Friday, December 13, 2019

"Keluarga Kristiani"


PERANAN KELUARGA DALAM  KEHIDUPAN SOSIAL-POLITIK
MENURUT FAMILIARIS CONSORTIO ARTIKEL 44

Maximilianus Tefnai
(Alumni Fakultas Ilmu Filsafat Angkatan 2015/2016)



          Keluarga adalah sebuah komunitas kecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Keluarga menjadi sumber pertama dan utama dalam proses pembentukan kepribadian. Di dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga merupakan suatu sekolah untuk memperkaya kemanusiaan. Baik atau buruknya tingkah laku seseorang dapat ditentukan oleh situasi hidup dan pendidikan yang diperoleh dalam keluarga. Dalam keluarga, manusia mulai berinteraksi dengan orang lain. Keluarga yang mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya adalah mereka yang dapat membangun komunikasi dari hati ke hati, kesepakatan dan kerja sama dalam keluarga.
         Sehubungan dengan itu, Gereja menegaskan bahwa keluarga adalah sekolah iman dan sekolah nilai-nilai kemanusiaan yang pertama dan utama bagi anak. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “keluarga adalah dasar bagi kepribadian seorang anak; baik dan tidaknya seorang anak sangat bergantung pada prinsip dan kebiasaan yang terjadi dalam keluarga. Orang tua memikul tanggung jawab yang besar untuk pendidikan anak bahkan harus dengan sekuat tenaga.” Paus Yohanes Paulus II juga menandaskan pula bahwa keluarga menjadi lingkup yang tepat bagi penanaman nilai-nilai moral seorang anak. Penegasan ini dilihat sebagai dasar bagi keluarga dalam merefleksikan proses pendidikan dan pembinaan anak-anak dalam tantangan zaman. Keluarga yang mampu menghayati nilai-nilai religius dalam hidup bersama akan memotivasi anak-anak dalam bersikap dan bertindak dengan baik.
         Untuk itu dalam Surat Apostolik, Bapa Suci Yohanes Paulus II (sekarang St. Yohanes Paulus II), Familiaris Consortio, mengatakan bahwa keluarga merupakan sel pertama dan vital bagi bermasyarakat. Bawasannya Bapa suci bertolak dari sebuah realita bahwa peran keluarga dalam pembentukan setiap pribadi sungguh sangat penting. Kompleksiitas kehidupan bermasyarakat menuntut seorang pribadi untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan bermasyarakat. Kemampuan untuk memahami aneka perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat sesungguhnya ditanamkan melalui pendidikan dalam keluarga. Untuk itu keluarga dan masyarakat harus saling melengkapi.
          Peranan keluarga dalam kehidupan politik dapat diwujudnyatakan dengan menaati aneka aturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan keluarga dalam berpolitik lebih dikaitkan dengan upaya untuk mendukung lembaga-lembaga negara dalam membela hak-hak keluarga. Malalui sarana ini, keluarga mengeluarkan haknya untuk menyuarakan aneka macam persoalan yang berkaitan dengan persoalan sosial masyarakat.
          Lalu peranan keluarga dalam kehidupan sosial dapat diwujudnyatakan melalui rasa simpati atau peduli terhadap orang-orang yang ada di sekitar. Ini berarti keluarga diharapkan memberi kepada siapapun juga suatu “kesaksian” berupa dedikasi sepenuh hati dan tanpa pemrih terhadap masalah-masalah sosial, melalui sikap “mengutamakan cinta kasih” terhadap yang miskin dan serba kekurangan. Keluarga mempunyai peranan serta pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan bemasyarakat maupun Gereja. Misalnya memberikan rasa aman terhadap sesamanya, membangun sikap saling mencintai, menciptakan rasa kasih sayang dan mengembangkan ralasi atau hubungan yang erat di antara anggota keluarga.
            Melalui surat Apostolik ini, Bapa Paus ingin menegaskan bahwa keluarga memegang peranan yang penting dalam menanamkan nilai-nilai Kristiani. Nilai-nilai kristiani yang ada ini berandil baik dalam kehidupan sosial dan politik seseorang. Tak bisa disangkal bahwa penanaman nilai-nilai atau keutamaan Kristiani itu bermula dari keluarga. Ini berarti tingkah laku seseorang sebagai orang Kristiani dalam kehidupan sosial-politik dilandasi oleh pendidikan yang baik dalam keluarganya. Keluarga menjadi tempat pendidikan nilai dibentuk. Melalui pendidikan dalam keluarga, seluruh anggota keluarga dibuka mata dan hatinya agar peka dengan persoalan sosial yang ia hadapi setiap saat. Kepekaaan itulah yang membuat mereka melakukan tindakan konkret untuk membantu. Oleh karena itu keluarga harus menjadi figur atau sosok panutan yang bisa ditiru.



Wednesday, December 4, 2019

"Bersama Menuju Cita-Cita"


 “Lampiran Kegiatan Permafil”
(Jumat 29 November 2019)

