manusia.
Untuk itu, sekolah
Katolik perlu senantiasa diilhami dan dituntun oleh semangat Injil. Sebagaimana
telah disebutkan di atas, sekolah Katolik dapat mengingkari tujuannya jika
gagal menjadikan pribadi Kristus dan InjilNya sebagai pegangan utama. Sebab sesungguhnya,
sekolah Katolik mendapatkan dari Kristus segala daya yang perlu bagi karya
pendidikannya.
Karena peranan
Injil sebagai kekuatan dan penuntun bagi sekolah Katolik, kita mungkin tergoda
untuk berpikir bahwa identitas dan kekhasan pendidikan Katolik terletak pada
kualitas pendidikan agama, katekese dan kegiatan pastoral lainnya. Tetapi
sekolah Katolik menjadi Katolik bukan tergantung dari program dan kegiatan
seperti itu, walaupun tentu saja baik dan perlu. Sebaliknya sebuah sekolah
disebut sekolah Katolik karena mendidik manusia dalam keseluruhan aspek
kepribadiannya, serta menyentuh baik kebutuhan kodrati maupun adikodratinya.
Sebuah sekolah disebut Katolik bila menyelenggarakan pendidikan yang integral,
yang menghasilkan manusia yang memiliki kepenuhan hidup manusiawi dan siap
melayani sesama dan juga senantiasa mempersiapkan diri untuk kehidupan yang
akan datang.
Gereja Katolik
memiliki cara pandang yang khas atas dunia, dan hal ini menginspirasi
sekolah-sekolahnya. Pandangan tersebut berupa pandangan hidup yang menyeluruh
yang perlu menerangi kurikulum pendidikan. Tahta Suci dalam berbagai dokumen
telah menyampaikan hal-hal yang dapat mengilhami dalam penyusunan kurikulum,
demi suatu pendidikan integral bagi siswa-siswi. Di antaranya, pertama, prinsip mencari kebijaksanaan
dan kebenaran, dan kedua, integrasi antara
iman, hidup dan kebudayaan.
4.1.
Mencari Kebijaksanaan
Dan Kebenaran
Di
era teknologi informasi ini, di mana manusia kebanjiran informasi yang dapat
diakses kapan saja, sekolah Katolik perlu secara khusus memperhatikan
keseimbangan antara pengalaman dan pengertian. Para siswa mungkin memiliki
banyak pengalaman tetapi ada risiko kehilangan makna dari pengalaman itu, sebab
pengetahuan dan pemahaman jauh dari sekadar akumulasi informasi. Informasi yang
banyak belum tentu mengandung pengetahuan yang banyak, dan selanjutnya
pengetahuan yang banyak belum tentu mengandung banyak kebijaksanaan. Maka
sekolah tidak hanya memberi banyak informasi kepada siswa, apalagi kalau siswa
hanya menjadi penerima pasif. Para guru perlu mengajarkan kebijaksanaan hidup
kepada siswa, bukan sekadar mentransfer informasi. Misalnya guru membiasakan
para siswa sedemikian rupa sampai mereka sendiri benar-benar menginginkan
belajar dan berhasil sebagai pelajar mandiri yang tidak terlalu tergantung pada
guru. Bila seorang guru berhasil dalam hal yang disebut terakhir ini, dia telah
menjadikan siswanya bijaksana, bukan sekadar pintar.
Gagasan
lain yang sering disampaikan dalam dokumen Gereja adalah keyakinan yang tinggi
bahwa betapa pun terbatasnya kemampuan seseorang, dia toh tetap memiliki kemampuan
untuk memahami kebenaran. Keyakinan akan kebenaran seperti ini dalam diri
pendidik sendiri amat penting. Dalam hal prinsip iman dan moral, guru tidak
boleh berpikiran relatif dan ragu-ragu, melainkan dengan pasti membagikan
kebenaran itu kepada para siswa, diiringi dengan kesaksian hidup pribadi atas
kebenaran tersebut. Paus Emeritus Benediktus XVI pernah mengingatkan bahaya
“diktator relativisme” yang juga menggerogoti sekolah-sekolah Katolik. “Diktator
relativisme” dapat dipahami sebagai suatu kecederungan yang meluas untuk
berhenti pada kebenaran-kebenaran pinggiran yang seringkali saling bertentangan
satu sama lain, dan tidak berusaha mencari kebenaran yang hakiki. Setiap
pendidik harus senantiasa haus akan kebenaran hakiki sebab kebenaran menurut St.
