Tuesday, December 3, 2019

"Jadilah Generasi Yang Berotak Dan Bernurani"


PAKAI OTAK PAKAI HATI

Maximus Genggeng
(Alumni Fakultas Imu Filsafat Angkatan 2013/2014)

 (Ilustrasi Integrasi Iman, Ilmu dan Amal)

            Pengetahuan dalam perspektif para pelahap ilmu adalah ibat pelita dalam kegelapan. Suatu ruangan yang gelap tanpa seberkas cahaya akan membutakan penglihatan. Jika seseorang berada di dalamnya tentu ia akan bingung hendak berbuat apa; tak punya arah dan tujuan. Demikian halnya dunia tanpa pengetahuan. Manusia tidak akan sanggup melakukan gerakan pembaharuan karena tidak memiliki kecekatan atau keterampilan apapun. Kedua hal ini hanya dapat diraih tatkala orang mau berkecimpung dalam pendidikan. Melalui pendidikan, cakrawala pemikiran seseorang menjadi terbuka dan terus berkembang. Pengetahuan mereka juga semakin luas dalam memandang dan menilai segala persoalan.
            Pengetahuan telah diperoleh manusia sejak awal penciptaan. Bila ditinjau dari dasar biblis, kita dapat melihat hal tersebut tersirat dalam kitab kejadian tentang kisah penciptaan sampai pada kejatuhan manusia dalam dosa. Allah menjadikan manusia setara dengan-Nya. Dalam hal ini manusia memiliki kemampuan dan pengetahuan yang hampir sama dengan Allah. Hanya saja kemampuan manusia itu diperoleh kala mereka memakan buah terlarang dalam taman Eden yakni buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Ketika mereka diusir keluar dari taman tersebut, Allah bersabda, “dengan susah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu”. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia itu telah memiliki pengetahuan dalam mengolah tanah untuk menghasilkan bahan makanan.
            Dalam perkembangannya, peradaban manusia semakin tinggi. Dengan bantuan pendidikan lahirlah produk manusia-manusia berkualitas, inovatif, kreatif, cekat, terampil dan sebagainya. Mereka menelurkan karya-karya besar, melahirkan penemuan-penemuan baru yang mencengangkan. Sebagai rekan sekerja (Co-creator) Allah, manusia turut membangun dunia dengan segala kelebihan yang telah mereka terima (prokreasi). Dengan pengetahuan yang ada, manusia mengubah wajah dunia sesuai dengan perkembangan teknologi zamannya. Singkatnya dunia menjadi proyeksi pengetahuan manusia yang gemilang itu. Dunia dijadikan medan penyaluran gagasan-gagasan manusia.
        Sayang seribu sayang, realita yang terjadi saat ini adalah manusia menggunakan pengetahuannya untuk merusak dan melancarkan tindakan kejahatan. Penyalagunaan pengetahuan ternyata bukan saja berimbas pada kerusakan alam tetapi juga menimbulkan renggangnya hubungan di antara sesama mahluk ciptaan. Eksploitasi hasil hutan dalam skala besar, perusakan terumbu karang, perdagangan manusia adalah sekelumit contohnya. Pengetahuan ternyata telah membentuk pribadi manusia dalam kerasukan material untuk meraup keuntungan bagi diri sendiri. Ini adalah bentuk kemerosotan moral yang sangat disayangkan. Pengetahuan modern justru mematikan perasaan bersalah dan malu yang telah tersemat dalam diri manusia. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa, "tragedi terbesar zaman ini adalah ketika manusia kehilangan rasa malu."
            Manusia kehilangan rasa malu karena ia tak mau menghiraukan bisikan nuraninya; padahal hati nurani menjadi pedoman dasar bagi seseorang dalam menentukan keputusan yang benar serta lebih manusiawi. Terkadang mereka mendengar bisikan nurani itu, namun ego diri dibiarkan menghambat kerja suara hati. Mungkinkah hati nurani manusia telah mati di zaman ini? Nurani tetap hidup sampai kapan pun; kembali pada bagaimana manusia itu menghargai peran hati nuraninya. Suara hati hanyalah angin sepintas kala manusia sibuk pada keuntungan diri dengan mengandaikan akal secera penuh.
       Hilangnya peran hati nurani mengakibatkan perubahan yang cukup memprihatinkan. Kebudayaan-kebudayaan luhur yang merupakan warisan nenek moyang telah dianggap kolot dan tidak sesuai tren yang ada. Norma dan nilai-nilai kesantunan baik dalam bertutur kata, berpakaian, yang sesuai dengan adat ketimuran perlahan-lahan memudar. Para generasi cenderung berpenampilan kebarat-beratan. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh media cetak maupun elektronik yang senantiasa menampilkan pola hidup modern. Sebagai akibatnya semangat dalam mempertahankan budaya asli meredup seiring masuknya pengaruh hidup barat yang individualis, konsumerisme, hedonis, dan lain-lain.
            Sebagai generasi muda yang terdidik, kita dituntut bukan saja berilmu tetapi juga beriman dan berbudaya. Kita adalah penentu masa depan bangsa ini. Kita adalah pemimpin-pemimpin yang akan menentukan kemana bangsa ini akan berlabuh. Namun menjadi pemimpin itu bukanlah sekedar memiliki kemampuan akademis yang hebat, tetapi juga berakhlak mulia. Kepintaran harus diimplementasikan dalam pikiran yang membangun, tutur kata yang anggun, serta tingkah laku yang damai. Maka kita perlu  mengontrol alur hidup kita bukan saja dengan persepsi diri tetapi juga dengan iman; bukan saja dengan otak tetapi juga dengan hati. Jadilah generasi yang berotak dan bernurani.   

No comments:

Post a Comment