            Permafil (persatuan mahasiswa/i awam filsafat) adalah salah satu organisasi kecil yang ada dalam Fakultas Filsafat. Organisasi ini merupakan suatu aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh sekumpulan mahasiswa/i awam untuk tujuan dan kebaikan bersama.
             Pembentukan awal organisasi mahasiswa/i awam ini tidak diketahui waktu dan tempat secara pasti. Hanya saja organisasi kecil ini dibentuk oleh inisiatif mahasiswa/i awam fakultas ilmu filsafat sendiri. Akan tetapi sejauh informasi yang diperoleh dari para alumni angkatan-angkatan awal, permafil ini dibentuk sejak awal adanya mahasiswa/i awam di fakultas filsafat (tahun 1992- ke atas). Pada awalnya belum ada mahasiswa/i awam yang mengambil jurusan filsafat ini. Mahasiswa awam ini kemudian muncul ketika ada para calon imam yang memilih untuk menjadi awam. Nah saat itulah organisasi kecil ini mulai muncul dengan anggota yang sangat minim.
          Persatuan mahasiswa/i awam filsafat ini dibentuk di dalam fakultas filsafat sendiri. Penggunaan kelas menjadi tempat dimana kegiatan-kegiatan kecil dilakukan oleh permafil. Misalnya untuk diskusi dan lain-lain. Lalu awal pembentukan persatuan mahasiswa/i awam ini memiliki anggota yang sangat minim (Permafil hanya beranggotakan para eks calon imam). Namun seiring berjalannya waktu anggota permafil semakin bertambah. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan awam original (tidak pernah menjadi bagian dari calon imam), yang ingin mengenyam pendidikan di fakultas filsafat. Bahkan fakultas filsafat yang dulu dikenal dengan “para pejantan” kini telah diisi dengan beberapa “putri Yerusalem”. Sehingga sampai pada saat ini anggota permafil bisa mendekati dua ratusan. Perhitungan ini dilakukan sejak awal dibentuknya fakultas ini. Namun bila dikalkulasikan dari angkatan 2016/2017-2019/2020 jumlah permafil yang aktif sampai saat ini mencapai 40 lebih.
            Sebagaimana dikatakan di atas persatuan mahasiswa awam/i fakultas filsafat ini dibentuk oleh inisiatif mahasiswa/i awam sendiri yang ingin mengaktulisasikan pengetahuan filsafat yang mereka peroleh dalam kehidupan bermasyarakat. Pengetahuan, iman dan akhlak menjadi motor penggerak yang senantiasa menjiwai karya dan pelayanan. Inisiatif itu kemudian dituangkan dalam berbagai kegiatan yang ada misalnya kegiatan diskusi, kegiatan latihan nyanyi bersama dan lain-lain. Berikut foto-foto kegiatan permafil  yang sempat didokumentasikan:

 (Yudisium Permafil Awam Angkatan 2015/2016)
 (Kor Bersama Permafil  Jumat 29 November 2019)
  



 (Kegiatan Diskusi Bersama Permafil)

(Presentase Diskusi Oleh Sobat Rerume, 
"Pengaruh Negatif "Laru" Terhadap Kehidupan Masyarakat"

Tuesday, December 3, 2019

"Jadilah Generasi Yang Berotak Dan Bernurani"


PAKAI OTAK PAKAI HATI

Maximus Genggeng
(Alumni Fakultas Imu Filsafat Angkatan 2013/2014)

 (Ilustrasi Integrasi Iman, Ilmu dan Amal)

            Pengetahuan dalam perspektif para pelahap ilmu adalah ibat pelita dalam kegelapan. Suatu ruangan yang gelap tanpa seberkas cahaya akan membutakan penglihatan. Jika seseorang berada di dalamnya tentu ia akan bingung hendak berbuat apa; tak punya arah dan tujuan. Demikian halnya dunia tanpa pengetahuan. Manusia tidak akan sanggup melakukan gerakan pembaharuan karena tidak memiliki kecekatan atau keterampilan apapun. Kedua hal ini hanya dapat diraih tatkala orang mau berkecimpung dalam pendidikan. Melalui pendidikan, cakrawala pemikiran seseorang menjadi terbuka dan terus berkembang. Pengetahuan mereka juga semakin luas dalam memandang dan menilai segala persoalan.
            Pengetahuan telah diperoleh manusia sejak awal penciptaan. Bila ditinjau dari dasar biblis, kita dapat melihat hal tersebut tersirat dalam kitab kejadian tentang kisah penciptaan sampai pada kejatuhan manusia dalam dosa. Allah menjadikan manusia setara dengan-Nya. Dalam hal ini manusia memiliki kemampuan dan pengetahuan yang hampir sama dengan Allah. Hanya saja kemampuan manusia itu diperoleh kala mereka memakan buah terlarang dalam taman Eden yakni buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Ketika mereka diusir keluar dari taman tersebut, Allah bersabda, “dengan susah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu”. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia itu telah memiliki pengetahuan dalam mengolah tanah untuk menghasilkan bahan makanan.
            Dalam perkembangannya, peradaban manusia semakin tinggi. Dengan bantuan pendidikan lahirlah produk manusia-manusia berkualitas, inovatif, kreatif, cekat, terampil dan sebagainya. Mereka menelurkan karya-karya besar, melahirkan penemuan-penemuan baru yang mencengangkan. Sebagai rekan sekerja (Co-creator) Allah, manusia turut membangun dunia dengan segala kelebihan yang telah mereka terima (prokreasi). Dengan pengetahuan yang ada, manusia mengubah wajah dunia sesuai dengan perkembangan teknologi zamannya. Singkatnya dunia menjadi proyeksi pengetahuan manusia yang gemilang itu. Dunia dijadikan medan penyaluran gagasan-gagasan manusia.
        Sayang seribu sayang, realita yang terjadi saat ini adalah manusia menggunakan pengetahuannya untuk merusak dan melancarkan tindakan kejahatan. Penyalagunaan pengetahuan ternyata bukan saja berimbas pada kerusakan alam tetapi juga menimbulkan renggangnya hubungan di antara sesama mahluk ciptaan. Eksploitasi hasil hutan dalam skala besar, perusakan terumbu karang, perdagangan manusia adalah sekelumit contohnya. Pengetahuan ternyata telah membentuk pribadi manusia dalam kerasukan material untuk meraup keuntungan bagi diri sendiri. Ini adalah bentuk kemerosotan moral yang sangat disayangkan. Pengetahuan modern justru mematikan perasaan bersalah dan malu yang telah tersemat dalam diri manusia. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa, "tragedi terbesar zaman ini adalah ketika manusia kehilangan rasa malu."
            Manusia kehilangan rasa malu karena ia tak mau menghiraukan bisikan nuraninya; padahal hati nurani menjadi pedoman dasar bagi seseorang dalam menentukan keputusan yang benar serta lebih manusiawi. Terkadang mereka mendengar bisikan nurani itu, namun ego diri dibiarkan menghambat kerja suara hati. Mungkinkah hati nurani manusia telah mati di zaman ini? Nurani tetap hidup sampai kapan pun; kembali pada bagaimana manusia itu menghargai peran hati nuraninya. Suara hati hanyalah angin sepintas kala manusia sibuk pada keuntungan diri dengan mengandaikan akal secera penuh.
       Hilangnya peran hati nurani mengakibatkan perubahan yang cukup memprihatinkan. Kebudayaan-kebudayaan luhur yang merupakan warisan nenek moyang telah dianggap kolot dan tidak sesuai tren yang ada. Norma dan nilai-nilai kesantunan baik dalam bertutur kata, berpakaian, yang sesuai dengan adat ketimuran perlahan-lahan memudar. Para generasi cenderung berpenampilan kebarat-beratan. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh media cetak maupun elektronik yang senantiasa menampilkan pola hidup modern. Sebagai akibatnya semangat dalam mempertahankan budaya asli meredup seiring masuknya pengaruh hidup barat yang individualis, konsumerisme, hedonis, dan lain-lain.
            Sebagai generasi muda yang terdidik, kita dituntut bukan saja berilmu tetapi juga beriman dan berbudaya. Kita adalah penentu masa depan bangsa ini. Kita adalah pemimpin-pemimpin yang akan menentukan kemana bangsa ini akan berlabuh. Namun menjadi pemimpin itu bukanlah sekedar memiliki kemampuan akademis yang hebat, tetapi juga berakhlak mulia. Kepintaran harus diimplementasikan dalam pikiran yang membangun, tutur kata yang anggun, serta tingkah laku yang damai. Maka kita perlu  mengontrol alur hidup kita bukan saja dengan persepsi diri tetapi juga dengan iman; bukan saja dengan otak tetapi juga dengan hati. Jadilah generasi yang berotak dan bernurani.   