Yohanes Paulus II adalah “nilai mendasar, yang tanpanya akan padam kebebasan,
keadilan dan martabat manusia.”
Sekolah
Katolik perlu senantiasa berusaha mencari kebenaran, baik dimensi kodrati
maupun dimensi adikodratinya. Sekolah melihat pengetahuan manusiawi sebagai
suatu kebenaran yang harus ditemukan. Dalam hal ini siswa dididik oleh
seseorang yang memahami kebenaran dan tidak henti-hentinya mencari kebenaran.
Penemuan akan kebenaran kodrati pada akhirnya akan menuntun orang kepada
Kebenaran adikodrati yaitu Tuhan sendiri.
4.2.
Integrasi Antara
Iman, Hidup Dan Kebudayaan
Sejak
zaman para rasul sampai kini, Gereja berkeyakinan bahwa iman harus terlibat
dalam budaya, untuk mentransformasikan budaya itu dalam terang Injil. Sekolah
Katolik mendidik para siswa untuk mampu menghubungkan iman Katolik mereka
dengan kebudayaan yang mereka hidupi serta mempraktekkan iman tersebut. Hal ini
telah dikemukakan dalam satu dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi bagi
Pendidikan Katolik tahun 1997, bahwa pada dasarnya sekolah Katolik perlu
memasukkan sebagai satu elemen penting dari program pendidikan yaitu sintesis
antara iman dan kebudayaan.
Dalam sekolah
Katolik diusahakan perjumpaan sejati antara iman dan akal budi, melalui suatu usaha
memahami visi kristiani tentang dunia, hidup, kebudayaan dan sejarah. Sekolah
membina siswa di dalam kebudayaan mereka sendiri, dengan menghargai dan
mengangkat nilai-nilai baik dari kebudayaan dan mendorong siswa menghidupi
nilai-nilai Injil dalam situasi budaya mereka sendiri.
Tetapi diharapkan
juga, sejalan dengan perkembangan intellektual siswa, suatu evaluasi kritis
atas kebudayaan. Dan iman Katolik dengan prinsip-prinsip dasarnya sesungguhnya
merupakan pegangan para pendidik dalam membantu siswa memberikan evaluasi
kritis atas kebudayaan. Iman dan kebudayaan memang saling berhubungan erat satu
sama lain, dan siswa harus dibimbing dalam cara-cara yang selaras dengan
perkembangan intellektual mereka, untuk memahami secara benar hubungan
tersebut. Prinsipnya, iman tidak dapat diidentikkan dengan kebudayaan mana pun,
senantiasa bebas dari kebudayaan mana pun, tetapi harus terus menerus
menginspirasi setiap kebudayaan yang dimasukinya.
5.
Ditopang
Oleh Kesaksian Hidup Para Guru
Sebagaimana
telah disinggung beberapa kali di atas, sekali lagi di sini dikemukakan tentang
pentingnya peranan guru yang amat menentukan identitas katolik sebuah sekolah
Katolik. Para gurulah yang memiliki tanggungjawab menciptakan suatu iklim yang
khas sebuah sekolah Katolik, baik secara pribadi maupun dalam kesatuan dengan
komunitas sekolah. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa terpenuhinya
tujuan sebuah sekolah Katolik sebagian besar tergantung dari para guru. Karena
itulah beberapa dokumen Gereja menekankan pentingnya panggilan guru dan peranan
khas guru bagi misi Gereja. Menjadi guru adalah sebuah panggilan, dan bukan
sekadar pelaksanaan suatu profesi.
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa mereka yang terlibat dalam pengelolaan sekolah
Katolik, adalah pribadi-pribadi yang berintegritas. Bagi yang beriman Katolik, selain
memiliki integritas kepribadian, mereka juga adalah orang-orang yang teguh
beriman, setia pada Gereja dan menghidupi sakramen-sakramen Gereja. Memang
pasti ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Misalnya berhubungan dengan
kekurangan tenaga guru yang handal tetapi di lain pihak juga berbenturan dengan
kesaksian hidup sebagian kecil guru yang kurang mendukung. Bagaimana pun, kita
tidak harus tergoda untuk kompromistik, lalu mengurbankan prinsip yang akhirnya
mengganggu identitas sekolah Katolik.
