Tuesday, December 21, 2021

 

 “Dikonsep Dengan Nuasa Simplistis,

Dimaknai Sebagai Peristiwa Historis”

(Yudisium Fakultas Filsafat Unwira Kupang TA 2020/2021)

  

Kupang, Fakultas Filsafat – Yudisium Fakultas Filsafat Unwira Kupang TA 2020/2021 kali ini dikonsep dengan nuasa yang sangat sederhana. Kendatipun demikian, peristiwa ini tetap dimaknai sebagai peristiwa historis untuk Fakultas Filsafat Unwira Kupang. Hal Ini utarakan langsung oleh Dekan Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Rm. Drs. Yohanes Subani, Pr, Lic.Iur.Can, saat memberikan “sekapur sirih” untuk calon wisudawan/i di ruang Sidang Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Selasa (21/12/2021).


(Foto Bersama Calon Wisudawan/i Bersama Dekan dan Kaprodi Fakultas Filsafat Unwira)

Rm. Yohanes Subani menuturkan Fakultas Filsafat memberikan sebuah apresiasi yang tinggi untuk calon wisudawan/i yang telah menyelesaikan “pertempuran” akademik mereka di lembaga pendidikan ini. Ungkapan terimakasih juga diberikan  kepada para dosen yang telah memberikan pengajaran, pendampingan dan bimbingan bagi para mahasiswa untuk sampai pada momen ini. Lebih lanjut secara spesisifik, Fakultas Filsafat juga memberikan apresisasi kepada Suster Marieta Melburan, SSpS yang telah mencatatkan sejarah baru bagi Fakultas Filsafat sebagai alumni pertama yang menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Filsafat di Fakultas Filsafat ini dengan tujuh Semester.

“Kami memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk calon wisudawan/i yang pada hari ini telah sah secara akademik “menyabet” gelar Serjana Ilmu Filsafat. Kami juga mengucapkan terima kasih pula untuk para dosen yang dengan setia memberikan pengajaran, pendampingan, dan bimbingan untuk para mahasiswa, sehingga mereka boleh sampai pada tahap ini. Secara spesifik, kami juga mengucapkan profisiat bagi suster Marieta Melburan SSpS yang telah mencatatkan sejarah baru sebagai alumni pertama Fakultas Filsafat yang berhasil menyelesaikan pendidikan Serjananya dengan tujuh semester. Tentu ini menjadi sebuah kebanggaan untuk Fakultas Filsafat Unwira Kupang. Prestasi yang membanggakan ini hendaknya menjadi motor penggerak bagi seluruh mahasiswa/i Fakultas Filsafat untuk bisa sampai pada tahap ini,” ungkapnya.

Lebih lanjut, pesan Rm. Yohanes Subani, selain dimaknai sebagai peristiwa historis,  momentum Yudisium Fakultas Filsafat Tahun ini juga harus dimaknai sebagai titik awal dari kerja sama antara Fakultas Filsafat dengan para Alumni. Bawasannya, lembaga Pendidikan ini masih membutuhkan bantuan dari para alumni, manakala ada hal-hal yang kemudian membutuhkan keterlibatan para alumni di dalamnya. Semisal pengisian kuisioner ataupun Tracer Study untuk perkembangan Fakultas Filsafat Unwira.

“Selaku pimpinan lembaga pendidikan ini, saya sangat mengharapkan agar selain dimaknai sebagai peristiwa historis, momentum Yudisium ini harus dimaknai pula sebagai titik awal kerja sama antara lembaga pendidikan ini dengan para alumni. Tentu, kami masih membutuhkan keterlibatan dari para alumni untuk pengembangan lembaga pendidikan ini.’ pungkasnya.

 

Berita dan foto : Ollen Langkamau dan Yeni Nay

Editor : Ollen Langkamau

Monday, December 20, 2021

 

“Cinta Beda Agama”
Memahami Hakikat Perkawinan Beda Agama (Disparitas Cultus)
Perspektif Gereja Katolik Roma

Yosef Missercordius Secundo Naben
Mahasiswa Fakultas Filsafat Semester V



II

Pendahuluan

Gereja Katolik percaya bahwa sejak awal Allah menciptakan manusia dengan segala rahmat-Nya agar manusia itu bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan itu manusia menempuh pelbagai jalan. Hidup perkawinan merupakan salah satu jalan menuju tujuan itu. Dalam hal ini perkawinan tidak hanya dilihat dari segi manusiawi, melaikan bernilai religius pula.[1]