Monday, December 2, 2019

"Universalitas Keselamatan"


YESUS KRISTUS PENYELAMAT UNIVERSAL
(Analisis Eksegetis Atas Teks Markus 7:24-30)

Pontianus Tamba


Abstraction
The salvation of human being is the free will of God. God freely offer his salvation to all the human being and human being must repons the revelation og God’s salvation by faith because faith is the real expression of human being in responding God’s salvation. The Cureneness of the daughter of Siro Phoenician woman is one of all the sign shich shows that Jesus Christ came to save human being. Jesus is the fulfillment og God’s promises to Israel but Israel rejects Him. The rejection of Israel made Jesus open the door of salvation that was closed by Israel as the chosen people for all the nations. The action shows the universality of Christ; Jesus has as big authority upon man and all the whole world even the devils are afraid to Him, God shows His love to all man.
Key Words : Yesus Kristus, Universalitas Keselamatan, Penyembuhan, Perempuan Siro Fenisia.

Pengantar
Perjuangan untuk mempertahankan iman dalam dunia dewasa ini bukan hal yang mudah untuk dijalankan. Berbagai tantangan hadir sebagai penghalang yang dapat menciutkan nyali setiap orang beriman. Tantangan itu hanya datang dari sesama manusia yang berbeda keyakinan tetapi juga dari pertumbuhan dan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang kian canggih. Atas nama iman banyak orang dengan mudah menghancurkan dan membunuh sesamanya hanya untuk membuktikan bahwa iman yang mereka anut lebih pantas dan lebih layak dipercaya. Akan tetapi penilaian tentang siapa yang benar dan siapa yang salah sesungguhnya bukanlah tugas manusia. Jika kita mengerti sungguh makna keberimanan kita maka kita tidak akan mudah menghakimi sesama. Iman merupakan sesuatu yang amat pribadi. Suatu tanggapan positif dari setiap individu terhadap tawaran keselamatan yang ditawarkan oleh Allah. Maka penilaian tentang iman yang paling benar dan paling layak adalah hak prerogatif Allah. Sebagai manusia kita hanya diminta untuk terus berjuang menata hidup kita agar sesuai dengan jalan yang diajarkan dan dikehendaki Allah. Sebuah jalan damai yang melaluinya kita temukan kebahagiaan sebagai mahkluk beragama tanpa harus saling menyingkirkan satu sama lain.
Gambaran Umum Tentang Universalitas Keselamatan Dalam Kitab Suci
Penyembuhan Sebelum Perjanjian Baru
Kisah penyembuhan selalu mengandaikan adanya penyakit atau penderitaan yang dialami oleh seseorang. Ada banyak penyakit-penyakit yang terdapat dalam Alkitab Perjanjian Lama. Sebagian dari penyakit itu sulit untuk diidentifikasi dengan nama-nama modern.[1] Dalam tradisi bangsa Israel penyakit dilihat sebagai suatu malapetaka atau kutukan yang ditimpakan Allah kepada manusia (2 Sam 24). Orang-orang yang menderita sakit dilihat sebagai pendosa. Dalam kitab Imamat khususnya pada bab 11-16 termuat banyak aturan mengenai pola hidup bangsa Israel. Di sana dibicarakan khsusus mengenai haram dan halal, hal-hal yang menajiskan dan upacara-upacara yang mentahirkan orang najis. Setelah upacara pentahiran selesai dilakukan baru dipersembahkan upacara untuk ”hari perdamaian”, yaitu upacara tahunan untuk mentahirkan seluruh umat.
Iman memiliki peran penting dalam menentukan seseorang disebut najis atau tidak. Setiap orang yang menderita suatu penyakit harus menunjukkan dirinya kepada imam. Imam bertugas memeriksa penyakit yang diderita orang tersebut. Jika ia menderita penyakit kusta maka akan dikatakan najis oleh sang imam, sedangkan jika hanya menderita panu biasa hanya perlu dikurung selama 7 hari. Pada hari ketujuh imam memeriksa kembali penyakitnya; jika panu itu hilang maka ia dibebaskan. Akan tetapi jika panu tersebut belum hilang maka waktu kurungan ditambah tujuh hari lagi. Demikian seterusnya sampai ia menjadi sembuh (Kel. 13). Sedangkan para penderita kusta biasanya dikucilkan dari kehidupan bersama, dan setiap kali ia berjumpa dengan orang ia harus meneriakkan kata “najis” agar orang-orang yang lewat tidak mendekatinya sehingga mereka tidak tercemar. Imam juga berwenang menyelenggarakan upacara pentahiran dan upacara pemulihan sedangkan imam besar berperan semata untuk mengadakan upacara pentahiran dan pemulihan bagi seluruh umat pada hari raya perdamaian.[2] Oleh karena itu setiap kali melakukan mukjizat penyembuhan Yesus meminta orang-orang yang disembuhkannya itu terlebih dahulu menunjukkan dirinya kepada imam dan mempersembahkan korban pentahiran.
Selama imam, nabi juga memiliki peranan penting bagi kehidupan raligius bangsa Israel. Nabi adalah tangan kanan Allah. Melalui para nabi Allah menyampaikann pesannya kepada umat Israel. Kata-kata nabi adalah kata Allah. Dengan demikian penolakan terhadap para nabi juga merupakan penolakan terhadap Allah.
Tugas para nabi adalah meny[3]ampaikan pesan Allah kepada para raja (2 Sam. 7:2-17; 1 Taw 17:2-15), memperingatkan para raja jika tindakan mereka menyimpang dari jalan Allah (2 Sam 12:1-15; 1 Raj. 17:17-24, 21:17-29; 2 Raj. 1:3-16), mengurapi raja atau nabi menggantikannya (1Raj 28-45; 1Raj 19:16). Berkaitan dengan tugas menyembuhkan orang-orang sakit, nabi bisa menjadi pengantara. Seorang nabi akan mendoakan orang-orang yang datang kepadanya meminta penyembuhan. Dalam Perjanjian Lama kita menyaksikan bagaimana peran nabi bagi proses penyembuhan orang sakit. Misalnya, Namaan orang Syria yang disembuhkan setelah mendengar perintah Elisa untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan (2Raj. 5; 4:27), Elia yang menghidupkan anak seorang janda (1 Raj 17:2-6).
Penyembuhan dalam Perjanjian Baru
