MAKNA FILOSOFIS TENUN IKAT (FUTUS)
KAMPUNG BANAIN, KECAMATAN BIKOMI UTARA, KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
Oleh
Yohanes Hendrik Fallo
(Motif Tenun)
Indonesia adalah bangsa yang kaya akan
budaya. Beragam budaya yang terdapat di Indonesia mencerminkan ciri khas bangsa
sebagai bangsa yang berbudaya. Salah satu warisan yang terpelihara adalah kain tenun
ikat tradisional. Beragam kain tradionanal di Indonesia yang memiliki berbagai
corak dan motif yang menunjukan kekhasan dari setiap daerah.
Kain tenun ikat adalah salah satu
kain tenun tradional Indonesia yang kini menjadi perhatian bangsa karena memiliki
keunikan corak dan motif yang mengandung nilai-nilai folosofis. Makna filosofis
tersebut terlihat dari motif kain yang digunakan. Contohnya motif kain tradisional
Sumba, Nusa Tenggara Timur yang menggambarkan kepahlawanan, keagungan, dan
kebangsawanan karena kuda adalah simbol harga diri bagi masyarakat Sumba.
Di tanah Timor, tenun ikat dikenal
dengan tenun futus. Futus dalam bahasa dawan adalah ikat. Tenun
futus menggunakan satu warna dengan
mengikat bagian-bagian tertentu pada benang sehingga bagian tersebut tidak
berwarna saat benang tersebut dicelup ke dalam zat pewarna. Selain itu, kain tenun
futus juga ditemukan pada masyarakat
Banain. Masyarakat Banain pada umumnya memproduksi kain tenun futus sebagai kebutuhan hidup baik sebagai
kebutuhan sandang maupun sebagai penunjang kesejahteraan hidup. Adapun makna
filosofis yang terdapat dalam kain tenun ikat futus meliputi makna sosial religius dan sosial-ekonomi. Makna sosial-religius
berkaitan dengan adat istiadat atau kepercayaan masyarakat Banain, dimana kain
tenun ini merupakan wujud penghargaan terhadap Tuhan dan alam sebagai pemberi
hidup. Makna sosial-ekonomi mengarah pada kebutuhan ekonomi masyarakat sebab kain
tenun ini memiliki nilai jual yang tinggi.
Kain tenun merupakan salah satu
kebutuhan hidup manusia yang sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Dimana pada
zaman prasejarah, pakaian penutup badan ini terbuat dari rumput-rumput yang
dianyam dan kulit kayu. Seiring perkembangan zaman, kain tenun tidak hanya
sekedar melindungi tubuh. Pakaian ini malah digunakan untuk menampilkan sebuah
nilai keindahan. Maka tak heran jika setiap model pakaian berubah-ubah, baik
dari segi warna, desain dan sebagainya yang disesuaikan dengan selera pasar. Namun
kain tenun hanya dimaknai sebagai suatu tujuan finansial yang berusaha ditampilkan sebagai suatu warisan budaya
yang tidak punah tetapi kehilangan nilai-nilai budayanya. Oleh sebabnya
pemaknaan terhadap kain tenun tradisional hanyalah bersifat finanscape, sedangkan aspek ethonscape yang memuat nilai dan makna
dari tenun ikat futus itu sendiri
belum dihayati sebagai suatu warisan budaya.
Mantap tempro. Ulasan yg sangat menarik dan memantik nalar untuk berpikir kritis dalam melihat dan menilai keberadaan budaya kita do tengah hempasan arus globalisasi yg di dalamnya berpotensi menghilangkan budaya akar rumput. Saya sangat mengapresiasi ulasan yang sangat rasional ini. Mantap. 🙏🙏😇😇
ReplyDeleteTempro frater Thias Banusu, saya melihat bahwa urgensi..kain tenun banyak diminati.Namun urgensinya tidak menjamin aspek etnoscape. Maka itu saya mencoba menggali dari sisi filosofis.
ReplyDelete