Wednesday, March 11, 2020

"MAKNA FILOSOFIS TENUN IKAT"




MAKNA FILOSOFIS TENUN IKAT (FUTUS) KAMPUNG BANAIN, KECAMATAN BIKOMI UTARA, KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
Oleh

Yohanes Hendrik Fallo

(Motif Tenun)


            Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya. Beragam budaya yang terdapat di Indonesia mencerminkan ciri khas bangsa sebagai bangsa yang berbudaya. Salah satu warisan yang terpelihara adalah kain tenun ikat tradisional. Beragam kain tradionanal di Indonesia yang memiliki berbagai corak dan motif yang menunjukan kekhasan dari setiap daerah.

            Kain tenun ikat adalah salah satu kain tenun tradional Indonesia yang kini menjadi perhatian bangsa karena memiliki keunikan corak dan motif yang mengandung nilai-nilai folosofis. Makna filosofis tersebut terlihat dari motif kain yang digunakan. Contohnya motif kain tradisional Sumba, Nusa Tenggara Timur yang menggambarkan kepahlawanan, keagungan, dan kebangsawanan karena kuda adalah simbol harga diri bagi masyarakat Sumba.

            Di tanah Timor, tenun ikat dikenal dengan tenun futus. Futus dalam bahasa dawan adalah ikat. Tenun futus menggunakan satu warna dengan mengikat bagian-bagian tertentu pada benang sehingga bagian tersebut tidak berwarna saat benang tersebut dicelup ke dalam zat pewarna. Selain itu, kain tenun futus juga ditemukan pada masyarakat Banain. Masyarakat Banain pada umumnya memproduksi kain tenun futus sebagai kebutuhan hidup baik sebagai kebutuhan sandang maupun sebagai penunjang kesejahteraan hidup. Adapun makna filosofis yang terdapat dalam kain tenun ikat futus meliputi makna sosial religius dan sosial-ekonomi. Makna sosial-religius berkaitan dengan adat istiadat atau kepercayaan masyarakat Banain, dimana kain tenun ini merupakan wujud penghargaan terhadap Tuhan dan alam sebagai pemberi hidup. Makna sosial-ekonomi mengarah pada kebutuhan ekonomi masyarakat sebab kain tenun ini memiliki nilai jual yang tinggi.

            Kain tenun merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Dimana pada zaman prasejarah, pakaian penutup badan ini terbuat dari rumput-rumput yang dianyam dan kulit kayu. Seiring perkembangan zaman, kain tenun tidak hanya sekedar melindungi tubuh. Pakaian ini malah digunakan untuk menampilkan sebuah nilai keindahan. Maka tak heran jika setiap model pakaian berubah-ubah, baik dari segi warna, desain dan sebagainya yang disesuaikan dengan selera pasar. Namun kain tenun hanya dimaknai sebagai suatu tujuan finansial yang berusaha ditampilkan sebagai suatu warisan budaya yang tidak punah tetapi kehilangan nilai-nilai budayanya. Oleh sebabnya pemaknaan terhadap kain tenun tradisional hanyalah bersifat finanscape, sedangkan aspek ethonscape yang memuat nilai dan makna dari tenun ikat futus itu sendiri belum dihayati sebagai suatu warisan budaya.

2 comments:

  1. Mantap tempro. Ulasan yg sangat menarik dan memantik nalar untuk berpikir kritis dalam melihat dan menilai keberadaan budaya kita do tengah hempasan arus globalisasi yg di dalamnya berpotensi menghilangkan budaya akar rumput. Saya sangat mengapresiasi ulasan yang sangat rasional ini. Mantap. 🙏🙏😇😇

    ReplyDelete
  2. Tempro frater Thias Banusu, saya melihat bahwa urgensi..kain tenun banyak diminati.Namun urgensinya tidak menjamin aspek etnoscape. Maka itu saya mencoba menggali dari sisi filosofis.

    ReplyDelete