            Dalam kitab Perjanjian Baru kita menyaksikan banyaknya terjadi penyembuhan. Ada dua kategori penyembuhan dalam Perjanjian Baru yakni penyembuhan fisik dan penyembuhan rohaniah. Penyembuhan fisik adalah suatu keadaan di mana seseorang dibebaskan dari sakit yang menyebabkan penderitaan baginya secara fisik sehingga menyulitkan dia untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya secara normal. Contoh konkret dari penyakit fisik adalah kusta, tuli, bisu dan lain-lain. Sedangkan penyembuhan rohani adalah berkaitan dengan sakit-sakit yang tak kasat mata. Dalam Perjanjian Baru penyembuhan ini dihubungkan dengan pembebasan dan pengampunan bagi orang-orang berdosa. Seperti Maria Magdalena, Lewi, Zakheus, dan perempuan Samaria yang dipulihkan dari keadaan mereka yang penuh dosa.[4]
            Jika kita meneliti struktur Injil, kita akan menemukan bahwa setengah bagian dari Injil merupakan sebuah kombinasi dari perbuatan-perbuatan ajaib Yesus yakni mukjizat yang menunjukkan karya penyembuhan dan dominasinya atas alam (Mat. 8:16, 9:34, 10:1; Luk 17:17; Mat 12:15; 15:30; Mark 1:34; Mat 8:26; Mark 4:39; Luk. 8:24) dan juga pengajaran-Nya. Bagian berikutnya berisikan konfrontasi antara Yesus dan orang-orang Farisi. Dalam Markus 1:22 kita menemukan Yesus yang mengajar dengan “exousia”, “kuasa” atau “otoritas.” [5] Inilah yang membedakan pengajaran-Nya dengan para ahli taurat lainnya. Yesus menggunakan otoritas pribadi. Karena formula yang digunakan Yesus sangat berbeda dengan digunakan para nabi. Dalam setiap penyembuhan Yesus selalu mengatakan “Aku berkata kepadamu”. Hal ini menandai kuasa yang dimiliki-Nya sebagai Allah. Akan tetapi hal ini menimbulkan permasalahan di antara para ahli taurat. Tindakan Yesus yang demikian justru dinilai sebagai hujatan terhadap kemahakuasaan Allah, sehingga mereka berusaha untuk mencari cara untuk membunuh Yesus. Akan tetapi mereka kesulitan karena Yesus memiliki banyak pengikut, yang selalu menyertai-Nya ke mana pun Ia pergi.
            Oleh penulis Perjanjian Baru kisah-kisah penyembuhan dihubungkan dengan karya penyelamatan. Penyembuhan adalah salah satu bagian dari misi Kerajaan Allah yang dibawa Yesus. [6] Hal ini sekaligus menggenapi apa yang telah diramalkan nabi Yesaya, mengenai pembebasan bagi orang-orang buta dan tuli (Yes. 29:18). Kisah-kisah penyembuhan juga menegaskan bahwa Kerajaan Allah sesungguhnya sudah ada di tengah-tengah manusia dengan kedatangan Yesus dan Yesus adalah Kerajaan Allah itu sendiri. Penerimaan akan Yesus mengandaikan terwujudnya Kerajaan Allah.
Perempuan sebelum Perjanjian Baru
            Dalam bahasa Ibrani perempuan adalah “ishshah” yang merupakan lawan dari kata ish yaitu pria atau laki-laki. Perempuan dalam hal ini ditempatkan sebagai posisi atau lawan dari laki. Kata “ishshah sendiri digunakan untuk perempuan pada umumnya (a woman), perempuan yang sudah menikah (a woman married to man) dan juga untuk binatang yang berjenis kelamin betina (famale).[7] Penciptaan perempuan bertujuan untuk membantu adam. Hal ini dilakukan Allah pada hari keenam bersamaan dengan penempatan Adam di Surga. Adam adalah ciptaan pertama dan kemudian Hawa (1 Tim 2:13), ia (Hawa) diciptakan dari laki-laki, dan untuk laki-laki (1 Kor 11:8,9), semua bertujuan untuk kerendahan hati, kesopanan, diam, dan tunduk agar  istri tunduk pada suami mereka sendiri. Laki-laki diciptakan sebagai yang terakhir dari segala mahluk hidup lainnya sebagai gambaran kemuliaan Allah, sedangkan Hawa yang diciptakan setelah Adam, bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan Allah (laki-laki) (1Kor 11:7). Jika laki-laki adalah kepala, dia adalah mahkota, mahkota suaminya. Jika pria itu debu halus, maka perempuan debu ganda halus.[8]
            Dalam tradisi Yahudi, perempuan tidak hanya kuasa apa pun dan juga tidak dapat membuat keputusan apa pun. Tugas perempuan adalah mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Perzinahan bagi seorang perempuan adalah suatu pelanggaran berat, yang akan diancam dengan hukuman mati menurut hukum yang berlaku (Im. 20:10). Perempuan tidak mempunyai hak milik. Pada waktu tertentu mereka ditetapkan sebagai najis, misalnya pada waktu haid dan masa setelah melahirkan (panjang masa kenajisan itu akan bertambah apabila yang dilahirkan anak perempuan).[9]
            Dalam kehidupan perkawinan  seorang istri yang mandul harus mengizinkan suaminya untuk mengambil istri muda, agar bisa mendapat ahli waris dan penerus keluarga. Istri pertama tetaplah menjadi istri utama sedangkan istri yang lain hanya dianggap sebagai budak (Kej. 18:9-10; 10:1-7; Ul. 12:18, 15, 20, 16:14; 1Sam. 1:1-8; Hak 20:28). Berangkat dari kenyataan ini kemudiaan lahir adat yang mengatur bahwa seorang laki-laki boleh memperistri beberapa perempuan secara serentak. Tetapi hanya orang-orang tertentu yang dapat melakukan ini karena seorang suami harus mampu membiayai semua istri-istrinya. Sejak diperistri seorang perempuan menjadi anggota penuh keluarga suaminya. Tugas seorang istri adalah memberi nama kepada anak-anaknya dan juga mendidik anak-anaknya pada waktu kecil. Seluruh pendidikan anak diserahkan kepada ibu. Sedangkan seorang ayah hanya mendidik anak laki-laki yang sudah besar.[10]
            Akan tetapi dibandingkan dengan perempuan bangsa Timur lainnya perempuan Yahudi diperlakukan sedikit lebih baik. Mereka tidak dikucilkan dari upacara-upacara peribadatan (Ul. 16:13-14). Perempuan harus dihargai sebagai orang tua, sama seperti laki-laki (Kel. 20:12). Mereka bahkan bisa tampil di hadapan publik tanpa harus menggunakan cadar seperti perempuan-perempuan Timur Tengah pada umumnya. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kita dapat menyaksikan ada perempuan-perempuan yang tangguh yang memiliki peran begitu besar dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya: Miryam dan Debora merupakan perempuan-perempuan bijaksana yang turut mengambil bagian dalam perang bahkan menjadi pemimpin (2Sam 20:16-22), ratu Izabel yang menggunakan kuasanya (1Raj. 21:7), Hulda yang menjadi penerjemah kitab Ulangan bagi raja Yosia (2Raj. 22:14-20), ada juga Yudith seorang janda yang berhasil membebaskan Israel dari serangan bangsa Asyur dengan memenggal kepala Holofernes (Ydt. 13:1-20) serta Ester yang dengan kecantikannya berhasil meluluhkan hati raja Ahasyweros (Est. 2:1-18).