Sekolah
Katolik membutuhkan guru yang bukan saja memiliki kompetensi keilmuan, tetapi
juga memiliki pemahaman yang benar atas hakikat dan kekhasan sekolah Katolik.
Maka cara paling utama mempertahankan identitas sekolah Katolik adalah menyeleksi
secara saksama calon guru yang akan diterima di sekolah-sekolah Katolik, yaitu
mereka yang sungguh memahami ethos
Katolik dan secara enthusias memperjuangkannya.
Selain itu
pendidik dari berbagai tingkatan pendidikan diharapkan menjadi teladan bagi para
siswa, dengan secara nyata menghidupi nilai-nilai Injili. Anak-anak sekolah
hanya bisa mengalami keindahan nilai-nilai Injili dan mencintai Gereja, bila
menyaksikan teladan hidup para guru dan pembina mereka yang lebih dahulu
menghidupi nilai-nilai tersebut. Kata-kata Paus Paulus VI amat penting
diterapkan di sini: “manusia zaman modern lebih sepenuh hati mendengarkan
kesaksian hidup, daripada mendengarkan para guru, dan bila para guru toh
didengarkan, itu hanya karena para guru berbicara dari kesaksian hidup mereka”.
Penutup
Gereja
melalui berbagai dokumen, melihat di dalam sekolah-sekolah Katolik suatu
warisan yang amat berharga, sekaligus peranan tak tergantikan dalam menjalankan
misi Gereja terutama misi pendidikan yang integral bagi kaum muda dan anak-anak.
Maka usaha mempertahankan dan menjamin keberlanjutan identitas Katolik yang
sejati merupakan tugas yang terus menerus dilaksanakan oleh setiap sekolah
Katolik, betapa pun besarnya tantangan yang dihadapi. Saya yakin, karena kekatolikan
sebuah sekolah Katolik maka sampai kini masih mendapatkan kepercayaan bukan
hanya umat beriman Katolik sendiri tetapi juga umat beragama lain. Para
orangtua mempercayakan anak-anak mereka dalam pendidikan sekolah-sekolah
Katolik karena yakin bahwa anak-anak tersebut akan dididik menjadi manusia
bijaksana, berintegritas serta beriman.
DAFTAR
PUSTAKA
Konsili
Vatikan II, Pernyataan Tentang Pendidikan
Kristen Gravissimum Educationis, dalam R. Hardawiryana SJ (penerj.),
Dokumen Konsili Vatican II (Jakarta: Obor, 1993)
--------, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen
Gentium, dalam R. Hardawiryana SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta:
Obor, 1993)
--------, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei
Verbum, dalam R. Hardawiryana SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta:
Obor, 1993).
--------, Dekret tentang Kegiatan Missioner Gereja, Ad
Gentes, dalam R. Hardawiryana SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta:
Obor, 1993).
--------, Decret tentang Ecumenisme, Unitatis
Redintegratio, dalam R. Hardawiryana SJ, Dokumen Konsili Vatikan II
(Jakarta: Obor, 1993).
--------, Konstitusi Pastoral tentang Gereja, Gaudium
et Spes, dalam R. Hardawiryana SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta:
Obor, 1993).
--------, Pernyataan tentang Kebebasan Beragama,
Dignitatis Humanae, dalam R. Hardawiryana SJ, Dokumen Konsili Vatikan II
(Jakarta: Obor, 1993).
The Sacred
Congregation for Catholic Education, Lay
Catholics in Schools: Witnesses of Faith, 15 Oktober 1982 (Roma: Libreria
Editrice Vaticana, 1982).
Yohanes Paulus II,
Ensiklik Veritatis Splendor (6 Agustus 1993), dalam Seri Dokumen Gerejawi
No. 35 (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 1994).
--------,
“Address to the Bishops of the United States of America coming from the
Province of Portand in Oregon”, June 24, 2004.
No comments:
Post a Comment