Secara khusus Gereja Katolik Roma memandang perkawinan dalam tiga macam perspektif. Pertama, perkawinan antara kedua pasangan yang dibaptis Katolik (ideal). Kedua, juga Sakramen Perkawinan, antara orang Katolik dengan Kristen Protestan. Prinsip dua orang yang dibaptis menikah secara Katolik, diproses secara Katolik oleh otoritas Katolik (Pastor atau Diakon) disebut Sakramen Perkawinan. Ini istilahnya Mixta Religio atau perkawinan beda gereja. Ketiga, perkawinan beda agama. Istilahnya Disparitas Cultus. Perkawinan beda agama ini disebut halangan. Orang Katolik terhalang menikah dengan orang Non-Katolik yang belum dibaptis seperti Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, Yahudi bahkan Ateis atau Agnostik.[2]

Artikel ini secara khusus akan membahas tentang perkawinan beda agama (Disparitas Cultus). Dengan berlandaskan pada dokumen resmi Gereja dan sumber-sumber terpercaya, maka penulis melakukan kajian terhadap perkawinan Gereja Katolik untuk menjawab dua pertanyaan besar yakni: Apakah mereka yang bukan Katolik bisa menikah dengan orang Katolik? Jika diperbolehkan, apa saja syarat-syaratnya?

 Kata Kunci: Perkawinan, Gereja Katolik, Beda Agama (Disparitas Cultus).

Paham Perkawinan Menurut Gereja Katolik

Perkawinan adalah hak setiap orang yang sudah dewasa dalam segi usia. Gereja Katolik memandang Perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan suci, karena menjadi bagian dari karunia Allah kepada manusia. Kitab Kejadian Bab 1-2 menjelaskan bagaimana Allah memberkati manusia sebagai ciptaan yang paling mulia, dan diberikan tugas khusus untuk menjaga dan memelihara ciptaan-Nya yang lain. Karena itu manusia juga disebut sebagai Co-Creatio, rekan kerja Allah. Melalui perkawinan, maka tugas mulia itu menjadi sah.[3]

Dalam perspektif Hukum Kanonik, perkawinan dikenal juga dengan beberapa istilah lain yakni: kebersamaan seluruh hidup[4]; persekutuan permanen[5]; persekutuan hidup perkawinan[6]; perjanjian perkawinan[7]; kesepakatan yang tak dapat diganti atau perjanjian yang tak dapat ditarik kembali[8]; perayaan perkawinan[9]; dan kehidupan bersama perkawinan[10]. Dari kanon-kanon ini dapatlah dilihat bahwa KHK 1983 menjabarkan doktrin tentang kodrat fundamental perkawinan, sifat-sifat hakiki perkawinan, konsensus perkawinan, hak untuk perkawinan, wewenang Gereja atas perkawinan orang Katolik, dan keraguan atas sahnya suatu perkawinan.[11]

Konsili Vatikan II kemudian memberikan pencerahan mengenai makna dari perkawinan Katolik yang sah bukan lagi sebagai kontrak atau ikatan jasmani antara dua insan, realitas perkawinan seringkali disebut sebagai: persekutuan nikah; persekutuan suami-isteri dan keluarga; perjanjian nikah atau persetujuan pribadi; lembaga nikah dan persekutuan cinta kasih suami-isteri; persekutuan mesra; persekutuan dan kebersamaan seluruh hidup. Maka perkawinan tidak lagi dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua pribadi (persona) secara fisik.[12] Namun secara lebih luhur sebagai ikatan spiritual yang mesra dan suci antara manusia dengan Tuhan.[13]

Gereja Katolik juga mendefinisikan sifat perkawinan yang dipegang dan dijalankan sampai saat ini yakni Monogami (Unitas) dan Ketak-terceraian (Indissolubilitas). Secara formal, kedua sifat ini dapat dibedakan, namun dalam realitas tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Indissolubilitas adalah kepenuhan dari unitas/monogam.[14] Monogami berarti perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Oleh karena itu, unitas bertentangan dengan poligami (poliandri dan poligini). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Unitas memiliki arti yang sama dengan kesetiaan seumur hidup, setia sampai maut memisahkan. Dalam perundangan sipil, unitas mencakup larangan menikah lagi (bigami) dan larangan berzinah. Hukum Kanonik tidak hanya ber-bicara mengenai beberapa larangan itu, namun menyentuh hal yang lebih mendalam, di mana perkawinan dianggap tidak sah bila pada moment pertukaran janji tersimpan niat untuk menikah lagi, atau bila orang merasa berhak menikah lagi.

Makna Ketak-terceraian (Indissolubilitas) paralel dengan ikatan abadi atau ikatan yang tak terputuskan. Indissolubilitas bertentangan dengan perceraian. Ketakterceraian mencakup semua jenis perkawinan. Pada perkawinan kristiani, karakter itu mendapat stabilitas khusus (karakter sakramental) sebab sekali dilangsungkan, tidak pernah dapat dibatalkan oleh kuasa manusiawi manapun.