Perempuan dalam Perjanjian Baru
            Kata perempuan dalam terjemahan LXX adalah gunh, gune (gynѐ) berarti “perempuan.”[11] Pengertian dari kata ini merujuk pada perempuan pada umumnya, baik yang perasan, yang sudah menikah atau untuk para janda serta perempuan yang sudah bertunangan. Dalam teks asli Yesus memanggil ibunya dengan sebutan “ “perempuan.[12] Terjemahan Inggris menggunakan kata “Womanyang berarti perempuan, merujuk pada jenis kelamin sebagai perempuan. Akan tetapi dalam Kitab Suci terjemahan bahasa kata “Perempuan” sendiri mendapat penghalusan karena dinilai kasar dan tidak sopan. Sesungguhnya penggilan ini tidak berarti bahwa Yesus merendahkan martabat perempuan. Tetapi Yesus mau menegaskan identitas mereka yang terkungkung oleh diskriminasi sosial dalam masyarakat. Panggilan ini merupakan kata yang lazim digunakan dalam tradisi Yahudi.
            Dalam kitab-kitab Injil tidak ada petunjuk bahwa Yesus dalam pengajaran dan perbuatan-perbuatan-Nya bertindak diskriminatif terhadap perempuan. Ia tidak menunjukkan sikap laki-laki yang berprasangka terhadap perempuan. Sebutan Anak Allah untuk Yesus merupakan suatu pengakuan teologis akan statusnya dihadapan Allah dari pada pengakuan kelelakian-Nya. Kelahiran Yesus justru memberi peran penting kepada Maria.[13]
            Bahkan dalam karya-Nya, Ia banyak melibatkan perempuan dan banyak tindakannya yang dilakukan-Nya berhubungan dengan perempuan. Hal itu dapat dilihat dalam tindakan-Nya membangkitkan putra seorang janda di Nain (Luk. 7:11-17), Yesus diurapi perempuan berdosa (Lukas 7:36-50), menyembuhkan seoran perempuan yang sakit pendarahan (Mrk. 5:25-34), berbicara dengan perempuan Samaria (Yoh. 4:1-42). Apa yang dilakukan Yesus ini selalu menjadi hal yang tidak lazim dalam masyarakat Yahudi. Ia bergerak mendobrak tradisi yang terlalu mendewakan hukum sehingga lupa terhadap keselamatan manusia. Bagi Yesus kemanusiaan itu lebih penting dari pada hukum.
            Yesus juga mempunyai kelompok murid-murid perempan di sekitar-Nya. Para perempuan ini telah mengikuti dan melayani-Nya sejak dari Galilea. Mereka bahkan boleh dikatakan murid yang paling setia. Mereka mengikuti perjalanan Yesus hingga sengsara dan kematian-Nya di salib (bdk. Mrk 15:40, 41, 47). Melalui mereka Yesus memberikan kabar pengurtusan untuk diteruskan kepada para murid lainnya (16:1-8).
Perempuan Siro Fenisia
            Perikop Markus 7:24-30, menceritakan tentang perjalanan Yesus ke wilayah non Yahudi. Yesus pergi ke wilayah Tirus dan Sidon. Tempat berjarak sekitar 40 mil dari Nazareth di pantai laut Mediterania di provinsi Fenisia yang merupakan bagian dari Syria.[14] Fenisia terletak di pesisir pantai, merentang ke utara dan Karmel. Sesungguhnya, seperti dikatakan Yosefus, Fenisia mengitari Galilea. Tirus berjarak sekitar 40 mil di barat laut Kapernaun. Nama Tirus sendir berarti “batu karang”. Asal usul nama ini adalah karena wilayah ini terdapat dua batu karang besar yang disatukan oleh sebuah bukit sepanjang tiga ribu kaki. Pada zaman itu Tirus merupakan salah satu pelabuhan alam yang besar di dunia. Selain itu batu karang ini juga berfungsi sebagai benteng pertahanan.[15]
            Yesus berusaha agar kedatangan-Nya ke wilayah ini tidak diketahui orang. Ia datang secara diam-diam. Akan tetapi seorang perempuang yang anaknya kerasukan roh jahat mengetahui kedatangan-Nya. Perempuan itu tersungkur di kaki Yesus. Oleh pengInjil Markus perempuan ini diidentifikasi sebagai seorang Yunani, bangsa Siro Fenisia (Mrk. 7:27). Sedangkan Matius mengidentifikasinya sebagai perempuan Kanaan (Mat. 15). Dalam Perjanjian Lama wilayah ini merupakan bagian dari tanah terjanji dan yang mendiami wilayah ini adalah suku Asyer. Tidak dijelaskan mengapa kemudian wilayah ini menjadi tempat orang-orang non Yahudi.
            Sebagaimana bangsa Israel, orang-orang Yunani pun menganggap kaum perempuan sebagai masyarakat kelas dua. Mereka tidak diberi tempat yang layak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Akan tetapi Yesus memberi tanggapan yang berbeda. Meskipun Yesus sempat membandingkan perempuan ini dengan “anjing”, akan tetapi pada akhirnya ia pun mengabulkan permohonan sang perempuan. Sikap Yesus yang terkesan mendiskriminasi ini merupakan suatu ujian atau cobaan bagi iman sang perempuan.
            Perjalanan Yesus ke wilayah ini merupakan sebuah kesaksian bahwa ia datang untuk semua orang. Yahudi dan non-Yahudi.[16] Dengan ini ia menunjukkan sesungguhnya keselamatan Allah tidak lagi bersifat ekslusif. Penerimaan akan diri-Nya sebagai Allah adalah suatu keterbukaan manusia untuk keselamatan yang dibawa-Nya. Injil mengisahkan bahwa orang-orang yang menerima Yesus dengan tangan terbuka adalah orang-orang berdosa dan juga orang non-Yahudi.[17] Bahkan pengakuan Petrus tentang keMesiasan Yesus pun terjadi di luar wilayah Yahudi (16:16; Mrk. 8:29; Luk. 9:20; Yoh. 11:27)
Pemahaman Tentang Keselamatan Sebelum Perjanjian Baru
            Dalam pengertian Yunani, gagasan tentang keselamatan (sõzo) juga sering dipakai oleh orang Yahudi sebagai sumber yang merupakan suatu bentuk pengalaman mendasar bahwa pengalaman keselamatan itu sendiri di artikan sebagai suatu situasi di mana seseorang dibebaskan dari bahaya. Secara alamiah kegiatan menyelamatkan memuat dalam dirinya perlindungan, pembebasan, penebusan, menyembuhkan dan menyehatkan, kemenangan, dan hidup dalam damai.
