PAKAI OTAK PAKAI HATI
Maximus Genggeng
(Alumni Fakultas Imu Filsafat Angkatan 2013/2014)
(Ilustrasi Integrasi Iman, Ilmu dan Amal)
Pengetahuan
dalam perspektif para pelahap ilmu adalah ibat pelita dalam kegelapan. Suatu
ruangan yang gelap tanpa seberkas cahaya akan membutakan penglihatan. Jika seseorang
berada di dalamnya tentu ia akan bingung hendak berbuat apa; tak punya arah dan
tujuan. Demikian halnya dunia tanpa pengetahuan. Manusia tidak akan sanggup
melakukan gerakan pembaharuan karena tidak memiliki kecekatan atau keterampilan
apapun. Kedua hal ini hanya dapat diraih tatkala orang mau berkecimpung dalam
pendidikan. Melalui pendidikan, cakrawala pemikiran seseorang menjadi terbuka
dan terus berkembang. Pengetahuan mereka juga semakin luas dalam memandang dan
menilai segala persoalan.
Pengetahuan
telah diperoleh manusia sejak awal penciptaan. Bila ditinjau dari dasar biblis,
kita dapat melihat hal tersebut tersirat dalam kitab kejadian tentang kisah
penciptaan sampai pada kejatuhan manusia dalam dosa. Allah menjadikan manusia
setara dengan-Nya. Dalam hal ini manusia memiliki kemampuan dan pengetahuan
yang hampir sama dengan Allah. Hanya saja kemampuan manusia itu diperoleh kala
mereka memakan buah terlarang dalam taman Eden yakni buah dari pohon
pengetahuan yang baik dan yang jahat. Ketika mereka diusir keluar dari taman
tersebut, Allah bersabda, “dengan susah
payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu”. Hal ini
mengindikasikan bahwa manusia itu telah memiliki pengetahuan dalam mengolah
tanah untuk menghasilkan bahan makanan.
Dalam
perkembangannya, peradaban manusia semakin tinggi. Dengan bantuan pendidikan
lahirlah produk manusia-manusia berkualitas, inovatif, kreatif, cekat, terampil
dan sebagainya. Mereka menelurkan karya-karya besar, melahirkan
penemuan-penemuan baru yang mencengangkan. Sebagai rekan sekerja (Co-creator)
Allah, manusia turut membangun dunia dengan segala kelebihan yang telah mereka
terima (prokreasi). Dengan pengetahuan yang ada, manusia mengubah wajah dunia
sesuai dengan perkembangan teknologi zamannya. Singkatnya dunia menjadi
proyeksi pengetahuan manusia yang gemilang itu. Dunia dijadikan medan
penyaluran gagasan-gagasan manusia.
Sayang
seribu sayang, realita yang terjadi saat ini adalah manusia menggunakan
pengetahuannya untuk merusak dan melancarkan tindakan kejahatan. Penyalagunaan pengetahuan
ternyata bukan saja berimbas pada kerusakan alam tetapi juga menimbulkan
renggangnya hubungan di antara sesama mahluk ciptaan. Eksploitasi hasil hutan
dalam skala besar, perusakan terumbu karang, perdagangan manusia adalah
sekelumit contohnya. Pengetahuan ternyata telah membentuk pribadi manusia dalam
kerasukan material untuk meraup keuntungan bagi diri sendiri. Ini adalah bentuk
kemerosotan moral yang sangat disayangkan. Pengetahuan modern justru mematikan
perasaan bersalah dan malu yang telah tersemat dalam diri manusia. Paus Yohanes
Paulus II mengatakan bahwa, "tragedi
terbesar zaman ini adalah ketika manusia kehilangan rasa malu."
Manusia
kehilangan rasa malu karena ia tak mau menghiraukan bisikan nuraninya; padahal
hati nurani menjadi pedoman dasar bagi seseorang dalam menentukan keputusan
yang benar serta lebih manusiawi. Terkadang mereka mendengar bisikan nurani
itu, namun ego diri dibiarkan menghambat kerja suara hati. Mungkinkah hati
nurani manusia telah mati di zaman ini? Nurani tetap hidup sampai kapan pun;
kembali pada bagaimana manusia itu menghargai peran hati nuraninya. Suara hati
hanyalah angin sepintas kala manusia sibuk pada keuntungan diri dengan
mengandaikan akal secera penuh.
Hilangnya
peran hati nurani mengakibatkan perubahan yang cukup memprihatinkan. Kebudayaan-kebudayaan
luhur yang merupakan warisan nenek moyang telah dianggap kolot dan tidak sesuai
tren yang ada. Norma dan nilai-nilai kesantunan baik dalam bertutur kata,
berpakaian, yang sesuai dengan adat ketimuran perlahan-lahan memudar. Para generasi
cenderung berpenampilan kebarat-beratan. Hal ini juga tidak terlepas dari
pengaruh media cetak maupun elektronik yang senantiasa menampilkan pola hidup
modern. Sebagai akibatnya semangat dalam mempertahankan budaya asli meredup
seiring masuknya pengaruh hidup barat yang individualis, konsumerisme, hedonis,
dan lain-lain.
Sebagai
generasi muda yang terdidik, kita dituntut bukan saja berilmu tetapi juga
beriman dan berbudaya. Kita adalah penentu masa depan bangsa ini. Kita adalah
pemimpin-pemimpin yang akan menentukan kemana bangsa ini akan berlabuh. Namun menjadi
pemimpin itu bukanlah sekedar memiliki kemampuan akademis yang hebat, tetapi
juga berakhlak mulia. Kepintaran harus diimplementasikan dalam pikiran yang
membangun, tutur kata yang anggun, serta tingkah laku yang damai. Maka kita
perlu mengontrol alur hidup kita bukan
saja dengan persepsi diri tetapi juga dengan iman; bukan saja dengan otak
tetapi juga dengan hati. Jadilah generasi yang berotak dan bernurani.
No comments:
Post a Comment