Walaupun demikian, beberapa pengecualian terutama pengecualian dalam hal tindakan yuridis, termasuk perkawinan yang dilakukan karena paksaan fisik, ketakutan besar, penipuan, ketidaktahuan, atau kekeliruan. Realitas itu, dipandang sebagai cacat konsensus. Dalam kasus-kasus di atas, anulasi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan Gereja tidak berarti membatalkan perkawinan yang sah tetapi hanya membuktikan bahwa perkawinan tidak sah sejak awal. Oleh karena itu, perkawinan mendapat kualifikasi tidak sah apabila mengesampingkan sifat hakiki indissolubilitas. Dengan kata lain, suatu perkawinan dianggap tidak sah bila orang berjanji untuk menikah hanya untuk batas waktu tertentu (perkawinan kontrak). Selain itu, indissolubilitas mempunyai dua bentuk yaitu indissolubilitas intrinsik dan ekstrinsik. Indissolubilitas Intrinsik berarti suatu ikatan perkawinan tidak bisa diputuskan dan tidak dapat ditarik kembali oleh kemauan suami-isteri yang telah menyatakan konsensus. Sedangkan Indissolubilitas Ekstrinsik berarti ikatan perkawinan tidak bisa diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun (seperti instansi tertentu).

Perkawinan Beda Agama (Disparitas Cultus)

            Menyadari perkembangan zaman, ditambah lagi kemajemukan suatu komunitas, maka perkawinan campur beda agama, Disparitas Cultus, terus terjadi dalam realitas.  Meskipun idealnya perkawinan yang sah hendaknya dilakukan oleh dua orang yang seiman, namun Gereja Katolik tidak pernah melarang umatnya untuk mencintai sesama yang berbeda agama. Bahkan jika cinta itu sudah mengakar kuat dan hanya maut yang dapat memisahkan, maka Gereja Katolik memberikan ruang untuk mengikat cinta yang suci tersebut dalam suatu perkawinan, dengan catatan memperhatikan aturan-aturan yang bersifat wajib dan mengikat, agar perkawinan yang dilangsungkan tidak mempengaruhi iman kedua pasangan, dan kemudian tidak menimbulkan skandal iman pada anak-anak mereka di kemudian hari.

Terdapat beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi oleh pasangan menikah beda gereja dan beda agama. Sebenarnya, bobot ’larangan’ antara pernikahan campur beda gereja dan campur beda agama berbeda. Hal itu tampak dari perbedaan istilah yang dipakai. Untuk pernikahan campur beda gereja ’hanya’ dibutuhkan ijin dari Otoritas Gerejawi, sedangkan pernikahan beda agama dibutuhkan dispensasi. Dalam pengertian yuridis, dispensasi berarti pembebasan dari hukum, dan secara implisit mengandaikan bahwa larangannya lebih berat.[15]

Selanjutnya, dalam pemberian dispensasi dari halangan beda agama terdapat 4 syarat khusus[16] yang harus dipenuhi yakni: Pertama, pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman Katolik. Dalam konteks Indonesia, tidak sedikit pasutri beda agama yang setia sampai mati membangun bahtera keluarga. Dalam hal ini, pihak Katolik tetap beriman Katolik dan semua anak-anak yang lahir dibaptis dan dididik secara Katolik. Akan tetapi, tak sedikit pula umat Katolik yang memasuki perkawinan beda agama akhirnya meninggalkan imannya. Jika “pengaruh” pihak non-Katolik (termasuk keluarga besarnya) lebih kuat, lama-lama pihak Katolik menghadapi bahaya meninggalkan imannya. Kedua, pihak Katolik memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Katolik. Ketiga, mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak Katolik tersebut, pihak non-Katolik hendaknya diberitahu dengan baik sehingga nyata baginya bahwa ia sungguh-sungguh sadar akan janji dan kewajiban kedua pihak. Keuskupan-keuskupan di Indonesia menentukan hal-hal praktis mengenai pernyataan janji ini. Dalam pemeriksaan kanonik, Pastor meminta kesediaan pihak Katolik dan pihak non-Katolik untuk menyatakan dengan jujur bahwa mereka melaksanakan dengan setia janji-janji yang dituntut. Keduanya pun diminta menanda-tangani pernyataan janji-janji tersebut. Keempat, pihak Katolik dan non-Katolik hendaknya diajar mengenai tujuan dan ciri-ciri hakiki esensial perkawinan[17] yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

Keempat syarat ini secara garis besar dijabarkan namun tidak berarti bahwa prosesnya akan berjalan dengan cepat. Dalam setiap tahapan, Gereja tetap memberikan kesempatan kepada kedua pasangan calon pasutri agar menimbang dan merefleksikan segala syarat dan ketentuan yang disebutkan di atas. Jika proses diskusi keduanya belum menemukan kata sepakat, maka Gereja bertugas untuk memberikan pemahaman dan jalan keluar yang baik bagi mereka agar kelak perkawinan yang dilaksanakan benar-benar suci dan sakral.