            Dalam Perjanjian Lama konsep keselamatan selalu dihubungkan sebagai sebuah pengalaman religius di mana pengalaman diselamatkan selalu datang dan berasal dari Allah. Ada dua hal mendasar yang menghubungkan konsep keselamatan dalam Perjanjian Lama yaitu pengalaman sejarah dan perjanjian eskatologis.[18] Dalam pengalaman sejarah, pengalaman bangsa Israel yang dibebaskan dari pembuangan dan penindasan menjadi salah satu bukti nyata bahwa Allah-lah yang berkarya untuk menyelamatkan umat-Nya. Hal ini nyata terjadi ketika Allah mengutus seorang pemimpin ke tengah-tengah mereka untuk meraih kemerdekaan secara penuh.
            Dalam Perjanjian Lama konsep keselamatan juga merupakan dasar iman dan teologi. Sama halnya dengan term-term teologi lainnya, keselamatan (salvation) memiliki arti yang sekular tetapi Perjanjian Lama lebih sering menggunakannya dalam arti yang lebih sakral atau religius.[19] Konsep lain yang juga digunakan dalam Perjanjian Lama untuk menjelaskan kata keselamatan ialah penebusan (redemption). Kata penebusan ini berasal dari kata bahasa Latin yakni “redemptio” yang sepadan dengan kata Yunani ”apolytrosis dari kata “lytron” yang artinya “sarana pembebasan atau tebuasan”. Penebusan dalam pengertian ini mengacu pada pemahaman teologi kristiani yang menyata dalam diri Yesus Kristus sebagai Sang Penebus dan Penyelamat.
            Secara garis besar konsep keselamatan dalam Perjanjian Lama dibagi dalam dua bagian besar yaitu: Pertama, keselamatan Allah dalam sejarah, dan janji akan hidup eskatologis. Kedua, keselamatan Allah dalam doa bangsa Israel; di mana pada bagian ini paham keselamatan masih dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah dan ramalan nabi, doa bangsa Israel memberi perhatian yang tinggi terhadap tema keselamatan. Doa bangsa Israel ini umumnya berisi[20]: kepastian iman, yang mana bangsa Israel mengakui bahwa keselamatan merupakan pemberian diri Allah, keselamatan itu hanya datang dari Yahweh (bdk. Mzm 37:39), Allah sendiri adalah keselamatan (Mzm. 27:1. 35:3. 62:7). Pernyatan ini tentunya muncul karena berbagai bentuk pengalaman iman diselamatkan ketika berseru kepada Allah (Mzm. 107:13; 19:28. 18:20). Permohonan kepada Allah penyelamat; pemohon meminta kepada Allah sebagai penyelamat (Sir. 51:1), penyelamat bagi orang yang hilang harapan (Ydt. 9:11), atau Allah Penyelamat (Mzm. 51:16; 79:9). Isi doa bangsa Israel terdapat dalam kalimat “Yahwe Penyelamat” (Mzm 118:25); selamatkanlah aku dan aku akan diselamatkan (Yer. 17:14). Tak dapat disangkal, pada bagian ini umat Israel juga meyakini bahwa Yahwe menjawab doa mereka yang dimanifestasikan dalam ramalan keselamatan oleh para nabi (bdk. Mzm 12:2,6), selain permohonan pribadi, yang berharap akan keselamatan eskatologis yang dijanjikan (Mzm. 14:7, 18:3. 78:20). Konkretnya terdapat dalam Mazmur 106:47 “Selamatkanlah kami ya Tuhan dan hantarkanlah kami ke tengah-tengah para bangsa.”[21]
Pemahaman tentang Keselamatan dalam Perjanjian Baru
            Dalam Perjanjian Baru penggunaan konsep keselamatan terdapat dalam beberapa varian arti kata. Dalam bahasa Yunani sendiri untuk menerangkan kata keselamatan digunakan beberapa kata yakni Sozein (save), Soter (savior), Soteria (salvation).[22] Dalam penggunannya Soter (savior) biasanya dipakai untuk penyebutan nama dewa atau dewi (seperti: Zeus, Heracles, Serapis, dan Isis) dalam kultus dan upacara pemujaan, dan secara khusus kepada dewa Asklepios sebagai “penyembuh”. Dalam pengertian Yunani Soter dipakai untuk membedakan seseorang yang mengabdikan dirinya dalam suatu pelayanan publik. Pelayanan inilah yang akhirnya diidentikkan dengan tugas dan pengabdian yang diemban oleh seorang raja.[23]
            Namun di dalam Perjanjian Baru (Sinoptik, Yohanes, Surat-Surat Paulus), kata “soter” jarang ditemukan. Vinsen Taylor mengatakan bahwa penghilangan ini disengaja karena penggunaan kata-kata dalam bahasa Yunani yang berkaitan dengan kegiatan kultus kerajaan dan misteri seringkali dibatasi penggunaannya. Sementara kata “sozein” dan “soteria” banyak digunakan dalam Perjanjian Baru konkretnya dalam praktek kekristenan. Namun, setelah abab pertama kata “soter” mulai digunakan lagi dalam agama kristen yang mana “soter” ini maka praktis dikatakan bahwa umat kristen menyadari bahwa Yesus adalah satu-satunya Sang Penyelamat yang benar dan tak ada yang lain.[24]
            Dalam Injil Sinoptik kata ”save” mengartikan bahwa kesembuhan disempurnakan dalam diri Yesus (Mat 9:21; Mrk. 3:4. 5:23, 6:56; Luk. 6:9, 8:36.50; 17:19). Keselamatan pada tempat ini selalu dihubungkan dengan iman pribadi atau orang yang disembuhkan (Mat 9:22; Mrk 5:34, 10:25; Luk. 8:48, 17:19, 18:24). Keselamatan dari Allah (Bapa) merupakan dasar iman dalam Perjanjian Baru (Luk 1:47; 1 Tim. 1:1, 2:3, 4:10; Titus 2:10, 3:4; Yudas 1:25) keselamatan adalah pilihan dan inisiatif Ilahi (1 Tes 5:9; 2Tes. 2:13; 2Tim 1:9; Ibr 1:4), keselamatan merupakan anugerah rahmat yang berasal dari Allah dan bukan semata-mata usaha manusia sendiri (bdk Titus. 3:5), karya rahmatNya (Ef. 2:3; Titus 2:11), dan belaskasihanNya (2 Ptr. 3:15). Lebih dari pada itu, ditegaskan bahwa keselamatan itu berasal dari Yesus Kristus.[25] Dia adalah sumber dan keselamatan itu sendiri (Luk 2:11; Yoh 10:9; Kis 13:23; Roma 15:11; 16:30: Titus 1:3; 2Ptr 1:1. 11; 3:2. 18:1; 1Yoh 4:14). Yesus adalah penyelamat juga bagi Gereja sebagai tubuhNya (Ef 5:23). Arti keselamatan “save” secara eskplisit ditemukan dalam Efesus 5:26. Keselamatan hanya ada dalam Yesus sendiri (Kis. 4:12; 2:21; Roma 10:13). Yesus adalah perintis dan sumber keselamatan (Ibr. 2:10; 5;9).[26]
            Keselamatan Yesus adalah keselamatan dari dosa. Dialah yang memberi pertobatan dan pengampunan dosa (Kis. 5:31). Orang berdosa diartikan dengan “yang hilang” sehingga Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkannya (Luk. 19:10).