Penutup

Gereja Katolik memaknai perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Perkawinan tersebut dikatakan suci apabila disahkan dengan Sakramen Perkawinan. Karena itu, entah perkawinan yang terjadi adalah perkawinan beda Gereja (Mixta Religio) atau perkawinan beda agama (Disparitas Cultus), keduanya adalah sah dan juga sakral jika dijalankan dengan prosedur yang tepat tanpa adanya cacat atau skandal.

Gereja Katolik juga percaya bahwa melalui perkawinan yang sah tersebut maka tiga tujuan fundamental dari perkawinan yakni: Kebaikan suami-istri (bonum coniugum) yang saling berjuang memenuhi kesejahteraan lahir dan batin; Keterbukaan pada kelahiran anak (bonum prolis); dan Pendidikan anak (bonum educationis) dapat terpenuhi secara baik.

 

Daftar Pustaka

Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2016).

Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes (GS,dalam R. Hardawirjaya (penerj), (Jakarta: Obor, 1993).

Alwi, Hasan, dkk, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004).

Dra. Arfa Sauwarjaya, dkk, Mengenal Iman Katolik, (Jakrata: Obor, 1987)

Fatoni, Siti Nur, dkk, Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama Di Kota Bandung, (Varia Hukum:Volume 1, Nomor 1 Januari 2019).

Subani,Yohanes,Pengantar Hukum Perkawinan Gereja,(Kupang: FFA-Unwira,2008).

Komsos Keuskupan Jakarta, Pernikahan Campur beda Agama (Dalam pandangan Katolik), https://www.ststefanus.or.id/berita/detail/pernikahan-campur-beda-agama-dalam-pandangan-katolik,
diakses pada 20 Desember 2021 pukul 01:19.

Gulo, Postinus, Dispensasi Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2) (Solusi Gereja Katolik bagi perkawinan beda agama), https://www.google.com/amp/s/www.katolikana.com/amp/2020/06/08/dispensasi-gereja-katolik-dalam-perkawinan-beda-agama-2/, diakses pada 20 Desember 2021 pukul 01:29.



[1]Dra. Arfa Sauwarjaya, dkk, Mengenal Iman Katolik, Jakrata: Obor, 1987, hal. 98.

[2]Siti Nur Fatoni Dan Iu Rusliana, Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama Di Kota Bandung, Varia Hukum, Volume 1, Nomor 1 Januari 2019, hal. 106.

 

[3]Rm. Drs. Yohanes Subani, Pr. Lic. Iur. Can, Pengantar Hukum Perkawinan Gereja(modul), (Kupang. 2 FFA-Unwira,2008), hlm. 1

[4]Paus Yohanes Paulus II, (Promulgatus), Codex Iuris Canonici, M. DCCCC. LXXXIII, (Vaticana: Liberaria Editria Vaticana M. DCCCC. LXXXIII), dalam: R. Rubiyatmoko (ed.), Kitab Hukum Kanonik 1983, (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2006), Kan. 1-203. Untuk kutipan selanjutnya digunakan singkatan. KHK. 1983, Kan. Diikuti dengan nomor kanonnya.

[5]KHK 1983, Kanon. 1096§1

[6]KHK 1983, Kanon 1098 dan Kanon 1135

[7]KHK 1983, kanon 1055§1, dan Kanon1040

[8]KHK 1983, kanon 1057

[9]KHK 1983, kanon 1080§1

[10]KHK 1983, kanon 1152§1-3

[11]Rm. Drs. Yohanes subani, Pr. Lic. Iur. Can, Op. Cit. hal 3.

[12]Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes (GS) dalam R. Hardawirjaya (penerj), (Jakarta: Obor, 1993), No. 47-52. Selanjutnya akan ditulis GS diikuti nomor artikelnya.

[13]GS § 48

[14]KHK 1983, Kanon 1056

[15]Komsos Keuskupan Jakarta, Pernikahan Campur beda Agama (Dalam pandangan Katolik), https://www.ststefanus.or.id/berita/detail/pernikahan-campur-beda-agama-dalam-pandangan-katolik,
diakses pada 20 Desember 2021 pukul 01:19.

[16]KHK 1983,kanon 1125

[17]KHK 1983, kanon 1055§.