Universalitas Keselamatan
            Pada zaman Perjanjian Lama sesungguhnya terdapat kisah-kisah penyembuhan yang dilakukan Allah terhadap orang-orang non Yahudi. Misalnya, Eliaa yang diutus kepada janda di Sarfat, (1Raj 17:9-10; Luk 4:26). Namaan panglima Aram yang disembuhkan setelah mengikuti petunjuk Elisa untuk mencelupkan dirinya sebanyak 7 kali di sungai Yordan (2 Raj. 5; Luk. 4:27). Hal ini menunjukkan keselamatan Allah sesungguhnya bersifat luas dan terbuka terhadap semua orang.
            Yesus dalam Perjanjian Baru memberi penegasan mengenai hal ini. Dalam pengajarannya Yesus juga sering menyinggung hal ini. Misalnya perumpamaan-Nya tentang penggarap kebun anggur (Mat. 22:33; Mrk. 12:1; Luk 20:9). Para penggarap adalah gambaran orang-orang Yahudi yang mendapat rahmat khusus yakni menjadi benih tempat persemian Kerajaan Allah. Tindakan Israel membunuh anak dan melemparkannya keluar tembok merupakan tindakan di mana Israel menolak keselamatan Allah. Tindakan Israel menutup pintu untuk karya keselamatan; Allah pada saat bersamaan telah membuka pintu keselamatan bagi bangsa-bangsa lain di luar Yahudi.
            Perikop Markus 7:24-30 merupakan salah satu dari beberapa mukjizat yang dilakukan Yesus terhadap orang non Yahudi. Yang menarik dari penyembuhan ini adalah bahwa penyembuhan ini terjadi di luar wilayah Yahudi. Tentunya ini bukan merupakan suatu kebetulan. Perjalanan ke Tirus dimulai setelah Yesus mengalami penolakan di Nazareth, kampung halamannya. Jadi konsep universalitas keselamatan berarti satu keadaan damai dan sejahtera yang mencakup dan menjangkau seluruh semesta.
Penutup
            Karya keselamatan Allah kepada manusia yang terjadi melalui pengantaraan Yesus Kristus merupakan suatu kemurahan hati Allah kepada manusia. Akan tetapi kita tidak bisa memungkiri bahwa karya keselamatan yang dibawa oleh Yesus pertama-tama tidak dtunjukkan kepada seluruh bangsa manusia. Tujuan kedatangan Yesus yang pertama adalah untuk membawa kembali Israel yang telah menyimpang kembali kepada Allah. Akan tetapi Israek menolak kehadiran Yesus sebagai Mesias utusan Allah.
            Penolakan Israel terhadap Yesus pada saat yang sama telah membuka pintu keselamatan bagi bangsa-bangsa non Yahudi. Meskipun demikian kita tidak bisa menyimpulkan bahwa jika Israel menerima Yesus maka bangsa-bangsa lain selain Israel tidak dapat diselamatkan. Yesus adalah figur yang membawa keselamatan universal bagi seluruh umat manusia. Hal ini ditandai dengan banyak peristiwa yang menyertai kelahiran-Nya. Kelahiran Yesus di antara gembala-gembala miskin Betlehem dan disambut dengan hangat oleh raja-raja Zoroastrian dari Timur membuktikan bahwa Yesus datang untuk semua bangsa. Ia datang untuk setiap orang yang mau membuka hati terhadap keselamatan yang dibawa-Nya. Penerimaan akan Yesus dengan sendirinya mendatangkan keselamatan bagi orang-orang yang menyambut-Nya.

      
DAFTAR PUSTAKA

Browning, W.R.F, Kamus Alkitab, dalam Liem Khiem Yang dan Bambang Subandrijo,    Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
Bible Works 7
Groenen, C, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Libronix Digital Library System
Marsunu,Y.M. Seto, Markus Injil Yesus Kristus-Anak Allah, Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Mckenzie, J.L., Dictionary Of The Bible., London: Geofrrey Chapman, 1996.
Mehan, Bridget Mary SSFC, Kuasa Penyembuhan Doa, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Perkins, Pheme, New Testament Introduction, Mumbai: St. Pauls, 1997.
Xavier Leon-Dufour, Dictionary of Biblical Theology
William Baclay, The Daily Study, The Gospel of Mark, (Bangalore: Theologi Publication).
Zanchettin, Leo (ed), Mark. A devotional Commentary, Meditations on the Gospel           According to St. Mark, Mumbai: St Pauls, 2000.


                [1]W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, dalam Liem Khiem Yang dan Bambang Subandrijo (Penerj.), (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), hlm. 339.
                [2]Dr. C. Groenen, Pengantar Injil Yesus Kristus-Anak Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 157.
                [3]Bridget Mary Mehan, SSFC, Kuasa Penyembuhan Dosa, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 25.
                [4]Ibid.
                [5]Pheme Perkins, New Testament Introduction, (Mumbai: St. Pauls, 1997), hlm. 264.
                [6]Ibid.
                [7]Bible Works7, Mathew Henry Notes, no. 0802
                [8]Ibid.
                [9]W.R.F. Browning, Op.Cit., hlm. 344.
                [10]C. Groenen, Op.Cit., hlm. 59.
                [11]Bible Works 7, Mathew Henry Notes., no. 1135.
                [12]Libronix Digital Library System, Zane C. Hodges and Arthur R. Farstad (eds.) “The Greek New Testament”, (London: Thomas Nelson Publisher, 1985).
                [13]W.R.F. Browning, Op.Cit, hlm. 345.
                [14]Leo Zanchettin (ed), Mark. A devotional Commentary, Meditations on the Gospel According to St. Mark, (Mumbai: St Pauls, 2000), hlm. 78.
                [15]William Baclay, The Daily Bible, The Gospel of Mark, (Bangalore: Theologi Publication), hlm. 178.
                [16]Ibid.
                [17]Ibid.
                [18]Xavier Leon-Dufour, Dictionary of Biblical, Op.Citb., hlm. 519.
                [19]J. L. Mckenzie, Dictionary Of The Bible, (London: Geofrrey  Chapman, 1996), hlm. 760-763.
                [20]Xavier Leon-Dufour, Op.Cit., hlm. 519.
                [21]Ibid.
                [22]J. L Mckenzie, Loc.Cit.
                [23]Ibid.
                [24]Ibid.
                [25]Xavier Leon-Dufour, Op.Cit., hlm. 520-521.
                [26]Xavier Leon-Dufour, Op.Cit., hlm. 602-603.